".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Sunday 4 July 2021

Pop Culture Sebagai Soft Power GastroDiplomasi Indonesia (Analisa Politik)

Gastronomy is pop culture and we need to listen to it (Betha Ketaren)

Dalam perkembangan trend globalisasi dewasa ini, terjadi fenomena pertukaran dan penyebaran kebudayaan yang bersifat pluralitas, baik langsung maupun tidak langsung, antara satu peradaban dengan peradaban lain. Globalisasi yang terjadi pada dasarnya merupakan tantangan aktual bagi suatu negara untuk menjadi semakin meluas, sehingga kemudian batas antar negara menjadi kabur dan tidak terbatas (borderless). Namun di sisi lain, tantangan itu juga merupakan peluang baru dalam rangka mengedepankan kepentingan suatu negara memperkuat dan memelihara hubungan dengan negara lain. Peluang dan kans ini digunakan sebagai suatu alat untuk melakukan diplomasi soft power berbasis kebudayaan.

Praktik kepentingan itu dilakukan melalui diplomasi yang disesuaikan dengan sumber daya serta kekuatan yang dimiliki guna meningkatkan bargaining position negara. Dewasa ini praktik diplomasi secara global mengalami perubahan dimana penggunaan hard power sudah mulai ditinggalkan dengan banyak mengedepankan soft power. Kekuatan lunak artinya menggunakan kemahiran dan kemampuan sosial dan budaya dalam mewujudkan kepentingan negara.

Sebelumnya perlu diketahui, globalisasi adalah proses integrasi internasional yang terjadi karena pertukaran pandangan, produk, pemikiran, dan kebudayaan. Globalisasi terjadi akibat kemajuan infrastruktur transportasi dan telekomunikasi, termasuk kemunculan telegraf dan internet. Globalisasi semakin mendorong interdependensi manusia dalam aktivitas ekonomi, budaya dan lingkungan alam. Istilah globalisasi itu sendiri digunakan sejak pertengahan tahun 1980-an dan lebih sering lagi sejak pertengahan tahun 1990-an. Proses globalisasi mempengaruhi dan dipengaruhi oleh bisnis serta tata kerja, ekonomi, sumber daya sosial-budaya, maupun lingkungan alam.

Pop culture (budaya populer) adalah salah satu bentuk implementasi globalisasi diplomasi budaya, sebagai sarana memperkenalkan kebudayaan suatu negara ke seluruh dunia, guna membentuk citra negara di mata dunia dan membuat hubungan bilateral lebih intens.

Saat ini pop culture (budaya populer) merupakan tren global sebuah kompetisi antar negara dikarenakan industrinya mampu memberi kontribusi yang signifikan terhadap berbagai sektor ekonomi di masing-masing negara; baik itu dalam kebudayaan, manufaktur, pariwisata maupun pendidikan.

Sekarang bagaimana menerapkan Pop Culture dalam diplomasi budaya Soft Power Indonesia, khususnya di dalam GastroDiplomasi. Sebelum itu perlu dijelaskan secara sepintas mengenai Soft Power dan GastroDiplomasi untuk merangkaikan dengan peran Pop Culture tersebut.

SOFT POWER
Soft power merupakan suatu konsep diplomasi yang dalam bahasa politik merujuk kepada kemampuan menarik dan mengkooptasi, bukan dengan memaksa; dengan melibatkan pembentukan preferensi orang lain melalui daya tarik (appeal) dan daya pemikat (attraction).

Salah satu tokoh yang terkenal dengan konsep soft power yaitu Joseph S. Nye, Jr dari Universitas Harvard.  Pada tahun 1990, Nye mempopulerkan istilah soft power dalam bukunya Bound to Lead: The Changing Nature of American Power dan dalam bukunya tahun 2004 berjudul Soft Power: The Means to Success in World Politics.

Bagi Nye, kekuatan lunak (soft power), bukan propaganda. Konsep power yang dituangkan kaum tradisional bukanlah lagi menjadi kekuatan andalan atau satu-satunya yang dimiliki oleh negara sebagai alat untuk menekan negara lain, hingga menyepakati kebutuhan serta kepentingan negara tersebut. Ketika satu negara membuat negara lain menginginkan apa yang diinginkannya, itu bisa disebut co-optive atau soft power berbeda dengan hard atau command power untuk memerintahkan orang lain melakukan apa yang diinginkannya.

Menurut Nye, soft power merupakan kemampuan yang dimiliki suatu negara untuk mencapai kepentingan yang diinginkan dengan cara persuasif, melalui berbagai aspek seperti sosial, kebudayaan, dan nilai. Bukan melalui penggunaan kekerasan sehingga tidak menuju ke arah militer, perpecahan, hingga perang. Dengan demikian soft power merupakan instrumen bagi negara-negara di dunia untuk menjadi kekuatan baru melalui kebudayaan dengan menyampingkan kekuatan militer.

Soft diplomacy merupakan strategi atau cara yang digunakan oleh suatu negara untuk mewujudkan atau mencapai kepentingan nasionalnya; baik dengan menggunakan pendekatan sosial maupun budaya, termasuk nilai-nilai politik, dan kebijakan luar negeri. Salah satu bentuk implementasinya adalah melalui GastroDiplomacy.

Keanekaragaman budaya yang dimiliki negara-negara di dunia memberikan keuntungan tersendiri; khususnya dalam bidang kuliner atau makanan. Negara-negara di dunia menyadari bahwa mereka memiliki keanekaragaman kuliner yang dapat diolah serta diperkenalkan di kancah internasional, dan tentunya bertujuan untuk mewarisi kebudayaan terhadap mancanegara sehingga tidak hilang dimakan zaman.

GASTRODIPLOMACY
GastroDiplomacy adalah instrumen Gastronomi dalam bagaimana suatu Negara menyentuh hati counterpart mereka dan masyarakat dunia melalui perut. Aktivitasnya dilakukan elit politik & aktor non Negara melalui upacara dan interaksi diplomatik maupun hubungan internasional. Formatnya memakai scope Gastronomi, yakni Food Story, Food Assessment dan Table Manners, meskipun dengan segala variasi uraian namun dua scope terpenting adalah Food Story dan Food Assessment.

GastroDiplomacy dalam prisma politik merujuk kepada salah satu cara atau tindakan yang dilakukan dalam memanfaatkan dan mengolah makanan  yang ada di suatu negara menjadi instrumen atau strategi untuk mencapai kepentingan nasional dengan merasakan sendiri cita rasa masakan yang ada; dan juga masakan tersebut dapat merefleksikan nilai-nilai budaya serta filosofi suatu negara.

GastroDiplomacy dipakai sebagai kekuatan lunak (soft power) untuk meningkatkan branding negara dan mencapai kepentingan nasionalnya. GastroDiplomacy mampu menjadi instrumen suatu negara untuk melancarkan kepentingannya dalam berdiplomasi, atau menjalin hubungan secara baik dengan negara lain.

Banyak negara memanfaatkan makanan sebagai instrumen kekuatan lunak (soft power) untuk meningkatkan citra publik mereka. Selama dua dekade terakhir, terjadi peningkatan jumlah dialog tentang peran makanan tidak hanya dalam membangun hubungan antara budaya dan bangsa, tetapi sebagai bagian dari fondasi budaya dan identitas nasional.

Contoh negara seperti Jepang, Malaysia, Peru, Korea Selatan, Taiwan, dan Thailand, bicara mengenai kekuatan lunak (soft power) itu melalui program GastroDiplomacy mereka, selain untuk kepentingan pariwisata yang ada disana, berupa GastroWisata.

POP CULTURE
Budaya populer atau yang biasa disebut budaya pop (Pop Culture) adalah budaya yang paling banyak diminati, digemari dan dijalani masyarakat pada umumnya yang relevan dengan kebutuhan mereka pada masa sekarang. Pemaknaan terhadap budaya pop adalah budaya massa yang dikenal dan disukai orang banyak karena mudah dipahami dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari hingga dikonsumsi dengan mempraktekkan kebudayaannya.

Secara etimologi, Pop Culture berasal dari bahasa Spanyol dan Portugis, yang memiliki makna merupakan unsur kebudayaan yang bersumber dari rakyat. Berdasar pada perspektif bahasa dan kebudayaan Latin, budaya populer lebih banyak mengarah pada adanya pemikiran- pemikiran tentang perkembangan kebudayaan dari kreativitas orang kebanyakan di masyarakat (Lull and Hinerman, 1997).

Pop Culture merupakan hasil kreasi masyarakat industrial, yang kemudian terjadi interpretasi makna dan hasilnya diwujudkan dalam kebudayaan yang ditampilkan secara dominan, serta didukung dengan kemajuan teknologi produksi, dan penggandaan massal, dengan tujuan agar dapat lebih mudah diakses oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa adanya batasan ruang dan waktu.

Pop Culture adalah mass culture (budaya massal) yang diproduksi secara massal dan dikonsumsi secara massal oleh masyarakat umum serta bersifat pabrikan ada di mana-mana. Budaya ini lebih dikenal karena adanya pengaruh media massa dan globalisasi.

Proses terbentuk atau lahirnya Pop Culture secara sengaja dihasilkan atas kehendak media massa dan perilaku konsumsi masyarakat kebanyakan. Media massa menyampaikan segala sesuatu terkait dengan kemunculannya untuk disesuaikan dengan kondisi dan situasi, sehingga kemudian dikonsumsi oleh masyarakat umum.

Artinya media massa berperan sebagai pembawa budaya pop ke masyarakat luas. Media massa telah memproduksi berbagai jenis produk budaya populer yang dipengaruhi oleh budaya asing dan hasilnya disebarluaskan melalui jaringan global sehingga masyarakat secara sadar atau tanpa sadar telah menyerapnya sebagai suatu kebudayaan yang berkembang. Seringkali dalam kehidupan sehari-hari muncul anggapan budaya pop itu memperdayakan masyarakat. Media massa dalam hal ini lebih tepatnya  berperan sebagai piranti penyalur hiburan dan dapat pula mempermudah masyarakat mencari ataupun menggali informasi yang luas tentang perkembangan kehidupan di segala penjuru dunia.

Kemudian dalam prosesnya, konsumen penikmat budaya pop mengkonsumsi lalu menelaah informasi sebagai bahan untuk menghadapi masalah dalam kehidupan sehari-hari. Disinilah terjadinya proses adopsi oleh masyarakat terhadap budaya populer. Media menjalankan perannya, sebagai penyebarluasan teknologi informasi dan hiburan, juga sebagai institusi pencipta dan pengendali pasar komoditas dalam suatu lingkungan sosial kemasyarakatan.

Pada akhirnya, jenis kreasi dan yang diproduksi beragam dan disebarluaskan melalui peran media, yang kemudian diserap oleh publik sebagai suatu produk kebudayaan. Alhasil berimplikasi pada proses terjadinya syarat interaksi sosial yang erat antara media dan masyarakat. Media massa itu berupa media cetak (surat kabar, majalah, tabloid, dan lainnya), media elektronik (televisi dan radio) dan media sosial (internet).

Faktor globalisasi juga mendorong popularitas Pop Culture, karena globalisasi bersifat mendunia, dan sifat manusia dalam bermasyarakat selalu mengikuti trend modern sehingga menjadikannya sebagai budaya populer. Globalisasi budaya adalah penyebaran gagasan, makna, dan nilai ke seluruh dunia dengan cara tertentu untuk memperluas dan mempererat hubungan sosial. Proses ini ditandai oleh konsumsi budaya bersama yang dibantu oleh internet, media budaya masyarakat dan perjalanan luar negeri.

Selain itu globalisasi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara dikarenakan mengakibatkan suatu Negara mau tidak mau harus melakukan kerjasama dengan negara lain, terutama dalam hal perekonomian, seperti investasi ataupun perdagangan bebas.

Ciri dari budaya populer karena ia menjadi tren; adanya keseragaman bentuk; dapat beradaptasi dengan kondisi yang terjadi; durabilitas yang dapat mempertahankan diri dengan karakteristik maupun keunikan yang melekat kuat, sehingga akan terjadi ketahanan suatu budaya agar terus berkembang di masyarakat, meskipun sudah lama berjalan; serta profitabilitas yang berpotensi menghasilkan keuntungan dalam bentuk materi yang besar bagi industri yang mendukung keberlangsungannya.

Ada beberapa macam budaya populer, diantaranya : Televisi, Fiksi, Film, Surat Kabar dan Majalah dan Musik Pop.

Oleh karena itu, Pop Culture merupakan bagian penting dari konstruksi sosial masyarakat dalam pembentukan persepsi dan pola.

Sebelum melanjutkan mengenai Pop Culture, perlu dijelaskan perbedaannya dengan mass culture dan high culture.

Secara sederhana budaya massa (mass culture) serupa dengan Pop Culture dalam basis penggunanya, yakni melalui masyarakat kebanyakan. Namun, Pop Culture tumbuh dari masyarakat sendiri dan digunakan tanpa niatan awal untuk profit. Sedangkan budaya massa (mass culture) diproduksi lewat teknik-teknik produksi massal industri yang kadang kala bersifat komersial.

Budaya populer merupakan bentuk budaya yang lebih mengedepankan sisi popularitas dan kedangkalan makna atau nilai-nilai. Dengan kata lain, budaya populer lahir atas kehendak media dan perilaku konsumsi masyarakat.

Budaya massa terbentuk sebagai akibat dari kritik atas budaya tradisional, dimana muncul dan berasal dari masyarakat itu sendiri dan tidak terikat atau tergantung pada media massa; walaupun lahir sebagai imbas perkembangan teknologi informasi.

Sedangkan perbedaannya terhadap budaya tinggi (high culture); yang merupakan sebuah bentuk dukungan terhadap kestabilan dan kemapanan nilai-nilai dalam masyarakat; maka Pop Culture bertindak sebagai counter culture yang melawan kemapanan budaya tinggi, dengan memberikan alternatif bagi sebuah perubahan, kemudian menjadi pemersatu unsur-unsur dalam masyarakat.

High culture adalah budaya yang lahir dari kalangan tinggi, sehingga manifestasinya hanya dikhususkan untuk para kalangan atas saja dan tidak dapat dinikmati oleh semua kalangan kebanyakan. Ciri-ciri lainnya dari high culture adalah sifatnya yang mengedepankan ekslusifitas karya dan mempunyai nilai seni yang adiluhung.

Walaupun tanpa niatan awal untuk profit, budaya populer berpotensi mendorong masyarakat cenderung bersifat konsumtif, dikarenakan budaya pop ini dibangun atas logika pasar (transaksional), maka sejatinya apa saja yang tengah populer (ngetrend) dalam suatu masyarakat memiliki agenda yang berujung pada tindakan membeli atau konsumsi. Oleh karena itu pada akhirnya budaya populer menjadi serangkaian piranti hiburan produk yang diperdagangkan untuk kepentingan materi dalam tujuan mencari keuntungan. Meskipun demikian, terkadang di sisi lain, budaya populer diciptakan untuk kepentingan lain, seperti halnya kepentingan dalam menciptakan tipe budaya politik. Hal ini memberikan fakta bahwa budaya populer bertautan pada banyak aspek, seperti kuliner, fashion, politik, dan lain-lain.

Disamping itu, kondisi budaya populer termasuk yang menyebabkan permasalahan sosial budaya di era globalisasi, karena masyarakat lebih cenderung meniru kehidupan masyarakat asing yang sering bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku bagi masyarakatnya.

Kembali lagi, sebagai budaya rakyat, Pop Culture ditentukan oleh interaksi antara orang-orang dalam aktivitas sehari-hari mereka: baik dalam gaya hidup (way of life), gaya berpakaian, penggunaan bahasa gaul, ritual ucapan dan makanan yang dikonsumsi adalah contoh dari budaya populer; yang kemudian diinformasikan oleh media massa.

Contoh fenomena Pop Culture populer dalam masyarakat di dalam maupun luar negeri, antara lain : shopping (mal, restoran atau foodcourt, bioskop, butik dan sebagainya); musikus (Coldplay, Justin Bieber, K-Pop, Oma Irama, Didi Kempot, BTS, Raisa dan Sheila on 7), merk atau brand minuman (coca cola dan teh botol); termasuk juga tren serial TV, film, internet dan berbagai sumber lainnya seperti Instagram, FaceBook, Tik Tok dan ClubHouse. Dalam kehidupan sehari-hari mie instan (indomie dan supermi), minuman bersoda dan segala makanan siap saji (KFC, McD dan Starbuck) yang ada di dalam mal adalah bagian dari Pop Culture.

Seperti disampaikan di kata pengantar, penggunaan pop culture dapat mendorong kemampuan ekonomi menjadi produk industri komersial dan menjadi sarana penghubung terhadap pertumbuhan konsumsi, tidak hanya produk budaya, namun juga produk non budaya. Malahan sejak pertengahan tahun 1990an, menjadi komoditas ekspor,  berupa musik, drama televisi, film, animasi, dan games dengan segala transformasi melalui inovasi-inovasi terbaru hingga kini.

Diplomasi budaya melalui Pop Culture merupakan suatu bentuk diplomasi yang efektif dalam menyebarkan pengaruh soft power negara secara global. Diplomasi publik terkadang berhasil memanfaatkan jaringan penggemar dalam menyampaikan pesan positif dan autentik kepada audiens yang sangat tertarik dan terlibat. Namun begitu sebuah pesan masuk online, maka komunitas diplomat tidak lagi mengendalikannya. Netizen dapat menerimanya, menafsirkannya, dan bahkan memanipulasinya sesuka mereka. Itulah kekuatan Pop Culture melalui media massa.

Dari penjelasan di atas, jelas dapat terlihat Pop Culture mampu menarik dan mengkooptasi masyarakat kebanyakan, bukan dengan memaksa; yakni melalui daya tarik (appeal) dan daya pemikat (attraction). Seperti dikatakan Joseph S. Nye Jr, Pop Culture bukan propaganda, tetapi merupakan tindakan co-optive untuk mencapai kepentingan yang diinginkan dengan cara persuasif. Dengan demikian Pop Culture merupakan instrumen soft power melalui kebudayaan.

POP CULTURE JEPANG DAN KOREA
Pop Culture Jepang dan Korea Selatan adalah bukti fenomena yang penyebarannya sangat luas di dunia; yaitu melalui Cool Japan dan Korean Wave (atau Hallyu). Pop Culture Jepang merupakan produk kultur  yang sarat akan budaya tradisional, mulai dari komik, lagu, pakaian, hingga yang berbau teknologi.  Sedangkan Pop Culture Korea Selatan mencakup berbagai macam penawaran, dimulai dengan drama televisi, video game, dan musik pop. Bahkan sekarang semakin bercabang menjadi film, buku, dan olahraga yang menarik penonton di seluruh dunia.

Pada tahun 2013, ekspor industri pop culture Korea Selatan memiliki nilai sebesar US$11,030,000,000 (Business Korea). Sedangkan pada tahun yang sama, ekspor industri pop culture Jepang memiliki nilai sebesar US$114,000,000, yaitu meningkat sebesar 30% dibandingkan tahun 2012 (Ryo Shimura). Melalui indikator penerimaan pendapatan ekspor tersebut, dapat terlihat kontribusi industri pop culture di masing-masing negara dapat dikatakan tinggi.

Industri kebudayaan di Korea Selatan dan Jepang tidak muncul begitu saja, namun pada dasarnya telah menjadi strategi kebijakan kedua pemerintah dalam upaya pengembangan kebudayaan dan juga dalam bidang high politics antar negara.

Pengaruh budaya global Korea Selatan sudah tidak lagi perlu dipertanyakan. Tahun ini saja, dunia telah melihat boy band populer BTS memecahkan rekor dan merebut penghargaan di seluruh dunia. Film Parasite yang mendapat pujian kritis telah mengukir ruang untuk bioskop Korea,  setelah menjadi film berbahasa asing pertama yang memenangkan hadiah utama di Oscar, dan mendominasi Korea dalam produksi video game yang semakin meningkat di arena esports (portal media) yang populer.

Gelombang Korea mengejutkan penggemar di Asia, kemudian di Amerika Latin dan Timur Tengah, dan akhirnya di seluruh dunia terpikat pada ekspor budaya pop Korea Selatan ini. K-pop atau drama Korea terus menarik penonton di seluruh dunia.

Saat ini Pemerintah Korea fokus beralih ke dampak politik dari jutaan penggemar di seluruh dunia yang bersemangat untuk secara aktif terlibat dengan budaya Korea. Daripada secara pasif membiarkannya; sekarang pemerintah Korea Selatan ingin terlibat aktif dalam membantu mengubah budaya pop yang kuat di negara itu dengan sumber daya lunak lainnya, menjadi kekuatan lunak baru sejati (true soft power) Korea Selatan.

Di berbagai kesempatan, kekuatan lunak itu dilakukan dengan melibatkan influencer selebritas langsung ke acara-acara diplomatik, dengan meminta mereka merekam pesan dukungan sebelum negosiasi besar dilakukan, dan banyak lagi. Saat ini, proses itu tampaknya masih agak  berhati-hati  dan hanya secara acak melibatkan selebritis ke acara-acara politik tingkat tinggi dengan tujuan membawa warna kebijakan luar negeri Korea Selatan.

Kadang-kadang, dukungan pemerintah Korea Selatan ini disalah artikan sebagai dianggap menciptakan gelombang popularitas yang telah dikumpulkan oleh budaya pop Korea Selatan karena telah menjadi terkenal di seluruh dunia. Tetapi akan lebih akurat untuk mengatakan bahwa Pemerintah Seoul menciptakan lingkungan di mana industri film, televisi, dan musik dapat berkembang untuk mendorong agenda kebijakan. Pejabat pemerintah saat ini bekerja untuk menciptakan hubungan antara bintang, penggemar disinkronisasikan dengan tujuan kebijakan luar negeri sebagai transisi dari branding bangsa ke strategi soft power yang lebih dalam.

POP CULTURE DALAM GASTRODIPLOMASI INDONESIA
Makanan atau kuliner adalah bagian dari budaya populer, dimana kepercayaan, praktik, dan tren dalam suatu budaya mempengaruhi praktik makannya. Pop Culture mencakup gagasan dan objek yang dihasilkan oleh suatu masyarakat, termasuk kuliner yang memberi dampak terhadap masyarakat.

Kapabilitas Pop Culture dalam kuliner Indonesia belum tersentuh secara maksimal, apalagi terhadap Gastronomi, GastroDiplomasi dan GastroWisata; padahal kemampuannya cukup tinggi. Kapasitas Pop Culture kuliner sebagai produk industri komersial sangat mumpuni; apalagi jika dikemas sebagai instrumen Soft Power Indonesia.

Memang dari semua produk sosio-budaya Pop Culture yang biasa dijumpai di Facebook, Instagram, Twitter, maupun dunia reality TV hanya sedikit yang menyentuh kehidupan masyarakat dunia secara teratur mengenai makanan atau kuliner Indonesia. Kehebohannya tidak dibangun di media massa dengan menawarkan sehari-hari kepada konsumen dunia. Padahal banyak bukti tentang dampak budaya populer dari kekuatan makanan atau kuliner.

Sebetulnya makanan atau kuliner dan Gastronomi, GastroDiplomasi maupun GastroWisata belum menjadi format dari Pop Culture dunia, walau ada tapi tidak massal. Kuliner Indonesia sendiri sudah mampu menjadi soft power, telah mendunia seperti makanan padang dan lain sebagainya, tetapi belum menjadi Pop Culture dan terkoordinir dengan baik dan terjadi begitu saja; berbeda dengan model kekuatan lunak Korea dan Jepang.

Kalau kita perhatikan, kuliner, Gastronomi, GastroDiplomasi maupun GastroWisata negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand dan Vietnam, cukup dikenal dunia tapi belum juga bisa dikatakan sebagai Pop Culture; meskipun ada pengaruh media massa dan sudah mengglobal.

Persepsi masyarakat dunia terhadap makanan negara tetangga ini belum bisa menjadi pemersatu secara global. Belum menjadi gaya hidup (way of life) dan bahasa gaul yang dikonsumsi dalam aktivitas sehari-hari masyarakat umum. Apalagi promosi makanan negara tetangga itu merupakan upaya diplomasi Pemerintah bersangkutan dalam menyebarkan pengaruh soft power negara. Beda dengan Pop Culture yang lahir karena inovasi masyarakat kebanyakan tanpa ada atau minim intervensi Pemerintah.

Kuliner Indonesia sudah menjadi salah satu sektor strategis, penopang terbesar dan unggulan dalam penerimaan perekonomian kreatif negara. Pada tahun 2017, kuliner telah memberikan kontribusi sebesar 41,40 persen dari total pendapatan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif, yaitu sebesar sebesar Rp 410 triliun.

Pertumbuhan PDB Ekonomi Kuliner 5.06 persen (2016), 5.67 persen (2017) dan 5.61 persen (2018) dengan nilai ekspor Rp.1,217 Milyard (2015), Rp.1,26 Milyard (2016), Rp.1,25 Milyard (2017) dan Rp.1,40 Milyard (2018).

Sampai tahun lalu, kuliner mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar hingga 8,8 juta orang dengan 5,5 juta pelaku industri usaha kuliner atau sebesar 67,7% dari total unit usaha ekonomi kreatif.

Rata-rata tiap tahun kuliner merupakan penyumbang terbesar terhadap total PDB ekonomi kreatif, yakni sekitar 43%. Berdasarkan data Focus Economy Outlook 2020, sepanjang tahun 2020 peringkat pertama diduduki industri kuliner dengan perolehan terbesar, yakni sebesar 41 persen.

Untuk itu, sektor yang paling dekat dengan masyarakat ini sudah seharusnya memanfaatkan Pop Culture sebagai trend global guna menjangkau lebih banyak konsumennya. GastroDiplomasi bisa sebagai perangkat Pop Culture, khususnya dalam meningkatkan kesadaran budaya kulinerisasi Indonesia terhadap demografi Milenial dan Gen Z Indonesia.

Model GastroDiplomasi Pop Culture harus mass culture (budaya massa) tanpa terlalu melibatkan Pemerintah, dengan menggunakan media massa terkait terhadap kemunculan kuliner Indonesia, sehingga kemudian dikonsumsi oleh masyarakat umum. Selain itu harus menjangkau pangsa pasar manca negara untuk mendorong popularitasnya bersifat mendunia supaya menjadi trend budaya populer.

Generasi Milenial dan Gen Z Indonesia diyakini mampu menerjemahkan Pop Culture GastroDiplomasi Indonesia dengan penyebaran gagasan, makna, dan nilai ke seluruh dunia serta dengan cara tertentu untuk memperluas dan mempererat hubungan sosial. Tekniknya bisa dibantu oleh internet, TV, film, dan berbagai sumber lainnya seperti Instagram, FaceBook, Tik Tok dan ClubHouse; selain juga menggunakan influencer secara sukarela.

Pemerintah tidak harus terlibat secara langsung; setidaknya sejak awal. Sebaiknya melepaskan kepada Generasi Milenial dan Gen Z Indonesia yang menjalin engagement secara lebih luas dengan penggemar dan budaya Gastronomi Indonesia, termasuk GastroDiplomasi dan GastroWisata.

Disini akan terlihat keindahan budaya pop gastronomi Indonesia sebagai kekuatan lunak bagi komunitas dunia yang telah bersatu menyatakan minat mereka terhadap kuliner Indonesia yang telah menginspirasi masyarakat secara global. Pop Culture akan menemukan caranya sendiri memanfaatkan minat otentik itu di kalangan penggemarnya, termasuk dengan menciptakan peluang bagi influencer selebritas menggunakan posisi mereka bicara mengenai kebijakan luar negeri Indonesia.

Pemerintah Indonesia dapat memperhatikan potensi Generasi Milenial dan Gen Z pada proyek ini. Bisa saja berafiliasi dengan Pemerintah, namun sifatnya sekedar mendorong sebagai kekuatan lunak, bukan sebagai kurator. Begitu ada interferensi Pemerintah bisa tampak budaya pop tidak autentik lagi, apalagi dalam kepentingan menjangkau popularitas secara global akan membuka komplikasi.

Diyakini Generasi Milenial dan Gen Z Indonesia dapat memanfaatkan banyak aspek kampanye pemasaran budaya pop dalam kekuatan makanan atau kuliner dengan menjelajahi fenomena budaya makanan pop dan bagaimana terhubung dengan apa yang diinginkan masyarakat kebanyakan. Jadikan Generasi Milenial dan Gen Z Indonesia Trendsetter bukan Followers dengan bangkitkan Competitive side mereka untuk menciptakan Identitas bangga sebagai anak Indonesia

Akan tetapi budaya pop Gastronomi, GastroDiplomasi dan GastroWisata Indonesia yang dikembangkan jangan sampai membuka kerentanan yang dapat mempengaruhi kekuatan lunak Pemerintah yang sedang akan berkembang. Diplomasi publik Indonesia harus berhasil memanfaatkan jaringan penggemar ini dengan menyampaikan pesan positif maupun autentik kepada audiens yang sangat tertarik dan intens terlibat dalam Gastronomi, GastroDiplomasi dan GastroWisata Indonesia. Namun begitu sebuah pesan publik dunia masuk ke portal budaya pop Indonesia, Pemerintah tidak lagi mengendalikannya. Netizen dunia dapat menerimanya, menafsirkannya, dan bahkan memanipulasinya sesuka hati mereka.

Semoga bermanfaat
Tabek
Betha Ketaren (Indra)

Referensi Artikel:
1. Economic Effects of Korean Wave Underwhelming for Past 15 Years, Business Korea, 28 Juli 2014
2. James Lull and Stephen Hinerman, Media Scandals: Morality and Desire in the Popular Culture Marketplace. Cambridge, Polity Press
3. Joseph S. Nye Jr : Bound To Lead: The Changing Nature Of American Power, Basic Books, 1991
4. Joseph S. Nye Jr : Soft Power, The Means To Success In World Politics, Paperback - April 27, 2005, BBS PublicAffairs
5. Ryo Shimura, “Exports of Cool Japan Anime, Dramas Jump 30%, Asahi Shimbun, 6 Desember 2014