".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Thursday 17 June 2021

Mendudukkan Makanan Sebagai Soft Power

Soft diplomacy merupakan strategi atau cara yang digunakan oleh suatu negara untuk mewujudkan atau mencapai kepentingan nasionalnya; baik dengan menggunakan pendekatan sosial maupun budaya. Salah satu bentuk implementasi adalah GastroDiplomacy.


Karena terkait kata diplomasi, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa diplomasi merupakan praktek, tata cara dalam melakukan perundingan, negosiasi, maupun perjanjian yang dilakukan oleh diplomat untuk mempresentasikan negara yang diwakilinya dalam mencapai sebuah kepentingan nasional. Bisa dikatakan, diplomasi dalam hubungannya dengan politik internasional, adalah seni mengedepankan kepentingan suatu negara dalam hubungannya dengan negara lain (S.L.Roy, 1995). Diplomasi itu dewasa ini bukan hanya dilakukan oleh pemerintah (aktor negara), tetapi sudah berkembang ke era dimana siapa saja (aktor non negara) bisa melakukan negosiasi selagi  untuk mendapatkan kepentingan; baik dalam bentuk ekonomi, politik, sosial dan budaya.

GastroDiplomacy itu sendiri merujuk kepada salah satu cara atau tindakan yang dilakukan dalam memanfaatkan dan mengolah makanan  yang ada di suatu negara menjadi instrumen atau strategi untuk mencapai kepentingan nasional dengan merasakan sendiri cita rasa masakan yang ada; dan juga masakan tersebut dapat merefleksikan nilai-nilai budaya serta filosofi suatu negara. Dalam arti lain, GastroDiplomacy dipakai sebagai kekuatan lunak (soft power) untuk meningkatkan branding negara dan mencapai kepentingan nasionalnya.

Banyak negara telah memanfaatkan makanan sebagai instrumen kekuatan lunak (soft power) untuk meningkatkan citra publik mereka. Selama dua dekade terakhir, terjadi peningkatan jumlah dialog tentang peran makanan tidak hanya dalam membangun hubungan antara budaya dan bangsa, tetapi sebagai bagian dari fondasi budaya dan identitas nasional. Contoh negara seperti Jepang, Malaysia, Peru, Korea Selatan, Taiwan, dan Thailand,  bicara mengenai kekuatan lunak (soft power) itu melalui program GastroDiplomacy mereka, selain untuk kepentingan pariwisata yang ada disana, berupa gastro-wisata.

Sebagai catatan, kata makanan disini merujuk kepada kuliner mengingat kosa kata itu lebih kerap dipakai masyarakat dalam menyatakan terkait makanan.

Soft Power
Soft power merupakan suatu konsep diplomasi yang muncul pasca abad ke-21. Dalam politik (dan khususnya dalam politik internasional), soft power adalah kemampuan untuk menarik dan mengkooptasi, bukan memaksa (contras hard power). Dengan kata lain, soft power melibatkan pembentukan preferensi orang lain melalui daya tarik (appeal) dan daya pemikat (attraction). Ciri khas soft power adalah non-koersif; termasuk budaya, nilai-nilai politik, dan kebijakan luar negeri.

Salah satu tokoh yang terkenal dengan konsep soft power yaitu Joseph S. Nye, Jr dari Universitas Harvard.  Pada tahun 1990, Nye mempopulerkan istilah itu dalam bukunya Bound to Lead: The Changing Nature of American Power. Dalam buku ini ia menulis: ketika satu negara membuat negara lain menginginkan apa yang diinginkannya, itu bisa disebut co-optive atau soft power berbeda dengan hard atau command power untuk memerintahkan orang lain melakukan apa yang diinginkannya.

Menurut Nye, soft power merupakan kemampuan yang dimiliki suatu negara untuk mencapai kepentingan yang diinginkan dengan cara persuasif, melalui berbagai aspek seperti sosial, kebudayaan, dan nilai. Bukan melalui penggunaan kekerasan sehingga tidak menuju ke arah militer, perpecahan, hingga perang. Menurut Nye, konsep power yang dituangkan kaum tradisional bukanlah lagi menjadi kekuatan andalan atau satu-satunya yang dimiliki oleh negara sebagai alat untuk menekan negara lain, hingga menyepakati kebutuhan serta kepentingan negara tersebut.

Ia mengembangkan lebih lanjut konsep tersebut dalam bukunya tahun 2004, Soft Power: The Means to Success in World Politics. Pada tahun 2012 Joseph Nye mengatakan bahwa dengan kekuatan lunak (soft power), bukanlah propaganda. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa selama era informasi kredibilitas adalah sumber daya yang paling langka.

Dengan demikian soft power merupakan instrumen bagi negara-negara di dunia untuk menjadi kekuatan baru berupa kebudayaan dengan menyampingkan kekuatan militer. Keanekaragaman budaya yang dimiliki negara-negara di dunia memberikan keuntungan tersendiri; khususnya dalam bidang kuliner atau makanan. Negara-negara di dunia menyadari bahwa mereka memiliki keanekaragaman kuliner yang dapat diolah serta diperkenalkan di kancah internasional, dan tentunya bertujuan untuk mewarisi kebudayaan terhadap mancanegara sehingga tidak hilang dimakan zaman.

Apalagi di era sekarang, fokus utama alasan wisatawan dunia mengunjungi sebuah negara bukan hanya sekedar berkunjung ke tempat wisatanya saja, melainkan salah satunya ingin mencicipi berbagai kuliner khas dari negara tersebut, selain ditambah rasa penasaran terhadap jenis makanan yang lagi trending yang diketahui informasi itu melalui internet maupun media sosial. GastroDiplomacy mampu menjadi instrumen suatu negara untuk melancarkan kepentingannya dalam berdiplomasi, atau menjalin hubungan secara baik dengan negara lain.

Teristimewa melihat fenomena serta peluang dalam aspek pariwisata sangatlah cocok dikaitkan dengan perkembangan kuliner serta melihat kunjungan wisatawan yang datang semakin meningkat setiap tahunnya, membuat pemerintah berbagai negara di dunia gencar mempromosikan GastroDiplomacy sebagai soft power negara masing-masing dengan segala ketersediaan fasilitas, akomodasi, acara-acara dan lain sebagainya.

Kekuatan lunak suatu negara, menurut Nye, bertumpu pada tiga sumber daya:
1. Budaya (di tempat-tempat yang menarik bagi orang lain)
2. Nilai-nilai politik (di dalam dan luar negeri)
3. Kebijakan luar negeri  (ketika masyarakat dunia melihat negara itu sah dan memiliki otoritas moral).

Ketiga sumber daya soft power di atas adalah aset yang menghasilkan daya tarik yang sering mengarah pada persetujuan. Nye menegaskan bahwa, rayuan (seduction) selalu lebih efektif daripada paksaan (coercion), dan banyak nilai seperti demokrasi, hak asasi manusia, dan peluang individu sangat menggoda. Sebuah negara dapat memperoleh hasil yang diinginkannya dalam politik dunia karena negara lain - mengagumi nilai-nilainya, meniru teladannya, mencita-citakan tingkat kemakmuran dan keterbukaannya - ingin mengikutinya.

Soft power dapat digunakan tidak hanya oleh negara tetapi juga oleh semua aktor dalam politik internasional (multi-track diplomacy). Mereka dianggap sebagai wajah kedua kekuasaan (second face of power) yang secara tidak langsung memungkinkan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.

Multi Track Diplomacy
Pengertian multi-track diplomacy adalah kesuksesan sebuah diplomasi dapat dicapai apabila adanya terjalin kerjasama atau saling mendukung antara pemerintah dengan aktor-aktor non pemerintah lainnya, seperti media, ilmuan, pengusaha, penggiat pariwisata, serta lembaga-lembaga non pemerintah lainnya (Dr. Diamond and Ambassador Mcdonald, 1996).

Multi-track diplomacy dapat diartikan secara sederhana sebagai suatu kerangka konseptual yang merujuk pada sistem kehidupan yang berpengaruh dalam terciptanya perdamaian internasional. Dengan kata lain, sistem kehidupan itu saling berhubungan satu sama lain, baik dari negara, individu, lembaga, maupun kelompok kepentingan lainnya, yang bertujuan untuk terciptanya perdamaian dunia.

Dengan demikian, multi-track diplomacy merupakan alat atau jalur yang bertujuan membantu pemerintah dalam melakukan diplomasi dengan cara mengelola serta menyelesaikan berbagai permasalahan dengan berbagai solusi yang didapat dari pemikiran serta pandangan publik. Dalam perkembangannya multi-track diplomacy tidak hanya terbagi menjadi one track (aktor negara) dan two track (aktor non negara) diplomacy saja, melainkan dengan konsep serta paradigma diplomasi sekarang ini semakin berkembang dengan memunculkan sembilan track diplomacy yang memiliki pengertian dan karakteristik yang berbeda-beda namun tujuan utama dari kesembilan track tersebut sama yaitu menginginkan keberhasilan dalam pencapaiannya.

Kesembilan track (aktor) diplomasi itu adalah pemerintah (aktor negara) dan aktor non negara (pemerintah daerah, bisnis, private citizen, peneliti, aktivis, agama, pendanaan, dan media komunikasi sebagai pembentuk opini publik ). Dengan demikian multi-track diplomacy ini merupakan diplomasi yang sangat tepat dalam melancarkan kebijakan luar negeri untuk mencapai kepentingan nasional negara.

Keberhasilan soft power sangat bergantung pada reputasi kesembilan aktor dalam komunitas internasional, serta arus informasi antar aktor sebagai multi-track diplomacy. Dengan demikian, soft power sering dikaitkan dengan kebangkitan globalisasi dan teori hubungan internasional neoliberal. Budaya populer dan media massa secara teratur diidentifikasi sebagai sumber kekuatan lunak (soft power), seperti halnya penyebaran seni dapur resep nasional suatu negara di panggung dunia.

Lebih khusus lagi, media internasional dianggap penting dalam membentuk citra dan reputasi soft power suatu negara. Contoh, keunggulan Thailand dalam liputan berita media internasional mengenai program Global Thai mempromosikan kulinernya ke mancanegara dikaitkan dengan kekuatan lunaknya. Liputan berita dunia mengenai kampanye Thai is the World Kitchen, memberi pandangan dan branding positif kepada GastroDiplomacy Thailand sehingga mampu mendatangkan jutaan wisatawan ke negeri gajah putih itu.

Tetapi teknik politisasi branding apa yang membuat negara seperti Thailand berhasil dalam GastroDiplomacy ?

Mendudukkan Kuliner Sebagai Soft Power
Suatu negara sukses mempopulerkan makanan di panggung dunia bukan dikatakan sebagai keberhasilan GastroDiplomacy semata, tetapi negara-negara itu mampu menempatkan kuliner mereka sebagai kekuatan lunak (soft power) di mata dunia dalam bagaimana suatu negara bisa menyentuh hati orang-orang di seluruh dunia melalui perut mereka.

Jika dipelajari secara seksama, saat ini banyak pihak mengartikan GastroDiplomacy dalam versi yang berbeda-beda. Ada yang mengartikan GastroDiplomacy dengan menempatkan kuliner di tahap kedua setelah kepentingan utama melakukan lobi dan negosiasi. Kepentingan utama itu lebih dulu direpresentasikan dalam keperluan praktek dan tata cara diplomasi perundingan maupun untuk perjanjian di bidang politik, ekonomi, hukum, pertahanan dan lain sebagainya. Setelah itu baru urusanya acara makan-makan atau bisa bersamaan, tetapi tetap kepentingan utamanya adalah prioritas.

Ada pula yang mengartikan GastroDiplomacy dengan menempatkan kuliner utamanya sebagai soft power untuk mendapat pengakuan global, tanpa perlu adanya praktek dan tata cara diplomasi.

Kedua pemikiran di atas memang betul merupakan GastroDiplomacy, apalagi diplomasi dan budaya makanan bisa dibilang dua sisi mata uang yang satu sama lain saling berhubungan. Banyak keberhasilan eksekusi diplomasi dilakukan dengan produk budaya makanan. Tidak heran jika diplomasi menempatkan makanan sebagai salah satu tools (alat) dalam aksi negosiasi, lobi dan pengumpulan informasi (information gathering) maupun upacara diplomatik kenegaraan (state diplomatic ceremonial). Pemanfaatan makanan sebagai alat diplomasi berangkat dari asumsi dasar “The best way to win hearts and mind is through the Stomach” (Rockower, 2014). Sejak itu makanan memainkan peran penting dalam politik dan diplomasi serta memiliki peran penting baik dalam membentuk sejarah dunia serta interaksi diplomatik (Mary Jo Pham 2013).

Tetapi sebenarnya, terhadap kedua pemikiran itu ada perbedaannya, walaupun sebenarnya GastroDiplomacy itu intinya memiliki potensi untuk mengubah persepsi, dan menempatkan identitas negara di benak pikiran masyarakat negara lain, serta bagaimana negara memanfaatkannya untuk menempatkan dirinya pada peta signifikansi global.

Terhadap kebiasan kepentingan utama (lobi dan negosiasi) plus acara makan-makan, lazim dilakukan semua negara di dunia sebelum ada kata GastroDiplomacy itu sendiri diperkenalkan oleh Paul Rockower pada tahun 2011, 2012 dan 2014. Protokol acara ini disebut sebagai Culinary Diplomacy yang tidak terlalu menekankan kepada bobot gastronominya, tetapi sekedar kepada acara makan bersama dengan cara diplomasi. Efek branding-nya terhadap masyarakat dunia tidak terkesan lama (long lasting) karena Culinary Diplomacy dihadiri hanya dari kalangan tertentu dan terbatas, yakni elit politik atau aktor negara (one track), saat mereka melakukan perundingan diplomatik kenegaraan. Meskipun bisa dikatakan Culinary Diplomacy punya nilai soft power, tetapi tidak massal diketahui publik (kalangan umum).

Pemerintah Amerika Serikat punya protokol acara seperti ini yang dikenal dengan program Culinary Diplomacy Partnership Initiative (CDPI) untuk memperkenalkan diplomasi makanan ala Amerika. Instrumen diplomasi Washington ini bertujuan memperkuat hubungan bilateral di meja makan dengan rekan mitra kerja mereka di luar negeri, maupun yang diselenggarakan di dalam negeri serta di berbagai acara internasional atau di berbagai perwakilan Amerika Serikat; pada saat melakukan lobi dan negosiasi politik, ekonomi, hukum, pertahanan dan lain sebagainya.

Terhadap kebiasan dengan menempatkan kuliner utamanya sebagai soft power adalah sejatinya merupakan GastroDiplomacy, karena merupakan solusi yang telah berhasil digunakan dalam menjangkau publik (kalangan umum) di seluruh dunia serta sebagai upaya untuk mengubah persepsi orang lain tentang satu negara atau bangsa.

Disini bisa dikatakan kuliner sebagai kekuatan lunak (soft power) merupakan lensa GastroDiplomacy tingkat bawah (grassroots level); yakni sebagai alat kampanye (campaign tools) dan promosi untuk mengubah persepsi serta pertukaran budaya kepada masyarakat kebanyakan (publik) di luar negeri, dengan memperkenalkan makanan nasional bersangkutan. Aktivitasnya melalui makanan jajanan jalanan (street food atau hawkers), rumah makan, restoran, acara-acara festival makanan, maupun lainnya.

Sedangkan Culinary Diplomacy lensa pada tataran atas dan kenegaraan yang dikenal dengan high-level cuisine (fine dine) yang merupakan lensa diplomasi tingkat atas (top level) dari pimpinan Pemerintahan & Negara (Government Leaders & Head of State), baik itu eksekutif & legislatif, dalam memperlihatkan prestise & kewibawaan Negara kepada counterpart-nya mengenai kemahiran merepresentasikan kekayaan dan keramah-tamahan budaya.

Kembali ke persoalan kuliner versi pemikiran mana yang bisa menjadi kekuatan lunak (soft power) suatu negara. Versi mana yang mampu menarik dan mengkooptasi, bukan memaksa (contras hard power) masyarakat dunia melalui daya tarik (appeal) dan daya pemikat (attraction) yang non-koersif dengan cara persuasif, melalui berbagai aspek seperti sosial, kebudayaan, dan nilai. Versi mana yang dapat memanfaat multi-track diplomacy kesembilan track diplomasi itu (aktor negara dan non negara) dalam melancarkan kebijakan luar negeri untuk mencapai kepentingan nasional suatu negara.

Pertanyaan ini diajukan karena banyak negara-negara di dunia yang belum maksimal menjadikan kuliner mereka sebagai elemen soft power GastroDiplomacy. Belum terpampang dengan nyata makanan mereka di dunia sebagai image dan branding negaranya, meskipun seni dapur mereka tidak kalah dengan negara-negara lain. 

Jawabannya menurut saya, Jepang, Korea Selatan, Malaysia atau Thailand adalah contoh kekuatan lunak GastroDiplomacy suatu negara yang mampu menjangkau publik (kalangan umum atau grassroots level) di seluruh dunia serta sebagai upaya untuk mengubah persepsi masyarakat dunia tentang negara atau bangsa mereka. Acara-acara seperti street food, mendirikan restoran, festival makanan, maupun lainnya merupakan keberhasilan negara-negara itu menjadikan kuliner mereka sebagai soft power GastroDiplomacy.

Soft power kuliner mereka mampu membentuk opini publik dunia dan telah menjadi aset maupun daya tarik tersendiri bagi masyarakat global, sehingga banyak negara-negara lain mengagumi nilai-nilai brand dan image seni dapur yang mereka bangun, ingin meniru keteladannya dan berhasrat mengikutinya. Negara-negara ini menjadi kekuatan budaya baru dunia sebagai wajah kedua kekuasaan (second face of power) dengan keanekaragaman kulinernya di kancah global, sehingga tidak hilang dimakan zaman.

Dengan demikian makanan jangan diletakkan sebagai opsi kedua atau pelengkap suatu aktifitas kenegaraan, karena kuliner sebenarnya bisa menjadi soft power suatu negara yang notabene bisa menjadi instrumen kebijakan geostrategi dan geopolitik suatu negara dalam peta dunia.

Semoga bermanfaat
Tabek
Betha Ketaren (Indra)

Referensi Artikel:
Amaliah, L.H. (2016) : Menata Jaminan Halal di Indonesia, Jakarta: Beeboks Publishing. S.L.Roy, Diplomacy, Terj. Harwanto, Mirsawati Jakarta: PT RajaGrafindo, 1995

Joseph S. Nye Jr : Soft Power, The Means To Success In World Politics, Paperback - April 27, 2005, BBS PublicAffairs

Louise Diamond and Ambassador John Mc Donald. 1996 : Multi Track Diplomacy: A System Approach to Peace. Third Edition. Kumarian Press

Mary Jo A. Pham : "Food As Communication : A Case Study Of South Koreas's Gastrodiplomacy", published in the Spring 2013 volume of the Journal of International Service in Washington, D.C

Rockower, Paul S. : "The State Of Gastrodiplomacy", Public Diplomacy Magazine, 2014