".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Wednesday 28 December 2016

Pahlawan


Untuk bicara makanan ada unsur yang harus mutlak dibina, dididik, dilatih dan disuluh dengan baik yakni para aktor yang menjamin ketersediaan pangan dan mengolah pangan itu menjadi makanan sehingga panca - indra kita, seperti mata, hidung, dan lidah, ikut ”makan”.

Mereka adalah yang mempersiapkan, menjamin ketersediaan dan mengolah bahan pangan maupun siapa yang menggerakkan sampai tersedianya keperluan bahan sehingga makanan disajikan secara sempurna.

Sebagian besar perputaran roda ekonomi negara dan DNA "merah putih" makanan dikelola oleh mereka. Selama ini mereka tidak dipandang sebelah mata oleh kita dan selalunya anak bangsa ini tergusur dari panggung makanan negeri yang bernama Indonesia.

Padahal mereka adalah simpul makanan yang selalu didekati setiap masyarakat dalam memilih, membeli dan menikmati kelezatan. Termasuk wisatawan.

Harkat dan martabat mereka terabaikan, yang tanpa disadari cita rasa produk yang dibuat dari jernih keringat mereka, kita nikmati sebagai sebutan makanan.

Berbagai karnaval dan manuver politik maupun yang menyebabkan kritisnya keadaan negeri ini, membuat mereka tidak terganggu apalagi jarang tergoyahkan dalam menghidupkan keekonomian rumah tangganya, walaupun tidak pernah menjadi lebih baik.

Mereka menciptakan sistem enterpreneurship tersendiri tanpa ada fasilitas apapun yang disediakan bangsa ini, terkecuali pasar.

Kita merupakan pasar konsumen bagi mereka yang selalu setia membeli produk yang dihasilkannya, tetapi jarang menyentuh dan bertanya siapa mereka sebenarnya.

Bisa dikatakan ketahanan pangan dan pelestarian seni masakan ada di tatanan kelompok masyarakat ini.

Tanpa mereka, entah bagaimana peri - kehidupan bangsa ini. Mungkin budaya bangsa Indonesia, jika boleh disebut peradaban, tidak akan pernah tegak dan sarat konflik.

Tegasnya, para aktor ini adalah pahlawan – yang boleh disebut sebagai ”pahlawan yang tidak pernah diperhatikan” - yakni :

1. Para pembudi - daya, petani dan nelayan; serta para pelaku usaha yang bergerak di proses industri pangan
Memang dalam tataran citra, mereka boleh disebut sebagai pahlawan yang kerap diperhatikan, tetapi, ironisnya tertinggal.

Akibatnya kehidupan sosial ekonomi mereka tidak pernah menjadi lebih baik, karena salah satunya oleh ketidak-pahaman kita melihat secara mendalam sejarah budaya yang hidup di kalangan pembudi - daya, petani dan nelayan itu sendiri.

Kebijakan dan aturan yang ada maupun cara kerja bank, sejauh ini tidak pernah bersandar pada budaya para pahlawan ini yang lekat dengan sesuatu yang konkret dan bersifat komunal serta berkonteks kepercayaan.

Tidak mengherankan jika di antara posisi Pemerintah dan para pahlawan itu ada ruang kosong.

Ruang kosong ini umumnya diisi oleh para tengkulak, yang secara kultural mampu mengeksploitasi pahlawan kita dengan menawarkan sesuatu yang lebih konkret langsung di depan mata, yaitu uang.

Sementara petugas bank biasanya hanya membawa formulir transfer uang atau persyaratan kredit yang harus diisi.

2. Para pelaku usaha dari usaha industri makanan rumah tangga, warung / kedai makan, pedagang kaki lima, dan segala macam jenis panggilan terhadap mereka yang kesemuanya termasuk dalam kategori UKM (usaha kecil & menengah).
Pemangku otoritas kebijakan hampir tidak pernah menyentuh mereka. Padahal, pelaku usaha adalah jejaring penentu agar makanan sampai di mulut konsumen.

Mereka juga harus menafsirkan terus - menerus pergerakan selera dan budaya baru konsumen.

Sejauh ini, belum pernah terdengar ada program aksi untuk, misalnya, mendidik, melatih dan membina para pedagang warung kaki lima, warung / kedai makan dan pedagang-pedagang makanan lainnya yang di bahu jalanan, agar makanan yang mereka masak dan jual bersih, penampilannya mengundang selera, dan rasanya enak. Jika melihatnya, seakan-akan seluruh panca - indra kita juga ikut makan.

Juga belum pernah terdengar kabar, usaha industri makanan rumah tangga, seperti lemper dan arem – arem dan lain sebagainya, mendapatkan bimbingan dan penyuluhan sehingga penampilan lemper dan arem-arem akan indah seperti sushi dan rasanya pun enak menjemput selera konsumen.

Aktor - aktor pahlawan di atas di sisi proses ini memang tidak mendapatkan perhatian penuh dari para pengambil keputusan.

Akibatnya, para ”pahlawan” itu bisa mati karena tertinggal oleh selera konsumen yang melompat sesuai dengan adagium bahwa konsumen adalah poros penggerak suatu perubahan.

Miskinnya perhatian elite politik dan perguruan tinggi serta teknolog, otomatis berimplikasi pada ketidakmampuan para pelaku usaha makanan untuk bersaing dengan waralaba internasional, yang mampu menafsirkan perubahan selera konsumen berusia muda

Kelompok usia muda inginnya mengkonsumsi produk kualitas premium, dengan rasa, bau, warna, kecepatan penyajian, dan kemasan prima.

Pendeknya, bukan waralaba asing itu yang sesungguhnya menjajah Indonesia, tetapi bangsa ini gagal menangkap perubahan selera bangsanya sendiri.


Tabek

Friday 23 December 2016

Rekonstruksi Makanan Tradisional Masyarakat Jawa


Makanan merupakan kebutuhan pokok bagi kehidupan manusia. Makanan dari aspek gizi dan kesehatan telah banyak dibicarakan dan diteliti oleh para ahli. Namun makanan dari aspek kebudayaan belum banyak dibicarakan atau diteliti. Padahal sesungguhnya makanan sangat erat hubungannya dengan kebudayaan. Makanan adalah bagian dari sebuah kebudayaan, salah satunya adalah makanan tradisional (makanan rakyat).

Bagi masyarakat Jawa, makanan tradisional adalah fenomena budaya yang selain untuk mempertahankan hidup juga diperuntukkan untuk mempertahankan kebudayaan kolektif. 

Dalam masyarakat Jawa, makanan tradisional erat hubungannya dengan upacara ritual yang hingga kini masih dilaksanakan. Makanan mempunyai arti simbolik yang berkaitan dengan fungsi sosial dak keagamaan seperti upacara bersih desa (merti desa) atau ruwah rosul, sedekah bumi, grebeg sawal, grebeg mulud (sekaten), jumenengan raja ataupun saparan yang bersifat kolektif.

Sedangkan upacara-upacara yang bersifat individual antara lain berkaitan dengan daur hidup seperti kelahiran (brokohan, selapanan), mitoni (tingkeban), midodareni (sebelum pernikahan) dan upacara perkawinan adat Jawa, ruwatan dan lain sebagainya.

Keberadaan makanan tradisional mempunyai arti dan beberapa fungsi yang cukup penting bagi kehidupan masyarakat Jawa.

Catatan perihal makanan tradisional terekam dalam beberapa naskah Jawa yang berisi tentang makanan tradisional, yaitu Serat Centhini, Serat Goenandrija, Serat Wilujengan, Jumengan, Kraman, Mangkunegaran, dan Primbon Lukmanakim Adammakna.

Dalam naskah-naskah kuna Jawa terkandung pemikiran-pemikiran nenek moyang tentang makanan tradisional yang disebut sebagai kearifan lokal masyarakat setempat. 

Naskah-naskah tersebut berisi berbagai macam makanan tradisional serta fungsinya dalam masyarakat Jawa.

Sayangnya warisan kearifan lokal itu kurang dipahami khususnya oleh masyarakat Jawa masa kini dan masyarakat pada umumnya.  

Oleh karena itu perlu untuk melakukan rekonstruksi terhadap rekaman makanan tradisional masyarakat Jawa dalam nasakah-naskah kuna itu untuk mengungkap aktualisasi kesejarahannya.

Sunday 18 December 2016

Bagaimana Gastronomi Mempengaruhi Kehidupan Masyarakat


Gastronomi secara sederhana adalah "seni memilih, menyiapkan, menyajikan, dan menikmati makanan enak". Kemahiran terhadapnya menggambarkan gaya dan kemungkinan-kemungkinan baru dari seni masakan tradisional (otentik) yang dieksplorasi oleh ahli masak (chef). Bahasa lain yang sering digunakan beberapa chef terkenal di dunia, gastronomi dikatakan sebagai "Avant Garde" atau "Modernist Cuisine".

Perancis dan Inggris adalah pionir dalam avant garde atau modernist cuisine, dimana sebagai negara melting-pot bangsa-bangsa di dunia, segala rupa resepi masakan antar bangsa dieksplorasi, dimodifikasi dan diintegrasikan ke dalam struktur gastronomi cuisine di ke dua negara.

Bagi kalangan lain, gaya dan pola seni memasak gastronomi dikatakan menggunakan reaksi fisik dan kimia selama proses memasaknya; dan jika sebagian dari metoda eksperimental itu dilakukan seperti ini, maka seni memasak tersebut adalah gastronomi molekuler.

Namun bagi sebagian besar chef-chef terkenal di dunia menolak mengatakan teknik gaya memasak mereka adalah molekuler, mengingat tidak semua prosesnya menggunakan reaksi fisik dan kimia. Avant garde atau modernist cuisine yang ditampilkan bukan hanya sebatas memberi makan orang dengan memperkenalkan keindahan reaksi fisik dan kimia, tetapi mempunyai nilai pengalaman sensorik terhadap bahan-bahan baku yang digunakan, presentasi dan hospitality yang sengaja dirangsang penampilannya, mengundang selera, dan rasanya enak; yang jika orang melihat, seakan-akan seluruh panca - indra mereka ikut makan.

Avant garde adalah makanan istimewa, dimana bahan bakunya dipilih dari kualitas terbaik yang diolah dengan kajian gizi berdasarkan immune system food concept, dietary nutrition maupun komposisi food combining yang tidak berlebihan.

Modern cuisine, begitulah sebutan populer lainnya, adalah seni memasak yang ditelusuri secara khusus dengan menata bumbu dan rempah dalam pengolahan makanan untuk mendapatkan rasa, aroma, tekstur, warna, antimikroba dan antioksidan yang seimbang.

Presentasinya menggunakan teknik plating yang mutakhir dengan susunan table setting dan penampilan peranti saji yang terbaik.

Disamping itu dan yang paling penting, gastronomi atau avant garde atau modernist cuisine, menampilkan makanan, yang sebelum dinikmati, mempunyai sebuah cerita dari kisah sejarah, budaya, lanskap geografis dan metoda memasaknya.

Sekarang bagaimana gastronomi mempengaruhi kehidupan masyarakat ?

POLA HIDUP
Jika membandingkan perjalanan hidup sekarang dengan beberapa tahun lalu, banyak perbedaan yang terjadi terkait makanan, karena seni keahlian memasak telah berkembang sedemikian rupa, berubah teknik dan mengalami modifikasi.

Umpamanya, kehadiran makanan cepat saji telah mengubah gaya makan dan cara memasak masyarakat dunia. Selain itu makanan diet mengubah persepsi masyarakat terhadap content makanan untuk menurunkan berat badan dengan mengurangi lemak dan dampak kolesterol.

Itu baru dua sisi yang bicara, belum lagi karena pengaruh modernisasi dan tekhnologi membawa implikasi yang besar terhadap pola hidup masyarakat dalam mengkonsumsi makanan.

Perubahan pola hidup ini membawa masyarakat kepada tuntutan akan masakan yang sehat yang berarti kualitas bahan baku dan cara memasaknya harus memenuhi standard gizi dan nutrisi yang baik. Akibatnya masyarakat semakin kritis memilih makanan yang dengan sendirinya bicara tentang kualitas dan kesehatan.

BUDAYA
Pertukaran akan budaya memiliki dampak mengubah cara orang makan, apa yang orang makan, bahkan bagaimana orang makan makanan. Dari budaya, orang belajar seni masakan bangsa lain dan mengakulturasikannya ke dalam kearifan lokal setempat. Contoh-contoh bagaimana pola makan orang barat banyak ditiru masyarakat Asia, bahkan sebaliknya, sehingga melahirkan budaya makan baru.

Gastronomi memang lahir dari budaya Perancis yang melebar ke negara Eropa dan Amerika. Tetapi jarang orang mengetahui bahwa di masa lalu gastronomi juga lahir di daratan Tiongkok yang budaya masakannya saling berinteraksi dengan budaya masakan masyarakat barat. 


Menu dan seni keahlian Perancis dan Tiongkok saling bertukar dan saling dieksplorasi, dimodifikasi dan diintegrasikan ke dalam struktur gastronomi cuisine dunia. Tidak heran sekarang dan dimana saja orang makan di suatu restoran, ada saja aneka ragam masakan barat dan oriental saling bersanding dalam menu makanan rumah makan mereka.

GEOGRAFI
Dengan banyaknya citarasa makanan yang berbeda di seluruh dunia, masyarakat terdorong mencoba menu makanan bangsa lain untuk mendapat pengalaman baru. Perjalanan wisata manca negara adalah bentuk dari dorongan keinginan tersebut yang berakibat makanan itu suatu saat harus diimport untuk memenuhi permintaan konsumen di dalam negeri.  

Selain akibat dari perjalanan wisata, banyak juga yang mendorong permintaan itu akibat dari perjalanan bisnis, pertukaran budaya maupun akibat sekolah di luar negeri. Namun yang pasti peran media komunikasi pemasaran dan media sosial cukup besar memberi sumbangan akan keinginan mendapatkan makanan tersebut. Iklan-iklan dari seluruh dunia mendorong orang untuk mencoba makanan baru, apalagi chef-chef terkenal mempengaruhi orang untuk mencoba makanan yang berbeda.

Dengan adanya pertukaran makanan antar negara ini membawa dengan sendirinya budaya pola hidup baru itu ke dalam permintaan terhadap makanan, yakni penampilan, presentasi dan kualitasnya harus sesuai dengan standard yang berlaku.

SUSTAINABILITY
Fakta perubahan pola hidup, pertukaran budaya dan perbedaan geografis bukan faktor utama yang menyebabkan masyarakat mudah berdaptasi dan mengubah gaya makan mereka. Faktor menjaga keberlanjutan terhadap keseimbangan alam dan ketersediaan pangan menjadi perhatian mereka, mengingat pasokan dan produksi dunia yang terbatas saat ini.

Makan yang berkualitas dan enak bukan berarti boros dalam menggunakan bahan baku atau membuang yang tidak terstandard baik. Justru produksi pangan harus dijaga dan dikontrol secara ketat sehingga tidak ada pembuangan yang percuma. Masyarakat barat lebih mengutamakan langkah keberlanjutan (sustainability) ini mengingat pertambahan penduduk yang semakin meningkat tajam.

Untuk itu di masa depan, makanan tidak akan disajikan dalam porsi kuantitas tetapi lebih kepada kualitas dengan porsi yang kecil asalkan kandungan gizi dan nutrisinya memenuhi standard kehidupan manusia.

Tabek

Saturday 17 December 2016

Asal Muasal Lumpia


Camilan pengaruh Tionghoa ini sudah boleh dikatakan makanan nasional kita, hanya saja tidak banyak yang pernah mengetahui sejarahnya.

Tionghoa mempunyai satu hari raya musim setiap 15 hari dalam setahun Imlik, dan setiap hari raya Imlik itu juga diadakan satu hidangan yang chas untuk merayakannya. Disitu lumpia juga termasuk salah satunya, yang berkaitan dengan satu hari raya musim Tionghoa sejak zaman dahulu kala. Disini lumpia adalah hidangan pada hari Ceng Beng, yaitu hari ini tanggal 5 April, hari bagi kalangan Tionghoa menghormati leluhurnya dan setahun sekali keharusan untuk melawat kekuburan orang tuanya.

Bagaimana sangkut pautnya Lumpia dengan Ceng Beng? Ini bisa diceritakan sebagai berikut yang merupakan asal muasalnya lumpia:

Sebelum Ceng Beng merupakan hari perayaan pembersihan makam leluhur Tionghoa setiap 5 April seperti sekarang, hari itu hanya merupakan salah satu hari perayaan musim yang bermaksud penjemputan musim Semi disekitar 104-106 hari setelah Winter Solstice, adalah yang merupakan sehari libur untuk sekeluarga ber-piknik sejak lebih dari dua ribu tahun yang lalu, hingga terjadinya satu peristiwa di Tiongkok Semula dipermulaan abad 7 BC. Pada waktu itu Tiongkok Semula sedang terbagi-bagi dalam puluhan negeri adipati diachir zaman Dinasti Zhou yang disebut masa Chun-jiu / Spring-Autumn (770 – 476 BC).

Konon ada seorang pangeran dari negeri adipati Jin yang melarikan diri karena perebutan tahta dinegerinya yang terletak dipertengahan Shanxi sekarang, dia jatuh sakit dan terawat baik oleh seorang penduduk disuatu dusun sampai pulih kesehatannya. Setelah dia kembali kenegerinya dan berhasil merebut kedudukan adipatinya sebagai Jin Wen Gong (晋文公) pada tahun 638 BC, dia baru mengetahui bahwa penyembuhan penyakitnya sewaktu dipengungsian itu adalah berkat diberi minum obat kaldu yang memakai daging dari pahanya orang dusun yang bernama Jie Zi-tui sendiri kapan hari itu.

Namun Jie selalu menolak hadiah dan kedudukan yang ditawarkan Jin Wen Gong, malah achirnya juga bersama ibunya bersembunyi supaya tidak diganggu lagi diatas bukit pegunungan Mian-shan. Karena dalam segala upaya Wen Gong mencarinya tetap sia-sia menemukannya, maka memakai siasat api membakar semak-semak bukit disekitarnya yang mengharapkan Jie dan ibunya bisa dipaksa keluar oleh asap, tetapi api tidak terkendali dan beberapa hari kemudian diketemukan dua mayat hangus yang berangkulan disebelah sebatang pohon yang sudah menjadi arang.

Wen Kong menyesal atas tindakan yang tidak bijaksana sehingga menewaskan orang yang pernah menyelamatkan jiwanya itu, maka untuk menunjukkan penyesalannya itu diperintahkanlah kepada sekalian rakyatnya bahwa pada hari itu juga dan seterusnya supaya diperingati sebagai Hari Nyepi, yang tidak memperboleh menyulutkan api, memasak makanan, keluar dari rumah maupun berisik, dan dari sini timbulah tradisi makanan dingin yang disebut Han-shi (寒食) sewaktu memperingati leluhur. Hari Nyepi ini kebetulan jatuh pada sehari sebelum hari tradisional kia-kia dimusim Semi yang disebut Ceng Beng (清明).

Istilah Ceng Beng yang berarti “cerah dan gemilang” ini berasal dari sabda kaisar Dinasti Han, Guang-wu-di Liu Xiu (5 BC – 57 AD) yang merasa lega setelah menumpas para pemberontak Wang Mang dan membangun kembali kemakmuran negaranya dan memindahkan ibukotanya di Luoyang sebagai Dinasti Han Timur, yang pada suatu hari dimusim Semi yang cerah berkatalah sendirian si-kaisar: “Tian achirnya Ceng Beng” yang maknanya “kerajaan telah damai dan tentram kembali”.

Hari itu kemudian dijadikan hari raya dimana bangsa Tionghoa Han mempergunakannya untuk sehari berlibur, bersama keluarga pergi kiakia atau piknik keluar kota menikmati suasana cerah dan gemilang, yang sampai sekarang masih disebut chun-you / 春游, Spring Outing.

Di-Tiongkok sekarang, dimana pada umumnya orang mati dikremasi kemudian abunya ditaburkan tanpa adanya kuburan lagi, maka hari Ceng Beng tetap dipakai orang untuk berlibur piknik chun-you seperti dulu kala.

Karena hari chun-you tersebut jatuhnya pada sehari setelah hari adat Nyepi yang disebut Han-shi 寒食 yang dalam tradisi bermakan segala yang dingin itu, maka untuk sangu makanan diperjalanan chun-you juga disediakan chun-pan/春盘 (spring platter) yang merupakan makanan dingin yang terdiri dari bawang daun, bawang putih, kucai, daikon, moster dan lain-lain sayur-sayuran segar yang berasa pedas digulung dalam lembaran kulit pancake yang terbuat dari tepung, dan makanan gulungan itu ditata rapih diatas piring yang lebar, sehingga juga disebut piringan lima sayur pedas, wu-xin-pan/五辛盘.

Kebiasaan kia-kia makan gulungan sayur pedas ini sudah sangat populer dijaman Dinasti Han Timur, yang kemudian disebut chun-juan (春 卷) alias spring roll yang menyebar di daerah selatannya Yangtze River sewaktu Dinasti Jin Timur (317 - 420 AD) yang ibukotanya di-Nanjing sekarang, setelahnya, chun-juan adalah sinonim dengan lunpia / lumpia dizaman Dinasti Tang (618 - 906 AD).

Lama kelamaan, hari Han-shi dan Ceng Beng yang memang hanya berbedaan sehari itu digabungkan, menjadi hari peringatan kepada leluhur dengan ritual mengunjungi dan membersihkan semak-semak kuburan yang biasanya memang terletak dibukit-bukit, maka sambil kia-kia merayakannya dengan makanan dingin Han-shi tersebut. Tradisi ini terus berkembang menjadi kebiasaan makan lumpia pada Ceng Beng sampai ini hari.

Terjadi revolusi bahan isi chun-juan / spring roll diwaktu jaman Dinasti Tang dari yang semula merupakan hidangan dingin veggie, sekarang ditambah isi bahan daging yang dimasak, yang kemudian dibawa orang Tanglang ke Hokkian dan disana disebut lun-pia (潤餅) atau lafal Jawa: lumpia, yang artinya pia lunak musim Semi, karena semulanya tidak digoreng. Lumpia asli bukan gorengan, sedangkan yang digoreng pun bukan kreasi atau ciptaan orang Semarang, itu ada ceritanya tersendiri dalam evolusi-nya.

Catatan :
Artikel ini diambil dari tulisan Anthony Hocktong Tjio, Monterey Park, 04 April 2016

Tahu Pong, Lambang Kuliner Semarang


“Pong ji!”

Jeritan nyaring pelayan depot Pak Brengos yang masih jelas diingatan, ini yang memperkenalkan hidangan itu sewaktu mengunjungi Semarang untuk pertama kalinya beberapa puluh tahun lalu. Sejak itu Tahu Pong merupakan yang tidak bisa diliwati setiap kali ke Semarang.

Tahu asal Tiongkok, yang digoreng disebut “ta-u pok” 豆卜. Di Semarang, potongan tahu dalam bentuk kubik kecil yang digoreng sedemikian hingga kulitnya kering dan melembung, tengahnya kosong atau kopong, disebut Tahu Pong. Mungkinkah dari ta-u pok yang menjadi tahu pong? Nyatanya bukan.

Tahu pong itu ciptaan orang Jepang yang disebut abura-age atau pocket tofu pada abad 18 AD. Seorang pengukir stempel Sodani Gakusen mengajarkan 100 pola pengolahan hidangan tahu didalam bukunya “Tofu Hyakunchin” ditahun 1782. Diantaranya mengajarkan tahu yang setelah dipotong tipis digoreng dua kali, pertama kali dengan suhu minyak agak rendah dan diulang goreng dengan suhu sangat tinggi, sehingga tekstur tahu goreng tersebut kering dipermukaan dan berongga atau kopong ditengah, dari situ munculah abura-age seabad kemudian. Sampai sekarang tahu kopong itu merupakan hidangan populer Jepang yang disebut Inari, sebagai saku inari-sushi.

Menurut cerita yang sering beredar, bahwa keberadaan tahu pong di Semarang sejak tahun 1930an. Di Tiongkok sendiri tidak ada. Disana, biasanya tahu tidak digoreng sampai kering permukaannya, dan tahu yang tidak dipotong kecil digoreng akan berisi padat didalamnya, di Semarang ini disebut Tahu Emplek, di Surabaya tahu goreng ini dibelah dan diisi petis sebagai modifikasi hidangan yong-tofu (tahu bakso) asal Tiociu.

Adanya tahu pong di Semarang itu semestinya bukan pembawaan Tionghoa pendatang, bukan dari Tiongkok, walaupun zaman ini kebanyakan depotnya adalah usaha peranakan.  Bila memang asalnya dari pesisir tenggara Tiongkok, tahu pong ini pasti ada dimana-mana sebab para perantau Tionghoa itu menyebar dari Pekalongan sampai Pasuruan. Kebetulan juga dalamnya kopong, dengan logat Min-nan dari pendatang Hokkian Selatan itu, ta-u pok bisa dibilang tahu pong. Itu tidak menyatakan kebenarannya. Kenyataannya sampai sekarang hanya ada dan memang yang dimulai di Semarang saja, itu Tahu Pong.

Hidangan khas kota Sumarapuram ini sekarang sudah dimana-mana. Sebelum semua keturunannya pada muncul diberbagai lokasi waktu ini, dulu adalah Tahu Pong Peloran diseberang Gedung Bioskop Rex, boleh dibilang kios usaha Bu Natimi inilah eyangnya Tahu Pong Semarang. Kemudian disusul adanya Tahu Pong Pak Breng (Brengos) ditepi Gang Seteran (sekarang Jl. Moh. Suyudi) didepan Losmen Telomojo, Tahu Pong Jagalan di Gedung Gulo, maupun Tahu Pong Kios Rio dilapangan parkir Bioskop Rex (sekarang gereja di Jl. Gajah Mada). Semua itu telah lenyap terkikis zaman.

Ataukah, memang dasarnya tahu pong itu dari semula namanya adalah Tahu Je-pun, Jepang, Nippon karena kenyataannya perintis pengusahanya bukanlah orang Tionghoa, dan tahu pong abura-age yang lengkap juga selalu diiringi acar lobak daikon yang khas Jepang, sehingga kuliner unik ini menjadikan itu Tahu Pong di Semarang, dengan demikian juga yang hanya ada di Semarang saja.

Sekarang, yang boleh dikata fosil hidup tahu pong Semarang masih berdiri atas nama Tahu Pong Karangsaru di Jalan Pringgading Raya. Menurut penuturan pengurusnya, Bu Sing Bing Ay 盛品爱, pembentuk situs kuliner ini adalah usaha ayahnya, Alm. Tjahyo Samudro Sing Ting Hay 盛澄海yang eyangnya datang dari Hokkian. Pak Samudro memang dibesarkan dilingkungan dekat Tahu Pong Jagalan, dari sana mendapatkan inspirasi untuk mengelolah depot tahu pong sendiri.

Setelah bertekun mendapatkan resep saus kecapnya sendiri yang ternyata lezat, maka membuka depot pertamanya dipojok jalan antara Pringgading dan Mataram pada tahun 1949. Kemudian membuka lagi di Jalan Karangsaru sebelum pindah dilokasi sekarang, dari situlah asal nama Tahu Pong Karangsaru ini yang dipertahankan dan yang kemudian diteruskan oleh putrinya, Bu Sing Bing Tien dan suami Alm. Ivan Samuel Thenu. Sekarang sudah ditangani oleh generasi ketiga, Bu Izeline Kristianti Thenu yang nyata senantiasa mengawasi kwalitas, kerapihan dan kebersihan depotnya.

Tahu Pong Karangsaru di Jalan Pringgading Raya, Semarang. (AH Tjio)
Tahu Pong Karangsaru tersebut masih menghidangkan tahu pong komplit dengan kombinasi pong dan emplek, gimbal urang, telur teh rebus-goreng, dengan ramuan saus cair kecap manis yang sedang pedasnya dan cukup kecut jeruk nipisnya juga berlebihan bawang putihnya, sedap bila diselingi dengan rasa acar lobaknya yang khas daikon Jepang. Ketulenan yang masih menerus dari nostalgia Tahu Pong Jagalan.

Dari mengamati menunya, Tahu Pong Karangsaru ini hanya menghidangkan apa saja yang termasuk dalam menu klasik Tahu Pong Komplit, itu saja, tidak ada campuran hidangan yang lain, depot khusus tahu pong, sehingga meskipun tidak ditayangkan, makan disini Halal. Juga disediakan pilihan untuk pelanggan vegetarian, karena disediakan 2 wajan minyak yang terpisah, menunya tetap tahu dan telur dengan saus kecap yang tersendiri, bebas kontaminasi petis dan udang.

Tahu pong sebaiknya segera dimakan sekeluar dari gorengan, sebab kulitnya cepat layu dan tahunya menjadi gembos. Ini berbeda dari ta-u pok di Tiongkok maupun di Hong Kong yang kulitnya pada umumnya bertahan kering dan tetap berbentuk sewaktu disajikan. Dikarenakan berbeda dalam proses persiapan tahu sebelum digoreng. Dimana potongan tahu itu, bila sebelumnya direndamkan dalam air garam dan didinginkan dalam es, proses ini mengeraskan permukaan tahu, lalu dicelupkan sejenak kedalam cairan air kanji yang lebih encer dari susu, ini untuk menyelaputinya sebelum dimasukkan kedalam minyak panas dan digoreng ulang secara dua tahap, dengan demikian tahu pong bisa lebih renyah dan tidak mudah melempem.

Semarang bisa diakui sebagai kota tujuan kuliner yang unik, dari sana juga banyak jajan dan makanan yang sering dibawa sebagai oleh-oleh. Diantara tiga hidangan yang sangat populer disana, seperti Mie Titee dan Lumpia, memang hanya Tahu Pong yang “Exclusively Semarang” dan yang boleh menjadi lambang kuliner Kota Semarang.

Catatan :
Artikel ini diambil dari tulisan Anthony Hocktong Tjio, Monterey Park, 11 Agustus 2016

Sate Itu Asal dari Indonesia

Ada satu makanan yang serba fungsi itulah "Sate". Sering bisa dimakan sebagai camilan, bisa merupakan makanan muka direstoran maupun sebagai hidangan utama dengan lontong atau nasi. 

Banyak orang yang tidak menyangka bahwa istilah sate itu asalnya timbul di Tanah Air kita sendiri, seratus atau dua-ratus tahun lalu di Indonesia, yang sekarang sudah menyebar kemana-mana sehingga dikira pembawaan Tamil India. Orang India disana kebanyakan yang atas kepercayaan mereka tidak makan daging, maka tidak benar kalau istilah sate itu Tamil dari India. 

Entah mulai kapan Tamil memulai makan daging sewaktu ribuan tahun zaman Hindhu di Nusantara, tetapi bisa diperkirakan mereka mengikuti cara makan Pribumi di Jawadwipa dengan memanggang daging di-sate. Dengan demikian, maka makanan sederhana rakyat yang sudah umum dikampung dan didesa dimana-mana juga sate, namun pada waktu itu masih bukan disebut sate, entah dinamakan apa ? 

Sate itu sebetulnya merupakan istilah cara pembuatan satu makanan daging. Cara yang paling mudah dan unik untuk memanggang daging. Setelah daging diiris kecil dan tipis lalu disusun dalam tusukan sujen yang terbuat dari bambu atau kayu, sekarangpun ada yang terbuat dari stainless steel, bila dipanggang dagingnya lebih mudah matang secara merata dalam waktu yang lebih singkat, juga lebih mudah memakannya tanpa pisau dan garpu.  

Daging panggang dalam tusukan itu semulanya pakai daging sapi lalu daging ayam, dan sekarang bisa pakai apa saja atas selera. Hal ini di Timur Tengah disebut kebab, bukan sate. 

Diperkirakan bahwa istilah sate itu adalah pembawaan dari Penjajah di Indonesia yang menamakan daging panggang itu "steak". Seperti biasanya, istilah dan sebutan asing itu akan disuarakan seenaknya mulut kita, demikianlah "steak" itu juga di-jawa-kan menjadi "sa-te". 

Sate ini juga dibawa oleh Tionghoa yang pulang ke Tiongkok ditahun 1960an, disanapun istilah sate ini di-tionghoa-kan "sha-die", tetapi dimana-mana hanya disebut "satay". 

Catatan :
Artikel ini diambil dari tulisan Anthony Hocktong Tjio, Monterey Park, 14 Nopember 2016

Mie dan Sejarahnya


Di samping mie goreng dan mie pangsit yang umumnya semua sudah tahu, pastinya belum pernah dengar Mie Yang-jun, mie ini yang merupakan dasar makanan mie yang dijual dalam gerobak dorongan.

Sebelum adanya mesin, cara pembikinan mie sejak purba merupakan kerajinan tangan. Dari tepung dengan air membuat adonan, lalu adonan itu dibikin lembaran dan dilipat-lipat, setelah diiris-iris menjadi pita-pita dan setiap pita di tarik menjadi panjang, maka hasilnya merupakan untaian mie. Cara ini yang masih sering dipakai oleh penjual mie gerobak tok-tok atau pikulan tek-tek, dan mie itulah yang dikemudian hari dinamakan Mie Yang-jun.

Setelah orang Jerman ditahun 1779 menamakannya Nudel, yang kasarnya berarti “goblok” atau “ndasmu”, menjadikan mie itu sekarang noodle.

Kemudian, Muslim Tionghoa membuat mie dengan cara menarik-narik adonan, hal pembuatan begini memerlukan ketrampilan tersendiri. Mie tarik ini chas Muslim di Tiongkok utara, menjadi popular di Jepang dan sudah menyebar di dunia dengan merek Lanzhou Lamian. Di-jepang-kan menjadi Ramen.

Sampai sekarang masih banyak diperbincangkan asalnya mie itu dari mana. Antara Persia, Italia dan Tiongkok semua mengklaim sebagai sumbernya.

Memang mie adalah makanan utama Tionghoa dan juga yang menamakan makanan itu, mie. Dari itu Tionghoa selalu membanggakan mie adalah diantara penemuan besar mereka, meski pasta Italia pun juga dianggap adalah pembawaan bekal Marco Polo dari Tiongkok.

Dari lebih 2000 tahun lalu sudah ada catatan mie di dalam buku sejarah Dinasti Han Tionghoa, di waktu itu sebetulnya mie tersebut masih berupa pia. Di zaman purba Tionghoa hanya membuat makanan dari biji jawawut yang hanya tumbuh di Tiongkok utara sana. Beras dan gandum bukan makanan Tionghoa semula, karena belum di-impor.

Adonan tepung jawawut dibikin semacam roti atau dipotong dengan peralatan batu sebagai pita yang berupa mie, namun jawawut tidak banyak mengandung proteina, bahan putih telur, sehingga tidak bisa ditarik panjang untuk dibikin mie.

Belum lama ini buktinya diketemukan di daerah barat laut Tiongkok. Pada tahun 2005, sewaktu penyelidikan peninggalan purba di desa Lajia di propensi Gansu, satu tempat yang musnah dalam sekejab mata karena kena bencana gempa bumi, sehingga ditempat yang mendapat penamaan “Pompeii Tiongkok” itu segala peninggalan yang terpendam dibawah tanah bisa diawetkan sebagaimana sewaktu hidupnya sekitar 3900-4000 tahun lalu.

Di antara penemuan disitu ada satu mangkok yang tengkurup, setelah mangkoknya diangkat, ternyata ada peninggalan benda seperti mie di bawahnya. Dari pemeriksaan analisa bahan bakunya, ternyata mie itu terbuat dari jawawut. Begitulah gambar sisa semangkok mie yang berusia 4000 tahun yang diambil disitu itu, merupakan gambar mie yang tertua yang diketemukan sampai saat ini.

Marco Polo mungkin juga membawa mie dalam bekal pulangnya dari Tiongkok diabad 13. Dia tidak menceritakan hal itu dalam bukunya. Kenyataannya pasta seperti maccheroni dan vermicelli sudah merupakan makanan biasa bangsa Etruscana di daerah pertengahan Italia sejak abad ke-4 Masehi, jauh sebelum jaman Marco Polo, maka mereka juga mengira dari sanalah asalnya mie. Dalam segala kenyataan, sesungguhnya itupun kedatangan dari Jalur Sutra sampai di Arab yang melalui Sicilia ke Italia.

Mie terbuat dari gandum, dari situ seharusnya berasalkan dari Timur Tengah maupun Asia Tengah seperti Suriah, Jordan dan Turki, karena dari Iraq bagian timur sanalah yang sudah ada penamanan gandum sejak 9000 tahun lalu.

Dari tanah subur Mesopotamia situlah manusia mulai bisa membuat adonan dari bubuk halus gandum yang sekarang disebut tepung terigu (trigo itu gandum dalam Portugis) yang mempunyai kekenyalan yang bisa ditarik-tarik untuk dibikin mie.

Melalui perantauan manusia dan pertukaran budaya dari jalur perniagaan, sehingga mie dari Persia juga mencapai tujuannya di Tiongkok maupun Italia.

Sekarang mari kita kembali ke Mie Yang-jun. Mie dasar yang sangat sederhana, hanya terbuat dari adonan tepung dan air, karena tanpa telur dan minyak, maka warnanya pucat bagaikan sinar matahari. Mie ini merupakan bentuk mie Suzhou yang kemudian menyebar ke Shanghai dan sekarang populer di Taiwan.

Yang-jun (阳春) itu artinya “kehangatan matahari dipermulaan musim Semi” yang kehangatannya juga bisa dirasakan diwaktu musim Gugur dibulan ke-10 Imlik, dari situ bulan 10 itu juga disebut bulan Yang-jun.

Sewaktu Tiongkok didalam segala kesukaran dimasa pecah belah, mie putih dalam air tawar itu seharga 10 sen semangkok di Shanghai, dari angka 10 itu juga, maka mie tersebut di-romantis-kan dengan penamaan “Mie Yang-jun” oleh khalayak miskin.

Ternyata mie yang-jun terbawa oleh Tionghoa yang merantau di Nusantara, dijual dengan gerobak dorongan sambil memukul sepotong bambu kecil yang mengeluarkan bunyi “tok” “tok” “tok”, dari situ juga Tionghoa pendatang baru mendapatkan julukan, Cina Totok.

Catatan :
Artikel ini diambil dari tulisan Anthony Hocktong Tjio, Monterey Park, 15 Desember 2015.

Asal Usul Soto dari Mana


Ada yang bilang asal usul Soto dari makanan Tionghoa Semarang. Sebelum menganggukkan kepala, apa ada yang menanyakan dimana bekas-bekasnya ‘caudo’ itu, dan bagaimana mungkin bisa menjadi makanan yang diterima oleh nasional Indonesia sekarang?

Memang boleh diakui bahwa makanan kita sehari-hari banyak pengaruh dari masakan asal Tionghoa, tetapi satu makanan nasional ini, baik namanya maupun resepnya, Soto Madura dan segala soto pada umumnya, pasti bukan yang menyasar dari Tiongkok, karena boleh coba saja mencarinya, dimanapun memang tidak ada dan bagaimanapun tidak pernah ada disana.

Masakan Tionghoa pada umumnya berasalkan dari pesisir selatan Tiongkok yang menyebar dengan kedatangan Hoakiaw di Nusantara selama ratusan tahun belakangan ini. Dari Hokkian dibawakan bakmi, dari Hakka dibawakan bakso, dari Kanton dibawakan cap-cai, dan dari Hainan, kaum Muslim Utsul membawakan masakan asam manis.

Hanya saja dari Tiongkok tidak pernah ada masakan yang menggunakan rempah-rempah yang merupakan bahan utamanya soto. Yang pasti pula, soto bukan masakan nyonya peranakan maupun nyai seperti lontong cap-go-meh.

Mencari sumber mata air-nya soto, pertama-tama perlu menelusuri bengawan riwayat pembentukan bangsa Indonesia sampai di India, tepatnya: Tamil Nadu di India Selatan.

Pada awalnya disekitar 2200 tahun lalu, berbagai golongan orang Tamil dari Kerajaan Hindhu Kalinga India Selatan didesak untuk melarikan diri ke-Nusantara, akibat kekuatan Kerajaan Maurya Maharaja Ashoka yang menganut Buddhisme bangkit dinegaranya. Diantara Tamil Hindhu tersebut ada tiga golongan utama yang mencapai Nusantara: Golongan Ksatria (militer) yang meng-kolonisasi dan mendirikan kerajaan-kerajaan Dravidian di Nusantara, seperti Kerajaan Funan di Kambodia dan Kerajaan Kalinga di Sumatra dan Jawa; yang Golongan Vaisya (pedagang) itu menemukan bahan mineral dan metal mulia di Nusantara sehingga menamakannya Suvarnabhumi dan Suvarnadvipa (bumi dan pulau emas) dan mereka ini yang mendatangkan rempah-rempah bahan kare.

Bahan kare yang semulanya untuk konsumsi orang sebangsanya sendiri dari India Selatan itu, yang menjadikan sangat mempengaruhi kuliner Nusantara sampai sekarang.  

Golongan Hindhu Tamil yang ketiga adalah Brahmana (pendeta), datang dengan misi penyebaran ajaran Hindhuisme yang membawa kebudayaan dan ritual upacara mereka, mendirikan candi-candi, memperkenalkan sastra klasik dan menggunakan bahasa Sanskrita yang banyak menjadi dasar bahasa Indonesia, sehingga juga dipakai untuk penamaan orang-orang Thailand, Kambodia dan Jawa, juga nama tempat-tempat daerah dan universitas-universitas sampai sekarang.

Pengaruh Hindhu yang merupakan dasar kerajaan-kerajaan Dravidian Nusantara semula, kemudian digantikan oleh pengaruh Buddhis Dinasti Sailendra yang mendirikan Kerajaan Srivijaya di Palembang, yang meluas sampai Champa di Vietnam dan Visaya di Filipina diabad 7 Masehi. Keruntuhan Sriwijaya ini diakibatkan oleh adanya serangan dari kekuatan Muslim yang baru bangkit di-India Selatan dan mendirikan Kerajaan Lambri di Aceh, walaupun kekuatan Muslim Chola tersebut achirnya bisa ditumpas lagi oleh Sriwijaya diabad 11 Masehi, pada saat itu di Jawa mulai muncul kerajaan Hindhu lagi, yaitu Airlangga di Bali, yang kemudian pecah menjadi Singasari yang mengakhiri Sriwijaya dari Jawa, dan dinasti-dinasti Tamil tersebut berlangsung sampai kerajaan Hindhu Brae Vijaya Majapahit dijatuhkan oleh kerajaan Islam Demak diabad 13 Masehi.

Dari kerajaan-kerajaan Hindhu Kalinga sampai Buddhis Srivijaya Palembang hingga berakhirnya Hindhu Brawijaya Majapahit, selama 1400 tahun Indonesia merupakan perluasan Tamil India dan itu telah menjadikan Nusantara rumpun orang Dravidian, boleh dikatakan hampir semua eyang bangsa Indonesia sekarang berasalkan Tamil India dengan adat istiadatnya, namanya, bahasannya, maupun segala kebiasaan makanannya, dan merekalah yang membawakan Soto itu.

Pada dasarnya yang kita sebut Soto itu adalah semacam sup kare ringan yang meluas di Madurai dipertengahan wilayah Tamil Nadu. Sedangkan sumbernya sup kare ringan tersebut, pada umumnya dikatakan asalnya dari daerah Nellai di Tirunelveli yang 162 Km diselatannya Madurai dekat Samudra Hindia diseberang Sri Lanka, disana sup kare ringan tersebut namanya: Sothi.

Beda Sothi Madurai dengan Soto Madura hanya dibahannya, karena Hindhu tidak makan daging sapi, maka Sothi hanya sayuran yang lebih mendekati Lodeh yang merupakan asalnya lontong cap-go-meh, kecuali Sothi yang juga disebut light yellow curry dari Sri Lanka itu mengandung ikan, dan yang ini dikenal sebagai Fish Sothi di Malaysia dan Singapore.

Kesimpulannya, dari Tamil India Selatan dan Sri Lanka, itu sup Sothi yang setelah mendapat modifikasi kreatif bangsa kita menjadilah makanan nasional Indonesia yang kita sebut: Soto. Asal Madurai, semestinya juga menyebar dari Madura, Jawa Timur.

Catatan :
Artikel ini diambil dari tulisan Anthony Hocktong Tjio, Monterey Park, 21 Desember 2015.

Thursday 15 December 2016

Wisata Gastronomi - Antara Tradisional dan inovasi

Dalam beberapa tahun terakhir keterkaitan antara makanan dan pariwisata semakin banyak dibicarakan orang. Makanan menjadi salah satu elemen penting dalam dunia pariwisata, mengingat wisatawan menjadi salah satu pasar utama untuk bisnis masakan lokal (Dodd, 2011; Hjalager dan Richards, 2002 ). Akhir-akhir ini, wisata upaboga (gastronomi) semakin berkembang pesat mendekati kenyamanan wisatawan yang sudah terbiasa dengan pelayanan wisata boga (makanan).

Mengapa wisatawan mencari makanan ala gastronomi ?

Mengapa makanan inovatif dari keahlian memasak gastronomi yang buat wisatawan tertarik datang ?

Mengapa bukan makanan tradisional (otentik / real) dari daerah yang dicari wisatawan ?

Jawabannya karena ada "BUDAYA" yang membuat wisatawan lebih tertarik melakukan wisata upaboga (gastronomi) dibanding perhatian mereka selama ini kepada wisata boga (makanan) yang tidak memberi makna sejarah dan budaya apa-apa terhadap makanan yang dinikmati.

UNESCO pada tahun 2012 menyatakan keahlian memasak ala gastronomi merupakan warisan budaya intangible bangsa-bangsa di dunia yang di dalamnya memiliki elemen cerita sejarah dan budaya yang sangat kaya. Di dalamnya ada kisah dimana ahli masak mempersiapkan makanan dan berbicara tentang makanan itu sendiri.

Adalah negara Perancis yang mempelopori pertama kali wisata upaboga (gastronomi) yang kemudian model itu diikuti negara-negara lain seperti Portugal, Belanda, Jerman, Itali, Spanyol, negara-negara Skandinavia, Peru, Meksiko, dan sebagainya.

"DNA suatu bangsa ditentukan melalui seni makanannya", begitu dikatakan gastrostars seperti Ferran Adria atau Rene Redzepi. Inovasi terhadap masakan tradisional yang otentik memberi inspirasi dan kreatifitas terhadap keaslian dunia masakan gastronomi.

Oleh karena itu, Indonesia perlu mempertimbangkan pendekatan wisata upaboga (gastronomi) di masa depan agar kontribusi pertumbuhan dunia pariwisata bisa meningkat signifikan. Pemerintah perlu mendalami dan membuka lembaran catatan dari kisah-kisah seni keahlian memasak daerah dengan melakukan :

1. Keterkaitan antara seni keahlian memasak yang tradisional dan inovasi
2. Mengorganisir atraksi keahlian memasak daerah ala wisata upaboga
3. Mensinergikan makanan, seni keahlian memasak, budaya dan pariwisata
4. Pengembangan model bisnis wisata upaboga dalam seni keahlian memasak
5. Kontribusi dari sektor budaya, kreatif dan artistik dalam mengembangkan wisata upaboga

Tabek

Sunday 11 December 2016

Wisata Gastronomi & Wisata Boga


Saya berusaha terlebih dahulu menjelaskan perbedaan antara wisata gastronomi dan wisata boga untuk kita pahami secara jelas sebagai komunitas gastronomi Indonesia. 

1. Wisata gastronomi (gastronomic tourism) cenderung sebagian besar dilakukan wisatawan luar negeri yang datang untuk tujuan di mana makanan dan minuman lokal adalah faktor utama yang memotivasi mereka datang, selain melihat obyek alam, obyek budaya dan obyek bersejarah yang ada.

2. Wisata boga (culinary tourism) dilakukan pelancong domestik yang bepergian ke tempat-tempat tertentu (biasanya tempat wisata dan ada kalanya non wisata) untuk mencari dan menikmati makanan dan minuman spesifik (biasanya lokal dan ada kalanya non-lokal). Bagi pelancong domestik obyek alam, obyek budaya dan obyek bersejarah, bukan opsi utama dari kunjungan.

Contoh wisata gastronomi adalah Bali dan Yogyakarta, dua destinasi yang cukup banyak menarik didatangi pelawat manca negara, mengingat kedua kota ini dikenal memiliki obyek wisata yang beraneka ragam seperti keindahan alam, obyek bersejarah dan seni budaya tradisional lainnya (pakaian, kerajinan tangan maupun tarian).

Aneka boga makanan Bali dan Yogyakarta sudah mampu menarik perhatian wisatawan asing, walaupun kemasan gastronominya masih belum banyak ditampilkan yakni kemampuan untuk menceritakan sejarah, budaya, geografis, metoda memasaknya. Sedangkan pelayanan, dekorasi, sanitasi, presentasi, peranti saji dan penampilan boga makanannya cukup baik, termasuk performa dari teknik food plating dan presentasi table settingnya.

Contoh wisata boga adalah kota Bandung walaupun sampai saat ini Pemdanya tidak mempromosikan kota kembang itu sebagai destinasi wisatawan, setiap tahunnya jumlah wisatawan meningkat dimana pada tahun 2015  sudah didatangi 6 juta turis yang 20% diantaranya adalah wisatawan asing. Kota Bandung dikenal dengan aneka ragam makanannya (lokal & non lokal) dan kebanyakan pelawat datang untuk melakukan wisata boga karena obyek wisata alamnya hampir dibilang tidak banyak. Obyek wisata Bandung ada disekitar kabupaten Bandung.

Pelayanan, dekorasi, sanitasi, presentasi, peranti saji dan penampilan boga makanan di kota Bandung cukup baik, termasuk performa dari teknik food plating dan presentasi table settingnya. Hanya saja kemasan gastronominya belum terlihat yakni dalam kemampuan hoteliers dan restaurateur menceritakan sejarah, budaya, geografis, metoda memasak sajian yang ditampilkan.


PERTUMBUHAN WISATA BOGA DI BENUA BARAT
Dari catatan survei pelancong yang dilakukan The International Culinary Tourism Association Amerika Serikat pada tahun 2007, diketahui 17% dari jumlah pelawat domestik negara itu hanya bertujuan untuk wisata boga. Diperkirakan angka itu akan tumbuh pesat 3 kali lipat di tahun-tahun mendatang. 

Sedangkan menurut catatan koran USA Today di tahun 2009, sekitar 27 juta penduduk Amerika Serikat berwisata domestik hanya untuk kepentingan boga. Di Inggris, wisata boga diperkirakan memberi sumbangan terhadap produk domestik bruto negara itu sebesar hampir $ 8 miliar per tahun. 

Wisata boga adalah segmen pariwisata yang pertumbuhan sangat pesat di benua barat, dan biasanya wisata gastronomi mengikuti trend itu yang dikombinasikan dengan kegiatan lain seperti wisata budaya, bersepeda, berjalan, dan lain-lain. The International Culinary Tourism Association memperkirakan rata-rata wisatawan domestik menghabiskan biaya sekitar $ 1.200 per perjalanan, dimana sepertiganya (36% atau $ 425) berhubungan dengan belanja makanan. Malah untuk kedepannya diperkirakan cenderung akan menghabiskan jumlah yang cukup signifikan dan lebih tinggi dari sebelumnya (yakni sekitar 50%) untuk yang berhubungan dengan makanan.

WISATA MAKANAN
Saya belum dapat data angka statistik mengenai sumbangan sektor makanan dalam dunia pariwisata, namun catatan data ini perlu untuk mengetahui peta wisata Indonesia. Apakah sudah ada sensus nasional mengenai sejauh mana daya tarik makanan lokal memberi sumbangan terhadap pariwisata di negeri ini dan apakah wisatawan asing atau lokal datang ke suatu destinasi wisata karena obyek makanan atau non-makanan.

Pelaku boga di Indonesia bukan hanya hoteliers dan restaurateur. Ada pelaku lain yakni warung makan sederhana dan warung kaki lima yang jumlahnya cukup signifikan yakni hampir 60% dari total angka UKM (usaha kelompok kecil dan menengah). 

Pilihan masyarakat kebanyakan pada sektor ini, karena masyarakat masih melihat "apa adanya" dan bangga terhadap seni masakan tradisional yang tidak perlu di "up to date" penampilannya secara mutakhir. Memang bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, rasa dan kelezatan yang menjadi pilihan utama, yang penting enak, kejangkau secara ekonomi dan tidak perlu mengikuti standard macam-macam

Oleh karena itu, sensus nasional mengenai makanan terhadap pariwisata perlu dilakukan, baik itu untuk mencatat data pelaku hotel, restoran, warung makan sederhana dan warung kaki lima. Bagaimana sumbangannya mereka terhadap dunia wisata daerah dan berapa besar daya tarik dan jumlah wisatawan berkunjung ke tempatnya.

Dari kajian statistisk ini bisa nanti diklasifikasikan kota-kota mana di Indonesia dapat dikategorikan sebagai destinasi wisata gastronomi dan wisata boga. Dalam perjalanan ke berbagai daerah, sepertinya (mungkin saya salah), hanya obyek alam, obyek budaya dan obyek bersejarah yang dipasarkan promosi di negeri ini.

Belum ada promosi wisata gastronomi dan wisata boga yang bisa menjadi andalan utama pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Bandung bisa menjadi contoh bagaimana kota itu begitu gencar dan kreatif memasarkan wisata boga sebagai andalan promosi daerahnya. 

Setiap akhir pekan orang Jakarta datang ke kota Bandung hanya untuk makan. Datang pagi dan pulang malam atau keesokan hari, hanya untuk menikmati aneka kreasi makanan lokal dan non lokal maupun souvenir makanan yang ada di setiap pelosok jalan kota. Jumlah itu sudah mencapai 125 ribu setiap minggu di tahun 2015.

Namun yang pasti untuk menjadikan makanan sebagai obyek pariwisata, diperlukan juga keterlibatan pemangku / otoritas terkait memberi pelatihan, bimbingan, penyuluhan dan pendidikan yang intensif kepada pelaku boga di seluruh daerah agar makanan yang mereka masak dan jual bersih, penampilannya, mengundang selera, dan rasanya enak. Jika melihatnya, seakan-akan seluruh panca - indra konsumen juga ikut makan.

Sejauh ini diketahui Pemerintah hampir tidak pernah menyentuh mereka. Padahal mereka adalah pelaku usaha dan jejaring penentu agar makanan sampai di mulut konsumen. Mereka adalah pelaku utama yang harus menafsirkan terus - menerus pergerakan selera dan budaya baru konsumen.

Semoga pemikiran ini bisa menjadi masukan, mengingat sektor makanan bisa memberi sumbang besar terhadap PDB (produk domestik bruto) masing-masing daerah disamping dapat membuka lapangan kerja baru.

Tabek

Saturday 10 December 2016

Wisata Makan Ala Gastronomi


Apa itu wisata gastronomi atau wisata makan ala gastronomi ?

Mengapa makanan penting dalam pariwisata ?


Pada prinsipnya semua wisatawan harus makan dengan selera atau membuat makanan yang ada menjadi perhatian khusus bagi mereka yang berkunjung.

Wisata upaboga (kata lain dari gastronomi) adalah cara untuk mengenal kota melalui makanannya atau kata lainnya pelancong bisa menjelajahi kota yang dikunjungi melalui seni makanan yang dimiliki masyarakat setempat.

Wisata makan ala gastronomi memberi pelawat sudut pandang baru, selain diperkenalkan dengan obyek tamasya, mereka dipertemukan dengan khazanah seni keahlian makanan lokal yang tidak pernah diketahui sebelumnya.

Wisata upaboga menjadi gaya baru dalam dunia pawisata masyarakat barat. Sudut pandang pelawat dibawa ke dunia untuk menikmati seni makanan gastronomi selain menjelajahi obyek darmawisata (Crouch, 1999).

Rasa keragaman makanan gastronomi lokal yang unik membawa pelancong ke sebuah perspektif dan citra baru tentang hidangan yang bisa akrab dengan lidah mereka, bahkan menjadi pengalaman yang tak terlupakan.

Bagi pengunjung Eropa & Amerika, wisata gastronomi menceritakan sejarah yang tersembunyi dibalik makanan. Budaya kenapa sajian makanan lokal itu dikonsumsi masyarakat setempat dan bagaimana metoda memasaknya (Lee, K.H.; Scott, 2015).

Mengapa wisata makan ala gastronomi ?
Dalam beberapa tahun terakhir, gastronomi telah menempatkan dirinya sebagai salah satu elemen utama dari perangkat dan konsolidasi tujuan wisata negara-negara Eropa & Amerika.

Wisata makan ala gastronomi sama pentingnya dengan obyek wisata seperti keindahan alam, obyek bersejarah dan seni budaya tradisional lainnya (pakaian, kerajinan tangan maupun tarian).

Makan ala gastronomi merupakan bagian integral dari pariwisata masyarakat barat, dimana dampaknya memiliki efek ekonomi yang signifikan dalam rantai pasokan (supply chain) domestik mereka.

Orientasi turis merespons presentasi upaboga dianggap keberhasilan yang tinggi, mengingat komponen sehat dari keahlian memasak merupakan dimensi utama dalam menilai makanan yang disajikan.

Studi pariwisata makanan telah muncul dalam beberapa dekade terakhir, dengan fokus pada tujuan makan ala gastronomi. Wisatawan upaboga mengalami pengalaman sensorik dan indrawi yang lengkap, terutama dari segi rasa dan kebersihan makanan (Cohen dan Avieli - 2004).

Perlu diketahui ada tiga jenis pelancong yang melakukan darmawisata yakni : turis sehat-budaya, turis wisata budaya dan turis wisata umum. Klasifikasi turis sehat-budaya selalu menjadikan menu makanan ala gastronomi sebagai bagian dari kepuasan perjalanan mereka dalam mempelajari identitas budaya masyarakat setempat (Lee, K.H.; Scott, 2015)

Melalui makanan, wisatawan sehat-budaya terlibat dengan lingkungan dimana kunjungan berlangsung, mengingat keahlian memasak gastronomi adalah bagian dari sejarah budaya, sosial dan ekonomi dari negara dan rakyat yang mereka kunjungi.

Wisata makan ala gastronomi mencerminkan gaya hidup masyarakat dari wilayah geografis yang berbeda dalam memperkuat tradisi dan modernitas kota yang dikunjungi, karena seni keahlian memasak adalah sesuatu yang berakar pada budaya dan tradisi masyarakat setempat. (Mitchell, R, 2006).

Oleh karena itu, makanan lokal ala gastronomi bisa memberikan nilai tambah kepada destinasi kota wisata dan dapat berkontribusi dalam daya saing daerah geografis yang dikunjungi.

Banyak peneliti menganjurkan setiap negara / wilayah / kota harus mempromosikan makanan sebagai daya tarik kegiatan dari sebagian besar wisatawan. Keahlian memasak gastronomi melibatkan pertukaran pengetahuan dan informasi tentang orang-orang setempat, budaya, tradisi dan identitas lokal yang dikunjungi (Ignatov, E & Smith, S., 2006).

Wisata makan ala gastronomi bersinergi dengan pariwisata melaui empat aspek (Tikkanen, 2007) :
1. Sebagai daya tarik untuk mempromosikan destinasi wisata.
2. Sebagai komponen produk dimana gastronomi (atau upaboga) menggali rute konstruksi desain makanan (oenological)
3. Sebagai pengalaman baru dalam menyikapi cita rasa makanan yang berbeda
4. Sebagai fenomena budaya yang didasarkan pada kenikmatan seni makanan yang baru

INDONESIA
Pertama-tama jika bicara tentang Indonesia kita harus paham apa yang membedakan wisata makan ala gastronomi dengan wisata makan di negeri ini ?

Dari cita rasa masakan memang tidak berbeda, namun dari pelayanan, dekorasi, sanitasi, presentasi dan penampilan adalah ukuran yang memilah wisata makan ala gastronomi dengan wisata makan.

Kebanyakan pelancong domestik terbiasa dengan wisata makan, karena masakan di negeri ini kaya akan cita rasa yang kebanyakan diperjual-belikan di warung makan sederhana atau warung kaki lima di jalanan, terlepas apakah pelayanan, dekorasi, sanitasi, presentasi dan penampilannya kurang baik.  

Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, rasa dan kelezatan yang menjadi pilihan utama, yang penting enak, kejangkau secara ekonomi dan tidak perlu mengikuti standard macam-macam.

Terhadap makanan, kebanyakan masyarakat Indonesia masih belum modis dan trendi. Mereka masih melihat "apa adanya" dan bangga terhadap seni masakan tradisional yang tidak perlu di "up to date" penampilannya secara mutakhir, walaupun tidak menafikan ada kalangan tertentu yang selalu mengkikuti perkembangan jaman mengenai dunia seni masakan dengan gaya dan modul gastronomi kebaratan.

Oleh karena itu, jika negeri ini mau bicara soal wisata makan dan atau wisata makan ala gastronomi, harus terstandard dengan baik, karena bagi pelancong asing ukuran itu menjadi pertimbangan utama dalam mencari pengalaman baru terhadap seni masakan Indonesia.

Jangankan membangun industri wisata makan ala gastronomi, wisata makannya saja masih belum tertata dengan baik. Di kebanyakan ibu kota - ibu kota propinsi, kabupaten dan kota, masih belum terlihat niat itu dilakukan. Memang bagi kota-kota besar sudah memiliki namun tidak merata sehingga pilihannya tertentu.

Apa yang penting ditata dalam wisata makan ?
Pelayanan, dekorasi, sanitasi, presentasi dan penampilannya harus dikelola dengan standard yang baik. Tidak perlu infrastruktur yang mahal tetapi yang penting bersih dan menarik untuk dikunjungi pelawat asing maupun domestik sehingga rasanya enak menjemput selera pelancong untuk datang.

Saat ini pemilik warung makan sederhana dan warung kaki lima belum mempunyai keahlian dalam mengelola tempat makannya. Saya berkunjung ke beberapa daerah dan melihat masih belum banyak pengelola yang paham mengenai standard itu, sehingga daya tarik wisatawan untuk mengunjungi warung makan disebabkan tidak ada pilihan lain atau berakhir dengan makan di hotel yang ada di kota tersebut.

Standard pelayanan, dekorasi, sanitasi, presentasi dan penampilan merupakan komponen penting untuk wisatawan datang berkunjung ke rumah makan selain pemasarannya sendiri melalui berbagai cara.

Saya rasa sudah saatnya Pemerintah perlu terlibat dalam urusan ini, dengan memberi pelatihan, bimbingan, penyuluhan dan pendidikan kepada pemilik dan pengelola warung makan sederhana atau warung kaki lima di seluruh Indonesia, agar makanan yang mereka masak dan jual bersih, penampilannya, mengundang selera, dan rasanya enak. Jika melihatnya, seakan-akan seluruh panca - indra kita juga ikut makan.

Sejauh ini diketahui Pemerintah hampir tidak pernah menyentuh mereka. Padahal mereka adalah pelaku usaha dan jejaring penentu agar makanan sampai di mulut konsumen. Mereka adalah pelaku utama yang harus menafsirkan terus - menerus pergerakan selera dan budaya baru konsumen.

Bagaimana wisata makan ala gastronomi di Indonesia ?
Saya belum melihat ada wisata gastronomi di Indonesia, walau tidak menafikan ada kalangan terbatas melakukannya dengan pelancong asing berdasarkan orderan artinya dilakukan secara tidak kontinyu dan bersifat sebagai gastronomic luxury bagi kalangan wisatawan kaya raya.

Wisata gastronomic luxury bukan pariwisata massal karena jumlah rombongannya cukup kecil, meski efisiensi dalam membayar cukup tinggi, semahal berapa pun pengalaman sensorik seni masakan tradisional lokal dan hospitality yang mereka bisa dapatkan.

Wisata makan ala gastronomi yang dimaksud disini bukan gastronomy luxury tetapi gastronomi populer (umum) yang menggunakan produk lokal dan resep tradisional sebagai cakupan artistik seni fusion masakan yang kerap dipakai kalangan masyarakat gastronomic connoisseur. Pelawatnyanya cukup besar terbagi dalam kelompok traveling yang diorganisir oleh biro-biro perjalanan pariwisata. 

Komunitas gastronomi populer berasal dari segala lapisan masyarakat yang mencari, mendapatkan dan menikmati kesenangan melalui makanan dengan melihat persiapan sajian yang dihidangkan, kemudian membahas sejarah, budaya, geografis dan metoda memasaknya.

Pelayanan, dekorasi, sanitasi, presentasi, peranti saji dan penampilan merupakan komponen utama dalam wisata gastronomi. Selain itu dan yang paling penting adalah bagaimana performa dari teknik food plating dan presentasi table settingnya. Cerita sejarah, budaya, geografis, metoda memasak, food plating dan table setting merupakan kunci dari makan ala gastronomi yang umumnya kurang  banyak diperhatikan dalam wisata makan.

Jika Indonesia ingin menargetkan jumlah wisatawan 20 juta per tahun dari 9 juta yang sudah ada sekarang, maka dengan mengangkat elemen wisata makan dan elemen wisata makan ala gastronomi ke dalam promosi pariwisata adalah tidak akan sulit untuk mendapatkan target 11 juta tambahan itu. Belum terlambat, mengingat masa kerja Kabinet masih ada 3 tahun lagi. 

Tabek