Saturday 16 May 2015

Lauk Pauk Ritual Persembahan Masyarakat Hindu-Bali


Dalam keseharian, makanan kerap diterima begitu saja sebagai suatu hal yang biasa. Padahal, dalam suatu kebudayaan makanan sering digunakan sebagai simbol yang bisa jadi memiliki makna sangat luas.

Contohnya di dalam budaya Hindu-Bali yang penuh dengan simbol, hadirnya makanan tertentu dalam suatu ritual nggak bisa sembarangan. Setiap makanan memiliki makna dan fungsinya sendiri. Tentu saja, dalam hal ini seringkali bentuk, rasa, dan warna mempengaruhi makna makanan tersebut.

Dalam setiap ritual Hindu-Bali, makanan sebagai sajen selalu dilibatkan. Boleh dikata tidak ada makanan tanpa ritual, dan tak ada ritual tanpa makanan persembahan. Masyarakat Hindu-Bali percaya, semua yang ada di alam adalah milik Tuhan, untuk Tuhan, manusia, dan alam semesta. Dalam konteks itu, makanan harus hadir sebagai persembahan sebelum dinikmati manusia. Tanpa persembahan, manusia dianggap mencuri milik Tuhan.

Ritual persembahan pun menjadi bagian dari napas kehidupan sehari-hari masyarakat Hindu-Bali. Setiap hari, setiap keluarga menyisihkan makanan yang disantap hari itu untuk saiban atau sajian yang lebih sederhana. Isinya minimal nasi, bawang goreng, dan garam. Saiban dipersembahkan untuk mencuci dosa-dosa yang dilakukan setiap hari pula. Saiban diletakkan di tempat dosa-dosa dilakukan, yakni pintu, talenan di dapur, tempat beras, dan sumur.

Banyak sekali simbol yang bermain dalam makanan persembahan. Karena itu, makanan sesungguhnya adalah teks. Itik persembahan, misalnya, tidak lagi dipandang semata sebagai itik, tetapi simbol sifat kebijaksanaan yang dimiliki itik. Penyu melambangkan alas bumi karena bisa hidup di darat dan di laut. Ayam melambangkan kedinamisan, anjing melambangkan kesetiaan, babi melambangkan kemalasan.

Pembunuhan hewan-hewan untuk upacara juga bukan semata pembunuhan, melainkan ruwat atau penyucian. Kalau hewan itu ditujukan untuk dewa atas, dia menjadi persembahan. Lungsuran persembahan kepada dewa menjadi makanan penuh berkah yang bisa dimakan manusia. Jika ditujukan untuk dunia bawah, dia menjadi hewan kurban yang memberikan kekuatan pada alam semesta. Dengan cara itu, keharmonisan hubungan antara Tuhan, alam semesta, dan sesama manusia terjaga.

Dalam konsep Hindu-Bali, tidak ada kekejaman dalam pembunuhan hewan persembahan. Yang ada justru konsep kasih sayang. Roh-roh hewan yang mati itu diruwat, disucikan, dan ditingkatkan derajatnya agar bereinkarnasi menjadi manusia dalam kehidupan berikutnya.

Berdasarkan konsep itulah, apa pun yang ada di alam bisa dijadikan sarana persembahan atau kurban. Hewan seperti macan juga digunakan untuk ritual. Namun, lazimnya hewan persembahan atau kurban adalah hewan yang bisa dimakan manusia.

Kondisi ekologi tampaknya memberi pengaruh pada isi sajen. Di kawasan pesisir, seperti Negara dan Gilimanuk, hewan laut seperti kepiting, udang, dan ikan masuk dalam sajen. Di Denpasar Selatan, di dalam sajen ada penyu yang diolah sebagai lawar, sate, dan lainnya. Di daerah pedalaman, seperti Dauh Tukad, Tenganan, Karangasem, sajen berisi itik, babi, kerbau atau anjing.

Kategori mana hewan untuk persembahan ke dewa dan dunia bawah tidak selalu sama. Di beberapa daerah, itik hanya digunakan untuk persembahan ke dewa, sedangkan babi untuk butha kala penguasa dunia bawah. Di Daud Tukad, itik digunakan sekaligus untuk dewa dan butha, sedangkan babi untuk dewa. Untuk dewa itik diguling, untuk dunia bawah itik dibakar.

Sejarah perjalanan suatu desa juga memengaruhi pilihan atas hewan persembahan. Masyarakat yang tinggal di Banjar Dadia Puri, Desa Bunutin, Kabupaten Bangli, misalnya, tidak mempersembahkan babi. Sebab, mereka menganggap dirinya keturunan Pangeran Mas Wilis dari Blambangan, Jawa Timur, yang memiliki saudara kembar bernama Pangeran Mas Sepuh. Ketika datang ke Bali bersama Pangeran Mas Wilis abad ke-16, Pangeran Mas Sepuh diperkirakan telah beragama Islam.

Simbol toleransi beragama juga terlihat dari pelinggih (bangunan suci persemayaman dewa) berbentuk langgar di Pura Dalem Jawa, Bunutin.

Begitulah, sajen yang beraneka merupakan cerminan masyarakat Bali yang heterogen. Setiap daerah di pulau ini mendapat sentuhan pengaruh Hindu-Jawa dengan kadar yang berbeda-beda. Maka terbentuklah ruang sosial yang heterogen pula. Adat menjadi suatu realitas yang bisa disebut religius karena didirikan oleh para leluhur.

Dalam konteks makanan, kategori-kategori juga diciptakan berdasarkan pengetahuan pembuatnya, lantas dipraktikkan, disimbolisasi, dan diulang-ulang. Itulah yang membuat makanan dan hewan persembahan berbeda di setiap daerah. Perlakuan terhadap makanan, variasi, simbol, filosofi, dan stratanya juga berbeda. Meski begitu, tetap ada benang merah dalam makanan Bali, yakni nasi, daging, sayur, dan sambal.

Benang merah lain yang mengikat makanan Bali adalah bumbu. Boleh dikata, apa pun masakan Bali, mulai lawar, babi guling, sate lilit hingga ayam / bebek betutu, geneplah bumbunya. Itulah bumbu dasar yang memberi cita rasa khas pada semua masakan Bali. Di dalamnya ada 15 jenis bumbu yang digunakan, termasuk salam, serai, kemiri, dan jeruk limau. Jika bumbu dasar itu ditambah dengan basa wewangen (bumbu rempah) yang terdiri dari lada, pala, jintan, ketumbar, kayu manis, terciptalah basa gede atau bumbu besar yang total terdiri atas 29 jenis bumbu, termasuk kemenyan.

Secara teologis bumbu mencerminkan berbagai sifat manusia. Ketika sifat-sifat itu dipadukan dengan baik, terciptalah rasa yang seimbang. Bumbu juga mencerminkan pertemuan antara laut dan gunung (segara-giri), pesisir dan pedalaman.

Hubungan laut-gunung adalah konsep yang cukup tua di Bali. Temuan wadah kubur (sarkofagus) di Gilimanuk yang dihuni manusia Bali zaman prasejarah mempertegas adanya kontak antara daerah pesisir dan pedalaman. Sebab, bahan sarkofagus berupa batu padas tidak ada di pesisir Gilimanuk, tetapi di pedalaman.

Artikel ini tulisan I Made Asdhiana atas wawancaranya dengan :
- Ida Pandita Mpu Jaya Acharyananda, Rohaniwan Hindu
- I Ketut Donder, Dosen Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
- Putu Ardana, Kelian Adat Desa Dauh Tukad
- Ida Oka Nurjaya, Kelian Pura Dalem Jawa
- I Wayan Geriya, Guru Besar Antropologi Universitas Udayana