".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Thursday 21 October 2021

Usulan Lembaga Kajian Gastronomi Indonesia

Latar Belakang (Background)
Usulan didirikannya Lembaga Kajian Gastronomi Indonesia merujuk kepada amanah Bung Karno tanggal 12 Desember tahun 1960 kepada Menteri Pertanian Brigjen dr Azis Saleh dalam buku Mustika Rasa; yang pada intinya Indonesia harus mempunyai Lembaga Teknologi Makanan yang akan meneliti dan mengkaji “the Indonesian Archipelago Region Cuisine Heritage”.

Amanat Bung Karno belum terealisasi sampai sekarang, yang pada hakekatnya, adalah dasar pemikiran dan rencana Bung Karno terhadap nasib masa depan makanan dan pangan Indonesia.

Buku Mustika Rasa merujuk kepada inspirasi dan kreatifitas kearifan lokal seni memasak bangsa Indonesia, yang di dalamnya secara eksplisit menutur alur sejarah dan daya cipta budaya masyarakat setempat serta peta lanskap geografis makanan suatu bangsa. Inspirasi dan kreativitas itu menyangkut falsafah, filosofis maupun perilaku sosial yang menjadi simbol, ritual dan adat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas masyarakat tempatan.

Setiap negara, bahkan setiap kelompok masyarakat memiliki corak makanan yang serasi dengan seleranya masing-masing dan sesuai dengan kondisi alam geografisnya. Apa yang kita makan, dengan siapa kita makan, dan bagaimana proses persiapan serta penyajian makanan itu menunjukkan peranan yang penting dalam memaknai relasi transaksi sosial budaya yang ada.

Dalam kesempatan ini, kami memperluas amanah Bung Karno untuk juga menyelenggarakan pendidikan, penelitian, pengajaran serta pelatihan tentang pengetahuan dan kebudayaan masakan makanan serta gastronomi Indonesia yang tak lepas dari sejarah Indonesia itu sendiri.

Pertimbangan (Consideration)
Makanan atau kuliner adalah bagian dari budaya populer, dimana kepercayaan, praktik, dan tren dalam suatu budaya mempengaruhi praktik makannya. Pop Culture (budaya populer) mencakup gagasan dan objek yang dihasilkan oleh suatu masyarakat, termasuk kuliner yang memberi dampak terhadap masyarakat.

Kapabilitas Pop Culture dalam kuliner Indonesia belum tersentuh secara maksimal, apalagi terhadap Gastronomi, GastroDiplomasi dan GastroWisata, padahal kemampuannya cukup tinggi.

Kapasitas Pop Culture kuliner sebagai produk industri komersial sangat mumpuni, apalagi jika dikemas sebagai instrumen Soft Power Indonesia.

Kalau kita perhatikan, kuliner, Gastronomi, GastroDiplomasi maupun GastroWisata Indonesia belum maksimal dikenal dunia meskipun sudah mengglobal.

Persepsi masyarakat dunia terhadap kuliner Indonesia belum menjadi pemersatu secara global. Belum menjadi gaya hidup (way of life) dan bahasa gaul yang dikonsumsi dalam aktivitas sehari-hari masyarakat dunia secara umum.

Kuliner Indonesia sudah menjadi salah satu sektor strategis, penopang terbesar dan unggulan dalam penerimaan perekonomian kreatif negara.

Pada tahun 2017, kuliner telah memberikan kontribusi sebesar 41,40 persen dari total pendapatan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif, yaitu sebesar sebesar Rp 410 triliun.

Pertumbuhan PDB Ekonomi Kuliner 5.06 persen (2016), 5.67 persen (2017) dan 5.61 persen (2018) dengan nilai ekspor Rp.1,217 Milyard (2015), Rp.1,26 Milyard (2016), Rp.1,25 Milyard (2017) dan Rp.1,40 Milyard (2018).

Sampai tahun lalu 2018, kuliner mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar hingga 8,8 juta orang dengan 5,5 juta pelaku industri usaha kuliner atau sebesar 67,7% dari total unit usaha ekonomi kreatif.

Menurut catatan Outlook dan Pariwisata & Ekonomi Kreatif Indonesia tahun 2020 / 2021 yang diterbitkan Kemenparekraf/Baparekraf, sumbangan subsektor kuliner atas keseluruhan PDB Nasional tahun 2020 adalah sebesar 40,13% atau sebesar Rp 455,44 Triliun dengan pertumbuhan atas keseluruhan PDB Nasional sebesar 40,13% di tahun 2020 atau sebesar 3,89% dengan distribusi pelaku industri kreatif yang bekerja di subsektor kuliner sebesar 49,3% pada tahun 2020.

Rata-rata upah bulanan pekerja kreatif di subsektor kuliner pada tahun 2019 adalah sebesar Rp. 2,139,380 dengan estimasi jumlah orang yang bekerja sebanyak 9,248,918 pada tahun 2020 dan diproyeksi jumlah orang yang bekerja pada tahun 2021 sebanyak 9,446.438.

Rata-rata tiap tahun kuliner merupakan penyumbang terbesar terhadap total PDB ekonomi kreatif, yakni sekitar 43%. Berdasarkan data Focus Economy Outlook 2020, sepanjang tahun 2020 peringkat pertama diduduki industri kuliner dengan perolehan terbesar, yakni sebesar 41 persen.

Untuk restoran Indonesia di luar negeri, Kemenlu sudah melakukan pemetaan sederhana bahwa terdapat 1,177 restoran di 48 negara yang terdiri dari 697 di Asia Pasifik dan Afrika serta 489 di Amerika dan Eropa.

Meskipun dicatat ada tantangan- tantangan yang dialami para pemilik restoran Indonesia di luar negeri dalam menjalankan bisnis kuliner, namun perlu diketahui dampak kuliner Indonesia sangat signifikan di panggung dunia yang perlu didukung dalam pengembangannya.

Oleh karena itu, Lembaga Kajian Gastronomi Indonesia akan menjadi wahana ide-ide baru dan independen khususnya mengenai pemberian saran dan gagasan kebijakan langsung kepada pemerintah dan stakeholders terkait lainnya.

Lembaga Kajian Gastronomi Indonesia akan merujuk kepada 3 (tiga) keahlian yakni  sebagai GASTRONOM (Gastronome) menunjuk kepada pelaku gastronomi. GASTRONOMI (Gastronomy) menunjuk kepada pengetahuan tentang makanan (food knowledge). Terakhir adalah GASTRONOMIK (Gastronomic) menunjuk kepada keahlian (pakar) seseorang tentang gastronomi.

Disamping itu, Lembaga Kajian Gastronomi Indonesia akan menekankan banyak kepada amatan, telaah dan tinjauan terhadap seni keahlian masakan (cuisine) kepulauan Nusantara di Indonesia, dan bukan semata (an sich) kepada makanan (food).

Masakan Nasional (National Cuisine)
Untuk diketahui banyak masyarakat belum memahami Gastronomi, Kuliner, Gastronomi Wisata dan Gastronomi Diplomasi.

Pada hakekatnya Gastronomi, Kuliner, Gastronomi Wisata dan Gastronomi Diplomasi bicara soal Masakan Nasional (National Cuisine) yang satu sama lain saling berkelindan (erat menjadi satu) tetapi berbeda.

Untuk memahami Gastronomi, Kuliner, Gastronomi Wisata dan Gastronomi Diplomasi, maka pertama-tama harus dipahami apa yang dimaksud dengan Masakan Nasional (National Cuisine).

Masakan Nasional (National Cuisine) adalah masakan asli suatu bangsa atau negara yang dikonsumsi oleh suatu masyarakat sehingga penduduk yang bersangkutan dapat dikatakan ahli dalam seni masakan tersebut.

Perlu diketahui yang dimaksud dengan Masakan Nasional disini adalah cuisine dan bukan food atau bukan dish atau bukan meal.

Perbedaannya bahwa Food adalah zat apapun yang dimakan untuk mempertahankan hidup. Dish adalah suguhan makanan yang dipersiapkan dan disiapkan untuk sebuah sajian hidangan.

Sedangkan Meal adalah santapan hidangan yang dimakan bersama-sama pada satu kesempatan (sarapan pagi, makan siang dan makan malam).

Sementara Cuisine adalah cara dan gaya khas memasak dalam menyiapkan makanan atau kualitas masakan tertentu, yang sering dikaitkan dengan tempat asal atau masakan dari daerah atau negara tertentu.

Masakan Nasional (National Cuisine) tersebut kemudian dipopulerkan oleh media massa sebagai bagian penting dari identitas suatu bangsa, di mana blender raksasa bernama globalisasi telah memperkenalkan eksistensinya.

Globalisasi adalah proses integrasi internasional yang terjadi karena pertukaran pandangan, produk, pemikiran, dan aspek kebudayaan akibat kemajuan infrastruktur transportasi dan telekomunikasi, termasuk kemunculan telegraf dan internet.

Peran Gastronomi dan Kuliner adalah memasyarakatkan Masakan Nasional (national cuisine) tersebut, dimana secara khusus Gastronomi mempelajari dan memperkenalkan hubungannya terhadap sejarah, budaya maupun tradisi dari suatu bangsa atau negara.

Tentang (About)
Lembaga Kajian Gastronomi Indonesia (Indonesia Institution of Gastronomy Studies) dengan kependekan LKGI (IIGS) dilatarbelakangi keperluan untuk:
1.     Mengkaji pengetahuan tentang Makanan (Food Knowledge) Indonesia dengan proses peer-review yang mengarahkan karya ilmiah, penelitian (kualitatif dan kuantitatif), artikel atau ide penulis yang ahli di bidang yang sama (peer) dan dianggap perlu untuk memastikan kualitas akademis tentang makanan serta gastronomi Indonesia, baik konseptual maupun empiris, yang berkaitan dengan pariwisata, perhotelan, hospitality, hubungan internasional, seni dan budaya serta entrepreneurship kewirausahaan.

Kajian oleh penulis ahli dievaluasi oleh sekelompok ahli peer review di lapangan untuk memastikan semua kajian yang diterbitkan berkualitas tinggi dan informasi yang dikandungnya akurat dan dapat diandalkan.

2.     Merumuskan dan mengadopsi Format Masakan Nasional Indonesia, baik mengenai tema brand sebagai bangsa dan tentang ragam kekayaaan makanan daerah kepulauan Nusantara.

3.     Merumuskan dan mengadopsi Format Gastronomi Berkelanjutan (sustainable gastronomy) dan Format Pariwisata Berkelanjutan (sustainable tourism) Indonesia dalam kepentingan Wisata Minat Khusus (special interest tourism).

4.     Merumuskan dan mengadopsi kebijakan tentang Local Food Policy Indonesia mengenai perangkat prinsip dan aturan yang akan menjadi ciri khas tata laksana dalam pemikiran, pekerjaan, kepemimpinan ataupun cara bertindak para stakeholders terkait di negeri ini.

Local Food Policy dalam keperluan menentukan Wisata Makanan Lokal Nusantara (Nusantara Local Food Tourism) dimana setiap kota di Indonesia punya makanan yang "local, native, indigenous dan authentic dengan menampilkannya sebagai ikon makanan kota (Local Regional Specialities) atau Regions Cuisine Heritage mereka masing-masing.

5.     Memberdayakan secara maksimal Wisata Minat Khusus (special interest tourism) melalui masakan makanan daerah kepulauan Nusantara untuk kepentingan menaikkan angka brand power pariwisata, ratio entrepreneurship dan brand power perdagangan Indonesia.

6.     Menginisiasi gerakan dan pemikiran baru (redefinisi) mengenai minyak sawit sehat untuk nutrisi makanan (cuisine).

7.     Sebagai terminal dan sarana untuk :
a.     Pembinaan, pelatihan dan pengembangan komunikasi antar stakeholders terkait (organisasi / perkumpulan profesi dan non-profesi maupun pemangku kepentingan kuliner lainnya) tentang masakan makanan dan gastronomi kepulauan Nusantara Indonesia.
b.     Pelatihan, penelitian dan pembelajaran (science and cooking) tentang teknik seni memasak makanan warisan budaya kepulauan Nusantara Indonesia.
c.     Pembinaan, pelatihan, pengembangan dan peningkatan daya saing kewiraswastaan (entrepreneurship) pelaku masakan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), khususnya di kalangan generasi muda.
d.     Pelatihan, bimbingan dan penyuluhan literasi digital dan teknik manajemen usaha kepada pelaku kuliner Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), khususnya di kalangan generasi muda.

Disiplin Keilmuan (Scientific Discipline)
Lembaga Kajian Gastronomi (LKGI mempunyai anggota yang keahliannya dalam bidang gastronomi, kuliner, antropologi, arkeologi, hubungan internasional, budaya, sejarah, sosiologi, kesehatan (nutrisi), tehnologi pangan, pariwisata, hospitality dan lain sebagainya.

Mitra Kerja (Counterpart)
1.     Sebagai pengetahuan budaya makanan dan minuman bernaung dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Riset dan Teknologi serta LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), maupun Lembaga/Universitas Pendidikan Tinggi yang mengkaji mengenai Pariwisata, Hubungan Internasional dan Kebudayaan.
2.     Sebagai kecakapan budaya makanan dan minuman GastroWisata (GastroTourism) bernaung dengan Kementerian Pariwisata dan Badan Ekonomi Kreatif serta Dinas Budaya dan Pariwisata Pemda-Pemda yang ada, maupun Lembaga/Universitas Pendidikan Tinggi yang mengkaji mengenai Pariwisata, Hubungan Internasional dan Kebudayaan.
3.     Sebagai kecakapan budaya makanan dan minuman GastroDiplomasi (GastroDiplomacy) bernaung dengan Kementerian Luar Negeri serta Dinas Budaya dan Pariwisata Pemda-Pemda yang ada, maupun Lembaga/Universitas Pendidikan Tinggi yang mengkaji mengenai Pariwisata, Hubungan Internasional dan Kebudayaan.

Semoga bermanfaat
Tabek

Salam Gastronomi
Makanan Punya Kisah
Food Has Its Tale
Cibus Habet Fabula

Jakarta, 6 Juni 2021
Indra Ketaren (Betha)
Pengamat Gastronomi Indonesia

Wednesday 20 October 2021

Kuliner Di Indonesia

KULINER INDONESIA
Indonesia memiliki potensi aneka ragam sumber daya alam sebagai bahan baku boga. Seluruh potensi ini adalah peluang besar dalam wujud pemanfaatan sumber energi dan bahan baku untuk dikembangkan menjadi produk subsektor kuliner yang kreatif dan inovatif.

Gastronomi (upaboga) sebagai kembaran dari Kuliner (boga) adalah wujud dari suatu pengetahuan, sejarah dan budaya, bahkan seni mengolah makanan menjadi faktor yang sangat menentukan beragam aspek, mencakup kesehatan hingga kebijakan dalam menjaga stabilitas serta ketahanan pangan nasional.

Suatu lembaga pengembangan boga dan upaboga di Indonesia sangat penting didirikan demi pengembangan produk subsektor kuliner dan gastronomi yang kreatif dan inovatif di dalam keperluannya mengatur dan menata kebijakan, regulasi, dan kelembagaan terhadap kuliner dan gastronomi di Indonesia (Prof Eni Harmayani, UGM)

Kebijakan, regulasi, dan kelembagaan dalam mengelola sektor ekonomi kreatif di bidang gastronomi dan kuliner menjadi salah satu aspek yang harus dipertimbangkan. Tentu saja eksistensi kebijakan, regulasi, dan kelembagaan itu harus bersifat mendukung, memberdayakan, dan mengembangkan dari segi apapun; bukan malah menghambat.

Ada beberapa lembaga yang selama ini berperan dalam pengembangan dan pemberdayaan kuliner dan gastronomi, yaitu Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Kesehatan, Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, serta Kementerian Luar Negeri.

KEMENTERIAN/LEMBAGA
Pengembangan dan pemberdayaan boga (kuliner) dan upaboga (gastronomi) akan menentukan pola konsumsi masyarakat. Makanan dan budaya makan saat ini tak hanya untuk memenuhi kebutuhan energi, tapi juga telah berkembang menjadi gaya hidup.

Tren masyarakat membeli makanan atau minuman, memotret makanan atau minuman, dan kemudian mengunggah di media sosial adalah salah atau indikasi yang jamak ditemui dari kuliner dan gastronomi sebagai gaya hidup.

Ini merupakan fakta yang disadari

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menyadari fakta boga (kuliner) dan upaboga (gastronomi) sebagai peluang lebar bagi pengembangan ekonomi kreatif subsektor kuliner dan gastronomi.

Kuliner dan gastronomi belakangan juga sangat erat dengan pariwisata, yakni GastroTourism dalam kaitan dengan special interest tourism (wisata minat khusus).

Pada era modern kiwari, makanan yang dikombinasikan dengan budaya menjadi alat utama untuk memasarkan destinasi wisata.

Wisata kuliner dan wisata gastronomi telah menjadi faktor berpengaruh pada dinamika dan kreativitas di dunia pariwisata. Gastronomi juga menjadi kunci utama memperkenalkan budaya dan warisan sejarah. Gastronomi dapat meningkatkan popularitas dan daya tarik destinasi wisata serta menjadi sarana menawarkan pengalaman berwisata kuliner yang inovatif dan kreatif.

Badan Pariwisata & Ekonomi Kreatif  bertindak sebagai Inkubator & Akselerator kewirausahaan (entrepreneur) sumber daya manusia (SDM) daripada boga (kuliner) dan upaboga (gastronomi) Indonesia.

Kementerian Luar Negeri berperan strategis mendukung peningkatan promosi kuliner dan gastronomi Indonesia ke seluruh dunia melalui hubungan internasional ala gastrodiplomacy.

Indonesia bisa belajar dari negara-negara yang telah sukses mempromosikan gastronominya ke seluruh dunia, seperti Spanyol, Perancis, Korea Selatan, Malaysia, Vietnam dan Thailand.

Kementerian Pertanian dan Kementerian Perindustrian berperan penting menopang akses pada bahan pangan dan menjaga kelestarian sumber daya alam untuk mendukung pengembangan kuliner dan gastronomi Indonesia.

Pola pengembangan kuliner dan gastronomi Indonesia sangat mempengaruhi permintaan bahan pangan yang kemudian membentuk pola pengadaan bahan pangan dan produk pertanian.

Selain itu Kementerian Pertanian di dalam pembinaan Entrepreneurship dan Perniagaan pelaku (produsen) pangan yakni para pembudidaya, petani, peternak, nelayan & pemburu hewan, baik di perkotaan, kabupaten maupun di daerah pedesaan serta daerah transmigrasi.

Kementerian Perdagangan terkait Entrepreneurship dan Perniagaan bagi pelaku makanan (boga)  kalangan menengah ke atas (pemasak, restoran dan perusahaan industri swasta lainnya), baik di perkotaan, kabupaten maupun di daerah pedesaan serta daerah transmigrasi.

Kementerian Koperasi & UKM terkait Entrepreneurship dan Perniagaan bagi pelaku makanan (boga) kalangan UMKM dan start-up (usaha jajanan jalanan, usaha industri makanan rumah tangga, usaha rumah makan & warung makan), baik di perkotaan, kabupaten maupun di daerah pedesaan serta daerah transmigrasi.

Kementerian Pendidikan,  Kebudayaan, Riset & Teknologi terkait Sejarah (history) & Kebudayaan (culture) makanan (boga)  Indonesia.

Pemerintah Daerah (Propinsi, Kabupaten & Kota) terkait Sejarah (history) & Budaya makanan (boga)  lokal setempat, maupun pelaku makanan (boga),  termasuk segala aset kekayaan makanan (boga) & penyelenggaraannya di daerah.

Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) terkait mengawasi, menjaga kualitas pengembangan dan peredaran makanan (kuliner) di Indonesia.

Komisi X DPR RI, Komite III DPD RI & DPRD terkait kebijakan program pengembangan sektor kuliner (boga) dan gastronomi (upaboga) di Indonesia dan di daerah (Propinsi, Kabupaten & Kota).

Keamanan pangan menjadi salah satu kunci menjaga ketersediaan produk-produk kuliner dan jasa boga yang aman dan berkualitas.

Peran media dan teknologi digital sangat penting. Lembaga-lembaga juga berperan penting dalam pengembangan kuliner dan gastronomi Indonesia secara konseptual maupun praksis.

Sedangkan kuliner dan gastronomi dapat dikembangkan di lembaga swasta dan pendidikan sebagai berikut :
1.     Gastronomi
a.     Lembaga Pendidikan : Universitas, Sekolah Tinggi dan Akademi yang terkait dengan Tata Boga, Teknologi Pangan, Sejarah & Budaya, Pariwisata dan Hubungan Internasional
b.     Lembaga Swasta : Organisasi yang terkait dengan Pemasak (Chef), Catering, Pariwisata, Restoran & Hospitality serta Hubungan Internasional

2.     GastroTourism
a.     Lembaga Pendidikan : Universitas, Sekolah Tinggi dan Akademi yang terkait dengan Pariwisata
b.     Lembaga Swasta : Organisasi yang terkait dengan Pariwisata, Restoran & Hospitality

3.     GastroDiplomacy
a.     Lembaga Pendidikan : Universitas, Sekolah Tinggi dan Akademi yang terkait dengan jurusan Hubungan Internasional
b.     Lembaga Swasta : Organisasi yang terkait dengan Hubungan Internasional

GRAND STRATEGY
Dalam Grand Strategy Pengembangan Ekonomi Kreatif 2020-2024 terdapat tiga kebijakan pembangunan ekonomi kreatif secara umum, termasuk sektor kuliner, yaitu penguatan ekosistem bisnis dan investasi; penguatan ekosistem usaha baru; dan penguatan pasar

Tujuan dan sasaran grand strategy diarahkan pada peningkatan nilai tambah ekonomi nasional. Walakin, lebih dari itu, melalui wisata gastronomi dapat dikembangkan kearifan lokal untuk membangun karakter bangsa, kedaulatan pangan, diplomasi, kesehatan, kecintaan terhadap tanah air, kesejahteraan sosial, dan keseimbangan lingkungan.

Pada 2015, Kementerian Pertanian merumuskan kebijakan untuk mewujudkan ketahanan pangan yang dituangkan dalam Kebijakan Strategis Pangan dan Gizi tahun 2015-2019. Mengacu sistem ketahanan pangan dan gizi, kebijakan tersebut didefinisikan dalam empat tujuan.

Pertama, meningkatkan ketersediaan pangan melalui peningkatan produksi domestik, pengembangan cadangan pangan, pengaturan perdagangan pangan berdasarkan kepentingan nasional, dan pengembangan produksi pangan lokal dan olahan.

Kedua, memperkuat keterjangkauan pangan melalui efisiensi fasilitasi pemasaran, sistem logistik pangan, stabilisasi pasokan dan harga pangan, penanganan kerawanan pangan darurat, dan bantuan pangan bagi keluarga miskin.

Ketiga, mengembangkan pemanfaatan pangan melalui pola promosi konsumsi pangan beragam, bergizi, seimbang, dan aman; pengembangan diversifikasi konsumsi pangan berbasis pangan lokal; perbaikan gizi masyarakat; dan peningkatan keamanan pangan segar dan olahan.

Keempat, penguatan kelembagaan pangan dan penguatan koordinasi ketahanan pangan melalui sinergi program dan pelibatan seluruh pemangku kepentingan dalam pembangunan pangan dan gizi serta dukungan kebijakan kementerian atau lembaga.

DATA EKONOMI KULINER INDONESIA
Kuliner Indonesia sudah menjadi salah satu sektor strategis, penopang terbesar dan unggulan dalam penerimaan perekonomian kreatif negara disamping mampu membuka lebar lapangan kerja baru.

Perlu diketahui pertumbuhan sektor makanan (boga) semakin naik tajam dengan melihat kenyataan angka statistik pertumbuhan di dalam negeri semakin berkembang (restoran, rumah makan, kedai, warung, kaki lima dan sebagainya).

Menurut catatan Outlook dan Pariwisata & Ekonomi Kreatif Indonesia tahun 2020 / 2021 yang diterbitkan Kemenparekraf/Baparekraf.
1.     Sumbangan subsektor kuliner atas keseluruhan PDB Nasional pada tahun 2020 adalah sebesar 41%  dengan total pendapatan sebesar Rp 455,44 Triliun dari total PDB ekonomi kreatif sebesar Rp 1.134.9 Triliun
2.     Rata-rata upah bulanan pekerja kreatif di subsektor kuliner pada tahun 2020 adalah sebesar Rp. 2,139,380 yang mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 9,446.438.
3.     Rata-rata tiap tahun kuliner merupakan penyumbang terbesar terhadap total PDB ekonomi kreatif, yakni sekitar 43%.

Berdasarkan data Focus Economy Outlook 2020, industri kuliner tumbuh saat sangat subur. Sepanjang tahun 2020 kontribusi terbesar terhadap PDB ekonomi kreatif pada peringkat pertama diduduki industri kuliner dengan perolehan terbesar, yakni sebesar 41%.

Data di atas menjadi bukti kuat bahwa makanan (boga) menjadi salah satu industri yang patut diperhitungkan dan menjadi penopang perekonomian di masa depan.

Dari 11 (sebelas) juta tenaga kerja nasional yang berkecimpung di industri kreatif, 31,5 persen bekerja di bidang sektor usaha makanan (boga) seperti di restoran, rumah makan, kedai, warung dan sebagainya.

Data yang ada menunjukkan baru terdapat kurang dari 3% usaha industri makanan yang berbadan hukum usaha.

Menurut pantauan dari beberapa catatan yang ada di tahun 2017, total jumlah restoran dan rumah makan saja yang berbadan hukum di 5 (lima) kota besar Indonesia saja (Jakarta, Bali, Bandung, Surabaya & Medan) ada 40,282 (Qraved).

Sedangkan menurut catatan data BPS tahun 2015,  tempat makan yang berbadan hukum (restoran & rumah makan yang besar dan menengah) di Indonesia ada 2,776 dengan pendapatan rata-rata Rupiah 4,66 Miliar per tahun per setiap restoran & rumah makan dan pengeluaran Rupiah 2,48 Miliar per tahun setiap restoran & rumah makan.

Rata-rata mempekerjakan 26 orang dengan lebih kurang 131 tempat duduk yang tersedia serta pengunjung rata-rata 227 orang setiap harinya.

Artinya ada lebih kurang Rupiah 6,884,480,000,000 (atau pro rata 6,9 Trilyun) per tahun biaya pengeluaran dengan pendapatan per tahun Rupiah 12,936,160,000,000 (atau pro rata 13 Trilyun) perputaran uang dari sekian banyak restoran & rumah makan yang besar dan menengah yang berbadan hukum di Indonesia itu.

Lapangan kerja yang ditampung rata-rata 72,176 orang dengan lebih kurang 363,656 tempat duduk serta pengunjung 630,152 orang setiap harinya.

Dilihat dari lokasi usaha, sebagian besar usaha restoran & rumah makan bertempat di kawasan pertokoan atau perkantoran, yaitu sebesar 54,57 persen. Sedangkan di lokasi objek wisata hanya sebesar 15,71 persen.

Selain itu, untuk jenis masakan utama yang disajikan, tercatat 54,55 persen restoran & rumah makan menyajikan makanan khas Indonesia.

Untuk jenis masakan Amerika atau Eropa sebanyak 22,43 persen, masakan China 10,69 persen, dan masakan lainnya 12,33 persen.

Usaha restoran & rumah makan sebagian besar telah berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT), yaitu sebesar 51,40 persen. Selain itu, terdapat 11,36 persen perusahaan yang berbentuk koperasi, CV maupun Firma.

Sedangkan sebanyak 37,24 persen perusahaan belum berbadan hukum atau tidak punya perusahaan sama sekali, seperti kaki lima, usaha rumah tangga, dan warung makan sederhana yang kerap disebut sebagai pelaku usaha Mikro & Kecil serta UKM.

Jumlahnya ada sekitar 366,943 di Indonesia, seperti pedagang warung tegal (warteg), pedagang nasi goreng, pedagang martabak, pedagang buah, pedagang minuman, dan sebagainya, yang rata-rata mempekerjakan 3 - 4 orang.

Menurut catatan Ketua Umum Asosiasi Pedagang Mie dan Bakso (APMISO) anggotanya yang tersebar di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur , DKI Jakarta dan Banten mencapai 60 ribu pedagang dengan penyerapan 100 ribu tenaga kerja. Di Jawa Tengah saja ada sekitar 10 ribu anggota yang tergabung dalam Apmiso.

Sedangkan Ketua Umum Asosiasi Pedagang Warung Tegal (Warteg) mengatakan untuk wilayah DKI Jakarta saja terdapat sebanyak 26.500 pedagang warteg yang tersebar di penjuru Ibukota.

Angka-angka di atas itu belum termasuk pedagang makanan keliling yang bekerja sendirian, seperti pedagang baso dan mie, pedagang gorengan, pedagang nasi goreng, pedagang sate, pedagang kue, pedagang minuman dan sebagainya yang diperkirakan lebih kurang ada sekitar 1,073,521 orang di seluruh Indonesia atau rata-rata 19,605 orang di setiap kabupaten dan kota yang ada di Indonesia.

DATA DIGITAL MARKETING
Catatan terhadap penggunaan digital marketing menunjukan sepanjang tahun 2020 terdapat sekitar 3,7 juta pelaku UMKM yang onboarding dari total 11,7 juta UMKM yang telah bertransformasi ke ranah digital marketing karena masyarakat kebanyakan mulai beralih ke belanja daring (online) untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari atau sekedar mencari makanan..

Artinya telah memenuhi sepertiga dari target 30 juta pelaku UMKM yang masuk ke ranah digital marketing dari keseluruhan total pelaku UMKM di negeri ini yang berjumlah sekitar 64 juta menjadikan belanja daring (online) sebagai tempat yang unstoppable.

Bahkan berdasarkan catatan transaksi Bank Indonesia, belanja daring (online) secara nasional meningkat 64% pada semester I tahun 2021 atau lebih kurang Rp 186,7 Triliun.

Selain itu dari data beberapa penyedia layanan internet dan perusahaan besar (seperti Google) mencatat kontribusi ekonomi digital terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai USD 44 Miliar atau naik 11% year on year (yoy) di tahun 2020 dan diperkirakan di tahun 2025 akan melonjak mencapai USD 125 Miliar.

PENUTUP
Kita semua menyadari bahwa perjalanan untuk mencapai cita-cita seperti yang disampaikan  di atas masih cukup panjang. Diperlukan semangat untuk merajut pemikiran besar ini, yang suatu saat nanti akan berbuah karya indah.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan kebijaksanaan, bimbingan dan kekuatan kepada kita semua.

Jakarta, 10 September 2021              
Indra Ketaren (Betha)