".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Tuesday 29 June 2021

Format Kuliner Indonesia (Analisa Politik)

Semenjak makanan menjadi pembicaraan hangat dalam masyarakat, belum ada sampai sekarang kesepakatan apa sebenarnya potret makanan Indonesia. Ramai representasi makanan (atau kuliner) ditampilkan, tetapi riuh rendah ditanggapi, malah citra itu diabaikan oleh sebagian kelompok masyarakat.

Bisa dikatakan sampai sekarang belum terlihat jawabannya, walaupun sudah ada political will dari Presiden Indonesia dengan menempatkan makanan sebagai salah satu 4 (empat) pilar diplomasi (Rapat Terbatas tanggal 27 September 2016 & tanggal 3 Februari 2017), tetapi kenyataan representasi makanan (atau kuliner) Indonesia belum berhasil di formulasikan.

Semenjak 17 tahun lalu, Indonesia meletakan 3 (tiga) dasar rumusan makanan berupa kampanye 30 (tiga puluh) IKTI (Ikon Kuliner Tradisional Indonesia), Diplomasi Soto (76) dan 5 (lima) Kuliner Indonesia. Usia ketiganya pun hanya sebatas masa jabatan penguasa (pejabat) bersangkutan, alias tidak berkelanjutan dan bertahan lama, seperti yang dimiliki Thailand (Tom Yam), Vietnam (Pho), Korea Selatan (Kimchi) dan lain sebagainya.

Selain itu, sebagian besar masyarakat di daerah menganggap ketiga rumusan yang ditampilkan selalu berkisar yang itu-itu saja, yang terkesan selalu bersaing dengan simbol-simbol kebudayaan tertentu yang mendominasi. Nama-nama makanan itu belum bisa diterima sebagai representasi produk keaslian masakan mereka, meskipun ada di daerah tersebut, tetapi dianggap sebagai makanan pendatang yang bukan menjadi andalan.

Bagi masyarakat, makanan adalah soal kebanggaan dan harga diri yang menyembunyikan arogansi fenomenal yang sangat kental kepribadiannya, apalagi pengakuan sebagai suatu bangsa. Mesti disadari, tampilan makanan dari satu pihak, akan membawa dorongan dan hasrat kepada pihak lain minta ikut di dalam tampilan tersebut, apalagi kalau sering dan kerap tampilan makanannya itu-itu saja.

Pertanyaannya, begitu sulitkah menentukan potret makanan Indonesia, padahal negeri ini sangat kaya akan seni dapur masakan.

Dengan populasi sebesar 270 juta lebih yang terdiri dari 1334 suku dan sub suku, termasuk etnis pendatang, negara ini mempunyai kekuatan puluhan ribu seni dapur masakan.

Disamping itu, Indonesia memiliki wilayah garis seni boga (makanan) yang beraneka ragam dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Miangas sampai Pulau Rote; yang masing-masing mempunyai rasa dan aroma yang berbeda satu sama lain.

Belum lagi jika bicara mengenai kekayaan sumber hayati bumi yang merupakan nomor dua di dunia dengan 77 jenis karbohidrat, 75 jenis sumber lemak/minyak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, 40 jenis bahan minuman, dan bumbu-bumbuan.

Negeri ini memiliki kekayaan keragaman lebih dari 1,000 jumlah spesies tanaman sayuran, buah, 110 jenis rempah-rempah dan flora nomor dua di dunia yang tidak tumbuh di negara lain.

Apalagi kuliner Indonesia punya kisah mengenai sejarah dan budaya, baik tangible dan intangible.

Selain itu, Indonesia punya prestasi tersendiri kepada dunia mengenai seni dapur makanannya, seperti Rijsttafel. Rempah kepulauan Nusantara pun tercatat telah mengubah revolusi cita rasa bumbu masyarakat dunia; yang awalnya berkembang di Eropa.

Dengan modal kekayaan dan prestasi seperti di atas, apa yang menjadi persoalan hingga sampai kini negeri ini belum mampu melahirkan purwarupa makanan Indonesia.

Bisa dikatakan selama ini, pihak-pihak yang terlibat memformulasikan makanan Indonesia sekedar memahami sebatas perjalanan sejarah kepulauan Nusantara. Mereka tidak memahami ada dimensi berikutnya, berupa matra kuliner bangsa di negara yang bernama Indonesia. Dengan demikian jika memformulasikan format kuliner Indonesia, seharusnya kedua pola di atas menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Artikel ini mencoba memaparkan secara komprehensif kedua pola di atas, yang seyogyanya dapat dipertimbangkan selanjutnya sebagai koridor dalam merumuskan makanan Indonesia. Interpretasi dimulai dengan mendeskripsikan sejarah pra-Indonesia, semasa disebut kepulauan Nusantara, dan saat di reka bangun menjadi negara bernama Indonesia.

Harap dipahami catatan mengenai pra-Indonesia diberikan secara komprehensif tetapi ringkas, agar dipahami riwayat sejarah politiknya dalam kepentingan dikaitkan nanti dengan format kuliner Indonesia.

Diharapkan dengan penjelasan yang disampaikan bisa membuka kaca mata lebih luas dalam kepentingan merumuskan format makanan (atau kuliner) di negeri ini.

SEPINTAS MENGENAI NUSANTARA
Pada masa sebelum kekuatan Eropa Barat menguasai daratan dan perairan Asia Tenggara, belum ada Indonesia. Namun pastinya jaringan perdagangan terpadu telah berkembang sedemikian rupa di kawasan ini, terhitung sejak awal permulaan sejarah Asia.

Nusantara yang kita kenal sekarang sebagai Indonesia, terdiri dari pulau-pulau dan tanah yang dikuasai oleh berbagai kerajaan dan kesultanan yang masing-masing diperintah oleh raja dan sultan besar. Kadang-kadang mereka hidup berdampingan dengan damai, dan biasa juga terlibat dalam kompetisi dan berperang satu sama lain. Semasa itu bisa dikatakan, Nusantara yang luas kurang memiliki rasa persatuan sosial dan politik seperti yang dimiliki Indonesia sekarang.

Wilayah Nusantara kaya akan komoditas dan daya alamnya yang berlimpah. Selain juga ada 4 (empat) selat (laut diantara pulau-pulau), yakni selat Malaka, selat Sunda, selat Lombok dan selat Makassar; yang merupakan akses utama dan jalur strategis perdagangan ekonomi dunia. Bagi raja dan sultan, menguasai komoditas, daya alam dan kontrol terhadap selat merupakan aset penting mendapatkan kekayaan, kekuatan dan pengaruh besar.

Pesona akan kekayaan tersebut, terutama rempah dan keempat selat, membuat bangsa asing tergiur datang. Suatu perkembangan yang akhirnya mengarah pada kondisi pendudukan (okupasi) untuk menguasai sumber daya alam bagi keperluan pemasukan devisa. Semasa itu berbagai kerajaan dan kesultanan menghadapi dengan gagah berani infiltrasi kekuatan asing, seperti Belanda, Spanyol dan Portugis.

SEPINTAS MENGENAI BELANDA
Rentang waktu 350 tahun lamanya kawasan Nusantara kedatangan bangsa asing. Dimasa itu, tidak ada satupun kerajaan dan kesultanan dikuasai bangsa asing. Lebih tepat dikatakan mereka menjelajah (explore) dan berhasrat menguasai (dominate) daripada menjajah (colonize) untuk kepentingan ekonomi, yakni berdagang rempah-rempah.

VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) adalah perusahaan kongsi perdagangan Belanda yang mencoba keberuntungan mereka berbisnis dengan rakyat di kepulauan Nusantara. VOC didirikan pada tahun 1602 merupakan persekutuan dagang Belanda yang memiliki hak monopoli aktivitas perdagangan di Asia. VOC sering dianggap sebagai perusahaan multinasional pertama di dunia sekaligus perusahaan pertama yang mengeluarkan sistem pembagian saham.

VOC perlu dibedakan dari Pemerintah Kerajaan Belanda, karena VOC lebih bersifat sebagai perusahaan daripada mewakili kerajaan. Dalam konteks menguasai (dominate), VOC hanya memiliki hak monopoli dagang dengan menjadikan Batavia sebagai markas, sedangkan teritori politik (political territory) masih dikuasai oleh kerajaan dan kesultanan lokal di Nusantara.

Namun lambat laun, Pemerintah Kerajaan Belanda ingin juga memonopoli perdagangan rempah, yang berakibat muncul keinginan menguasai wilayah Nusantara. Hal ini semakin terlihat, ketika VOC pada tahun 1800, dibubarkan Pemerintah Kerajaan Belanda dan daerah-daerah di bawah kekuasaan VOC diganti nama menjadi Hindia Belanda.

Gelagat Belanda tercium raja dan sultan di Nusantara, sehingga memunculkan tekad melakukan perlawanan bersenjata dimana-mana kepada Belanda yang mulai melakukan pemaksaan kehendak.

Belanda juga tidak serta merta menguasai seluruh wilayah. Bisa dikatakan selama Belanda berupaya menguasai Nusantara, tidak henti-hentinya kerajaan dan kesultanan yang ada di bumi Nusantara melakukan perlawanan.

Maraknya penentangan menolak intervensi Belanda muncul di berbagai wilayah di bumi Nusantara. Bisa dikatakan masa pendudukan (okupasi) Belanda tidak bisa digeneralisasikan untuk semua kawasan Nusantara, karena setiap daerah memiliki masa waktu berbeda dikuasai bangsa asing. Baru pada tahun 1914, Belanda bisa menguasai sebagian besar daerah kawasan Nusantara.

Prof. GJ Resink, seorang sejarawan UI pernah menerbitkan buku berjudul Indonesia Tidak Dijajah 350 Tahun mengatakan bahwa yang benar adalah Belanda membutuhkan waktu 300 tahun untuk menaklukkan beberapa daerah di Hindia Belanda.

Sementara itu Erond Damanik merujuk pada pendapat GJ. Resink Tahun 1987 dalam bukunya Raja dan Kerajaan Yang Merdeka Di Indonesia Tahun 1850-1910. Disebutkan dalam kurun waktu tahun 1850 hingga 1910, masih banyak daerah di bumi Nusantara masih merdeka atau belum diduduki Belanda.

Jadi timbul pertanyaan, sejak kapan bumi Nusantara sebenarnya dijajah oleh Belanda ?

Dr Sri Margana dari Universitas Gajah Mada mengatakan hitungan bumi Nusantara dijajah adalah setelah VOC bangkrut dan diambil alih oleh pemerintah kolonial Belanda. Masa VOC tahun 1602-1800 bukanlah masa kolonial tapi masa kapitalisme. Sehingga, merujuk pemikiran Sri Margana, penjajahan baru dimulai pada tahun 1800.

Dr Lilie Suratminto dari Universitas Indonesia mengatakan bumi Nusantara hanya dijajah selama 126 tahun. Hitungannya adalah masa kolonial Belanda berlangsung dari 1800-1942, yakni selama 142 tahun. Dan di sela-sela itu, masa penjajahan Belanda dikurangi oleh masa kolonial Prancis (1800-1811) dan Inggris (1811-1816). Praktis Belanda murni menjajah Indonesia sebanyak 126 tahun.

Pertanyaan kedua, sejak kapan sebenarnya Indonesia dijajah oleh Belanda ?

Zainal C. Airlangga mengatakan Indonesia hanya dijajah Belanda selama 4 tahun. Karena secara de facto dan de jure, Indonesia baru ada menjadi Negara Republik pada tahun 1945. Yakni melalui agresi militer Belanda I dan II, juga pergolakan di daerah-daerah.

Bagaimana dengan pidato Presiden Soekarno yang mendengungkan Lebih Menderita Dijajah Jepang Selama 3,5 tahun Daripada Dijajah Belanda 3,5 Abad. Pidato Bung Karno yang menyebut penjajahan Belanda selama 350 tahun tidak bisa disalahkan, karena waktu itu beliau hendak mengobarkan semangat nasionalisme.

Kolonialisme Belanda berakhir pada tahun 1942 ketika Hindia Belanda diserbu dan diduduki oleh bala tentara Jepang.

SEPINTAS MENGENAI INDONESIA
Konsep politis Indonesia belum ada di abad 19. Pada abad ke-16, ketika Portugis dan Belanda tiba ke daerah Nusantara, Indonesia belum merupakan sebuah entitas politik maupun wujud sebuah ketatanegaraan. Sebelum dikonstruksi sebagai konsep politis, kata Indonesia banyak digunakan dalam pemikiran kalangan antropologis, terutama kalangan barat, yang tidak pernah dikaitkan dalam domain ketatanegaran.

Oleh karena itu mengenai definisi politis pada abad ke-16 sudah jelas Indonesia belum ada, karena pada hakikatnya perlawanan yang dilakukan kerajaan dan kesultanan adalah untuk kepentingan wilayah kekuasaan mereka masing-masing. Notabene mereka bukan berjuang atas nama Indonesia, karena kerajaan dan kesultanan itu masih terpisah satu sama lain tanpa dikenal sebagai satu kesatuan wilayah Indonesia.

Hanya saja perlawanan kerajaan dan kesultanan itu kenyataannya dimasukan sebagai kesepakatan politik dalam catatan sejarah kemerdekaan Indonesia.

Negara Republik Indonesia lahir akibat okupasi (pendudukan) Pemerintah Hindia Belanda. Pada hakekatnya, Indonesia merupakan bangsa baru (new nation) yang konsep fenomenanya secara politik dibentuk dan berkembang pada abad 20, yang kita kenal sekarang sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kata Indonesia secara politis, dicetuskan dalam Manifesto (Maklumat) para pelajar Indonesia di Belanda pada tahun 1924, yang momentum ini mendapat sambutan hangat dari golongan nasionalis di dalam negeri yang kemudian mereka gunakan sebagai ekspresi politik perjuangan kebangsaan.

Puncak perkembangan nama Indonesia baru populer pada saat dicetus Sumpah Pemuda tahun 1928; pada saat dibacakan Sumpah Pemuda yang dipimpin Budi Utomo. Sumpah Pemuda adalah tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia yang merupakan kesepakatan politik semua suku dan sub-suku untuk bersatu, termasuk etnik pendatang.

Ikrar Sumpah Pemuda dianggap sebagai kristalisasi semangat menegaskan cita-cita berdirinya negara Republik Indonesia yang puncaknya berbuah menjadi Proklamasi Kemerdekaan pada hari Jumat, 17 Agustus 1945. Teks Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia dibacakan Soekarno didampingi Mohammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat.

Sebagai Negara yang merdeka dengan tanah air yang berdaulat, maka persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia disepakati melalui ikatan politik, yaitu Pancasila dengan ikatan hukum Undang-Undang Dasar 1945, selain oleh satu ikatan bahasa Indonesia.

Berhimpunnya suku dan sub-suku ke dalam negara yang bernama Indonesia adalah bukti mereka sejatinya bukan berasal dari suku dan sub-suku bangsa yang sama. Masing-masing suku dan sub-suku mempunyai perjalanan kesejarahan yang berbeda, meskipun ada yang sama.

Selain itu, konstruksi peradaban budaya masing-masing suku dan sub-suku masih tetap dipertahankan karena merupakan produk kearifan lokal leluhur yang tidak bisa disatukan ke dalam satu ikatan kesatuan kebangsaan negara bernama Indonesia.

Peradaban budaya itu menjadi kekayaan untuk saling melengkapi dan saling mendukung terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ungkapan sederhananya "dititipkan".

SEPINTAS KULINER NUSANTARA
Salah satu peradaban budaya yang tetap dipertahankan masing-masing suku dan sub-suku adalah seni dapur makanan (boga), selain adat istiadat, seni tari, seni berkain (tenun, batik dan ikat) dan lain sebagainya.

Oleh karena itu sangat sulit mengatakan Indonesia memiliki kartografi seni dapur makanan yang serupa satu sama lain. Kemiripan bisa, tapi bukan kesamaan.

Sebagai contoh, negeri Thailand dan Korea Selatan berasal dari satu rumpun kesukuan dan sub-suku yang sama, sehingga memiliki seni dapur makanan, bumbu, rempah dan cita rasanya yang sama, baik itu di belahan barat, timur, utara dan selatan dari kedua negara.

Kesamaan itu disebut sebagai Garis Seni Boga sehingga mudah menentukan peta seni dapur profil makanan (boga) kedua negara ini. Indonesia tidak demikian. Garis Seni Boga Indonesia tidak satu dan masing-masing suku dan sub-suku punya keunikan tersendiri yang berbeda walaupun ada yang memiliki kesamaan.

Perhatikan dari sisi barat, timur, utara dan selatan Indonesia, masing-masing punya bumbu, rempah dan citarasa yang berbeda. Ada daerah-daerah tertentu di Indonesia yang suka masakan pedas, manis, natural (bening). Ada yang suka cabe. Ada yang menggunakan andaliman (sebagai cabai atau merica) dan macam-macam lainnya.

Dengan demikian, jika bicara mengenai seni dapur Indonesia, perlu ditelusuri terlebih dahulu Garis Seni Boga-nya, karena format makanan Indonesia adalah prototip dan arketip makanan kepulauan Nusantara, yang sejatinya merupakan kumpulan dari berbagai makanan daerah yang dikonsumsi oleh golongan etnik tertentu dengan wilayah yang spesifik.

Prototip atau purwarupa adalah model asli atau rupa awal warisan seni dapur masakan yang mula-mula ada yang dititipkan kemudian dikembangkan menjadi standar ukuran masyarakat bernegara yang bernama Indonesia.

Sedangkan arketip merupakan gagasan, pola pemikiran, pola perilaku, filosofis, sikap, serta emosi kesadaran masyarakat mengenai ide warisan seni dapur masakan yang ada dan disepakati secara kolektif diterima keberadaanya dan dititipkan ke dalam masyarakat bernegara yang bernama Indonesia.

Dengan begitu seni dapur makanan Indonesia merupakan resep yang diperoleh secara turun temurun dengan bahan yang digunakan berasal dari daerah setempat. Diolah dan diproses dengan kebiasaan masyarakat setempat dan dihasilkan sesuai selera masyarakat setempat. Dalam perkembangannya juga dipengaruhi oleh masyarakat etnik pendatang (Arab, Belanda, India, Portugis dan Tionghoa).

Asal usul kekayaan resepi makanan ini bukan sejatinya milik negara bernama Indonesia, tetapi merupakan harta karun masyarakat kepulauan Nusantara yang terpisah satu sama lain yang kemudian dimanifestasikan dalam payung kebangsaan.

Sekali lagi dikatakan, kekayaan seni dapur makanan Nusantara secara de facto dimasukan sebagai amanat kesepakatan politik dalam catatan sejarah kuliner Indonesia. Sedangkan hak milik kekayaan intelektual budaya kuliner masih tetap dipertahankan masing-masing suku dan sub-suku.

Dalam bahasa Gastronomi, peradaban budaya kuliner masyarakat Nusantara tersebut disebut sebagai Local Regional Specialties (Makanan Khas Daerah Setempat).

RUMUSAN KULINER INDONESIA
Seperti disampaikan di atas, Indonesia adalah sebuah bangsa baru (new nation) yang lahir akibat okupasi (pendudukan) Pemerintah Hindia Belanda. Konsep fenomenanya secara politik dibentuk dan berkembang pada abad 20, yang kita kenal sekarang sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kesepakatan berdiri sebagai negara didasari atas Ikrar Sumpah Pemuda dan Teks Proklamasi Kemerdekaan yang diaplikasikan melalui ikatan politik, yakni Pancasila, dan ikatan hukum, yakni Undang-Undang Dasar 1945. Bisa dikatakan semenjak 76 tahun sebagai negara, Indonesia masih dalam proses memperkuat karakter, identitas dan peradabannya sebagai sebuah bangsa, mengingat perjalanannya masih panjang, kegagalan akan terjadi kapanpun.

Termasuk dalam mengelola peradaban budaya masyarakat, karena merupakan produk sivilisasi kearifan lokal leluhur yang tidak bisa disatukan ke dalam satu ikatan kebangsaan negara bernama Indonesia.

Formasi kekayaan peradaban budaya kuliner Indonesia merupakan konglomerasi dari berbagai rampai makanan masyarakat daerah kepulauan Nusantara.

Sebagai suatu bangsa, saat ini kuliner warisan Nusantara itu menghadapi tantangan untuk diterjemahkan sebagai kuliner baru (new culinary) atas nama Indonesia. Tidak bisa disatukan seperti Thailand, Korea Selatan dan Vietnam yang berasal dari satu rumpun kesukuan dan sub-suku yang sama.

Negara tetangga Indonesia ini memiliki seni dapur makanan, bumbu, rempah dan cita rasanya yang sama; baik itu di belahan barat, timur, utara dan selatan dari kedua negara. Kesamaan itu disebut sebagai Garis Seni Boga,  sehingga mudah menentukan peta seni dapur dari profil makanan (boga) ketiga negara itu.

Garis Seni Boga Indonesia tidak sama dan punya keunikan tersendiri, meskipun ada persamaan di wilayah lain; baik itu dalam rasa, warna, teksture, aroma, konsistensi, bentuk dan lain sebagainya.

Perhatikan dari sisi barat, timur, utara dan selatan Indonesia, masing-masing punya bumbu, rempah dan citarasa yang berbeda. Ada daerah-daerah tertentu di Indonesia yang suka masakan pedas, manis, natural (bening). Ada yang suka cabe. Ada yang menggunakan andaliman (sebagai cabai atau merica) dan macam-macam lainnya.

Terkait rumusan format kuliner Indonesia yang selama ini diajukan, pengalaman menunjukan gatra pola makanan yang ditampilkan sekedar memahami sebatas perjalanan sejarah kepulauan Nusantara. Mereka tidak menyadari ada dimensi pola makanan berikutnya, berupa matra sebagai bangsa di negara yang bernama Indonesia.

Kenyataan menunjukan, model 3 (tiga) kampanye, yakni 30 (tiga puluh) IKTI (Ikon Kuliner Tradisional Indonesia), Diplomasi Soto (76) dan 5 (lima) Kuliner Indonesia; adalah contoh rumusan format kuliner yang hanya memahami perjalanan sejarah kepulauan Nusantara.

Diksi IKTI terhadap kata Indonesia tidak menyambat ke 30 (tiga puluh) nama-nama makanan dan terkesan kurang mewakili kepentingan masyarakat lain. Terlebih lagi diksi kata Tradisional tidak bisa membedakan mana yang tradisional, mana yang akulturasi dan mana yang mimikri. Semua disamaratakan dengan sebutan sebagai makanan tradisional. Terhadap Diplomasi Soto, tidak semua suku dan sub-suku di negeri ini mempunyai kuliner soto, sehingga keterwakilan mereka tidak ada dalam rumusan itu.  Sedangkan mengenai 5 (lima) Kuliner Indonesia lebih kurang mirip dengan IKTI.

Bisa dikatakan ketiga model rumusan kampanye itu belum bisa diterima masyarakat sebagai representasi makanan Indonesia. Meskipun ketiga rumusan itu ada di daerah tersebut, tetapi dianggap sebagai makanan pendatang yang bukan menjadi andalan. Dapat dimafhumi sebagian masyarakat menganggap ketiga rumusan selalu berkisar nama makanan itu-itu saja yang bersaing dengan simbol kebudayaan tertentu yang mendominasi.

Perlu disadari, bagi masyarakat daerah, makanan adalah soal kebanggaan dan harga diri yang menyembunyikan arogansi fenomenal yang sangat kental kepribadiannya, apalagi pengakuan sebagai suatu bangsa. Tampilan makanan dari satu pihak, akan membawa dorongan dan hasrat kepada pihak lain minta ikut di dalam tampilan tersebut, apalagi kalau sering dan kerap tampilan makanannya itu-itu saja.

Usia ketiga rumusan itu pun sebatas masa jabatan penguasa (pejabat) bersangkutan, alias tidak berkelanjutan dan bertahan lama, seperti yang dimiliki Thailand (Tom Yam), Vietnam (Pho), Korea Selatan (Kimchi) dan lain sebagainya.

Bisa dibilang, kuliner sudah mampu menjadi soft power  Indonesia, sudah mendunia seperti makanan padang dan lain sebagainya, tetapi belum terkoordinir dengan baik dan terjadi begitu saja; berbeda dengan model kekuatan lunak Korea dan Jepang.

Dengan demikian sudah saatnya dibuat garis tegas  bagaimana seharusnya rumusan format kuliner Indonesia agar mudah dipahami dan diterima semua pihak di negeri ini. Disarankan kedua pola ini (gatra dan dimensi) yang disampaikan di atas, bisa menjadi pertimbangan sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan, karena bagaimanapun harus disadari peradaban budaya kuliner itu adalah titipan segenap masyarakat kepulauan Nusantara kepada penguasa bangsa Indonesia saat menyatakan kemerdekaannya.

FORMAT KULINER INDONESIA
Atas dasar penjelasan di paragraf Rumusan Kuliner Indonesia, sudah saatnya dipertimbangkan format kuliner Indonesia disusun secara terstruktur dengan menggabungkan pola sejarah makanan kepulauan Nusantara dengan pola sebagai bangsa di negara yang bernama Indonesia.

Kuliner Indonesia bukan sekedar resep memasak atau sebatas icip-icip, atau prototype nama makanan, malah bukan pula semata bicara mengenai identitas atau prestise restoran dan pemasak serta chef selebriti.

Makanan Indonesia merupakan akal budi dan perspektif pemikiran budaya, yang punya cerita atau kisah, baik mengenai falsafah dan filosofi yang di dalamnya terkandung sejarah amanah dan petuah asal muasal bangsa Indonesia.

Perlu disadari, makanan membentuk karakter, jati diri dan identitas kebangsaan yang kalau dikemas kedalam bahasa politik merupakan wawasan kebangsaan, yang lahir dari kearifan lokal masyarakat nusantara. Pada hakikatnya, makanan adalah cetak biru budaya yang menjadi simbol, ritual dan adat masyarakat kepulauan nusantara.

Selain itu, disarankan format kuliner Indonesia nantinya tidak secara langsung memperkatakan nama makanan, seperti rumusan 30 IKTI, Soto Diplomasi (76) dan 5 (lima) Kuliner Indonesia, yang memakai model perjalanan sejarah kepulauan Nusantara.

Secara literal, format kuliner harus memasukan dimensi dirinya sebagai bangsa di negara yang bernama Indonesia; selain gatra kuliner dalam perjalanan sejarah kepulauan Nusantara. Kedua pola ini harus menjadi satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan yang kegunaanya akan membantu memperkuat karakter dan peradaban Indonesia sebagai bangsa.

Secara harfiah, gabungan kedua pola akan mampu menjelaskan prototip dan arketip makanan masyarakat kepulauan Nusantara dalam koridor negara yang bernama Indonesia.

Disamping itu, pada dirinya sendiri, format kuliner Indonesia harus mempunyai 2 (dua) elemen, yakni :
i. Tema brand sebagai bangsa di negara yang bernama Indonesia
ii. Penerjemahan atau turunannya dengan memasukan makanan kepulauan Nusantara.

Tema brand ini merupakan jargon kuliner Indonesia yang akan mengakomodasi, mewakili dan menampung semua peradaban budaya makanan bangsa sebelum merdeka. Sekali lagi perlu disadari, bagi masyarakat, pengakuan makanan daerah mereka adalah simbol kebudayaan, kebanggaan dan harga diri yang melafalkan arogansi fenomenal yang sangat kental kepribadiannya.

Dengan demikian format kuliner Indonesia diusulkan mengandung 2 (dua) elemen dalam satu kesatuan, yakni :

Elemen Pertama, adalah tema brand sebagai representasi mewakili kultur makanan kepulauan Nusantara yang mempunyai unsur keseimbangan alam dan bumi. Tema brand ini  merupakan dasar paleo-keahlian seni memasak yang membentuk dan melahirkan enkulturasi masyarakat Nusantara selama hidupnya.

Filosofi tema brand melambangkan simbol sejarah, budaya dan lanskap geografis kearifan lokal etnogastronomi masyarakat Nusantara, sehingga menghasilkan suatu kesatuan karakter dan memberi kesan dinamis maupun futuristik sebagai bangsa Indonesia.

Selain itu, kekuatan tema brand adalah ungkapan terhadap branding power makanan Indonesia yang diterjemahkan bukan atas prototype nama makanan, tetapi terhadap emosi, personality, identitas, prestise serta kekuatan dari seni dapur masakan kepulauan Nusantara.

Oleh karena itu, deskripsi gambaran tema brand dapat direpresentasikan dengan 2 (dua) komponen, yaitu:
i. Pedas yang mewakili semua makanan yang ada di seluruh kepulauan Nusantara.  Bisa dikatakan, di hampir semua makanan masyarakat Nusantara ada rasa pedas alami dan ada rasa pedas manis.

ii. Rempah Nusantara yang sudah tercatat kemasyhurannya di banyak manuskrip kuno sebagai bagian penting dalam pembentukan peradaban marcapada nusantara. Rempah Nusantara (Kayu Manis, Lada, Pala, Bunga Pala dan Cengkeh) pun tercatat telah mengubah revolusi cita rasa bumbu masyarakat dunia; yang awalnya berkembang di Eropa. Selain itu, bumbu rempah Nusantara tidak bisa dilepaskan dari keseharian hidup masyarakat Nusantara, dimana naskah Ramayana, pada abad ke-10, menyebutkannya sebagai aksesori utama menu masakan sejak abad Jawa kuno.

Dengan demikian elemen pertama format kuliner Indonesia adalah mengenai tema brand yang diterjemahkan ke dalam simbolik pedas (spicy) dan rempah (spices), sebagai rasa alami masakan bangsa. Mengenai diksi tema brand, terpulang dari masing-masing pihak menentukan frasanya, asalkan tetap terkait dengan simbolik pedas dan rempah.

Suatu contoh narasi bisa melihat tema Thailand - Kitchen Of The World menjadikan brand ini diakui dunia dengan representasi belasan ribu restoran mereka di dunia. Tema brand itu telah mengakomodasi produk pertanian negeri gajah putih yang diekspor ke berbagai belahan dunia sejauh ada restoran mereka.

Kepentingan utama tema brand tersebut adalah untuk membantu ekspor produk pertanian secara global dan menjadikan kuliner maupun gastronomi wisata Thailand mendunia. Sedangkan filosofinya sederhana saja, yakni dalam satu payung tema brand bisa menampung semua keperluan. Tema brand itu diluncurkan secara global pada tahun 2002 yang bertahan sampai sekarang dan masih cukup relevan di media dunia.

Elemen Kedua, bagaimana menerjemahkan kuliner kepulauan Nusantara masuk ke dalam tema brand. Bisa dikatakan ada begitu banyak kuliner di kepulauan Nusantara, sehingga sulit menentukan mana yang bisa dijadikan referensi, apalagi hampir sebagian besar kuliner di Nusantara belum tersusun dengan baik.

Situasi ini bisa dimaklumi melihat begitu banyak seni dapur kepulauan Nusantara, serta kurang diselidiki secara mendalam asal usul sejarah dan budayanya. Sebagai catatan, Indonesia mempunyai lebih dari 300 kelompok suku bangsa, atau tepatnya 1.335 suku dan sub-suku bangsa, belum termasuk etnik pendatang (Arab, Belanda, India, Portugis & Tionghoa). Jika 1 (satu) suku dan sub-suku mempunyai minimal 30 (tiga puluh) jenis makanan (mulai dari makanan ringan, makanan berat, buah lokal serta minuman herbal), akan terdapat puluhan ribu. Sedangkan catatan resmi, berupa ensiklopedia, mengenai jenis makanan itu tidak ada sehingga secara perlahan akan hilang dari ingatan masyarakat.

Oleh karena itu jika menerjemahkan kuliner ke dalam tema brand, pastinya harus bisa mewakili semua kultur makanan yang pernah ada di kepulauan Nusantara, sebelum menjadi negara bernama Indonesia. Artinya, elemen kedua bicara mengenai signature dish (hidangan khas) yang unik dan tidak ada duanya, baik dari segi rasa, bahan maupun presentasi. Tolak ukur (benchmark) signature dish adalah tentang masakan andalan yang mempunyai nama sebagai jurus pamungkas.

Signature dish yang ditampilkan harus merupakan karya klasik yang mempunyai sentuhan emosional dan aktual yang kuat. Bisa memainkan banyak racikan untuk menjadi pengalaman baru bagi penikmat, pecinta dan pemerhati hidangan makanan (food connoisseur). Signature dish harus juga merupakan karya yang sarat akan karakter dan menjadi ciri khas yang melekat bagi kebanyakan masyarakat untuk menyenangi maupun mengkonversi dirinya menjadi pelanggan setia.

Karena pilihan signature dish begitu banyak sehingga, perlu suatu melting pot untuk mengakomodasi semua referensi kuliner kepulauan Nusantara dalam satu wadah. Disamping itu, konstruksi melting pot harus mempunyai perangkat untuk diserap dalam satu antologi kompilasi.

Melting pot itu bisa ditafsirkan berupa perangkat Lauk Pauk, yang pada hakekatnya dapat menampung dan mewakili berbagai-bagai lauk pauk seni dapur masakan kepulauan Nusantara. Sedangkan perangkat Lauk Pauk memerlukan sarana yang mana Rijsttafel bisa menjadi cara penyajiannya. Untuk diketahui pengertian Rijsttafel pada hakikatnya adalah hidangan nasi dengan segala variasi aneka lauk pauk.

Memang Belanda yang mempelopori Rijsttafel ke panggung dunia. Belanda memperkaya seni dapur masakan dunia dengan memperkenalkan Rijsttafel sebagai branding baru kepada masyarakat barat dengan tata cara makan (table manner) gaya internasional. Branding dalam arti, Belanda memperkenalkan Rijsttafel sebagai aset sajian internasional kedua setelah seni dapur masakan Perancis.

Seperti diketahui dimulai abad ke 17 dan 18, seni dapur masakan Perancis menjadi penting karena memberi kontribusi signifikan terhadap tata cara makan masyarakat barat. Bisa dibilang sampai hari ini, seni dapur masakan Perancis menjadi patokan masyarakat mancanegara, khususnya di kalangan gastronomi dunia.

Setelah seni dapur masakan Perancis dan seni dapur masakan Rijsttafel, belum ada sampai hari ini seni dapur masakan ketiga, meskipun Spanyol secara gigih mempromosikan seni dapur masakan Mediterranean sebagai pengimbang seni dapur masakan Perancis, namun belum dapat diakui masyarakat barat.

Tetapi perlu dicatat, branding Rijsttafel yang diperkenalkan Belanda mempunyai  predikat sebagai Indische gerechten atau Indische spezialität. Pada tahun 1960an mulai susut image popularitas Belanda terhadap  Rijsttafel tersebut dan bisa saja kekosongan ini diambil alih Indonesia.

Disamping itu, perlu disadari, kuliner Nusantara mempunyai sumbangan tersendiri kepada dunia. Rempah kepulauan Nusantara (Kayu Manis, Lada, Pala, Bunga Pala dan Cengkeh) tercatat telah mengubah revolusi cita rasa bumbu masyarakat dunia; yang awalnya berkembang di Eropa.

Dengan modal kekayaan dan prestasi yang sudah mendunia, konstruksi melting pot dengan perangkat Lauk Pauk serta penyajian ala Rijsttafel akan dapat memperlihatkan kekayaan bumbu rempah Nusantara dalam format kuliner Indonesia.

Contoh sederhana, Signature Dish Rijsttafel disajikan dengan berbagai lauk pauk pilihan dari Local Regional Specialties yang pengaturan table setting dan tata cara makan diatur gaya internasional. Signature dishes itu diambil dari berbagai seni dapur masakan Nusantara, termasuk yang langka dan belum pernah dikenal selama ini oleh kebanyakan masyarakat.

Umpamanya, perangkat lauk pauk dari Minangkabau, atau dari Jawa (Tengah, Timur atau Barat), atau dari Kalimantan (Tengah, Timur, Selatan, Utara atau Barat), atau dari Batak (Angkola, Mandailing, Karo, Toba, Simalungun atau Pakpak), atau dari Aceh maupun lain sebagainya. Penyebutan nama-nama makanan itu bisa dilakukan sebagai subtitle dari perangkat lauk pauk format kuliner.

Teknis dan proses memasaknya menggunakan produk lokal (seperti bumbu dan rempah), resep tradisional maupun cara proses pembuatannya.

Sebagai penutup, format kuliner Indonesia harus direstruktur ulang dengan menggabungkan pola sejarah makanan kepulauan Nusantara dengan pola sebagai bangsa di negara yang bernama Indonesia. Dengan menggabungkan dua pola itu akan terakumulasi semua kepentingan masyarakat yang selama ini kurang diperhatikan otoritas kebijakan terkait maupun pelaku kuliner di negeri ini.

Bagaimanapun harus disadari Indonesia merupakan bangsa baru (new nation) yang masih dalam proses memperkuat karakter, identitas dan peradabannya sebagai sebuah bangsa. Kekayaan intelektual peradaban budaya yang ada hanya titipan dari segenap masyarakat kepulauan Nusantara pada saat mereka mengatakan sumpah setianya ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Cara mengelola peradaban budaya itu pun sampai sekarang masih menjadi batu ujian, mengingat kearifan lokal sivilisasi leluhur itu tidak bisa disatukan dalam satu payung kebangsaan dan hanya bersifat untuk saling melengkapi dan saling mendukung terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Diharapkan dengan tema brand Pedas dan Rempah serta perangkat melting pot berupa Lauk Pauk yang disajikan ala Rijsttafel, seyogyanya format kuliner Indonesia dapat bertahan lama (long-lasting) seperti yang dimiliki Thailand.

Sebagai perumpamaan, ilustrasi, format kuliner Indonesia bisa menggunakan acuan sebagai berikut :
i. Tema Brand : Indonesia Flavors The World - "Spicy & Spices"
ii. Melting Pot : Rijsttafel
iii. Local regional Specialities : Central Javanese Nourishment with appearance of Nasi Gandul, Gudeg, Soto Kudus, Mangut Beong, Mie Ongklok, Garang Asem, Rondo Royal, Lumpia, Wajik, Gethuk, etcetera

Rumusan format kuliner Indonesia ini juga akan menjadi dasar kekuatan konstruksi Gastronomi Indonesia, GastroDiplomasi dan GastroWisata. Selain menjawab arahan Presiden Republik Indonesia mengenai Diplomasi Makanan dalam Rapat Terbatas (Ratas) Kabinet Kerja pada tanggal 27 September 2016 dan tanggal 3 Februari 2017, mengenai 4 (empat) pilar diplomasi.

Semoga bermanfaat
Tabek
Betha Ketaren (Indra)

Referensi Artikel :
1. Lilie Suratminto : Makna sosio-historis batu nisan VOC di Batavia, Depok, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, UI, 2007
2. Resink, G.J. : Bukan 350 Tahun Dijajah. Depok,  Komunitas Bambu, 2013
3. Resink, G.J. : Raja dan Kerajaan Yang Merdeka Di Indonesia Tahun 1850-1910, Penerbit Djambatan, 1987
4. Sri Margana : Gelora di Tanah Raja: Yogyakarta Pada Masa Revolusi 1945-1949, Yogyakarta: Dinas Kebudayaan DIY
5. Sri Margana : Java's Last Frontier: The Struggle for Hegemony of Blambangan, c. 1763-1813, LEI Universiteit Leiden, 2007
6. Zainal C. Airlangga : Membongkar Mitos Indonesia Dijajah 350 Tahun, Himmpas UI, 2015