PENDAHULUAN
Sejak ratusan tahun yang lalu, Indonesia kerap didatangi oleh orang-orang asing dari berbagai negara benua Eropa (Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris) serta Asia (India, Tiongkok, Timur Tengah, dan Jepang). Kekayaan alam serta keramahan pribumi menjadi daya tarik bagi bangsa-bangsa asing tersebut untuk datang ke Indonesia. Mereka datang dengan berbagai tujuan, mulai dari berdagang, menyebarkan agama hingga melakukan penjajahan. Ketika datang dan hidup di bumi nusantara orang-orang asing tersebut membawa kebudayaan dari negara mereka masing-masing. Dengan demikian teknik memasak dan bahan makanan asli Nusantara saat itu berkembang dan kemudian dipengaruhi oleh seni kuliner India, Timur Tengah, Tiongkok, dan akhirnya Eropa. Tak pelak, kondisi tersebut memunculkan fenomena lintas budaya dalam berbagai aspek, salah satunya adalah masakan.
Bangsa-bangsa asing tersebut selama menetap melakukan interaksi, adaptasi dan berbaur dengan kebiasaan masyarakat setempat, bahkan kemudian menikah dengan pribumi. Banyak hal yang harus mereka selaraskan ketika hidup berdampingan, mulai dari gaya hidup, cara berkomunikasi, hingga urusan yang sangat manusiawi, yakni makanan. Etnik pendatang ini tidak langsung bisa menyantap makanan yang ada. Karena tidak setiap hari bisa menyantap masakan dari negara asalnya, akibat kesediaan bahan baku, maka butuh waktu bagi bangsa asing ini untuk bisa beradaptasi dengan makanan pribumi. Seiring berjalannya waktu, akhirnya ada yang bisa menyantap masakan tersebut, namun banyak juga yang akhirnya sedikit memodifikasi resep-resep masakan asal negara mereka dengan menggunakan bahan baku lokal namun tetap sesuai selera.
Sejak itu ragam kuliner negeri ini banyak dipengaruhi oleh budaya dari bangsa-bangsa asing (khususnya Belanda dan Tiongkok) yang pernah menetap di bumi khatulistiwa sebelum menjadi sebuah republik. Pengaruh Belanda dan Tiongkok itu, pertama disebabkan kedua etnik pendatang inilah yang paling lama dan sejak awal hadir di bumi Nusantara. Kedua, dan ini jarang diketahui banyak orang, bangsa Cina dan Belanda mempunyai kebiasaan dimana mereka berada, selalu mendirikan pasar / toko berlokasi dimana pembeli dan penjual berasal dari etnis yang sama. Pasar / toko ini untuk memenuhi sebagian dari kebutuhan hidup sehari-hari dan bahan baku masakan mereka yang diperoleh dari para pelaut yang datang di pelabuhan maupun untuk memperjual belikan barang-barang lokal dari pedagang setempat. Di sekitar pasar / toko itu kemudian dibuka kedai-kedai makanan / restoran yang menghidangkan budaya kuliner masakan Belanda dan Tiongkok yang serta merta berkembang secara perlahan masuk ke dalam lingkungan kehidupan kuliner masyarakat lokal.
Namun pada dasarnya tidak ada satu bentuk tunggal "masakan Indonesia", tetapi lebih kepada, keanekaragaman masakan regional yang dipengaruhi secara lokal oleh kebudayaan Nusantara serta pengaruh asing. Fenomena lintas budaya yang terjadi membuat negeri Indonesia kaya akan berbagai aneka ragam macam kuliner. Baik makanan khas asli maupun yang sudah mendapat pengaruh dari bangsa-bangsa asing. Bentuk lanskap penyajian makanan Nusantara saat itu umumnya disajikan berupa makanan pokok dengan lauk-pauk berupa daging, ikan atau sayur disisi piring.
PENGARUH BELANDA
Pengaruh Belanda paling terlihat dalam masakan Jawa karena wilayah ini paling diperhatikan oleh Belanda selain banyak yang bermukim di kepulauan ini. Tidak heran akhirnya pertemuan antara pribumi (Jawa) dan Belanda menghasilkan suatu kehidupan sosial budaya yang berbeda. Berakhirnya kekuasaan VOC pada 1799 menjadi fase penting dalam menciptakan perubahan sosial budaya itu seiring munculnya kekuasaan politik Hindia Belanda (Pax Neerlandica) pada awal abad ke-19.
Banyak pria-pria Belanda yang tinggal bersama dengan perempuan pribumi (Jawa) atau biasa disebut Nyai. Ada yang secara resmi dinikahi dan ada juga yang hanya dipekerjakan sebagai pelayan atau pembantu. Ketika tinggal bersama Nyai, para pria Belanda membiasakan diri dengan nuansa kehidupan Jawa. Sudah menjadi kodrat bagi pria untuk dilayani, pun begitu dengan pria Belanda yang membutuhkan Nyai untuk mengurus segala keperluan mereka, termasuk urusan makan. Kehidupan bersama Nyai membuat para pria Eropa (Belanda) terbiasa dengan makanan dan masakan pribumi (Jawa) meski tentunya mereka membutuhkan waktu untuk menyesuaikan dengan lidah dan cita rasa makanan dan masakan Jawa.
Ada banyak makanan Indonesia yang sebenarnya mendapat pengaruh Belanda, antara lain sup dan bistik. Pada mulanya sup diperkenalkan oleh orang Belanda pada abad ke-19 dalam jamuan makan. Merujuk pada suatu sumber referensi, terdapat 2 (dua) resep sup yang mendapat pengaruh Belanda, yaitu Hollandsche Vermicellisoep (Sup Sohun Belanda) dan Hollandsche Erwtensoep (Sup Kacang Polong Belanda).
Pada menu pertama dapat dilihat bahwa ada pengaruh dari negara lain selain Belanda. Penggunaan bahan makanan sohun atau bihun sudah jelas menggambarkan pengaruh Tiongkok pada menu tersebut. Bahan utama dari Sup Sohun Belanda tentunya adalah mie sohun atau bihun, dengan bahan pendamping telur ayam, bawang merah daun bawang, dan susu. Dari bahan-bahan tersebut, yang memberi cita rasa Belanda adalah campuran kuning telur dan susu. Pada menu Hollandsche Erwtensoep (Sup Kacang Polong Belanda) lagi-lagi mendapat pengaruh Tiongkok, dengan adanya kaki babi (Varkenspoot) pada komposisinya. Penggunaan daging babi alih-alih daging sapi merupakan ciri khas kuliner Tiongkok. Bahan makanan lain adalah kacang polong (bahan utama), bawang, seledri, dan kapri (Erwtensoep).
Bistik, jika di Barat umumnya disebut steak, sebenarnya merupakan saduran dari bahasa Belanda yakni biefstuk. Bistik, seperti laiknya steak, merupakan olahan daging (umumnya sapi) dengan pendamping berupa kacang polong, wortel, dan kentang. Ada 2 (dua) menu bistik yang mendapat pengaruh Belanda, yakni Biefstuktjes (Bistik) dan Bistik Djawa.
Orang Jawa tentunya mengerti perihal bistik dari orang-orang Belanda. Jaman dahulu, bistik dikenal sebagai makanan yang memiliki tampilan lain dari yang lain (tidak biasa) oleh orang Jawa. Pada masa kolonial, cara masak bistik diadopsi oleh pribumi (Jawa) yang bekerja sebagai pelayan di rumah orang-orang Belanda. Sejatinya cara memasak bistik Belanda sangatlah sederhana, yakni cukup diberi bumbu, dipanggang, baru kemudian disajikan di piring dengan berbagai hiasannya. Pribumi (Jawa) yang mengadopsi bistik kemudian memodifikasi cara masak tersebut. Daging bukan dipanggang, namun digoreng. Pun dengan perpaduan bahan masak, yakni adanya pala, merica, hingga kecap manis yang mencitrakan selera lidah orang Jawa. Sehingga pengaruh Jawa dapat dilihat dari cara pengolahan dan juga bahan masaknya.
Pada Bistik Djawa, pengaruh Jawa begitu kental terasa, mulai dari cara pengolahan hingga penyajian. Daging digiling terlebih dahulu baru kemudian dihaluskan, sangat menunjukkan cara orang Jawa dalam mengolah masakan daging. Pada saat penyajian, daging beserta para pendampingnya (kentang, wortel, dan sayuran) ditata di atas piring baru kemudian disiram dengan kuah semur manis sebagai saus. Ciri khas masakan Jawa adalah cita rasa manis, yang terdapat dalam saus bistik tersebut. Rasa manis dari kuah semur ini merupakan bentuk akulturasi dari resep masakan bistik orang Belanda.
PENGARUH TIONGKOK
Istilah masakan Tiongha di daratan Tiongkok juga mengacu kepada variasi dari seluruh suku bangsa, agama dan tradisi yang berkembang di negara tersebut. Namun, masakan Tiongkok yang diperkenalkan kepada banyak bangsa di dunia adalah masakan etnis Han. Pengaruh masakan etnis Han ada di setiap kuliner negara-negara timur dan menyebar di luar komunitas-komunitasnya di seluruh dunia, termasuk di bumu pertiwi Nusantara..
Masyarakat Indonesia tentu sudah akrab dengan berbagai masakan seperti mi, bakso, hingga cap cay. Masakan-masakan tersebut dapat dijumpai dalam keseharian masyarakat Indonesia, baik di warung kaki lima, pujasera, restoran mewah, atau dimasak sendiri di rumah. Sejatinya, masakan-masakan tersebut berasal dari daratan Tirai Bambu dan masuk ke Indonesia sejak ratusan tahun yang lalu. Seperti halnya masakan Belanda yang dimodifikasi sedemikian rupa agar sesuai dengan selera orang Indonesia, hal tersebut juga berlaku untuk masakan-masakan dari Tiongkok.
Mi merupakan makanan asli dari Tiongkok dan sangat populer di kawasan Asia. Bersamaan dengan misi penyebaran agama dan perdagangan, bangsa Tiongkok memperkenalkan mi hingga ke wilayah Nusantara. Di Indonesia, terdapat banyak varian mi yang menunjukkan fenomena lintas budaya Tiongkok dan Indonesia. Uniknya, tiap daerah seakan-akan memiliki varian mi sendiri, seperti; Mi Aceh, Mi Ayam, Bakmi Jawa, Mi Jakarta, dan masih banyak lagi. Sehingga tidak salah jika menyebut mi dianggap sebagai salah satu makanan pokok oleh orang Indonesia.
Berbagai varian mi tersebut menunjukkan perpaduan antara bahan masakan utama (mi) yang berasal dari Tiongkok dan bahan-bahan masakan asli Indonesia. Cara memasak dan menyantap hidangan pun mengadopsi dari Tiongkok. Contohnya saja di beberapa restoran atau warung yang menyediakan chinese food, umumnya koki atau juru masak saat sebelum memasak akan menyiapkan bahan-bahan makanan yang dijadikan satu dalam suatu piring sesuai menu yang dipesan. Setelah piring yang berisi bahan-bahan makanan tersebut siap, barulah dimasukkan dalam penggorengan atau piranti memasak lainnya. Untuk cara menyantap hidangan, sudah umum jika menemui sumpit sebagai alat makan di berbagai warung mi atau resto chinese food.
Bakso, sesungguhnya merupakan kata yang berasal dari bahasa Tiongkok. “Bak” artinya daging babi dan “so” artinya mi dan sup. Memang pada dasarnya bakso menggunakan daging babi, seperti umunya hidangan khas Tiongkok. Namun di Indonesia daging babi diganti dengan daging sapi, bahkan saat ini sudah terdapat banyak varian bakso dari berbagai bahan. Contohnya saja daging ayam, ikan tenggiri, hingga udang.
Seperti halnya mi, bakso juga dapat dengan mudah ditemui di mana saja. Rasanya yang nikmat dan teksturnya yang unik membuat siapapun jatuh hati pada kelezatannya. Di Indonesia, ketika menyantap bakso umumnya ditemani dengan berbagai pelengkap seperti kecap manis, saus tomat, sambal, hingga kerupuk. Penggunaan berbagai pelengkap tersebut menunjukkan cara menyantap orang Indonesia yang gemar menambahkan sesuatu dalam hidangannya.
PENUTUP
Indonesia adalah bangsa yang memiliki keanekaragaman budaya yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan latar belakang etnis, suku dan tata kehidupan sosial yang berbeda satu dengan yang lain. Hal ini telah memberikan suatu formulasi struktur sosial masyarakat yang turut juga mempengaruhi menu makanan maupun pola makan. Kehadiran orang-orang asing sejak ratusan tahun yang lalu membawa berbagai dampak, baik negatif maupun positif. Dampak positifnya yakni kehadiran orang-orang asing tersebut mampu memberi keragaman dalam varian kuliner nusantara, khususnya dari Belanda dan Tiongkok. Berbagai hal seperti teknik memasak, bahan makanan, hingga cara menyantap pun banyak yang mendapat pengaruh dari kedua negara tersebut. Mulai dari jajanan hingga makanan besar banyak yang menunjukkan perpaduan antara Indonesia dengan Belanda dan Tiongkok.
Penggunaan bahan-bahan masakan lokal sebagai pengganti merupakan bentuk adaptasi orang Indonesia terhadap menu-menu dari Belanda dan Tiongkok. Seperti kekayaan alam berupa rempah-rempah yang digunakan sebagai bumbu memasak. Cara mengolah bahan makanan yang merupakan tradisi warisan nenek moyang tetap digunakan untuk menyajikan menu-menu adaptasi dari kedua negara tersebut. Bahkan hingga cara menyantap seperti penggunaan sumpit (pada masakan Tiongkok) dan pelengkap rasa menunjukkan cara orang Indonesia dalam menyikapi hidangan sehari-hari.
Indonesia memiliki ragam seni dan budaya kuliner yang keberadaannya perlu dikembangkan dan dilestarikan agar tidak hilang ditelan waktu. Kekayaan kuliner yang merupakan kearifan lokal sudah ada sejak lama di Indonesia patut dipertahankan. Perkembangan jaman memang sudah sedikit mengikis kebanggaan akan kearifan lokal, namun pengembangan makanan daerah kini semakin pesat dan semakin banyak ragam makanan yang muncul dan bahkan menjadi ciri khas dari daerah tersebut. Namun alangkah baiknya jika generasi muda lebih mengembangkan lagi tanpa terlalu melibatkan pengaruh dari negara-negara lain.
Perlu diingat, Indonesia memiliki keragaman budaya sebagai akibat dari keragaman suku bangsa yang mendiami kawasan ini. Budaya tersebut mencakup sistem teknologi tradisional, adat istiadat, dan sebagainya. Di antara keragaman itu, salah satu hasil budaya yang menarik adalah keragaman jenis makanan tradisional yang berhubungan erat dengan teknologi pengolahan bahan dalam proses memasak makanan. Seluruh suku di Indonesia memiliki kekhasan dalam jenis dan teknologi makanan tradisional. Keberadaan makanan tradisional itu pada umumnya tidak terlepas dari adat istiadat suatu masyarakat setempat sehingga makanan tradisional dapat menjadi cerminan budaya suatu masyarakat.
Cermin interaksi & pengaruh budaya masakan dari bangsa asing (Belanda dan Tiongkok) tidak banyak mempengaruhi khazanah makanan tradisional Indonesia, meskipun terjadi modifikasi disana-sini tetapi lebih banyak unsur luar beradaptasi dengan unsur lokal. Hal ini dikarenakan makanan tradisional adalah makanan yang telah membudaya di kalangan masyarakat Indonesia, serta telah ada sejak nenek moyang suku Nusantara yang pekat dengan kelembagaan tradisi setempat.
Kini saatnya bagi generasi muda untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme dan tidak terlalu terpengaruh dengan gaya hidup negara lain, khususnya dari Barat. Jika kearifan lokal yang sudah memudar bisa terpupuk lagi dengan baik, niscaya Indonesia akan berjalan menuju cahaya kebanggaan yang mampu bersaing di kancah internasional, dengan tetap mempertahankan nilai-nilai yang ada.
Sejak ratusan tahun yang lalu, Indonesia kerap didatangi oleh orang-orang asing dari berbagai negara benua Eropa (Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris) serta Asia (India, Tiongkok, Timur Tengah, dan Jepang). Kekayaan alam serta keramahan pribumi menjadi daya tarik bagi bangsa-bangsa asing tersebut untuk datang ke Indonesia. Mereka datang dengan berbagai tujuan, mulai dari berdagang, menyebarkan agama hingga melakukan penjajahan. Ketika datang dan hidup di bumi nusantara orang-orang asing tersebut membawa kebudayaan dari negara mereka masing-masing. Dengan demikian teknik memasak dan bahan makanan asli Nusantara saat itu berkembang dan kemudian dipengaruhi oleh seni kuliner India, Timur Tengah, Tiongkok, dan akhirnya Eropa. Tak pelak, kondisi tersebut memunculkan fenomena lintas budaya dalam berbagai aspek, salah satunya adalah masakan.
Bangsa-bangsa asing tersebut selama menetap melakukan interaksi, adaptasi dan berbaur dengan kebiasaan masyarakat setempat, bahkan kemudian menikah dengan pribumi. Banyak hal yang harus mereka selaraskan ketika hidup berdampingan, mulai dari gaya hidup, cara berkomunikasi, hingga urusan yang sangat manusiawi, yakni makanan. Etnik pendatang ini tidak langsung bisa menyantap makanan yang ada. Karena tidak setiap hari bisa menyantap masakan dari negara asalnya, akibat kesediaan bahan baku, maka butuh waktu bagi bangsa asing ini untuk bisa beradaptasi dengan makanan pribumi. Seiring berjalannya waktu, akhirnya ada yang bisa menyantap masakan tersebut, namun banyak juga yang akhirnya sedikit memodifikasi resep-resep masakan asal negara mereka dengan menggunakan bahan baku lokal namun tetap sesuai selera.
Sejak itu ragam kuliner negeri ini banyak dipengaruhi oleh budaya dari bangsa-bangsa asing (khususnya Belanda dan Tiongkok) yang pernah menetap di bumi khatulistiwa sebelum menjadi sebuah republik. Pengaruh Belanda dan Tiongkok itu, pertama disebabkan kedua etnik pendatang inilah yang paling lama dan sejak awal hadir di bumi Nusantara. Kedua, dan ini jarang diketahui banyak orang, bangsa Cina dan Belanda mempunyai kebiasaan dimana mereka berada, selalu mendirikan pasar / toko berlokasi dimana pembeli dan penjual berasal dari etnis yang sama. Pasar / toko ini untuk memenuhi sebagian dari kebutuhan hidup sehari-hari dan bahan baku masakan mereka yang diperoleh dari para pelaut yang datang di pelabuhan maupun untuk memperjual belikan barang-barang lokal dari pedagang setempat. Di sekitar pasar / toko itu kemudian dibuka kedai-kedai makanan / restoran yang menghidangkan budaya kuliner masakan Belanda dan Tiongkok yang serta merta berkembang secara perlahan masuk ke dalam lingkungan kehidupan kuliner masyarakat lokal.
Namun pada dasarnya tidak ada satu bentuk tunggal "masakan Indonesia", tetapi lebih kepada, keanekaragaman masakan regional yang dipengaruhi secara lokal oleh kebudayaan Nusantara serta pengaruh asing. Fenomena lintas budaya yang terjadi membuat negeri Indonesia kaya akan berbagai aneka ragam macam kuliner. Baik makanan khas asli maupun yang sudah mendapat pengaruh dari bangsa-bangsa asing. Bentuk lanskap penyajian makanan Nusantara saat itu umumnya disajikan berupa makanan pokok dengan lauk-pauk berupa daging, ikan atau sayur disisi piring.
PENGARUH BELANDA
Pengaruh Belanda paling terlihat dalam masakan Jawa karena wilayah ini paling diperhatikan oleh Belanda selain banyak yang bermukim di kepulauan ini. Tidak heran akhirnya pertemuan antara pribumi (Jawa) dan Belanda menghasilkan suatu kehidupan sosial budaya yang berbeda. Berakhirnya kekuasaan VOC pada 1799 menjadi fase penting dalam menciptakan perubahan sosial budaya itu seiring munculnya kekuasaan politik Hindia Belanda (Pax Neerlandica) pada awal abad ke-19.
Banyak pria-pria Belanda yang tinggal bersama dengan perempuan pribumi (Jawa) atau biasa disebut Nyai. Ada yang secara resmi dinikahi dan ada juga yang hanya dipekerjakan sebagai pelayan atau pembantu. Ketika tinggal bersama Nyai, para pria Belanda membiasakan diri dengan nuansa kehidupan Jawa. Sudah menjadi kodrat bagi pria untuk dilayani, pun begitu dengan pria Belanda yang membutuhkan Nyai untuk mengurus segala keperluan mereka, termasuk urusan makan. Kehidupan bersama Nyai membuat para pria Eropa (Belanda) terbiasa dengan makanan dan masakan pribumi (Jawa) meski tentunya mereka membutuhkan waktu untuk menyesuaikan dengan lidah dan cita rasa makanan dan masakan Jawa.
Ada banyak makanan Indonesia yang sebenarnya mendapat pengaruh Belanda, antara lain sup dan bistik. Pada mulanya sup diperkenalkan oleh orang Belanda pada abad ke-19 dalam jamuan makan. Merujuk pada suatu sumber referensi, terdapat 2 (dua) resep sup yang mendapat pengaruh Belanda, yaitu Hollandsche Vermicellisoep (Sup Sohun Belanda) dan Hollandsche Erwtensoep (Sup Kacang Polong Belanda).
Pada menu pertama dapat dilihat bahwa ada pengaruh dari negara lain selain Belanda. Penggunaan bahan makanan sohun atau bihun sudah jelas menggambarkan pengaruh Tiongkok pada menu tersebut. Bahan utama dari Sup Sohun Belanda tentunya adalah mie sohun atau bihun, dengan bahan pendamping telur ayam, bawang merah daun bawang, dan susu. Dari bahan-bahan tersebut, yang memberi cita rasa Belanda adalah campuran kuning telur dan susu. Pada menu Hollandsche Erwtensoep (Sup Kacang Polong Belanda) lagi-lagi mendapat pengaruh Tiongkok, dengan adanya kaki babi (Varkenspoot) pada komposisinya. Penggunaan daging babi alih-alih daging sapi merupakan ciri khas kuliner Tiongkok. Bahan makanan lain adalah kacang polong (bahan utama), bawang, seledri, dan kapri (Erwtensoep).
Bistik, jika di Barat umumnya disebut steak, sebenarnya merupakan saduran dari bahasa Belanda yakni biefstuk. Bistik, seperti laiknya steak, merupakan olahan daging (umumnya sapi) dengan pendamping berupa kacang polong, wortel, dan kentang. Ada 2 (dua) menu bistik yang mendapat pengaruh Belanda, yakni Biefstuktjes (Bistik) dan Bistik Djawa.
Orang Jawa tentunya mengerti perihal bistik dari orang-orang Belanda. Jaman dahulu, bistik dikenal sebagai makanan yang memiliki tampilan lain dari yang lain (tidak biasa) oleh orang Jawa. Pada masa kolonial, cara masak bistik diadopsi oleh pribumi (Jawa) yang bekerja sebagai pelayan di rumah orang-orang Belanda. Sejatinya cara memasak bistik Belanda sangatlah sederhana, yakni cukup diberi bumbu, dipanggang, baru kemudian disajikan di piring dengan berbagai hiasannya. Pribumi (Jawa) yang mengadopsi bistik kemudian memodifikasi cara masak tersebut. Daging bukan dipanggang, namun digoreng. Pun dengan perpaduan bahan masak, yakni adanya pala, merica, hingga kecap manis yang mencitrakan selera lidah orang Jawa. Sehingga pengaruh Jawa dapat dilihat dari cara pengolahan dan juga bahan masaknya.
Pada Bistik Djawa, pengaruh Jawa begitu kental terasa, mulai dari cara pengolahan hingga penyajian. Daging digiling terlebih dahulu baru kemudian dihaluskan, sangat menunjukkan cara orang Jawa dalam mengolah masakan daging. Pada saat penyajian, daging beserta para pendampingnya (kentang, wortel, dan sayuran) ditata di atas piring baru kemudian disiram dengan kuah semur manis sebagai saus. Ciri khas masakan Jawa adalah cita rasa manis, yang terdapat dalam saus bistik tersebut. Rasa manis dari kuah semur ini merupakan bentuk akulturasi dari resep masakan bistik orang Belanda.
PENGARUH TIONGKOK
Istilah masakan Tiongha di daratan Tiongkok juga mengacu kepada variasi dari seluruh suku bangsa, agama dan tradisi yang berkembang di negara tersebut. Namun, masakan Tiongkok yang diperkenalkan kepada banyak bangsa di dunia adalah masakan etnis Han. Pengaruh masakan etnis Han ada di setiap kuliner negara-negara timur dan menyebar di luar komunitas-komunitasnya di seluruh dunia, termasuk di bumu pertiwi Nusantara..
Masyarakat Indonesia tentu sudah akrab dengan berbagai masakan seperti mi, bakso, hingga cap cay. Masakan-masakan tersebut dapat dijumpai dalam keseharian masyarakat Indonesia, baik di warung kaki lima, pujasera, restoran mewah, atau dimasak sendiri di rumah. Sejatinya, masakan-masakan tersebut berasal dari daratan Tirai Bambu dan masuk ke Indonesia sejak ratusan tahun yang lalu. Seperti halnya masakan Belanda yang dimodifikasi sedemikian rupa agar sesuai dengan selera orang Indonesia, hal tersebut juga berlaku untuk masakan-masakan dari Tiongkok.
Mi merupakan makanan asli dari Tiongkok dan sangat populer di kawasan Asia. Bersamaan dengan misi penyebaran agama dan perdagangan, bangsa Tiongkok memperkenalkan mi hingga ke wilayah Nusantara. Di Indonesia, terdapat banyak varian mi yang menunjukkan fenomena lintas budaya Tiongkok dan Indonesia. Uniknya, tiap daerah seakan-akan memiliki varian mi sendiri, seperti; Mi Aceh, Mi Ayam, Bakmi Jawa, Mi Jakarta, dan masih banyak lagi. Sehingga tidak salah jika menyebut mi dianggap sebagai salah satu makanan pokok oleh orang Indonesia.
Berbagai varian mi tersebut menunjukkan perpaduan antara bahan masakan utama (mi) yang berasal dari Tiongkok dan bahan-bahan masakan asli Indonesia. Cara memasak dan menyantap hidangan pun mengadopsi dari Tiongkok. Contohnya saja di beberapa restoran atau warung yang menyediakan chinese food, umumnya koki atau juru masak saat sebelum memasak akan menyiapkan bahan-bahan makanan yang dijadikan satu dalam suatu piring sesuai menu yang dipesan. Setelah piring yang berisi bahan-bahan makanan tersebut siap, barulah dimasukkan dalam penggorengan atau piranti memasak lainnya. Untuk cara menyantap hidangan, sudah umum jika menemui sumpit sebagai alat makan di berbagai warung mi atau resto chinese food.
Bakso, sesungguhnya merupakan kata yang berasal dari bahasa Tiongkok. “Bak” artinya daging babi dan “so” artinya mi dan sup. Memang pada dasarnya bakso menggunakan daging babi, seperti umunya hidangan khas Tiongkok. Namun di Indonesia daging babi diganti dengan daging sapi, bahkan saat ini sudah terdapat banyak varian bakso dari berbagai bahan. Contohnya saja daging ayam, ikan tenggiri, hingga udang.
Seperti halnya mi, bakso juga dapat dengan mudah ditemui di mana saja. Rasanya yang nikmat dan teksturnya yang unik membuat siapapun jatuh hati pada kelezatannya. Di Indonesia, ketika menyantap bakso umumnya ditemani dengan berbagai pelengkap seperti kecap manis, saus tomat, sambal, hingga kerupuk. Penggunaan berbagai pelengkap tersebut menunjukkan cara menyantap orang Indonesia yang gemar menambahkan sesuatu dalam hidangannya.
PENUTUP
Indonesia adalah bangsa yang memiliki keanekaragaman budaya yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan latar belakang etnis, suku dan tata kehidupan sosial yang berbeda satu dengan yang lain. Hal ini telah memberikan suatu formulasi struktur sosial masyarakat yang turut juga mempengaruhi menu makanan maupun pola makan. Kehadiran orang-orang asing sejak ratusan tahun yang lalu membawa berbagai dampak, baik negatif maupun positif. Dampak positifnya yakni kehadiran orang-orang asing tersebut mampu memberi keragaman dalam varian kuliner nusantara, khususnya dari Belanda dan Tiongkok. Berbagai hal seperti teknik memasak, bahan makanan, hingga cara menyantap pun banyak yang mendapat pengaruh dari kedua negara tersebut. Mulai dari jajanan hingga makanan besar banyak yang menunjukkan perpaduan antara Indonesia dengan Belanda dan Tiongkok.
Penggunaan bahan-bahan masakan lokal sebagai pengganti merupakan bentuk adaptasi orang Indonesia terhadap menu-menu dari Belanda dan Tiongkok. Seperti kekayaan alam berupa rempah-rempah yang digunakan sebagai bumbu memasak. Cara mengolah bahan makanan yang merupakan tradisi warisan nenek moyang tetap digunakan untuk menyajikan menu-menu adaptasi dari kedua negara tersebut. Bahkan hingga cara menyantap seperti penggunaan sumpit (pada masakan Tiongkok) dan pelengkap rasa menunjukkan cara orang Indonesia dalam menyikapi hidangan sehari-hari.
Indonesia memiliki ragam seni dan budaya kuliner yang keberadaannya perlu dikembangkan dan dilestarikan agar tidak hilang ditelan waktu. Kekayaan kuliner yang merupakan kearifan lokal sudah ada sejak lama di Indonesia patut dipertahankan. Perkembangan jaman memang sudah sedikit mengikis kebanggaan akan kearifan lokal, namun pengembangan makanan daerah kini semakin pesat dan semakin banyak ragam makanan yang muncul dan bahkan menjadi ciri khas dari daerah tersebut. Namun alangkah baiknya jika generasi muda lebih mengembangkan lagi tanpa terlalu melibatkan pengaruh dari negara-negara lain.
Perlu diingat, Indonesia memiliki keragaman budaya sebagai akibat dari keragaman suku bangsa yang mendiami kawasan ini. Budaya tersebut mencakup sistem teknologi tradisional, adat istiadat, dan sebagainya. Di antara keragaman itu, salah satu hasil budaya yang menarik adalah keragaman jenis makanan tradisional yang berhubungan erat dengan teknologi pengolahan bahan dalam proses memasak makanan. Seluruh suku di Indonesia memiliki kekhasan dalam jenis dan teknologi makanan tradisional. Keberadaan makanan tradisional itu pada umumnya tidak terlepas dari adat istiadat suatu masyarakat setempat sehingga makanan tradisional dapat menjadi cerminan budaya suatu masyarakat.
Cermin interaksi & pengaruh budaya masakan dari bangsa asing (Belanda dan Tiongkok) tidak banyak mempengaruhi khazanah makanan tradisional Indonesia, meskipun terjadi modifikasi disana-sini tetapi lebih banyak unsur luar beradaptasi dengan unsur lokal. Hal ini dikarenakan makanan tradisional adalah makanan yang telah membudaya di kalangan masyarakat Indonesia, serta telah ada sejak nenek moyang suku Nusantara yang pekat dengan kelembagaan tradisi setempat.
Kini saatnya bagi generasi muda untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme dan tidak terlalu terpengaruh dengan gaya hidup negara lain, khususnya dari Barat. Jika kearifan lokal yang sudah memudar bisa terpupuk lagi dengan baik, niscaya Indonesia akan berjalan menuju cahaya kebanggaan yang mampu bersaing di kancah internasional, dengan tetap mempertahankan nilai-nilai yang ada.