".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Tuesday 29 June 2021

Format Kuliner Indonesia (Analisa Politik)

Semenjak makanan menjadi pembicaraan hangat dalam masyarakat, belum ada sampai sekarang kesepakatan apa sebenarnya potret makanan Indonesia. Ramai representasi makanan (atau kuliner) ditampilkan, tetapi riuh rendah ditanggapi, malah citra itu diabaikan oleh sebagian kelompok masyarakat.

Bisa dikatakan sampai sekarang belum terlihat jawabannya, walaupun sudah ada political will dari Presiden Indonesia dengan menempatkan makanan sebagai salah satu 4 (empat) pilar diplomasi (Rapat Terbatas tanggal 27 September 2016 & tanggal 3 Februari 2017), tetapi kenyataan representasi makanan (atau kuliner) Indonesia belum berhasil di formulasikan.

Semenjak 17 tahun lalu, Indonesia meletakan 3 (tiga) dasar rumusan makanan berupa kampanye 30 (tiga puluh) IKTI (Ikon Kuliner Tradisional Indonesia), Diplomasi Soto (76) dan 5 (lima) Kuliner Indonesia. Usia ketiganya pun hanya sebatas masa jabatan penguasa (pejabat) bersangkutan, alias tidak berkelanjutan dan bertahan lama, seperti yang dimiliki Thailand (Tom Yam), Vietnam (Pho), Korea Selatan (Kimchi) dan lain sebagainya.

Selain itu, sebagian besar masyarakat di daerah menganggap ketiga rumusan yang ditampilkan selalu berkisar yang itu-itu saja, yang terkesan selalu bersaing dengan simbol-simbol kebudayaan tertentu yang mendominasi. Nama-nama makanan itu belum bisa diterima sebagai representasi produk keaslian masakan mereka, meskipun ada di daerah tersebut, tetapi dianggap sebagai makanan pendatang yang bukan menjadi andalan.

Bagi masyarakat, makanan adalah soal kebanggaan dan harga diri yang menyembunyikan arogansi fenomenal yang sangat kental kepribadiannya, apalagi pengakuan sebagai suatu bangsa. Mesti disadari, tampilan makanan dari satu pihak, akan membawa dorongan dan hasrat kepada pihak lain minta ikut di dalam tampilan tersebut, apalagi kalau sering dan kerap tampilan makanannya itu-itu saja.

Pertanyaannya, begitu sulitkah menentukan potret makanan Indonesia, padahal negeri ini sangat kaya akan seni dapur masakan.

Dengan populasi sebesar 270 juta lebih yang terdiri dari 1334 suku dan sub suku, termasuk etnis pendatang, negara ini mempunyai kekuatan puluhan ribu seni dapur masakan.

Disamping itu, Indonesia memiliki wilayah garis seni boga (makanan) yang beraneka ragam dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Miangas sampai Pulau Rote; yang masing-masing mempunyai rasa dan aroma yang berbeda satu sama lain.

Belum lagi jika bicara mengenai kekayaan sumber hayati bumi yang merupakan nomor dua di dunia dengan 77 jenis karbohidrat, 75 jenis sumber lemak/minyak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, 40 jenis bahan minuman, dan bumbu-bumbuan.

Negeri ini memiliki kekayaan keragaman lebih dari 1,000 jumlah spesies tanaman sayuran, buah, 110 jenis rempah-rempah dan flora nomor dua di dunia yang tidak tumbuh di negara lain.

Apalagi kuliner Indonesia punya kisah mengenai sejarah dan budaya, baik tangible dan intangible.

Selain itu, Indonesia punya prestasi tersendiri kepada dunia mengenai seni dapur makanannya, seperti Rijsttafel. Rempah kepulauan Nusantara pun tercatat telah mengubah revolusi cita rasa bumbu masyarakat dunia; yang awalnya berkembang di Eropa.

Dengan modal kekayaan dan prestasi seperti di atas, apa yang menjadi persoalan hingga sampai kini negeri ini belum mampu melahirkan purwarupa makanan Indonesia.

Bisa dikatakan selama ini, pihak-pihak yang terlibat memformulasikan makanan Indonesia sekedar memahami sebatas perjalanan sejarah kepulauan Nusantara. Mereka tidak memahami ada dimensi berikutnya, berupa matra kuliner bangsa di negara yang bernama Indonesia. Dengan demikian jika memformulasikan format kuliner Indonesia, seharusnya kedua pola di atas menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Artikel ini mencoba memaparkan secara komprehensif kedua pola di atas, yang seyogyanya dapat dipertimbangkan selanjutnya sebagai koridor dalam merumuskan makanan Indonesia. Interpretasi dimulai dengan mendeskripsikan sejarah pra-Indonesia, semasa disebut kepulauan Nusantara, dan saat di reka bangun menjadi negara bernama Indonesia.

Harap dipahami catatan mengenai pra-Indonesia diberikan secara komprehensif tetapi ringkas, agar dipahami riwayat sejarah politiknya dalam kepentingan dikaitkan nanti dengan format kuliner Indonesia.

Diharapkan dengan penjelasan yang disampaikan bisa membuka kaca mata lebih luas dalam kepentingan merumuskan format makanan (atau kuliner) di negeri ini.

SEPINTAS MENGENAI NUSANTARA
Pada masa sebelum kekuatan Eropa Barat menguasai daratan dan perairan Asia Tenggara, belum ada Indonesia. Namun pastinya jaringan perdagangan terpadu telah berkembang sedemikian rupa di kawasan ini, terhitung sejak awal permulaan sejarah Asia.

Nusantara yang kita kenal sekarang sebagai Indonesia, terdiri dari pulau-pulau dan tanah yang dikuasai oleh berbagai kerajaan dan kesultanan yang masing-masing diperintah oleh raja dan sultan besar. Kadang-kadang mereka hidup berdampingan dengan damai, dan biasa juga terlibat dalam kompetisi dan berperang satu sama lain. Semasa itu bisa dikatakan, Nusantara yang luas kurang memiliki rasa persatuan sosial dan politik seperti yang dimiliki Indonesia sekarang.

Wilayah Nusantara kaya akan komoditas dan daya alamnya yang berlimpah. Selain juga ada 4 (empat) selat (laut diantara pulau-pulau), yakni selat Malaka, selat Sunda, selat Lombok dan selat Makassar; yang merupakan akses utama dan jalur strategis perdagangan ekonomi dunia. Bagi raja dan sultan, menguasai komoditas, daya alam dan kontrol terhadap selat merupakan aset penting mendapatkan kekayaan, kekuatan dan pengaruh besar.

Pesona akan kekayaan tersebut, terutama rempah dan keempat selat, membuat bangsa asing tergiur datang. Suatu perkembangan yang akhirnya mengarah pada kondisi pendudukan (okupasi) untuk menguasai sumber daya alam bagi keperluan pemasukan devisa. Semasa itu berbagai kerajaan dan kesultanan menghadapi dengan gagah berani infiltrasi kekuatan asing, seperti Belanda, Spanyol dan Portugis.

SEPINTAS MENGENAI BELANDA
Rentang waktu 350 tahun lamanya kawasan Nusantara kedatangan bangsa asing. Dimasa itu, tidak ada satupun kerajaan dan kesultanan dikuasai bangsa asing. Lebih tepat dikatakan mereka menjelajah (explore) dan berhasrat menguasai (dominate) daripada menjajah (colonize) untuk kepentingan ekonomi, yakni berdagang rempah-rempah.

VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) adalah perusahaan kongsi perdagangan Belanda yang mencoba keberuntungan mereka berbisnis dengan rakyat di kepulauan Nusantara. VOC didirikan pada tahun 1602 merupakan persekutuan dagang Belanda yang memiliki hak monopoli aktivitas perdagangan di Asia. VOC sering dianggap sebagai perusahaan multinasional pertama di dunia sekaligus perusahaan pertama yang mengeluarkan sistem pembagian saham.

VOC perlu dibedakan dari Pemerintah Kerajaan Belanda, karena VOC lebih bersifat sebagai perusahaan daripada mewakili kerajaan. Dalam konteks menguasai (dominate), VOC hanya memiliki hak monopoli dagang dengan menjadikan Batavia sebagai markas, sedangkan teritori politik (political territory) masih dikuasai oleh kerajaan dan kesultanan lokal di Nusantara.

Namun lambat laun, Pemerintah Kerajaan Belanda ingin juga memonopoli perdagangan rempah, yang berakibat muncul keinginan menguasai wilayah Nusantara. Hal ini semakin terlihat, ketika VOC pada tahun 1800, dibubarkan Pemerintah Kerajaan Belanda dan daerah-daerah di bawah kekuasaan VOC diganti nama menjadi Hindia Belanda.

Gelagat Belanda tercium raja dan sultan di Nusantara, sehingga memunculkan tekad melakukan perlawanan bersenjata dimana-mana kepada Belanda yang mulai melakukan pemaksaan kehendak.

Belanda juga tidak serta merta menguasai seluruh wilayah. Bisa dikatakan selama Belanda berupaya menguasai Nusantara, tidak henti-hentinya kerajaan dan kesultanan yang ada di bumi Nusantara melakukan perlawanan.

Maraknya penentangan menolak intervensi Belanda muncul di berbagai wilayah di bumi Nusantara. Bisa dikatakan masa pendudukan (okupasi) Belanda tidak bisa digeneralisasikan untuk semua kawasan Nusantara, karena setiap daerah memiliki masa waktu berbeda dikuasai bangsa asing. Baru pada tahun 1914, Belanda bisa menguasai sebagian besar daerah kawasan Nusantara.

Prof. GJ Resink, seorang sejarawan UI pernah menerbitkan buku berjudul Indonesia Tidak Dijajah 350 Tahun mengatakan bahwa yang benar adalah Belanda membutuhkan waktu 300 tahun untuk menaklukkan beberapa daerah di Hindia Belanda.

Sementara itu Erond Damanik merujuk pada pendapat GJ. Resink Tahun 1987 dalam bukunya Raja dan Kerajaan Yang Merdeka Di Indonesia Tahun 1850-1910. Disebutkan dalam kurun waktu tahun 1850 hingga 1910, masih banyak daerah di bumi Nusantara masih merdeka atau belum diduduki Belanda.

Jadi timbul pertanyaan, sejak kapan bumi Nusantara sebenarnya dijajah oleh Belanda ?

Dr Sri Margana dari Universitas Gajah Mada mengatakan hitungan bumi Nusantara dijajah adalah setelah VOC bangkrut dan diambil alih oleh pemerintah kolonial Belanda. Masa VOC tahun 1602-1800 bukanlah masa kolonial tapi masa kapitalisme. Sehingga, merujuk pemikiran Sri Margana, penjajahan baru dimulai pada tahun 1800.

Dr Lilie Suratminto dari Universitas Indonesia mengatakan bumi Nusantara hanya dijajah selama 126 tahun. Hitungannya adalah masa kolonial Belanda berlangsung dari 1800-1942, yakni selama 142 tahun. Dan di sela-sela itu, masa penjajahan Belanda dikurangi oleh masa kolonial Prancis (1800-1811) dan Inggris (1811-1816). Praktis Belanda murni menjajah Indonesia sebanyak 126 tahun.

Pertanyaan kedua, sejak kapan sebenarnya Indonesia dijajah oleh Belanda ?

Zainal C. Airlangga mengatakan Indonesia hanya dijajah Belanda selama 4 tahun. Karena secara de facto dan de jure, Indonesia baru ada menjadi Negara Republik pada tahun 1945. Yakni melalui agresi militer Belanda I dan II, juga pergolakan di daerah-daerah.

Bagaimana dengan pidato Presiden Soekarno yang mendengungkan Lebih Menderita Dijajah Jepang Selama 3,5 tahun Daripada Dijajah Belanda 3,5 Abad. Pidato Bung Karno yang menyebut penjajahan Belanda selama 350 tahun tidak bisa disalahkan, karena waktu itu beliau hendak mengobarkan semangat nasionalisme.

Kolonialisme Belanda berakhir pada tahun 1942 ketika Hindia Belanda diserbu dan diduduki oleh bala tentara Jepang.

SEPINTAS MENGENAI INDONESIA
Konsep politis Indonesia belum ada di abad 19. Pada abad ke-16, ketika Portugis dan Belanda tiba ke daerah Nusantara, Indonesia belum merupakan sebuah entitas politik maupun wujud sebuah ketatanegaraan. Sebelum dikonstruksi sebagai konsep politis, kata Indonesia banyak digunakan dalam pemikiran kalangan antropologis, terutama kalangan barat, yang tidak pernah dikaitkan dalam domain ketatanegaran.

Oleh karena itu mengenai definisi politis pada abad ke-16 sudah jelas Indonesia belum ada, karena pada hakikatnya perlawanan yang dilakukan kerajaan dan kesultanan adalah untuk kepentingan wilayah kekuasaan mereka masing-masing. Notabene mereka bukan berjuang atas nama Indonesia, karena kerajaan dan kesultanan itu masih terpisah satu sama lain tanpa dikenal sebagai satu kesatuan wilayah Indonesia.

Hanya saja perlawanan kerajaan dan kesultanan itu kenyataannya dimasukan sebagai kesepakatan politik dalam catatan sejarah kemerdekaan Indonesia.

Negara Republik Indonesia lahir akibat okupasi (pendudukan) Pemerintah Hindia Belanda. Pada hakekatnya, Indonesia merupakan bangsa baru (new nation) yang konsep fenomenanya secara politik dibentuk dan berkembang pada abad 20, yang kita kenal sekarang sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kata Indonesia secara politis, dicetuskan dalam Manifesto (Maklumat) para pelajar Indonesia di Belanda pada tahun 1924, yang momentum ini mendapat sambutan hangat dari golongan nasionalis di dalam negeri yang kemudian mereka gunakan sebagai ekspresi politik perjuangan kebangsaan.

Puncak perkembangan nama Indonesia baru populer pada saat dicetus Sumpah Pemuda tahun 1928; pada saat dibacakan Sumpah Pemuda yang dipimpin Budi Utomo. Sumpah Pemuda adalah tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia yang merupakan kesepakatan politik semua suku dan sub-suku untuk bersatu, termasuk etnik pendatang.

Ikrar Sumpah Pemuda dianggap sebagai kristalisasi semangat menegaskan cita-cita berdirinya negara Republik Indonesia yang puncaknya berbuah menjadi Proklamasi Kemerdekaan pada hari Jumat, 17 Agustus 1945. Teks Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia dibacakan Soekarno didampingi Mohammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat.

Sebagai Negara yang merdeka dengan tanah air yang berdaulat, maka persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia disepakati melalui ikatan politik, yaitu Pancasila dengan ikatan hukum Undang-Undang Dasar 1945, selain oleh satu ikatan bahasa Indonesia.

Berhimpunnya suku dan sub-suku ke dalam negara yang bernama Indonesia adalah bukti mereka sejatinya bukan berasal dari suku dan sub-suku bangsa yang sama. Masing-masing suku dan sub-suku mempunyai perjalanan kesejarahan yang berbeda, meskipun ada yang sama.

Selain itu, konstruksi peradaban budaya masing-masing suku dan sub-suku masih tetap dipertahankan karena merupakan produk kearifan lokal leluhur yang tidak bisa disatukan ke dalam satu ikatan kesatuan kebangsaan negara bernama Indonesia.

Peradaban budaya itu menjadi kekayaan untuk saling melengkapi dan saling mendukung terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ungkapan sederhananya "dititipkan".

SEPINTAS KULINER NUSANTARA
Salah satu peradaban budaya yang tetap dipertahankan masing-masing suku dan sub-suku adalah seni dapur makanan (boga), selain adat istiadat, seni tari, seni berkain (tenun, batik dan ikat) dan lain sebagainya.

Oleh karena itu sangat sulit mengatakan Indonesia memiliki kartografi seni dapur makanan yang serupa satu sama lain. Kemiripan bisa, tapi bukan kesamaan.

Sebagai contoh, negeri Thailand dan Korea Selatan berasal dari satu rumpun kesukuan dan sub-suku yang sama, sehingga memiliki seni dapur makanan, bumbu, rempah dan cita rasanya yang sama, baik itu di belahan barat, timur, utara dan selatan dari kedua negara.

Kesamaan itu disebut sebagai Garis Seni Boga sehingga mudah menentukan peta seni dapur profil makanan (boga) kedua negara ini. Indonesia tidak demikian. Garis Seni Boga Indonesia tidak satu dan masing-masing suku dan sub-suku punya keunikan tersendiri yang berbeda walaupun ada yang memiliki kesamaan.

Perhatikan dari sisi barat, timur, utara dan selatan Indonesia, masing-masing punya bumbu, rempah dan citarasa yang berbeda. Ada daerah-daerah tertentu di Indonesia yang suka masakan pedas, manis, natural (bening). Ada yang suka cabe. Ada yang menggunakan andaliman (sebagai cabai atau merica) dan macam-macam lainnya.

Dengan demikian, jika bicara mengenai seni dapur Indonesia, perlu ditelusuri terlebih dahulu Garis Seni Boga-nya, karena format makanan Indonesia adalah prototip dan arketip makanan kepulauan Nusantara, yang sejatinya merupakan kumpulan dari berbagai makanan daerah yang dikonsumsi oleh golongan etnik tertentu dengan wilayah yang spesifik.

Prototip atau purwarupa adalah model asli atau rupa awal warisan seni dapur masakan yang mula-mula ada yang dititipkan kemudian dikembangkan menjadi standar ukuran masyarakat bernegara yang bernama Indonesia.

Sedangkan arketip merupakan gagasan, pola pemikiran, pola perilaku, filosofis, sikap, serta emosi kesadaran masyarakat mengenai ide warisan seni dapur masakan yang ada dan disepakati secara kolektif diterima keberadaanya dan dititipkan ke dalam masyarakat bernegara yang bernama Indonesia.

Dengan begitu seni dapur makanan Indonesia merupakan resep yang diperoleh secara turun temurun dengan bahan yang digunakan berasal dari daerah setempat. Diolah dan diproses dengan kebiasaan masyarakat setempat dan dihasilkan sesuai selera masyarakat setempat. Dalam perkembangannya juga dipengaruhi oleh masyarakat etnik pendatang (Arab, Belanda, India, Portugis dan Tionghoa).

Asal usul kekayaan resepi makanan ini bukan sejatinya milik negara bernama Indonesia, tetapi merupakan harta karun masyarakat kepulauan Nusantara yang terpisah satu sama lain yang kemudian dimanifestasikan dalam payung kebangsaan.

Sekali lagi dikatakan, kekayaan seni dapur makanan Nusantara secara de facto dimasukan sebagai amanat kesepakatan politik dalam catatan sejarah kuliner Indonesia. Sedangkan hak milik kekayaan intelektual budaya kuliner masih tetap dipertahankan masing-masing suku dan sub-suku.

Dalam bahasa Gastronomi, peradaban budaya kuliner masyarakat Nusantara tersebut disebut sebagai Local Regional Specialties (Makanan Khas Daerah Setempat).

RUMUSAN KULINER INDONESIA
Seperti disampaikan di atas, Indonesia adalah sebuah bangsa baru (new nation) yang lahir akibat okupasi (pendudukan) Pemerintah Hindia Belanda. Konsep fenomenanya secara politik dibentuk dan berkembang pada abad 20, yang kita kenal sekarang sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kesepakatan berdiri sebagai negara didasari atas Ikrar Sumpah Pemuda dan Teks Proklamasi Kemerdekaan yang diaplikasikan melalui ikatan politik, yakni Pancasila, dan ikatan hukum, yakni Undang-Undang Dasar 1945. Bisa dikatakan semenjak 76 tahun sebagai negara, Indonesia masih dalam proses memperkuat karakter, identitas dan peradabannya sebagai sebuah bangsa, mengingat perjalanannya masih panjang, kegagalan akan terjadi kapanpun.

Termasuk dalam mengelola peradaban budaya masyarakat, karena merupakan produk sivilisasi kearifan lokal leluhur yang tidak bisa disatukan ke dalam satu ikatan kebangsaan negara bernama Indonesia.

Formasi kekayaan peradaban budaya kuliner Indonesia merupakan konglomerasi dari berbagai rampai makanan masyarakat daerah kepulauan Nusantara.

Sebagai suatu bangsa, saat ini kuliner warisan Nusantara itu menghadapi tantangan untuk diterjemahkan sebagai kuliner baru (new culinary) atas nama Indonesia. Tidak bisa disatukan seperti Thailand, Korea Selatan dan Vietnam yang berasal dari satu rumpun kesukuan dan sub-suku yang sama.

Negara tetangga Indonesia ini memiliki seni dapur makanan, bumbu, rempah dan cita rasanya yang sama; baik itu di belahan barat, timur, utara dan selatan dari kedua negara. Kesamaan itu disebut sebagai Garis Seni Boga,  sehingga mudah menentukan peta seni dapur dari profil makanan (boga) ketiga negara itu.

Garis Seni Boga Indonesia tidak sama dan punya keunikan tersendiri, meskipun ada persamaan di wilayah lain; baik itu dalam rasa, warna, teksture, aroma, konsistensi, bentuk dan lain sebagainya.

Perhatikan dari sisi barat, timur, utara dan selatan Indonesia, masing-masing punya bumbu, rempah dan citarasa yang berbeda. Ada daerah-daerah tertentu di Indonesia yang suka masakan pedas, manis, natural (bening). Ada yang suka cabe. Ada yang menggunakan andaliman (sebagai cabai atau merica) dan macam-macam lainnya.

Terkait rumusan format kuliner Indonesia yang selama ini diajukan, pengalaman menunjukan gatra pola makanan yang ditampilkan sekedar memahami sebatas perjalanan sejarah kepulauan Nusantara. Mereka tidak menyadari ada dimensi pola makanan berikutnya, berupa matra sebagai bangsa di negara yang bernama Indonesia.

Kenyataan menunjukan, model 3 (tiga) kampanye, yakni 30 (tiga puluh) IKTI (Ikon Kuliner Tradisional Indonesia), Diplomasi Soto (76) dan 5 (lima) Kuliner Indonesia; adalah contoh rumusan format kuliner yang hanya memahami perjalanan sejarah kepulauan Nusantara.

Diksi IKTI terhadap kata Indonesia tidak menyambat ke 30 (tiga puluh) nama-nama makanan dan terkesan kurang mewakili kepentingan masyarakat lain. Terlebih lagi diksi kata Tradisional tidak bisa membedakan mana yang tradisional, mana yang akulturasi dan mana yang mimikri. Semua disamaratakan dengan sebutan sebagai makanan tradisional. Terhadap Diplomasi Soto, tidak semua suku dan sub-suku di negeri ini mempunyai kuliner soto, sehingga keterwakilan mereka tidak ada dalam rumusan itu.  Sedangkan mengenai 5 (lima) Kuliner Indonesia lebih kurang mirip dengan IKTI.

Bisa dikatakan ketiga model rumusan kampanye itu belum bisa diterima masyarakat sebagai representasi makanan Indonesia. Meskipun ketiga rumusan itu ada di daerah tersebut, tetapi dianggap sebagai makanan pendatang yang bukan menjadi andalan. Dapat dimafhumi sebagian masyarakat menganggap ketiga rumusan selalu berkisar nama makanan itu-itu saja yang bersaing dengan simbol kebudayaan tertentu yang mendominasi.

Perlu disadari, bagi masyarakat daerah, makanan adalah soal kebanggaan dan harga diri yang menyembunyikan arogansi fenomenal yang sangat kental kepribadiannya, apalagi pengakuan sebagai suatu bangsa. Tampilan makanan dari satu pihak, akan membawa dorongan dan hasrat kepada pihak lain minta ikut di dalam tampilan tersebut, apalagi kalau sering dan kerap tampilan makanannya itu-itu saja.

Usia ketiga rumusan itu pun sebatas masa jabatan penguasa (pejabat) bersangkutan, alias tidak berkelanjutan dan bertahan lama, seperti yang dimiliki Thailand (Tom Yam), Vietnam (Pho), Korea Selatan (Kimchi) dan lain sebagainya.

Bisa dibilang, kuliner sudah mampu menjadi soft power  Indonesia, sudah mendunia seperti makanan padang dan lain sebagainya, tetapi belum terkoordinir dengan baik dan terjadi begitu saja; berbeda dengan model kekuatan lunak Korea dan Jepang.

Dengan demikian sudah saatnya dibuat garis tegas  bagaimana seharusnya rumusan format kuliner Indonesia agar mudah dipahami dan diterima semua pihak di negeri ini. Disarankan kedua pola ini (gatra dan dimensi) yang disampaikan di atas, bisa menjadi pertimbangan sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan, karena bagaimanapun harus disadari peradaban budaya kuliner itu adalah titipan segenap masyarakat kepulauan Nusantara kepada penguasa bangsa Indonesia saat menyatakan kemerdekaannya.

FORMAT KULINER INDONESIA
Atas dasar penjelasan di paragraf Rumusan Kuliner Indonesia, sudah saatnya dipertimbangkan format kuliner Indonesia disusun secara terstruktur dengan menggabungkan pola sejarah makanan kepulauan Nusantara dengan pola sebagai bangsa di negara yang bernama Indonesia.

Kuliner Indonesia bukan sekedar resep memasak atau sebatas icip-icip, atau prototype nama makanan, malah bukan pula semata bicara mengenai identitas atau prestise restoran dan pemasak serta chef selebriti.

Makanan Indonesia merupakan akal budi dan perspektif pemikiran budaya, yang punya cerita atau kisah, baik mengenai falsafah dan filosofi yang di dalamnya terkandung sejarah amanah dan petuah asal muasal bangsa Indonesia.

Perlu disadari, makanan membentuk karakter, jati diri dan identitas kebangsaan yang kalau dikemas kedalam bahasa politik merupakan wawasan kebangsaan, yang lahir dari kearifan lokal masyarakat nusantara. Pada hakikatnya, makanan adalah cetak biru budaya yang menjadi simbol, ritual dan adat masyarakat kepulauan nusantara.

Selain itu, disarankan format kuliner Indonesia nantinya tidak secara langsung memperkatakan nama makanan, seperti rumusan 30 IKTI, Soto Diplomasi (76) dan 5 (lima) Kuliner Indonesia, yang memakai model perjalanan sejarah kepulauan Nusantara.

Secara literal, format kuliner harus memasukan dimensi dirinya sebagai bangsa di negara yang bernama Indonesia; selain gatra kuliner dalam perjalanan sejarah kepulauan Nusantara. Kedua pola ini harus menjadi satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan yang kegunaanya akan membantu memperkuat karakter dan peradaban Indonesia sebagai bangsa.

Secara harfiah, gabungan kedua pola akan mampu menjelaskan prototip dan arketip makanan masyarakat kepulauan Nusantara dalam koridor negara yang bernama Indonesia.

Disamping itu, pada dirinya sendiri, format kuliner Indonesia harus mempunyai 2 (dua) elemen, yakni :
i. Tema brand sebagai bangsa di negara yang bernama Indonesia
ii. Penerjemahan atau turunannya dengan memasukan makanan kepulauan Nusantara.

Tema brand ini merupakan jargon kuliner Indonesia yang akan mengakomodasi, mewakili dan menampung semua peradaban budaya makanan bangsa sebelum merdeka. Sekali lagi perlu disadari, bagi masyarakat, pengakuan makanan daerah mereka adalah simbol kebudayaan, kebanggaan dan harga diri yang melafalkan arogansi fenomenal yang sangat kental kepribadiannya.

Dengan demikian format kuliner Indonesia diusulkan mengandung 2 (dua) elemen dalam satu kesatuan, yakni :

Elemen Pertama, adalah tema brand sebagai representasi mewakili kultur makanan kepulauan Nusantara yang mempunyai unsur keseimbangan alam dan bumi. Tema brand ini  merupakan dasar paleo-keahlian seni memasak yang membentuk dan melahirkan enkulturasi masyarakat Nusantara selama hidupnya.

Filosofi tema brand melambangkan simbol sejarah, budaya dan lanskap geografis kearifan lokal etnogastronomi masyarakat Nusantara, sehingga menghasilkan suatu kesatuan karakter dan memberi kesan dinamis maupun futuristik sebagai bangsa Indonesia.

Selain itu, kekuatan tema brand adalah ungkapan terhadap branding power makanan Indonesia yang diterjemahkan bukan atas prototype nama makanan, tetapi terhadap emosi, personality, identitas, prestise serta kekuatan dari seni dapur masakan kepulauan Nusantara.

Oleh karena itu, deskripsi gambaran tema brand dapat direpresentasikan dengan 2 (dua) komponen, yaitu:
i. Pedas yang mewakili semua makanan yang ada di seluruh kepulauan Nusantara.  Bisa dikatakan, di hampir semua makanan masyarakat Nusantara ada rasa pedas alami dan ada rasa pedas manis.

ii. Rempah Nusantara yang sudah tercatat kemasyhurannya di banyak manuskrip kuno sebagai bagian penting dalam pembentukan peradaban marcapada nusantara. Rempah Nusantara (Kayu Manis, Lada, Pala, Bunga Pala dan Cengkeh) pun tercatat telah mengubah revolusi cita rasa bumbu masyarakat dunia; yang awalnya berkembang di Eropa. Selain itu, bumbu rempah Nusantara tidak bisa dilepaskan dari keseharian hidup masyarakat Nusantara, dimana naskah Ramayana, pada abad ke-10, menyebutkannya sebagai aksesori utama menu masakan sejak abad Jawa kuno.

Dengan demikian elemen pertama format kuliner Indonesia adalah mengenai tema brand yang diterjemahkan ke dalam simbolik pedas (spicy) dan rempah (spices), sebagai rasa alami masakan bangsa. Mengenai diksi tema brand, terpulang dari masing-masing pihak menentukan frasanya, asalkan tetap terkait dengan simbolik pedas dan rempah.

Suatu contoh narasi bisa melihat tema Thailand - Kitchen Of The World menjadikan brand ini diakui dunia dengan representasi belasan ribu restoran mereka di dunia. Tema brand itu telah mengakomodasi produk pertanian negeri gajah putih yang diekspor ke berbagai belahan dunia sejauh ada restoran mereka.

Kepentingan utama tema brand tersebut adalah untuk membantu ekspor produk pertanian secara global dan menjadikan kuliner maupun gastronomi wisata Thailand mendunia. Sedangkan filosofinya sederhana saja, yakni dalam satu payung tema brand bisa menampung semua keperluan. Tema brand itu diluncurkan secara global pada tahun 2002 yang bertahan sampai sekarang dan masih cukup relevan di media dunia.

Elemen Kedua, bagaimana menerjemahkan kuliner kepulauan Nusantara masuk ke dalam tema brand. Bisa dikatakan ada begitu banyak kuliner di kepulauan Nusantara, sehingga sulit menentukan mana yang bisa dijadikan referensi, apalagi hampir sebagian besar kuliner di Nusantara belum tersusun dengan baik.

Situasi ini bisa dimaklumi melihat begitu banyak seni dapur kepulauan Nusantara, serta kurang diselidiki secara mendalam asal usul sejarah dan budayanya. Sebagai catatan, Indonesia mempunyai lebih dari 300 kelompok suku bangsa, atau tepatnya 1.335 suku dan sub-suku bangsa, belum termasuk etnik pendatang (Arab, Belanda, India, Portugis & Tionghoa). Jika 1 (satu) suku dan sub-suku mempunyai minimal 30 (tiga puluh) jenis makanan (mulai dari makanan ringan, makanan berat, buah lokal serta minuman herbal), akan terdapat puluhan ribu. Sedangkan catatan resmi, berupa ensiklopedia, mengenai jenis makanan itu tidak ada sehingga secara perlahan akan hilang dari ingatan masyarakat.

Oleh karena itu jika menerjemahkan kuliner ke dalam tema brand, pastinya harus bisa mewakili semua kultur makanan yang pernah ada di kepulauan Nusantara, sebelum menjadi negara bernama Indonesia. Artinya, elemen kedua bicara mengenai signature dish (hidangan khas) yang unik dan tidak ada duanya, baik dari segi rasa, bahan maupun presentasi. Tolak ukur (benchmark) signature dish adalah tentang masakan andalan yang mempunyai nama sebagai jurus pamungkas.

Signature dish yang ditampilkan harus merupakan karya klasik yang mempunyai sentuhan emosional dan aktual yang kuat. Bisa memainkan banyak racikan untuk menjadi pengalaman baru bagi penikmat, pecinta dan pemerhati hidangan makanan (food connoisseur). Signature dish harus juga merupakan karya yang sarat akan karakter dan menjadi ciri khas yang melekat bagi kebanyakan masyarakat untuk menyenangi maupun mengkonversi dirinya menjadi pelanggan setia.

Karena pilihan signature dish begitu banyak sehingga, perlu suatu melting pot untuk mengakomodasi semua referensi kuliner kepulauan Nusantara dalam satu wadah. Disamping itu, konstruksi melting pot harus mempunyai perangkat untuk diserap dalam satu antologi kompilasi.

Melting pot itu bisa ditafsirkan berupa perangkat Lauk Pauk, yang pada hakekatnya dapat menampung dan mewakili berbagai-bagai lauk pauk seni dapur masakan kepulauan Nusantara. Sedangkan perangkat Lauk Pauk memerlukan sarana yang mana Rijsttafel bisa menjadi cara penyajiannya. Untuk diketahui pengertian Rijsttafel pada hakikatnya adalah hidangan nasi dengan segala variasi aneka lauk pauk.

Memang Belanda yang mempelopori Rijsttafel ke panggung dunia. Belanda memperkaya seni dapur masakan dunia dengan memperkenalkan Rijsttafel sebagai branding baru kepada masyarakat barat dengan tata cara makan (table manner) gaya internasional. Branding dalam arti, Belanda memperkenalkan Rijsttafel sebagai aset sajian internasional kedua setelah seni dapur masakan Perancis.

Seperti diketahui dimulai abad ke 17 dan 18, seni dapur masakan Perancis menjadi penting karena memberi kontribusi signifikan terhadap tata cara makan masyarakat barat. Bisa dibilang sampai hari ini, seni dapur masakan Perancis menjadi patokan masyarakat mancanegara, khususnya di kalangan gastronomi dunia.

Setelah seni dapur masakan Perancis dan seni dapur masakan Rijsttafel, belum ada sampai hari ini seni dapur masakan ketiga, meskipun Spanyol secara gigih mempromosikan seni dapur masakan Mediterranean sebagai pengimbang seni dapur masakan Perancis, namun belum dapat diakui masyarakat barat.

Tetapi perlu dicatat, branding Rijsttafel yang diperkenalkan Belanda mempunyai  predikat sebagai Indische gerechten atau Indische spezialität. Pada tahun 1960an mulai susut image popularitas Belanda terhadap  Rijsttafel tersebut dan bisa saja kekosongan ini diambil alih Indonesia.

Disamping itu, perlu disadari, kuliner Nusantara mempunyai sumbangan tersendiri kepada dunia. Rempah kepulauan Nusantara (Kayu Manis, Lada, Pala, Bunga Pala dan Cengkeh) tercatat telah mengubah revolusi cita rasa bumbu masyarakat dunia; yang awalnya berkembang di Eropa.

Dengan modal kekayaan dan prestasi yang sudah mendunia, konstruksi melting pot dengan perangkat Lauk Pauk serta penyajian ala Rijsttafel akan dapat memperlihatkan kekayaan bumbu rempah Nusantara dalam format kuliner Indonesia.

Contoh sederhana, Signature Dish Rijsttafel disajikan dengan berbagai lauk pauk pilihan dari Local Regional Specialties yang pengaturan table setting dan tata cara makan diatur gaya internasional. Signature dishes itu diambil dari berbagai seni dapur masakan Nusantara, termasuk yang langka dan belum pernah dikenal selama ini oleh kebanyakan masyarakat.

Umpamanya, perangkat lauk pauk dari Minangkabau, atau dari Jawa (Tengah, Timur atau Barat), atau dari Kalimantan (Tengah, Timur, Selatan, Utara atau Barat), atau dari Batak (Angkola, Mandailing, Karo, Toba, Simalungun atau Pakpak), atau dari Aceh maupun lain sebagainya. Penyebutan nama-nama makanan itu bisa dilakukan sebagai subtitle dari perangkat lauk pauk format kuliner.

Teknis dan proses memasaknya menggunakan produk lokal (seperti bumbu dan rempah), resep tradisional maupun cara proses pembuatannya.

Sebagai penutup, format kuliner Indonesia harus direstruktur ulang dengan menggabungkan pola sejarah makanan kepulauan Nusantara dengan pola sebagai bangsa di negara yang bernama Indonesia. Dengan menggabungkan dua pola itu akan terakumulasi semua kepentingan masyarakat yang selama ini kurang diperhatikan otoritas kebijakan terkait maupun pelaku kuliner di negeri ini.

Bagaimanapun harus disadari Indonesia merupakan bangsa baru (new nation) yang masih dalam proses memperkuat karakter, identitas dan peradabannya sebagai sebuah bangsa. Kekayaan intelektual peradaban budaya yang ada hanya titipan dari segenap masyarakat kepulauan Nusantara pada saat mereka mengatakan sumpah setianya ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Cara mengelola peradaban budaya itu pun sampai sekarang masih menjadi batu ujian, mengingat kearifan lokal sivilisasi leluhur itu tidak bisa disatukan dalam satu payung kebangsaan dan hanya bersifat untuk saling melengkapi dan saling mendukung terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Diharapkan dengan tema brand Pedas dan Rempah serta perangkat melting pot berupa Lauk Pauk yang disajikan ala Rijsttafel, seyogyanya format kuliner Indonesia dapat bertahan lama (long-lasting) seperti yang dimiliki Thailand.

Sebagai perumpamaan, ilustrasi, format kuliner Indonesia bisa menggunakan acuan sebagai berikut :
i. Tema Brand : Indonesia Flavors The World - "Spicy & Spices"
ii. Melting Pot : Rijsttafel
iii. Local regional Specialities : Central Javanese Nourishment with appearance of Nasi Gandul, Gudeg, Soto Kudus, Mangut Beong, Mie Ongklok, Garang Asem, Rondo Royal, Lumpia, Wajik, Gethuk, etcetera

Rumusan format kuliner Indonesia ini juga akan menjadi dasar kekuatan konstruksi Gastronomi Indonesia, GastroDiplomasi dan GastroWisata. Selain menjawab arahan Presiden Republik Indonesia mengenai Diplomasi Makanan dalam Rapat Terbatas (Ratas) Kabinet Kerja pada tanggal 27 September 2016 dan tanggal 3 Februari 2017, mengenai 4 (empat) pilar diplomasi.

Semoga bermanfaat
Tabek
Betha Ketaren (Indra)

Referensi Artikel :
1. Lilie Suratminto : Makna sosio-historis batu nisan VOC di Batavia, Depok, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, UI, 2007
2. Resink, G.J. : Bukan 350 Tahun Dijajah. Depok,  Komunitas Bambu, 2013
3. Resink, G.J. : Raja dan Kerajaan Yang Merdeka Di Indonesia Tahun 1850-1910, Penerbit Djambatan, 1987
4. Sri Margana : Gelora di Tanah Raja: Yogyakarta Pada Masa Revolusi 1945-1949, Yogyakarta: Dinas Kebudayaan DIY
5. Sri Margana : Java's Last Frontier: The Struggle for Hegemony of Blambangan, c. 1763-1813, LEI Universiteit Leiden, 2007
6. Zainal C. Airlangga : Membongkar Mitos Indonesia Dijajah 350 Tahun, Himmpas UI, 2015

Monday 21 June 2021

Menakar Kekuatan Makanan Dalam Politik Diplomasi

The destiny of nations depends on the manner in which they are fed (Brillat-Savarin,1825)


Makanan adalah isu politik yang sentimentil. Banyak atensi dunia terhadap makanan, baik itu oleh akademisi, media komunikasi (daring, cetak, radio, televisi), pemerintah, organisasi internasional maupun masyarakat. Perhatian dan kepedulian dilakukan dalam bentuk bantuan makanan, embargo pangan hingga pengaturan produksi pangan secara global memberi efek terhadap budaya makanan. Bisa dikatakan makanan adalah media untuk memprovokasi perubahan di bidang politik dan kebijakan. Malah ada yang mengatakan makanan adalah senjata dan kenderaan dalam bernegosiasi (Cleaver 1977).

Makanan yang semula dianggap barang sederhana untuk memelihara dan menopang tubuh manusia ternyata memiliki dua makna, baik sebagai politik serta budaya simbolis. Kedua makna itu membingkai makanan ke ranah politik, dengan menggambarkan bagaimana aktor dapat memanfaatkan makanan sebagai sumber power (pergeseran simbolik/ideologis, propaganda budaya dan keamanan) maupun sebagai kekuatan prestise (perjamuan diplomatik)

Banyak aktor politik dunia memanfaatkan makanan, yang semula sebagai barang simbolis, ternyata sehabis dipakai dapat memiliki pengaruh yang besar di arena politik. Mereka memahami dan memanfaatkan makanan sebagai intermediary, yang dalam aspek budaya dan ekonomi, bisa menjadi instrumen kebijakan kekuasaan. Aktor-aktor politik secara efektif mendayagunakan makanan sebagai sumber kekuatan.

Contoh seperti apa yang dilakukan Presiden Prancis Jacques Chirac membuat lelucon tentang makanan Inggris dalam pertemuan pemimpin Eropa menjelang diadakannya KTT G8 bulan Juli 2005 di Skotlandia. Guyonan itu membuat Gerhard Schroeder (Jerman) dan Vladimir Putin (Rusia) tertawa dan ikut bergabung dalam olok-olok.

"One cannot trust people whose cuisine is so bad as that .. After Finland, it's the country with the worst food .. the only thing [the British] have given European agriculture is the mad cow" (Barkham 2005)

Komentar Jacques Chirac dibuat dalam jarak pendengaran wartawan yang hadir di pertemuan itu. Kelakar Chirac memberi daya kekuatan politik di media global, sehingga juru bicara Inggris mengatakan: "Ada beberapa hal yang lebih baik untuk tidak dikomentari."

Bodoran Jacques Chirac berikutnya saat mengenang peristiwa ketika mantan sekretaris jenderal NATO Lord George Robertson (yang berkebangsaan Skotlandia) telah membuat Chirac mencoba hidangan lokal Inggris.

"That is where our difficulties with NATO come from" (BBC News 2005).

Komentar itu muncul saat Prancis dan Inggris bersaing untuk menyelenggarakan Olimpiade pada 2012, dan berselisih soal anggaran UE. Olok-olok Chirac membuat kritikus makanan Inggris Egon Ronay menuduh Presiden Prancis kurang informasi atas serangannya terhadap masakan Inggris.

Kelakar Jacques Chirac menyebar dengan cepat ke seluruh media global (daring, cetak, radio dan televisi), sampai membuat juru bicara Prancis menolak laporan media the French Liberation sebagai salah mengartikan fokus pertemuan dengan mengatakan kutipan yang dikaitkan dengan Presiden Republik sama sekali tidak sesuai dengan nada atau isi diskusi di pertemuan Kaliningrad.

Pernyataan Chirac membuat Finlandia memilih menantang Prancis menjadi host Olimpiade 2012, yang pada akhirnya Inggris memenangkan hak untuk menjadi tuan rumah ajang olahraga internasional tersebut.

Dari candaan Presiden Prancis Jacques Chirac, dapat dikatakan makanan digunakan aktor politik bukan sekedar sebagai jamuan bersama, tetapi sebagai kekuatan simbol yang menarik yang mengandung sentilan dan teka-teki. Banyolan Chirac menggunakan makanan sebagai intermediary ternyata lebih efektif dan menyenangkan mengawali pembicaraan suatu tujuan atau isu politik.

Makanan mempunyai keunikan yang sering digunakan aktor politik dalam guyonan mereka, karena memiliki kekhasan dan menjadi tak terpisahkan dalam budaya politik masyarakat. Kelakar-kelakar aktor politik lebih terasa excited dan bisa berpengaruh pada suasana hati pendengarnya dan memberi dampak kepada media global. Makanan punya nilai kekuatan politik yang melalui media diekspresikan sebagai isu dalam bagaimana kekuasaan itu digunakan

KEKUATAN MAKANAN DALAM DIPLOMASI
Makanan adalah sumber kekuatan politik yang menunjukkan cara kerja kekuasaan antar negara, karena keterkaitannya dengan ketahanan pangan secara global, pengaturan produksi pangan dan bantuan pangan (Gummer 2002,59-62). Meskipun tidak bisa dikatakan makanan secara tradisional dipandang sebagai satu-satunya sumber kekuatan politik, apalagi kekuatan militer tidak cukup menjamin keselamatan suatu negara.

Karakteristik makanan tidak seefektif kekuatan militer, karena makanan sebagai bentuk yang lembut dari kekuasaan, dilihat dari rangkuman simbolisme, ideologi, dan metode produksi maupun konsumsi, yang pada gilirannya mengubah pandangan politik praktis warga negara dan pemerintah.

Dalam ketatanegaraan internasional, makanan berguna menjelaskan interaksi budaya dalam ranah politik sebagai sumber kekuatan lain (J.S Nye 2005). Kakek dari tradisi pemikiran realis modern Hans J. Morgenthau dalam bukunya Politics Among Nations, mencantumkan makanan sebagai salah satu elemen kekuatan nasional yang dapat menjelaskan cara-cara di mana dan dimanfaatkan mempengaruhi kekuasaan. Morgenthau juga mengatakan bentuk kekuasaan prestise diplomatik, (seperti jamuan makan dan pesta negara), sebagai daya upaya yang jelas menunjukkan tingkat kekuasaan negara dan bangsa melalui diplomat mereka.

Prestise melalui upacara diplomatik adalah kendaraan aktor negara dalam berinteraksi yang dapat meningkatkan dan menggambarkan hubungan kekuasaan antara negara, elit, dan aktor lainnya. Aktor yang menggunakan makanan sebagai kekuatan politik utamanya adalah aktor negara (pemerintah pusat, politisi, negarawan) dan kekuatan alternatif yakni aktor non negara (pemerintah daerah, swasta, lembaga swadaya masyarakat, organisasi, kelompok kepentingan dan individu).

Jika suatu bangsa diperlakukan dalam upacara diplomatik lebih baik atau lebih buruk dari yang seharusnya, akan menyebabkan hubungan kekuasaan berubah. Bisa dikatakan diplomasi upacara melalui jamuan diplomatik sebagai sumber kekuasaan karena makanan adalah tindakan intim yang dapat diungkapkan secara terbuka (dengan ideologi) dan merupakan propaganda budaya.

Contoh di setiap pertemuan G8 dan G20, di saat berkumpul untuk makan malam resmi, selalu muncul pertanyaan sajian makanan apa yang dimakan dan siapa yang duduk di sebelah siapa yang semuanya menjadi indikator kekuatan politik. Siapa yang hadir dan siapa yang tidak hadir di acara makan merupakan indikator daya yang penting. Siapa yang diundang menandakan siapa yang menurut tuan rumah layak untuk hadir, serta siapa yang ingin diremehkan tuan rumah dengan tidak mengundang.

Tempat duduk tamu (baik di meja dan tempat), adalah perangkat daya sinyal prestise lainnya. Sejak zaman feodal, penempatan tempat duduk makan telah menjadi isu yang diperdebatkan, karena terkait masalah pangkat dan prioritas yang selalu ada di benak tuan rumah dan tamu yang dengan sendirinya bisa menjadi masalah pertikaian dengan bentuk tertentu yang tidak sesuai dengan keadaan tertentu (Visser 1992).

Morgenthau (1985), membahas bagaimana negosiasi damai dan makan malam antara Viet Cong dan AS tidak dapat dilanjutkan sampai bentuk dan penempatan meja yang disepakati bersama diselesaikan. Rencana penempatan meja dan pengaturan tempat duduk masih memegang simbolisme politik yang hebat. Siapa yang duduk di sebelah presiden menggambarkan dengan tepat betapa pentingnya simbolisme diberikan pada tempat duduk di acara makan. Pernah Perdana Menteri Inggris dan Italia mengancam akan keluar dari jamuan makan malam G20 jika tidak diberikan kursi yang lebih dekat dengan Presiden yang baru dilantik Obama (Addley 2009).

Pemilihan tempat juga melambangkan gagasan negara tuan rumah tentang kekuatan para tamu yang hadir. Ilustrasi kasus Presiden Khan dari Pakistan makan bersama Presiden AS Kennedy yang semula akan diselenggarakan di Gedung Putih ternyata dilakukan di rumah abad kedelapan belas George Washington, Gunung Vernon. Perubahan tempat ini belum pernah terjadi sebelumnya yang memberikan arti penting dan kehormatan kepada Presiden Khan karena melambangkan dia sebagai versi kontemporer dari Washington Morgan (2008).

Masalah formalitas  di acara makan kerap pula menggambarkan hubungan kekuasaan. Kurangnya formalitas tampaknya menyiratkan kepada beberapa penampilan acara yang tidak ada artinya bagi tuan rumah. Meskipun pengurangan formalitas dapat menyiratkan ikatan diplomatik yang lebih erat atas kekuasaan dan kontrol.

Contoh, kunjungan Perdana Menteri India Nehru pada tahun 1961 ke AS yang datang dengan pesan ia mengharapkan kesederhanaan dan kurangnya dilakukan upacara formalitas. Permintaan Nehru mengubah hubungan kekuasaan, mengingat Nehru mengambil simbol kekuasaan yang biasanya ditemukan dalam struktur upacara makan malam formal di negaranya dengan permintaan mengubahnya menjadi kesederhanaan. Dalam melakukan ini, Nehru mengubah dinamika kekuatan dengan menciptakan platform yang sama sekali baru dia kendalikan. Namun Nehru, bukan tuan rumah, yang memegang kendali.

Perubahan upacara diplomatik ini tidak hanya mengubah jamuan diplomatik, tetapi juga keseimbangan kekuatan dan negosiasi politik perjalanan Nehru. Dengan demikian, perubahan sederhana dapat mengubah baik hubungan kekuasaan pada jamuan makan malam maupun bidang politik. Faktor-faktor seperti siapa yang ikut diundang makan, apa (dan berapa banyak) sajian hidangan yang dimakan, di mana pengunjung duduk (baik di meja dan tempat) dan bahkan formalitas acara, semuanya terkait dengan simbolis-budaya dari makanan, memancarkan pesan tentang hubungan kekuasaan antara aktor yang dapat diamati dari luar acara makan (Morgan 2008).

Tidak hadir juga dapat menandakan bahwa tamu ingin menghina tuan rumah, membuat sinyal politik yang jelas dan hubungan mereka tentu saja menjadi hubungan yang singkat. Pemahaman akan indikator dan penentu tempat duduk itu dapat dimanipulasi untuk mengubah keseimbangan kekuasaan di acara-acara diplomatik dan politik, sehingga memberikan aktor negara keuntungan terhadap counterparts mereka.

Preseden dari ketidakhadiran mencerminkan sinyal kekuatan, seperti absennya Tiongkok pada jamuan makan malam G8 2008 menunjukkan kurangnya kemajuan yang dicapai dalam hubungan Tiongkok oleh G8. Sementara undangan pemerintahan Obama kepada diplomat Iran untuk ikut merayakan hari Kemerdekaan AS 4 Juli mencerminkan keinginan AS untuk terlibat secara damai dengan Iran. Namun, penolakan Iran untuk hadir membuat pemerintah AS malu dan menunjukkan ketegangan hubungan dan situasi kekuasaan antara kedua negara (Barry 2009; Landler 2009).

Jumlah yang hadir dapat juga menunjukkan bagaimana sinyal tuan rumah memandang hubungan kekuasaan di acara makan diplomatik. Makan bilateral dan multilateral melambangkan hubungan simbolisme kekuasaan yang berbeda bagi mereka yang hadir dan mereka yang mengamati dari luar acara makan. Permisalan makan malam bilateral antara Presiden Amerika Kennedy, Perdana Menteri India Nehru dan Presiden Pakistan Khan melambangkan hubungan dekat yang ingin dimiliki India dan Pakistan dengan AS selama tahun 1960-an.

Alegori kelakar cerdik Jacques Chirac saat makan bersama mantan sekretaris jenderal NATO Lord George Robertson, adalah simbol propaganda budaya yang mampu memberi pemahaman tentang pesan dibelakangnya. Presiden Prancis dalam kunjungan kenegaraan ke Inggris Raya, disajikan daging sapi Skotlandia, setelah larangan Uni Eropa atas daging sapi Inggris yang disebabkan oleh krisis BSE (penyakit sapi gila).

Apa (dan berapa banyak) yang dimakan juga merupakan simbol budaya lain yang sangat penting ketika mempertimbangkan prestise politik. Makanan yang disajikan pada acara makan dapat mempromosikan agenda atau pesan nasional. Keinginan untuk mengesankan atau mendominasi juga dapat diekspresikan oleh makanan yang disajikan, dengan negara tuan rumah yang menyajikan masakan lokal atau tamu, untuk menggambarkan tingkat keramahan dan hubungan kekuasaan di acara makan.  Apalagi jumlah makanan yang disajikan dapat menandakan seberapa besar dedikasi dan pemahaman negara terhadap isu-isu tertentu.

Ilustrasi sederhana terlihat pada pertemuan G20 tahun 2020 dengan menempatkan masakan Inggris pada sajian menu, menunjukkan pesan Inggris sebagai kekuatan budaya dan ekonomi yang membanggakan. Tidak makan juga dapat menyebabkan tanda alarm, yakni dengan keputusan Sarah Brown (istri perdana menteri Inggris) pada beberapa kesempatan di acara KTT G8 dan NATO untuk tidak makan hidangan nasional Italia atau Perancis. Sinyal Sarah Brown menyebar cepat di media internasional (Abraham 2009; Press Association 2009).

Pada jamuan makan diplomatik, kecerobohan dapat menyebabkan pergeseran kekuasaan dan simbolisme yang tidak diinginkan. Sebagai contoh, kejadian pada kunjungan AS ke Jepang tahun 1992, Presiden Bush (senior) muntah ke pangkuan Perdana Menteri Jepang saat itu, Kiichi Miyazawa, yang menciptakan ketegangan diplomatik antara Jepang dan AS serta ejekan dari media global.

KONKLUSI
Makanan memiliki tempat dan kegunaan dalam lingkup politik internasional. Namun, hubungan tempat dan penggunaannya sangat kompleks untuk ditangani antara makanan, masyarakat, dan politik. Seperti semua bentuk kekuasaan politik, kelemahan yang melekat pada kekuatan makanan adalah bahwa makanan hanya efektif dalam konteks, keadaan, dan situasi tertentu.

Namun makanan adalah sumber kekuatan unik yang dapat menyentuh, baik masyarakat maupun pemerintah di tingkat ekonomi maupun simbolis secara bersamaan. Kemampuan inilah yang memberi makanan tempat yang unik di antara instrumen kekuasaan yang tersedia di bidang politik.

Kekuatan makanan dalam politik, terutamanya dalam politik internasional, merupakan kekuatan gengsi yang digunakan (sadar dan tidak sadar) oleh aktor selama upacara diplomatik (seperti perjamuan dan acara makanan lainnya).

Prestise menawarkan bagaimana aktor memahami hubungan kekuasaan di bidang politik serta mengirim pesan tentang status dan kekuasaan kepada aktor lain. Prestise - meskipun tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari - adalah sisi penting kekuatan di lingkungan kekuasaan yang didorong oleh elit politik. Banyak kejadian perjamuan diplomasi memperlihatkan nilai prestise dan relevansi makanan dalam bidang politik.

Nasib bangsa-bangsa tidak hanya bergantung pada cara mereka makan (Brillat-Savarin 1970). Bagaimana dan apa yang mereka makan, berkontribusi pada efektivitas baik simbolisme dan budaya maupun prestise.

Semoga bermanfaat.
Tabek

Betha Ketaren (Indra)
Founder & President

Artikel Referensi:
1. Abraham, T.  : "Sarah Brown declines veal and foie gras at Nato summit banquet." Daily Mail.11th April 2009
2. Addley, E. : "The G20 seating plan: Never mind the stimulus, who sat next to the president?", Guardian, 2 April 2009
3. Barkham, P. : "Chirac's reheated food jokes bring Blair to the boil.", The Guardian, 2005, 5 July.
4. Barry, D.  : "Ambassador Hot Dog." The New York Times, June 7 2009
5. BBC News, 2005, 4 July :"Blair sidesteps French foodfight."
6. Brillat-Savarin, J.-A. (1970) : The philosopher in the kitchen (The physiology of taste). Harmondsworth, Penguin.
7. Cleaver, H. (1977) : "Food, famine and the international crisis." Zerowork 2(1)
8. Gummer, J. (2002). Hot potatoes: politicians, food and risk. in Foodstuff- Living in an age of feast and famine. J. Holden, Howland Lydia, Jones Daniel Stedman Ed. London, Demos. 18.
9. Landler, M. : "A New Iran Overture, with Hot Dogs." The New York Times, June 2, 2009
10. Morgan, L. (2008) : Diplomatic Gastronomy : Style and Power at the Table. School of History and Politics. Adelaide, The University of Adelaide and Le Cordon Bleu.
11. Morgenthau, H. J. (1985) : Politics among nations : the struggle for power and peace. New York, Knopf.
12. Nye, J. S. (2005) : Understanding international conflicts : an introduction to theory and history. New York, Pearson/Longman.
13. Visser, M. (1992) : The rituals of dinner: the origins, evolution, eccentricities, and meaning of table manners. New York, Penguin Books.

Thursday 17 June 2021

Mendudukkan Makanan Sebagai Soft Power

Soft diplomacy merupakan strategi atau cara yang digunakan oleh suatu negara untuk mewujudkan atau mencapai kepentingan nasionalnya; baik dengan menggunakan pendekatan sosial maupun budaya. Salah satu bentuk implementasi adalah GastroDiplomacy.


Karena terkait kata diplomasi, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa diplomasi merupakan praktek, tata cara dalam melakukan perundingan, negosiasi, maupun perjanjian yang dilakukan oleh diplomat untuk mempresentasikan negara yang diwakilinya dalam mencapai sebuah kepentingan nasional. Bisa dikatakan, diplomasi dalam hubungannya dengan politik internasional, adalah seni mengedepankan kepentingan suatu negara dalam hubungannya dengan negara lain (S.L.Roy, 1995). Diplomasi itu dewasa ini bukan hanya dilakukan oleh pemerintah (aktor negara), tetapi sudah berkembang ke era dimana siapa saja (aktor non negara) bisa melakukan negosiasi selagi  untuk mendapatkan kepentingan; baik dalam bentuk ekonomi, politik, sosial dan budaya.

GastroDiplomacy itu sendiri merujuk kepada salah satu cara atau tindakan yang dilakukan dalam memanfaatkan dan mengolah makanan  yang ada di suatu negara menjadi instrumen atau strategi untuk mencapai kepentingan nasional dengan merasakan sendiri cita rasa masakan yang ada; dan juga masakan tersebut dapat merefleksikan nilai-nilai budaya serta filosofi suatu negara. Dalam arti lain, GastroDiplomacy dipakai sebagai kekuatan lunak (soft power) untuk meningkatkan branding negara dan mencapai kepentingan nasionalnya.

Banyak negara telah memanfaatkan makanan sebagai instrumen kekuatan lunak (soft power) untuk meningkatkan citra publik mereka. Selama dua dekade terakhir, terjadi peningkatan jumlah dialog tentang peran makanan tidak hanya dalam membangun hubungan antara budaya dan bangsa, tetapi sebagai bagian dari fondasi budaya dan identitas nasional. Contoh negara seperti Jepang, Malaysia, Peru, Korea Selatan, Taiwan, dan Thailand,  bicara mengenai kekuatan lunak (soft power) itu melalui program GastroDiplomacy mereka, selain untuk kepentingan pariwisata yang ada disana, berupa gastro-wisata.

Sebagai catatan, kata makanan disini merujuk kepada kuliner mengingat kosa kata itu lebih kerap dipakai masyarakat dalam menyatakan terkait makanan.

Soft Power
Soft power merupakan suatu konsep diplomasi yang muncul pasca abad ke-21. Dalam politik (dan khususnya dalam politik internasional), soft power adalah kemampuan untuk menarik dan mengkooptasi, bukan memaksa (contras hard power). Dengan kata lain, soft power melibatkan pembentukan preferensi orang lain melalui daya tarik (appeal) dan daya pemikat (attraction). Ciri khas soft power adalah non-koersif; termasuk budaya, nilai-nilai politik, dan kebijakan luar negeri.

Salah satu tokoh yang terkenal dengan konsep soft power yaitu Joseph S. Nye, Jr dari Universitas Harvard.  Pada tahun 1990, Nye mempopulerkan istilah itu dalam bukunya Bound to Lead: The Changing Nature of American Power. Dalam buku ini ia menulis: ketika satu negara membuat negara lain menginginkan apa yang diinginkannya, itu bisa disebut co-optive atau soft power berbeda dengan hard atau command power untuk memerintahkan orang lain melakukan apa yang diinginkannya.

Menurut Nye, soft power merupakan kemampuan yang dimiliki suatu negara untuk mencapai kepentingan yang diinginkan dengan cara persuasif, melalui berbagai aspek seperti sosial, kebudayaan, dan nilai. Bukan melalui penggunaan kekerasan sehingga tidak menuju ke arah militer, perpecahan, hingga perang. Menurut Nye, konsep power yang dituangkan kaum tradisional bukanlah lagi menjadi kekuatan andalan atau satu-satunya yang dimiliki oleh negara sebagai alat untuk menekan negara lain, hingga menyepakati kebutuhan serta kepentingan negara tersebut.

Ia mengembangkan lebih lanjut konsep tersebut dalam bukunya tahun 2004, Soft Power: The Means to Success in World Politics. Pada tahun 2012 Joseph Nye mengatakan bahwa dengan kekuatan lunak (soft power), bukanlah propaganda. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa selama era informasi kredibilitas adalah sumber daya yang paling langka.

Dengan demikian soft power merupakan instrumen bagi negara-negara di dunia untuk menjadi kekuatan baru berupa kebudayaan dengan menyampingkan kekuatan militer. Keanekaragaman budaya yang dimiliki negara-negara di dunia memberikan keuntungan tersendiri; khususnya dalam bidang kuliner atau makanan. Negara-negara di dunia menyadari bahwa mereka memiliki keanekaragaman kuliner yang dapat diolah serta diperkenalkan di kancah internasional, dan tentunya bertujuan untuk mewarisi kebudayaan terhadap mancanegara sehingga tidak hilang dimakan zaman.

Apalagi di era sekarang, fokus utama alasan wisatawan dunia mengunjungi sebuah negara bukan hanya sekedar berkunjung ke tempat wisatanya saja, melainkan salah satunya ingin mencicipi berbagai kuliner khas dari negara tersebut, selain ditambah rasa penasaran terhadap jenis makanan yang lagi trending yang diketahui informasi itu melalui internet maupun media sosial. GastroDiplomacy mampu menjadi instrumen suatu negara untuk melancarkan kepentingannya dalam berdiplomasi, atau menjalin hubungan secara baik dengan negara lain.

Teristimewa melihat fenomena serta peluang dalam aspek pariwisata sangatlah cocok dikaitkan dengan perkembangan kuliner serta melihat kunjungan wisatawan yang datang semakin meningkat setiap tahunnya, membuat pemerintah berbagai negara di dunia gencar mempromosikan GastroDiplomacy sebagai soft power negara masing-masing dengan segala ketersediaan fasilitas, akomodasi, acara-acara dan lain sebagainya.

Kekuatan lunak suatu negara, menurut Nye, bertumpu pada tiga sumber daya:
1. Budaya (di tempat-tempat yang menarik bagi orang lain)
2. Nilai-nilai politik (di dalam dan luar negeri)
3. Kebijakan luar negeri  (ketika masyarakat dunia melihat negara itu sah dan memiliki otoritas moral).

Ketiga sumber daya soft power di atas adalah aset yang menghasilkan daya tarik yang sering mengarah pada persetujuan. Nye menegaskan bahwa, rayuan (seduction) selalu lebih efektif daripada paksaan (coercion), dan banyak nilai seperti demokrasi, hak asasi manusia, dan peluang individu sangat menggoda. Sebuah negara dapat memperoleh hasil yang diinginkannya dalam politik dunia karena negara lain - mengagumi nilai-nilainya, meniru teladannya, mencita-citakan tingkat kemakmuran dan keterbukaannya - ingin mengikutinya.

Soft power dapat digunakan tidak hanya oleh negara tetapi juga oleh semua aktor dalam politik internasional (multi-track diplomacy). Mereka dianggap sebagai wajah kedua kekuasaan (second face of power) yang secara tidak langsung memungkinkan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.

Multi Track Diplomacy
Pengertian multi-track diplomacy adalah kesuksesan sebuah diplomasi dapat dicapai apabila adanya terjalin kerjasama atau saling mendukung antara pemerintah dengan aktor-aktor non pemerintah lainnya, seperti media, ilmuan, pengusaha, penggiat pariwisata, serta lembaga-lembaga non pemerintah lainnya (Dr. Diamond and Ambassador Mcdonald, 1996).

Multi-track diplomacy dapat diartikan secara sederhana sebagai suatu kerangka konseptual yang merujuk pada sistem kehidupan yang berpengaruh dalam terciptanya perdamaian internasional. Dengan kata lain, sistem kehidupan itu saling berhubungan satu sama lain, baik dari negara, individu, lembaga, maupun kelompok kepentingan lainnya, yang bertujuan untuk terciptanya perdamaian dunia.

Dengan demikian, multi-track diplomacy merupakan alat atau jalur yang bertujuan membantu pemerintah dalam melakukan diplomasi dengan cara mengelola serta menyelesaikan berbagai permasalahan dengan berbagai solusi yang didapat dari pemikiran serta pandangan publik. Dalam perkembangannya multi-track diplomacy tidak hanya terbagi menjadi one track (aktor negara) dan two track (aktor non negara) diplomacy saja, melainkan dengan konsep serta paradigma diplomasi sekarang ini semakin berkembang dengan memunculkan sembilan track diplomacy yang memiliki pengertian dan karakteristik yang berbeda-beda namun tujuan utama dari kesembilan track tersebut sama yaitu menginginkan keberhasilan dalam pencapaiannya.

Kesembilan track (aktor) diplomasi itu adalah pemerintah (aktor negara) dan aktor non negara (pemerintah daerah, bisnis, private citizen, peneliti, aktivis, agama, pendanaan, dan media komunikasi sebagai pembentuk opini publik ). Dengan demikian multi-track diplomacy ini merupakan diplomasi yang sangat tepat dalam melancarkan kebijakan luar negeri untuk mencapai kepentingan nasional negara.

Keberhasilan soft power sangat bergantung pada reputasi kesembilan aktor dalam komunitas internasional, serta arus informasi antar aktor sebagai multi-track diplomacy. Dengan demikian, soft power sering dikaitkan dengan kebangkitan globalisasi dan teori hubungan internasional neoliberal. Budaya populer dan media massa secara teratur diidentifikasi sebagai sumber kekuatan lunak (soft power), seperti halnya penyebaran seni dapur resep nasional suatu negara di panggung dunia.

Lebih khusus lagi, media internasional dianggap penting dalam membentuk citra dan reputasi soft power suatu negara. Contoh, keunggulan Thailand dalam liputan berita media internasional mengenai program Global Thai mempromosikan kulinernya ke mancanegara dikaitkan dengan kekuatan lunaknya. Liputan berita dunia mengenai kampanye Thai is the World Kitchen, memberi pandangan dan branding positif kepada GastroDiplomacy Thailand sehingga mampu mendatangkan jutaan wisatawan ke negeri gajah putih itu.

Tetapi teknik politisasi branding apa yang membuat negara seperti Thailand berhasil dalam GastroDiplomacy ?

Mendudukkan Kuliner Sebagai Soft Power
Suatu negara sukses mempopulerkan makanan di panggung dunia bukan dikatakan sebagai keberhasilan GastroDiplomacy semata, tetapi negara-negara itu mampu menempatkan kuliner mereka sebagai kekuatan lunak (soft power) di mata dunia dalam bagaimana suatu negara bisa menyentuh hati orang-orang di seluruh dunia melalui perut mereka.

Jika dipelajari secara seksama, saat ini banyak pihak mengartikan GastroDiplomacy dalam versi yang berbeda-beda. Ada yang mengartikan GastroDiplomacy dengan menempatkan kuliner di tahap kedua setelah kepentingan utama melakukan lobi dan negosiasi. Kepentingan utama itu lebih dulu direpresentasikan dalam keperluan praktek dan tata cara diplomasi perundingan maupun untuk perjanjian di bidang politik, ekonomi, hukum, pertahanan dan lain sebagainya. Setelah itu baru urusanya acara makan-makan atau bisa bersamaan, tetapi tetap kepentingan utamanya adalah prioritas.

Ada pula yang mengartikan GastroDiplomacy dengan menempatkan kuliner utamanya sebagai soft power untuk mendapat pengakuan global, tanpa perlu adanya praktek dan tata cara diplomasi.

Kedua pemikiran di atas memang betul merupakan GastroDiplomacy, apalagi diplomasi dan budaya makanan bisa dibilang dua sisi mata uang yang satu sama lain saling berhubungan. Banyak keberhasilan eksekusi diplomasi dilakukan dengan produk budaya makanan. Tidak heran jika diplomasi menempatkan makanan sebagai salah satu tools (alat) dalam aksi negosiasi, lobi dan pengumpulan informasi (information gathering) maupun upacara diplomatik kenegaraan (state diplomatic ceremonial). Pemanfaatan makanan sebagai alat diplomasi berangkat dari asumsi dasar “The best way to win hearts and mind is through the Stomach” (Rockower, 2014). Sejak itu makanan memainkan peran penting dalam politik dan diplomasi serta memiliki peran penting baik dalam membentuk sejarah dunia serta interaksi diplomatik (Mary Jo Pham 2013).

Tetapi sebenarnya, terhadap kedua pemikiran itu ada perbedaannya, walaupun sebenarnya GastroDiplomacy itu intinya memiliki potensi untuk mengubah persepsi, dan menempatkan identitas negara di benak pikiran masyarakat negara lain, serta bagaimana negara memanfaatkannya untuk menempatkan dirinya pada peta signifikansi global.

Terhadap kebiasan kepentingan utama (lobi dan negosiasi) plus acara makan-makan, lazim dilakukan semua negara di dunia sebelum ada kata GastroDiplomacy itu sendiri diperkenalkan oleh Paul Rockower pada tahun 2011, 2012 dan 2014. Protokol acara ini disebut sebagai Culinary Diplomacy yang tidak terlalu menekankan kepada bobot gastronominya, tetapi sekedar kepada acara makan bersama dengan cara diplomasi. Efek branding-nya terhadap masyarakat dunia tidak terkesan lama (long lasting) karena Culinary Diplomacy dihadiri hanya dari kalangan tertentu dan terbatas, yakni elit politik atau aktor negara (one track), saat mereka melakukan perundingan diplomatik kenegaraan. Meskipun bisa dikatakan Culinary Diplomacy punya nilai soft power, tetapi tidak massal diketahui publik (kalangan umum).

Pemerintah Amerika Serikat punya protokol acara seperti ini yang dikenal dengan program Culinary Diplomacy Partnership Initiative (CDPI) untuk memperkenalkan diplomasi makanan ala Amerika. Instrumen diplomasi Washington ini bertujuan memperkuat hubungan bilateral di meja makan dengan rekan mitra kerja mereka di luar negeri, maupun yang diselenggarakan di dalam negeri serta di berbagai acara internasional atau di berbagai perwakilan Amerika Serikat; pada saat melakukan lobi dan negosiasi politik, ekonomi, hukum, pertahanan dan lain sebagainya.

Terhadap kebiasan dengan menempatkan kuliner utamanya sebagai soft power adalah sejatinya merupakan GastroDiplomacy, karena merupakan solusi yang telah berhasil digunakan dalam menjangkau publik (kalangan umum) di seluruh dunia serta sebagai upaya untuk mengubah persepsi orang lain tentang satu negara atau bangsa.

Disini bisa dikatakan kuliner sebagai kekuatan lunak (soft power) merupakan lensa GastroDiplomacy tingkat bawah (grassroots level); yakni sebagai alat kampanye (campaign tools) dan promosi untuk mengubah persepsi serta pertukaran budaya kepada masyarakat kebanyakan (publik) di luar negeri, dengan memperkenalkan makanan nasional bersangkutan. Aktivitasnya melalui makanan jajanan jalanan (street food atau hawkers), rumah makan, restoran, acara-acara festival makanan, maupun lainnya.

Sedangkan Culinary Diplomacy lensa pada tataran atas dan kenegaraan yang dikenal dengan high-level cuisine (fine dine) yang merupakan lensa diplomasi tingkat atas (top level) dari pimpinan Pemerintahan & Negara (Government Leaders & Head of State), baik itu eksekutif & legislatif, dalam memperlihatkan prestise & kewibawaan Negara kepada counterpart-nya mengenai kemahiran merepresentasikan kekayaan dan keramah-tamahan budaya.

Kembali ke persoalan kuliner versi pemikiran mana yang bisa menjadi kekuatan lunak (soft power) suatu negara. Versi mana yang mampu menarik dan mengkooptasi, bukan memaksa (contras hard power) masyarakat dunia melalui daya tarik (appeal) dan daya pemikat (attraction) yang non-koersif dengan cara persuasif, melalui berbagai aspek seperti sosial, kebudayaan, dan nilai. Versi mana yang dapat memanfaat multi-track diplomacy kesembilan track diplomasi itu (aktor negara dan non negara) dalam melancarkan kebijakan luar negeri untuk mencapai kepentingan nasional suatu negara.

Pertanyaan ini diajukan karena banyak negara-negara di dunia yang belum maksimal menjadikan kuliner mereka sebagai elemen soft power GastroDiplomacy. Belum terpampang dengan nyata makanan mereka di dunia sebagai image dan branding negaranya, meskipun seni dapur mereka tidak kalah dengan negara-negara lain. 

Jawabannya menurut saya, Jepang, Korea Selatan, Malaysia atau Thailand adalah contoh kekuatan lunak GastroDiplomacy suatu negara yang mampu menjangkau publik (kalangan umum atau grassroots level) di seluruh dunia serta sebagai upaya untuk mengubah persepsi masyarakat dunia tentang negara atau bangsa mereka. Acara-acara seperti street food, mendirikan restoran, festival makanan, maupun lainnya merupakan keberhasilan negara-negara itu menjadikan kuliner mereka sebagai soft power GastroDiplomacy.

Soft power kuliner mereka mampu membentuk opini publik dunia dan telah menjadi aset maupun daya tarik tersendiri bagi masyarakat global, sehingga banyak negara-negara lain mengagumi nilai-nilai brand dan image seni dapur yang mereka bangun, ingin meniru keteladannya dan berhasrat mengikutinya. Negara-negara ini menjadi kekuatan budaya baru dunia sebagai wajah kedua kekuasaan (second face of power) dengan keanekaragaman kulinernya di kancah global, sehingga tidak hilang dimakan zaman.

Dengan demikian makanan jangan diletakkan sebagai opsi kedua atau pelengkap suatu aktifitas kenegaraan, karena kuliner sebenarnya bisa menjadi soft power suatu negara yang notabene bisa menjadi instrumen kebijakan geostrategi dan geopolitik suatu negara dalam peta dunia.

Semoga bermanfaat
Tabek
Betha Ketaren (Indra)

Referensi Artikel:
Amaliah, L.H. (2016) : Menata Jaminan Halal di Indonesia, Jakarta: Beeboks Publishing. S.L.Roy, Diplomacy, Terj. Harwanto, Mirsawati Jakarta: PT RajaGrafindo, 1995

Joseph S. Nye Jr : Soft Power, The Means To Success In World Politics, Paperback - April 27, 2005, BBS PublicAffairs

Louise Diamond and Ambassador John Mc Donald. 1996 : Multi Track Diplomacy: A System Approach to Peace. Third Edition. Kumarian Press

Mary Jo A. Pham : "Food As Communication : A Case Study Of South Koreas's Gastrodiplomacy", published in the Spring 2013 volume of the Journal of International Service in Washington, D.C

Rockower, Paul S. : "The State Of Gastrodiplomacy", Public Diplomacy Magazine, 2014

Wednesday 16 June 2021

Kebutuhan SDM Juru Masak Profesional

 Minggu lalu saya dikirim dua artikel oleh Duta Besar Indonesia untuk Swiss mengenai perkembangan restoran Indonesia di negeri Land of Milk and Honey tersebut. Dari kedua artikel, dapat disimpulkan tantangan yang dialami pemilik restoran Indonesia di Swiss dalam menjalankan bisnis kuliner; utamanya adalah mengenai kebutuhan dukungan logistik. Seperti kemudahan pengiriman dan pengadaan bahan baku pangan (bumbu-bumbu, rempah dan santan) dari Indonesia yang berjadwal rutin dengan biaya kirim terjangkau. Tantangan berikutnya, yaitu kebutuhan akan SDM, yakni tenaga juru masak profesional Indonesia (Chef), serta tenaga manajerial yang terbiasa menangani restoran ala Indonesia.


Saya berpendapat, kedua tantangan itu pro rata lazim dialami semua pemilik restoran Indonesia di luar negeri, namun saya tertarik untuk memberi masukan terhadap tantangan kedua, yakni mengenai kebutuhan akan SDM, terutamanya tenaga juru masak profesional Indonesia (Chef), karena secara khusus Prof. Muliaman Darmansyah Hadad menanyakan kepada saya bagaimana mengatasi perihal tersebut.

Anjuran saya kepada bapak Duta Besar, soal tenaga juru masak profesional Indonesia (Chef) itu sebaiknya disampaikan keperluannya kepada Presiden ICA (Indonesia Chef Association), & ACPI (Association Culinary Professional Indonesia), karena ketersediaan tenaga Chef di kedua organisasi ini cukup banyak, malah bisa juga untuk penyediaan tenaga manajerial yang terbiasa menangani restoran ala Indonesia.

Sejauh yang saya ketahui anggota ICA di seluruh Indonesia ada lebih kurang 4,600 orang, sedangkan anggota ACPI ada lebih kurang 300 orang. Apalagi perlu dicatat ICA adalah anak didik yang didirikan Kementerian Pariwisata & Ekonomi Kreatif pada tahun 2007.

Oleh karena itu, jika ada tantangan soal SDM akan selesai dengan sendirinya, namun peruntukannya bukan hanya untuk restoran-restoran Indonesia di Swiss. SDM ini harus mencakup ke seluruh pelosok dunia atau sejauh ada restoran Indonesia di luar negeri. Para Duta Besar Indonesia harus bisa menjembatani dan menjawab tantangan pemilik restoran Indonesia itu dengan ICA dan ACPI.

Selain itu juga ada pemikiran mengenai penyediaan tenaga masak profesional (Chef) bagi para calon Duta Besar Indonesia yang akan ditempatkan di pos perwakilan luar negeri. Dianjurkan saran ini perlu dipertimbangkan dengan seksama yang mana diolah oleh Kementerian Pariwisata & Ekonomi Kreatif dan Kementerian Luar Negeri berkolaborasi dengan ICA dan ACPI. Pelatihan protokoler dan diplomasi sebagai Chef Duta Besar dapat dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri. Sedangkan pelatihan ekonomi kreatif kuliner dilakukan oleh Kementerian Pariwisata & Ekonomi Kreatif.

Sebaiknya KBRI Bern menginisiasi pembicaraan bersama dengan Menteri Luar Negeri, Menteri Pariwisata & Ekonomi Kreatif, ICA dan ACPI untuk nantinya diusulkan menjadi standard prosedur operasi  (SPO) mengenai kebutuhan akan SDM tenaga juru masak profesional Indonesia (Chef) dan tenaga manajerial restoran Indonesia di luar negeri. Saran ini diajukan melihat potensinya dapat membuka lapangan kerja dan ekonomi kreatif bagi anggota ICA dan ACPI di luar negeri.

Jika Kementerian Pariwisata & Ekonomi Kreatif dan Kementerian Luar Negeri mempunyai SPO ini akan mempermudah jalan bagi masyarakat diaspora di luar negeri mendirikan restoran Indonesia karena ketersediaan akan tenaga kerja profesional sudah dijamin dengan sendirinya oleh Pemerintah.

Demikian disampaikan.
Semoga bermanfaat
Betha Ketaren (Indra)

Saturday 12 June 2021

Pusat Kajian Gastronomi Indonesia

Jika membaca peta makanan Indonesia, diketahui kepulauan Nusantara kita ini sangat kaya akan seni dapur masakan. Dengan populasi sebesar 270 juta lebih yang terdiri dari 1334 suku dan sub suku, termasuk etnis pendatang, Indonesia punya kekuatan puluhan ribu seni dapur masakan. Kekuatan seni dapur itu belum terdata dengan baik sampai sekarang.


Indonesia juga memiliki wilayah garis seni boga (makanan) yang beraneka ragam dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Miangas sampai Pulau Rote; yang masing-masing mempunyai rasa dan aroma yang berbeda satu sama lain.

Belum lagi jika bicara mengenai kekayaan sumber hayati bumi yang merupakan nomor dua di dunia dengan 77 jenis karbohidrat, 75 jenis sumber lemak/minyak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, 40 jenis bahan minuman, dan bumbu-bumbuan. Negeri ini memiliki kekayaan keragaman lebih dari 1,000 jumlah spesies tanaman sayuran, buah, 110 jenis rempah-rempah dan flora nomor dua di dunia yang tidak tumbuh di negara lain.

Makanan Indonesia punya kisah mengenai sejarah dan budaya, baik tangible dan intangible. Selain itu, Indonesia punya sumbangan tersendiri kepada dunia mengenai seni dapur makanannya. Rijsttafel adalah bukti sebagai aset kedua budaya seni dapur makanan dunia setelah masakan Prancis. Rempah Indonesia (Kayu Manis, Lada, Pala, Bunga Pala dan Cengkeh) pun tercatat telah mengubah revolusi cita rasa bumbu masyarakat dunia; yang awalnya berkembang di Eropa.

Makanan Indonesia bukan sekedar icip-icip atau semata-mata maknyus atau hanya acara masak memasak. Di benua barat, makanan dijabarkan mereka sebagai simbol, benchmark dan image kekuatan diplomasi negaranya.

Terhadap semua itu, apakah Indonesia sudah mempunyai suatu lembaga kajian gastronomi (makanan) untuk mengkaji, mempelajari dan meneliti mengenai nasib masa depan makanan dan pangan negeri ini. Lembaga ini bisa menjadi strategi dasar kebijakan dan sebagai sarana untuk mencapai tujuan politik nasional dan kebangsaan. Menjadi alat dan cara pandang maupun sikap bangsa Indonesia dalam gastronomi atau makanan, termasuk instrumen kebijakan dan strategi Negara.

Seperti diketahui, sampai saat ini lembaga kajian gastronomi (makanan) Indonesia belum terbentuk. Tanpa ada lembaga seperti itu, apapun yang beredar saat ini di publik mengenai makanan atau kuliner Indonesia sepertinya belum terarah dengan baik dan menjadi tanda tanya bagi sebagian masyarakat di negeri ini.

Umpamanya salah satu contoh, kita pernah dengar 30 (tiga puluh) IKTI (Ikon Kuliner Tradisional Indonesia), Diplomasi Soto (76) dan 5 (lima) Kuliner Indonesia. Ketiganya dijadikan Ikon Makanan Negara Indonesia ke panggung dunia. Usia ketiganya pun hanya sebatas pejabat bersangkutan dan setelah itu hilang dari peredaran publik. Tidak bertahan lama seperti Ikon Makanan Negara signature dish Tom Yam (Thailand), Kimchi (Korea Selatan), Pho (Vietnam) dan Nasi Lemak (Malaysia).

Penentuan Ikon Makanan Negara Indonesia itu kurang diorganisir dengan baik sebagaimana dan seharusnya dengan melibatkan berbagai pihak yang keahliannya dalam bidang gastronomi, makanan, antropologi, arkeologi, hubungan internasional, budaya, sejarah, sosiologi, kesehatan (nutrisi), teknologi pangan, pariwisata, hospitality dan lain sebagainya.

Selain itu, selama ini makanan yang kerap ditampilkan selalu berkisar yang itu-itu saja. Sepertinya nama-nama makanan itu terkesan selalu bersaing dengan simbol-simbol kebudayaan tertentu dan mendominasi. Pengalaman memperlihatkan, penyebutan makanan dengan nama tertentu selalu menjadi andalan Indonesia yang dibingkai sebagai "local dan original" kuliner negeri ini. Padahal nama-nama makanan itu belum tentu bisa diterima di daerah lain sebagai produk keaslian seni masakan mereka, meskipun ada di daerah tersebut, tetapi dianggap sebagai makanan pendatang yang bukan menjadi andalan.

Bagi suku dan sub-suku, seni dapur (resepi) makanan mereka adalah soal kebanggaan dan harga diri yang menyembunyikan arogansi fenomenal yang sangat kental kepribadiannya, apalagi pengakuan sebagai suatu bangsa. Mesti disadari, tampilan seni dapur dan makanan satu pihak, akan membawa dorongan dan hasrat kepada pihak lain minta ikut di dalam tampilan tersebut, apalagi kalau sering dan kerap tampilan seni dapur dan makanannya itu-itu saja dari satu pihak.

Sebenarnya bukan karena ada yang diistimewakan atau kurang diperhatikan. Ini adalah soal kurang mendalami dan terbatas menyadari begitu banyaknya kekayaan seni dapur (resepi) makanan yang ada di negeri ini. Peluang seni dapur masakan Indonesia untuk cukup besar, cuma belum digarap dari hulu sampai hilir seperti yang dilakukan Thailand.

Kebanyakan masyarakat, termasuk otoritas pemangku kepentingan, selalunya ingin makanan Indonesia bisa populer di dunia seperti dilakukan Thailand. Bisa dikatakan tantangannya terlalu besar, karena mesti ditentukan faktor apa yang menjadi motif, tujuan dan sasaran utama Indonesia melakukan seperti yang dilakukan Thailand, dimana hilirnya ada sekian belas ribu restoran mereka di berbagai belahan dunia.

Thailand mempunyai platform dari hulu sampai ke hilir terhadap strategi dan manajemen makanan mereka, yang intinya untuk outlet pangsa pasar eksport hasil pertanian. Platform ini merupakan vehicle yang menjamin eksport hasil pertanian negeri gajah putih ini dengan cara mendirikan restoran-restoran di berbagai belahan dunia.

Thailand menyediakan dan mengendalikan infrastruktur fasilitas storage dan stockpile bahan baku pangan pertanian di luar negeri untuk keperluan jaringan restoran mereka di luar negeri. Bisa dikatakan dari keperluan A sampai Z disediakan kepada jaringan restoran Thailand di luar negeri serta kepada eksportir hasil pertanian negeri gajah putih itu.

Oleh karena itu, belasan ribu restoran Thailand di luar negeri adalah outlet dari kepentingan eksport hasil pertanian. Seperti diketahui produk pertanian negeri ini sangat bagus dan advance dalam kualitas dan packaging serta memiliki sertifikasi atau sudah terdaftar di berbagai negara-negara di benua Barat.

Contoh apa yang dilakukan Thailand bisa ditiru oleh Indonesia, tetapi apa faktor yang menjadi motif, tujuan dan sasaran utamanya. Selain itu, Indonesia tidak bisa compete dengan Thailand, apalagi Vietnam, dengan membuat restoran dan sudah ketinggalan jauh puluhan tahun dari mereka. Apalagi hasil produk pertanian Indonesia belum secanggih Thailand yang sudah diakui resmi di pelbagai negara-negara di Barat.

Sebenarnya kekuatan Indonesia adalah di bumbu dari kekayaan rempah-rempah yang ada. Satu-satunya, Indonesia harus menggunakan rempah-rempah sebagai bumbu masakan yang dibuat mendunia. Perlu dicatat, kekuatan yang dimiliki Indonesia adalah di seni dapur masakan yang cukup banyak dan ini belum diangkat secara serius serta merupakan harta terpendam, terutama di sisi bumbu dan rempahnya.

Potensinya sangat besar, apalagi di dalam negeri sendiri semakin maraknya jumlah entrepreneur (pengusaha) makanan (menengah, mikro, kecil) yang lahir melalui inkubator secara alam (otodidak). Karena makanan merupakan pilihan utama bisnis masyarakat menengah dan bawah dalam mengatasi kesulitan ekonomi saat ini.

Oleh karena itu, sudah saatnya Indonesia mempertimbangkan mendirikan lembaga kajian gastronomi (makanan) sebagai kebijakan geopolitik dan geostrategi Negara dengan memformat secara nyata instrumen GastroDiplomasi & GastroWisata-nya. Dengan adanya lembaga ini seyogyanya bisa lebih baik diformulasikan kebijakan makanan atau gastronomi atau kuliner Indonesia, baik di dalam negeri maupun di panggung dunia.

Pemikiran perlunya lembaga kajian gastronomi (makanan) Indonesia merujuk kepada amanah Bung Karno tanggal 12 Desember tahun 1960 kepada Menteri Pertanian Brigjen dr Azis Saleh dalam buku Mustika Rasa; yang pada intinya Indonesia harus mempunyai Lembaga Teknologi Makanan yang akan meneliti dan mengkaji “the Indonesian Archipelago Region Cuisine Heritage”.

Amanat Bung Karno belum terealisasi sampai sekarang, yang pada hakekatnya, adalah dasar pemikiran dan rencana Bung Karno terhadap nasib masa depan makanan dan pangan Indonesia.

Buku Mustika Rasa merujuk kepada inspirasi dan kreatifitas kearifan lokal seni memasak bangsa Indonesia, yang di dalamnya secara eksplisit menutur alur sejarah dan daya cipta budaya masyarakat setempat serta peta lanskap geografis makanan suatu bangsa. Inspirasi dan kreativitas itu menyangkut falsafah, filosofis maupun perilaku sosial yang menjadi simbol, ritual dan adat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas masyarakat tempatan.

Setiap negara, bahkan setiap kelompok masyarakat memiliki corak makanan yang serasi dengan seleranya masing-masing dan sesuai dengan kondisi alam geografisnya. Apa yang kita makan, dengan siapa kita makan, dan bagaimana proses persiapan serta penyajian makanan itu menunjukkan peranan yang penting dalam memaknai relasi transaksi sosial budaya yang ada.

Dalam kesempatan ini, kiranya bisa diperluas amanah Bung Karno itu untuk juga menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran ilmu pengetahuan dan kebudayaan makanan dan minuman serta dalam kepentingan untuk kedaulatan pangan bangsa Indonesia. Dan itu semua bisa dilakukan lembaga kajian gastronomi (makanan) Indonesia.

Demikian disampaikan .. Semoga bermanfaat

Tabek
Betha Ketaren (Indra)