".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Thursday 3 October 2019

Apa Itu Gastronomi


Secara Universal, gastronomi mempunyai 3 (tiga) kegiatan yang berkaitan satu sama lain; yakni mengenai :

1.     Kisah Makanan (Food Story)
2.     Penilai Makanan (Food Assessment)
3.     Seni Akan Makan Yang Baik (The Art Of Good Eating)

Sebagai Food Story, gastronomi mempelajari hubungan makanan - selaku poros tengah  - dalam kaitannya dengan pengetahuan Sejarah & Budaya, yang di dalamnya ada kisah atau cerita.

Pelakunya disebut sebagai gastronom yang menikmati dan mengetahui tentang makanan dan minuman yang berkualitas prima.

Seseorang yang menekuni Food Story, harus mempunyai passion terhadap seni makanan mengingat yang bersangkutan adalah food connoisseur (pecinta, pemerhati & penikmat makanan) & food enthusiastic (penggemar makanan - foddie) yang melihat dan mengkaji makanan dari sejarah & budaya.

Sebagai Food Assessment, gastronomi adalah tindakan penilaian yang fokusnya pada hidangan makanan yang berkualitas prima dengan cakupan sebagai berikut :

a.     Makanan : Menu, Gaya & Jenis, Cita-Rasa, Rasa, Flavoring, Aroma, Sensasi, Tekstur, Estetika, Presentasi, Creativity & Food Pairing.
b.     Non Makanan : Pemasak (Chef Profesional & Otodidak), Tipe Restoran, Tema, Hospitality, Dekorasi, Musik, Popularity & Kebersihan.
c.     Penataan : Table Setting & Food Plating.

Catatan : Makanan merujuk kepada Seni Keahlian Masakan, sedangkan Non Makanan & Penataan merujuk kepada Pemasak (Chef Profesional & Otodidak) & Restoran.

Pelaksana atau eksekutor yang melakukan tindakan Food Assessment disebut sebagai Assesor.

Sedangkan The Art Of Good Eating, diartikan sebagai kepiawaian gaya makan yang terampil dan mahir (proficient & skillful eating style). Lengkap dengan tata cara, teknik & sikap makan yang baik.

Gastronom diwajibkan mengikuti aturan protokol terhadap sajian makanan yang ditampilkan di atas peranti saji yang sudah ditata sesuai dengan acara jamuan makan bersama.

Seorang gastronom harus menguasai dan memiliki kompetensi keahlian The Art Of Good Eating dari segala sesuatu yang berhubungan dengan kenikmatan sajian makanan yang apik, indah dan berkelas yang di tata di atas peranti saji yang elok.

Pada intinya The Art Of Good Eating adalah etiket makan atau cara aturan atau tata  sopan santun yang dapat diterima secara sosial untuk makan, terutama ketika makan dengan orang lain.

Dalam sisi lain, The Art Of Good Eating lebih dikenal dengan istilah Table Manner.

Secara singkat dapat disampaikan, bahwa gastronomi adalah segalanya terhubung dengan kenikmatan makan dan minum.

Gastronomi adalah studi tentang hubungan antara budaya dan makanan, di mana gastronomi mempelajari berbagai komponen sejarah & budaya dengan makanan sebagai pusatnya.

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa gastronomi adalah pengetahuan dan apresiasi terhadap semua makanan dan minuman dari berbagai negara di seluruh dunia.

Namun, harus dipahami dengan benar gastronomi tidak hanya berbicara tentang resep memasak atau sekedar mencicipi makanan, atau sebatas nama makanan itu sendiri, termasuk mengangkat nama seorang chef selebritis; meskipun kita tahu hilirnya adalah untuk tujuan pariwisata.

Gastronomi adalah pengembangan sejarah dan budaya melalui pemberdayaan seni keahlian memasak sebagai kearifan lokal masyarakat setempat.

Dengan pemahaman di atas, maka sebagai penutup, perlu dijelaskan mengenai perbedaan antara Gastronomi & Kuliner yang keduanya berbeda tetapi konsentrasinya sama mengenai makanan.

Kuliner dalam dunia akademik disebut sebagai The Art Of Good Cooking alias Seni Akan Memasak Yang Baik atau dalam bahasa man on the street dikatakan sebagai tukang masak.

Pelakunya disebut sebagai ahli masak atau artis seniman memasak (baik itu chef professional atau pemasak otodidak) yang mata pencahariannya dari komersialisasi masak-memasak.

Sedangkan secara business komersial, kuliner adalah produsen karena mereka adalah tukang masak  yang menguasai teknis memasak mengolah & memproses resep masakan menjadi makanan.

Dalam dunia kuliner tidak ada pembahasan mengenai sejarah & budaya, kisah atau cerita.

Sedangkan secara business komersial, gastronomi adalah konsumen karena mereka adalah tukang makan yang paham mengenai Food Story, Food Assessment & The Art of Good Eating (table manner).

Kalau diibaratkan restoran, maka Kuliner bekerja dan berada di ruang dapur yang mengolah resep masakan.

Sedangkan Gastronom ada di ruang makan yang menikmati olahan makanan yang dibuat oleh ahli masak atau artis seniman memasak.

Kalau diibarat pula sebuah lukisan, maka lukisan (makanan) itu adalah seni artistik dari proses perbuatan dari seorang pelukis (ahli masak).

Sedangkan orang atau kolektor yang menikmati, pemerhati dan mencintai lukisan (makanan) itu adalah gastronomi.

Tetapi perlu diingat ada pelaku yang menguasai gabungan dari kuliner & gastronom yang disebut sebagai Gastrosof atau Gastrosophy. Pelakunya disebut sebagai Gastrosof (Gastrosophers atau Gastrosophy), sedangkan ahli masak atau artis seniman memasak disebut sebagai Chef Gastrosof (Gastrosophers atau Gastrosophy).

Semoga bermanfaat

Jakarta, 4 Oktober 2019
Indrakarona Ketaren
Indonesian Gastronomy Association

Wednesday 2 October 2019

Peran Gastronomi Dalam SDG's


Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Sustainable Development Goals disingkat dengan SDGs adalah 17 tujuan dengan 169 capaian yang terukur dan tenggat yang telah ditentukan oleh PBB sebagai agenda dunia pembangunan untuk kemaslahatan manusia dan planet bumi .

Tujuan ini dicanangkan bersama oleh negara-negara lintas pemerintahan pada resolusi PBB yang diterbitkan pada 21 Oktober 2015 sebagai ambisi pembangunan bersama hingga tahun 2030.

Intensi SDG's merupakan kelanjutan atau pengganti dari Tujuan Pembangunan Milenium yang ditandatangani oleh pemimpin-pemimpin dari 189 negara sebagai Deklarasi Milenium di markas besar PBB pada tahun 2000 dan tidak berlaku lagi sejak akhir 2015.

Agenda pembangunan berkelanjutan yang baru dibuat untuk menjawab tuntutan kepemimpinan dunia dalam mengatasi kemiskinan, kesenjangan, dan perubahan iklim dalam bentuk aksi nyata.

Konsep Tujuan Pembangunan Berkelanjutan lahir pada Konferensi Pembangunan Berkelanjutan PBB, Rio+20, pada 2012 dengan menetapkan rangkaian target yang bisa diaplikasikan secara universal serta dapat diukur dalam menyeimbangkan tiga dimensi pembangunan berkelanjutan, yakni : (1). Lingkungan; (2). Sosial; dan (3). Ekonomi

Agenda 2030 terdiri dari 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SGD) atau Tujuan Global, yang akan menjadi tuntutan kebijakan dan pendanaan untuk 15 tahun ke depan (2030).

Untuk mengubah tuntutan ini menjadi aksi nyata, para pemimpin dunia bertemu pada 25 September 2015, di Markas PBB di New York untuk memulai Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030.

Tujuan SDG's diformulasikan sejak 19 Juli 2014 dan diajukan pada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa oleh Kelompok Kerja Terbuka Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Dalam proposal ini terdapat 17 tujuan dengan 169 capaian yang meliputi masalah masalah pembangunan yang berkelanjutan. Termasuk didalamnya adalah pengentasan kemiskinan dan kelaparan, perbaikan kesehatan, dan pendidikan, pembangunan kota yang lebih berkelanjutan, mengatasi perubahan iklim, serta melindungi hutan dan laut.

Pada bulan Agustus 2015, 193 negara menyepakati 17 tujuan (sasaran) berikut ini:
1.     Tanpa Kemiskinan : Pengentasan segala bentuk kemiskinan di semua tempat.
2.     Tanpa Kelaparan : Mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan perbaikan nutrisi, serta menggalakkan pertanian yang berkelanjutan.
3.     Kehidupan Sehat & Sejahtera : Menggalakkan hidup sehat dan mendukung kesejahteraan untuk semua usia.
4.     Pendidikan Berkualitas : Memastikan pendidikan berkualitas yang layak dan inklusif serta mendorong kesempatan belajar seumur hidup bagi semua orang 
5.     Kesetaraan Gender : Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan.
6.     Air Bersih & Sanitasi Layak : Menjamin akses atas air dan sanitasi untuk semua.
7.     Energi Bersih & Terjangkau : Memastikan akses pada energi yang terjangkau, bisa diandalkan, berkelanjutan dan modern untuk semua. 
8.     Pekerjaan Layak & Pertumbuhan Ekonomi : Mempromosikan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan inklusif, lapangan pekerjaan dan pekerjaan yang layak untuk semua. 
9.     Industri, Inovasi & Infrastruktur : Membangun infrastruktur kuat, mempromosikan industrialisasi berkelanjutan dan mendorong inovasi. 
10.  Berkurangnya Kesenjangan : Mengurangi kesenjangan di dalam dan di antara negara-negara. 
11.  Kota & Komunitas Berkelanjutan : Membuat perkotaan menjadi inklusif, aman, kuat, dan berkelanjutan. 
12.  Konsumsi & Produksi Yang Bertanggung Jawab : Memastikan pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan 
13.  Penanganan Perubahan Iklim : Mengambil langkah penting untuk melawan perubahan iklim dan dampaknya. 
14.  Ekosistem Laut : Perlindungan dan penggunaan samudera, laut dan sumber daya kelautan secara berkelanjutan 
15.  Ekosistem Daratan : Mengelola hutan secara berkelanjutan, melawan perubahan lahan menjadi gurun, menghentikan dan merehabilitasi kerusakan lahan, menghentikan kepunahan keanekaragaman hayati. 
16.  Perdamaian, Keadilan & Kelembagaan Yang Tangguh : Mendorong masyarakat adil, damai, dan inklusif 
17.  Kemitraan Untuk Mencapai Tujuan : Menghidupkan kembali kemitraan global demi pembangunan berkelanjutan.

Dari ke-17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals, peran Gastronomi (upaboga) dalam mendukung Pemerintah Indonesia memenuhi target SDG’s ialah dalam bidang untuk :
1.     Tujuan (sasaran) nomor 2 yakni mengenai : Tanpa Kelaparan, karena gastronomi pada hakekatnya bicara soal makanan, dimana di dalamnya secara eksplisit terkait pangan, gizi & nutrisi.

2.     Tujuan (sasaran) nomor 8 yakni mengenai : Pekerjaan Layak & Pertumbuhan Ekonomi, karena gastronomi memiliki kepentingan terhadap kemaslahatan ekonomi bagi masyarakat, dalam arti perihal entrepreneurship, baik untuk  pengusaha Mikro & Kecil serta UKM maupun kalangan Generasi Milenial.

Kepentingan itu dalam rangka untuk menaikkan ratio entrepreneurship Indonesia yang saat ini berkisar di angka 0,18%. Masih jauh ketinggalan dibanding dengan negara-negara tetangga Malaysia (5%) dan Singapura (7%) atau rata-rata ratio entrepreneurship dunia yang berkisar di angka 2%.

3.     Tujuan (sasaran) nomor 12 yakni mengenai : Konsumsi & Produksi Yang Bertanggung Jawab, karena gastronomi mempunyai perhatian penuh terhadap makanan terbuang (food waste) setiap tahunnya, sementara masih ada orang kelaparan atau kekurangan gizi & nutrisi.

Dipahami Indonesia setiap tahunnya mencatat angka makanan terbuang (food waste) rata-rata sebesar 300 kg per orang. Malahan perwakilan FAO untuk Indonesia & Timor Leste mengatakan setiap tahunnya makanan terbuang (food waste) di Indonesia tercatat sebesar 13 juta metric ton, yang bisa memberi makan 11% dari jumlah penduduk Indonesia (+/- 28 juta orang) yang angka menyamai dengan angka populasi orang miskin di Indonesia.

Kontributor terbesar makanan terbuang (food waste) di Indonesia adalah hotel, restoran, rumah makan, jajanan jalanan (street food), jasa boga (catering), supermarket, toko ritel & rumah tangga

Semoga bermanfaat


Jakarta, 3 Oktober 2019
Indrakarona Ketaren
Indonesian Gastronomy Association

 

Tuesday 1 October 2019

Gastro-Branding Sebagai Citra Minyak Makan Sawit Indonesia


Kreatifitas adalah produk ekonomi masa depan. Tidak ada satupun negara di dunia tidak melakukan industri kreatfitas yang terbukti telah membawa efek kepada kemajuan perekonomian bangsanya. Dalam kreatifitas dikenal nama branding power yang merupakan benteng dari pertahanan budaya lokal suatu negara. Semakin bagus kreatifitas yang dikonstruksikan, semakin kuat branding power negara bersangkutan.

Banyak negara di dunia secara maksimal menggarap nation brandingnya untuk mengangkat dan meningkatkan reputasi & daya saing negaranya. Berbagai pemerintah manca negara secara teratur berinvestasi cukup besar membayar lembaga-lembaga branding (merek) dunia dengan antisipasi investasi mereka dapat memberi manfaat yang cukup tinggi dalam mendapatkan peran politik, ekonomi, sosial, budaya di belahan bumi ini.

Tools-nya adalah branding power equity, yang di negara-negara berkembang peruntukannya kerap ditujukan untuk bidang investasi, perdagangan, dan pariwisata; antara lain melalui diplomasi kebudayaan, diplomasi film, diplomasi makanan (boga), sampai kepada diplomasi olahraga. Tindakannya sendiri disebut sebagai outward looking policy dan salah satunya melalui diplomasi nation branding.

Dalam dunia diplomasi, praktek yang biasa digunakan negara untuk memperkenalkan dirinya ke seluruh dunia adalah melalui nation branding, dengan membangun secara eksplisit citra, jati diri & representasi mereka melalui ide-ide, konsep, gambar visual, maupun kata-kata.

Perusahan-perusahaan biasa melakukan promosi branding untuk menaikkan citra, jati diri & representasi. Begitu juga dengan sebuah negara melakukan hal serupa dengan menggunakan slogan untuk menggambarkan esensi atau fitur dari dirinya kepada negara-negara lain.

Representasi branding itu bertujuan untuk mendapatkan rasa hormat secara global dan pengenalan terhadap nama negaranya. Gagasan di balik nation branding melibatkan lebih dari sekedar pengakuan karakteristik dan eksklusif sebuah negara, bangsa dan masyarakat.

Promosi nation branding menyiratkan fragmen dari pemerintah untuk mendayagunakan dan meningkatkan atribut tertentu dari bangsanya di mata dunia. Apalagi melalui branding power equity ini, banyak negara-negara lain mendapatkan faedah keekonomian.

Nation branding (citra atau image), bukan sebatas membuat logo atau menemukan tagline atau kata slogan, tetapi reputasi positif yang memang betul-betul ditemukan dan dirasakan ketika orang datang ke suatu Negara.

Untuk mempromosikan identitas nation branding, beberapa negara melakukan bukan hanya dengan hadir dalam spektakel (festival) acara di negara lain yang bersifat temporer, tetapi lebih kepada program kebijakan komersial jangka panjang yang strategis dengan menjemput perhatian masyarakat dunia terhadap fitur dan atribut negaranya, yakni menyelenggarakan acara-acara di dalam negeri sendiri.

Oleh karena itu membangun dan mengembangkan konstruksi brand power nation sangat penting dalam meningkatkan image branding power suatu Negara di mata dunia. Khusus mengenai Indonesia, sampai saat ini bisa dikatakan branding power equity negara ini masih ketinggalan jauh dibandingkan negara-negara tetangga, khususnya di bidang pariwisata & perdagangan.

Menurut survei Kantar TNS Indonesia, brand power perdagangan Indonesia pada tahun 2016 berada pada posisi 6,4% dan kalah bersaing dengan Singapura yang menembus angka 10%.  Sedangkan brand power pariwisata Indonesia berada pada angka 5,2%, artinya berada di bawah Singapura yang angkanya 8,6%.

Negara Thailand memimpin brand power pariwisata di kawasan Asia dengan angka 9,4%. Brand power pariwisata yang paling kuat adalah Jepang, yakni dengan skor 14,8% dan Australia dengan skor 12,5%. Rata-rata brand power pariwisata dunia berkisar di angka 7,7%. Artinya selama 72 tahun negeri ini bernama Indonesia, angka index branding nationnya masih di bawah rata-rata dunia.

Artinya, Indonesia kurang diketahui banyak pengunjung internasional. Berdasarkan wawancara kuantitatif Kantar TNS Indonesia pada 7.610 responden, 50% responden menyatakan pernah mendengar dan mengetahui banyak tentang Indonesia dan 50% responden menyatakan pernah mendengar namun hanya tahu sedikit tentang Indonesia.  

Dari kelompok responden pertama, sebanyak 24 persennya menyatakan tidak pernah berkunjung ke Indonesia dan hanya 26% yang menyatakan pernah berkunjung ke Indonesia. Dari kelompok responden yang menyatakan pernah berkunjung ke Indonesia, sebanyak 21% menyatakan tidak mengunjungi Indonesia secara rutin dan hanya 5% responden yang menyatakan mengunjungi Indonesia secara rutin.

Kantar TNS Indonesia adalah perusahaan konsultan riset pasar yang dipercaya pemerintah Indonesia melakukan survei citra Indonesia di 16 (enam belas) negara penjuru dunia.

Menurut Anholt-GFK Roper Nation Brand Index (data tahun 2016), Indonesia yang masih di ranking 40 dari 50 negara perlu di-branding-kan menurut 6 (enam) kriteria, yakni tourism, export, governance, investment, culture & heritage serta masyarakatnya. Culture & heritage salah satunya adalah melalui diplomasi makanan (boga).

Mengenai diplomasi makanan (boga), negara-negara tetangga Indonesia mengartikulasikan seni dapur masakan bangsa mereka menjadi bagian dari kesatuan brand power nation equity, dan konstruksi itu dilakukan melalui gastronomi (upaboga) yang dikenal dengan frasa Gastro-Branding.

Gastro-Branding dapat menjadi salah satu inisiatif brand power Indonesia, khususnya terkait diplomasi makanan yang sampai saat ini belum secara maksimal digunakan dalam meningkatkan branding power equity Indonesia. Apalagi digunakan sebagai instrumen kampanye dan sosialisasi.

Instrumen kampanye dan sosialisasi dalam arti Gastro-Branding dapat digunakan salah satunya untuk dintegrasikan atau rangsata (rebranding) terhadap promosi & sosialisasi bahan masakan makanan yakni minyak makan sawit Indonesia yang dibuat dari minyak kelapa sawit

Apa itu minyak kelapa sawit?

Minyak kelapa sawit adalah minyak nabati yang saat ini paling banyak dikonsumsi penduduk Bumi. Minyak kelapa sawit bukan hanya tersaji dalam bentuk minyak untuk memasak. Namun juga ditemukan di segala macam hal mulai dari sabun, cokelat, pizza, kosmetik, dan tangki bensin kendaraan. 

Bila digunakan untuk memasak, minyak kelapa sawit diketahui dapat membuat makanan yang digoreng lebih renyah dan tahan lama. Minyak kelapa sawit diekstrak dari buah cokelat kemerahan dari pohon kelapa sawit. Sejauh ini, Indonesia merupakan produsen utama minyak kelapa sawit diikuti oleh Malaysia yang memasok sekitar 85 persen minyak sawit dunia. Industri ini tentu saja mempekerjakan jutaan orang agar bisa memanem buah sawit unggul

Seperti diketahui, minyak makan sawit paling banyak digunakan di Asia Tenggara. Tidak hanya sebagai primadona di antara semua bahan masakan makanan tetapi juga memainkan peran penting dalam ekonomi masyarakat setempat.

Selain itu Gastro-Branding dapat menjadi inovasi di luar kotak (out of the box) dari instrumen yang selama ini digunakan Indonesia menghadapi black campaign palm oil dari kalangan tertentu di negara-negara Uni Eropa.

Metode out of the box dapat menciptakan pemikiran yang tidak biasa dan mengandung inovasi sehingga mereka dapat keluar dari kotak dengan melihat ke dalam lebih baik. Dengan berpikir di luar kotak, lebih mudah untuk melihat tantangan, melihat solusi yang berbeda dan melihat hal-hal dengan perspektif yang berbeda.

Menggunakan metode out of the box memang tidak mudah, dalam arti bisa keluar dari cara konvensional dan melihat semuanya dari perspektif yang berbeda akan mampu menghasilkan inovasi dan solusi yang tepat.

Gastro-Branding adalah bentuk diplomasi positif; yang dengan manfaat dan kemampuannya dapat memberi pemahaman "di luar kotak bahwa minyak sawit sebagai minyak nabati terbukti tidak berbahaya (karsinogenik).

Pemberdayaan minyak makan sawit melalui Gastro-Branding dapat memberi pengertian bahwa sawit adalah sumber utama minyak nabati masyarakat Indonesia dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Melalui Gastro-Branding dapat diberi pencerahan bahwa industri minyak sawit menjadi lokomotif penghasil devisa terbesar perekonomian negara serta penyerapan tenaga kerja, khususnya dalam industri makanan & minuman Indonesia.

Kontribusi perkebunan minyak sawit dengan pola kemitraan telah membawa petani Indonesia keluar dari kantong kemiskinan dan keterbelakangan menjadi masyarakat kelas menengah serta menjadi tulang pungung roda pembangunan perekonomian daerah.

Industri minyak sawit adalah paradigma ketahanan pangan Indonesia mengingat merupakan komoditas strategis nasional penting yang berdaya saing & berkelanjutan, khususnya bagi kesejahteraan petani kecil (smallholders), dan pencapaian SDG’s, khususnya kepada negara-negara konsumen.

Kelapa sawit merupakan komoditas utama ekspor Indonesia yang nilai ekspor produknya menyumbang devisa kepada negara sebesar USD 22,97 Milyar atau setara dengan Rupiah 300 Trilyun pada tahun 2017 (atau 12,3% dari total ekspor tahun 2016).

Rekor itu mengkukuhkan sawit sebagai industri penyumbang terbesar bagi perekonomian Indonesia, jauh melampaui ekspor migas & ekspor lima komoditas perkebunan utama Indonesia lainnya yakni seperti karet, kakao, kopi, tebu & teh.

Penggunaan Gastro-Branding itu sendiri dapat mengukur pula kekuatan dari diplomasi Indonesia di mata dunia, apalagi disinergikan dengan penggunaan minyak makan sawit yang kini menjadi sorotan dunia.

Melalui diplomasi makanan dengan instrumen Gastro-Branding, Indonesia harus dapat menjelaskan kepada dunia bahwa minyak makan sawit dan minyak non sawit tidak dapat bersaing satu sama lain. Sebaliknya, minyak makan sawit dan minyak makan non sawit dapat bekerja sama dan keduanya bisa saling melengkapi.

Mengapa demikian ?

Karena kalau bicara soal penggunaan & konsumsi minyak makan sayur (baik itu dari kelapa sawit atau non sawit) menyangkut kepada selera dan rasa.

Setiap manusia atau kelompok rumpun masyarakat memiliki selera (appetite) dan rasa (taste)  yang berbeda, yang tidak dapat dibandingkan satu sama lain. Termasuk kelompok rumpun masyarakat Barat & Asia memiliki selera dan rasa yang berbeda satu sama lain.

Selera (appetite) dan rasa (taste)  itu adalah Cita Rasa yang merupakan, pandangan, kesenangan, kenikmatan dan harapan yang meliputi atribut berupa tampakan, rasa, bau, kerenyahan, tekstur, temperatur & suhu.

Cita-rasa merupakan bentuk kerja sama dari kelima macam indera manusia, yakni penglihatan, perasa, penciuman, peraba dan pendengaran.

Cita Rasa itu dibentuk oleh budaya dan kearifan lokal masyarakat setempat. Artinya kelompok rumpun masyarakat tertentu memiliki Cita Rasa yang berbeda yang tidak bisa disamakan dengan kelompok rumpun masyarakat lainnya.

Selain Cita Rasa, proses teknik memasak masyarakat Barat & Asia pun berbeda satu sama lain. Teknik memasak masyarakat Asia mempunyai proses waktu yang lama (seperti masak rendang, gulai atau kari) yang memerlukan penggunaan minyak makan sawit atau minyak makan kelapa.

Sedangkan proses waktu memasak masyarakat Barat kebalikannya, sehingga penggunaan minyak makan non sawit (vegetable oil) cocok dengan teknik memasak mereka. Untuk diketahui, proses pemanasan terhadap minyak makan non sawit (vegetable oil) tidak boleh terlalu lama.

Perlu disadari hampir semua resep seni dapur masakan dunia selalu ada unsur gorengan yang menggunakan minyak makan sawit dan atau minyak non makan sawit (vegetable oil).

Secara tersirat, black campaign kelapa sawit lebih tertuju kepada masalah kompetisi persaingan bisnis semata, bukan soal isyu kesehatan atau isyu perusakan tanah maupun lainnya.

Sebenarnya penggunaan minyak makan sawit dan minyak non sawit (vegetable oil) bisa saling melengkapi atau disatukan dalam sebuah piring. Misalkan, jika sebuah masakan dimasak menggunakan minyak makan sawit, maka ketika disajikan di atas piring bisa ditaburi dengan minyak makan non sawit sebagai pelengkap rasa (taste) makanan.

Di beberapa benua Eropa, teknik pembuatan roti croissant dilemuri (dilapisi) minyak makan sawit sebelum menggunakan minyak makan non sawit (vegetable oil) untuk proses memasaknya. Dari sini memperlihatkan bagaimana taburan minyak makan sawit bisa bersanding akrab dengan minyak makan non sawit untuk menghasilkan roti croissant.

Selain itu, fraksinasi (pemisahan) minyak sawit, banyak digunakan juga untuk membuat antara lain :

Margarine, yang merupakan produk dari kelapa sawit yang kerap dipakai masyarakat barat untuk pembuatan roti, bolu, dan cake, karena daya emulsi margarin lebih baik daripada mentega yang dibuat dari lemak hewani. Apalagi margarin cenderung lebih rendah kolesterol.

Croissant adalah bagian penting dari sarapan pagi kontinental masyarakat Perancis yang dikenal memiliki Layered Airy Structure (struktur lapang berlapis). Airy dalam arti ada ruang kosong / longgar yang menggunakan teknik cook laminating dimana minyak sawit paling cocok dan banyak digunakan para pastry & bakery di negara tersebut.

Coklat & Selai Coklat, dimana secara alami minyak sawit tidak memiliki rasa dan tidak berbau, mudah dioleskan pada suhu ruangan, serta memiliki tekstur halus dan lembut sehingga menjadikannya bahan sempurna untuk coklat dan selai coklat.

Minyak sawit dapat menjamin kelembutan isi truffle coklat, mencegah coklat mencair di cuaca panas & membuat selai coklat mudah dioles. Selain itu penggunaan minyak sawit membuat / menampilkan permukaan coklat halus dan mengkilap (glazing) serta rasa yang enak di mulut (excellent mouth feel).

Kue Kering (Cookies), dimana minyak sawit membuat kue kering dengan tekstur ideal & kombinasi renyah yang lembut.

Karena sifatnya yang semi-padat pada suhu kamar, minyak sawit menjadikan tampilan kue kering garing di luar, namun halus & memberikan rasa lembut di dalam dengan tekstur renyah saat dipanggang, sehingga membuat selai lebih mudah dioles, serta bebas dari lemak trans yang berbahaya.

Contohnya baguette, termasuk yang jenis rustique, campagnarde, forestière atau ficelée; pada umumnya menggunakan minyak sawit seperti yang dikatakan di atas. Menurut Observatoire du Pain, 320 baguette dimakan setiap detik di Prancis atau rata-rata setengah baguette per orang per hari atau 1,32 juta baguette dimakan setiap hari di Prancis, dan 10 miliar total dikonsumsi setiap tahunnya. 

Saat ini di Prancis ada lebih dari 35.000 toko boulangeries di seluruh negeri dimana 95% orang Prancis makan baguette. Artinya satu toko roti per 1.800 orang. Kegemaran Perancis untuk baguette tidak perlu dipersoalkan, malah sudah sampai skala global. Negara-negara termasuk Inggris, AS dan Jepang adalah penggemar berat baguette , bersama dengan bekas koloni Perancis di Tunisia, Maroko dan Aljazair.

Selain baguette, penggunaan minyak sawit juga dilakukan terhadap pembuatan roti kering qween-ah-mahn dengan metode doug (adonan) yang sebenarnya sama dengan menumpuk antara adonan (dough) bersama butter dan gula.

Namun, bisa dikatakan roti qween-ah-mahn teksturnya lebih padat jika dibandingkan dengan croissant yang garing dan kosong. Roti kouign-amann ini memiliki ektra tumpuk dengan gula.

Selain pula qween-ah-mahn, minyak sawit juga digunakan terhadap pembuatan roti macarón yang merupakan kue bulat kecil sangat terkenal di perancis menjadi hidangan sajian yang paling difavoritkan dalam berbagai pesta.

Kue Basah & Roti, dimana shortening minyak kelapa sawit digunakan pada kue untuk meningkatkan kekenyalan, berat, kepadatan, dan tekstur roti. Minyak sawit memastikan bagian tengah roti (seperti Patisserie, Bakery & Viennoiserie) tetap ringan dan halus sementara lapisan kulit luar berkembang karena padat pada suhu ruangan dan meleleh saat dipanggang dalam oven.

Menambahkan minyak sawit akan menghasilkan produk roti yang halus dan kenyal serta bertekstur, ramah bagi vegetarian & murah. Karena sifat alami padat pada suhu kamar, stabil dan vegetarian, minyak sawit sekarang banyak digunakan di industri roti.

Mi Instan, dimana minyak sawit digunakan hingga 20% dari berat sebungkus mie instan. Minyak sawit membuat mi mentah (pra-memasak) dapat dimasak dan dikeringkan serta disimpan terlebih dulu, sehingga yang perlu dilakukan hanya menambahkan air dan merebusnya hingga mendidih. Dengan minyak sawit, mi memiliki umur yang panjang; menghemat waktu dan energi; bisa dimasak dengan cepat & ramah bagi kaum vegetarian.

Pizza, dimana minyak sawit ditambahkan pada pizza beku dan adonan pizza segar agar tidak saling menempel dan untuk meningkatkan tekstur.

Sebagai penutup, Indonesia harus dapat menunjukkan kepada dunia bahwa antara minyak makan sawit dan minyak makan non sawit dapat saling terintegrasi dalam cita rasa (selera & rasa) daripada saling bersaing satu sama lain.

Melalui Gastro-Branding, perspektif dan inovasi tersebut dapat diwujudkan secara harmonis di hadapan dunia, karena di hampir semua resep seni dapur masakan dunia selalu ada unsur penggunaan balancing (keseimbangan) terhadap minyak makan sawit dan atau minyak non makan sawit (vegetable oil).

Jakarta, 2 Oktober 2019
Indrakarona Ketaren
Indonesian Gastronomy Association

Monday 30 September 2019

GastroDiplomasi Sebagai Instrumen Persuasi Kelapa Sawit Indonesia


Industri kelapa sawit, terutama di negara-negara ASEAN, sebagai negara produsen besar, saat ini menghadapi banyak tekanan besar.

Industri kelapa sawit dirusak di Eropa dengan banyak lobi dan kampanye yang meminta konsumen untuk berhenti membeli produk dengan minyak makan sawit.

Ini menjadi tekanan global sejak tahun 1980 hingga hari ini, tanpa tanda-tanda penyelesaian yang baik.

Bisa dikatakan kampanye negatif industri minyak sawit ini dianggap semata persaingan dari produsen minyak nabati lainnya atau bahkan dari negara-negara maju.

Kampanye negatif terhadap industri minyak sawit itu sendiri semakin tidak adil, tidak bertoleransi dan pelanggaran prinsip pasar bebas dan kemandirian konsumen.

Alasan klasik yang beresiko untuk mendukung pertanian monokultural (sawit) agak kurang dapat diterima oleh mayapada bangsa Indonesia (termasuk negara-negara produsen lainnya).

Apapun deskripsi narasi artistiknya, termasuk efek jangka panjang memberi pengaruh terhadap habitat dan ekosistem tidak membuktikan fakta yang sebenarnya.

Narasi sugestif masyarakat Eropa agar bangsa Asia mendukung resusitasi banyak varietas tanaman dan hewan pun tidak menjadi ukuran melarang penggunaan minyak makan sawit.

Untuk diketahui pertanaman tunggal atau monokultur adalah salah satu cara budidaya di lahan pertanian dengan menanam satu jenis tanaman pada satu areal. Pertanaman padi, jagung, atau gandum sejak dulu bersifat monokultur karena memudahkan perawatan.

Dalam setahun, misalnya, satu lahan sawah ditanami hanya padi, tanpa variasi apa pun. Akibatnya hama atau penyakit dapat bersintas dan menyerang tanaman pada periode penanaman berikutnya.

Cara budidaya ini meluas praktiknya sejak paruh kedua abad ke-20 di dunia serta menjadi penciri pertanian intensif dan pertanian industrial di negara-negara dunia, termasuk Indonesia maupun negara-negara Asia.

Pertanian pada masa kini biasanya menerapkan monokultur spasial tetapi lahan ditanami oleh tanaman lain untuk musim tanam berikutnya untuk memutus siklus hidup (daur ulang) sekaligus menjaga kesehatan tanah.

Masyarakat Uni Eropa yang mengadopsi Draft Delegated Act (DDA) untuk mengurangi dan pada akhirnya melarang penggunaan biofuel dengan bahan baku kelapa sawit menjadi pukulan berat untuk industri sawit.

Kriteria yang dipergunakan dalam DDA yang focus pada periode 2008-2015 telah menempatkan sawit menjadi satu-satunya komoditas minyak nabati sebagai penyebab pengrusakan hutan (deforestasi).

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Rabu, 7 Mei 2019 menyampaikan bahwa Indonesia menjadi satu-satunya negara pemilik hutan hujan tropis yang mendapat apresiasi Internasional atas keberhasilannya menjaga hutan dari deforestasi.

Jika dibandingkan negara-negara pemilik hutan hujan tropis lain di dunia seperti Ghana, Pantai Gading, Papua Nugini, Angola, Suriname, Liberia, dan Kolombia angka laju deforestasi Indonesia jauh lebih rendah, hal ini berdasarkan data presentase perubahan dari tahun 2017 ke tahun 2018.

Narasi yang dikembangkan oleh Uni Eropa dengan mengabaikan nilai ekonomis dan apresiasi atas keberhasilannya menjaga hutan dari deforestasi adalah upaya yang dengan sengaja dilakukan sebagai bentuk kampanye negatif untuk memperlemah industri sawit Indonesia.

Oleh karena itu Indonesia harus mengembangkan narasi yang setara tanpa harus mengikuti genderang yang ditabuh oleh Uni Eropa. Narasi tersebut haruslah narasi yang dapat diterima oleh banyak pihak baik di dalam maupun luar negeri serta berlaku untuk semua jenis sumber minyak nabati. United Nations Sustainable Development Goals yang lebih dikenal dengan UN SDGs adalah platform yang lebih tepat untuk dipergunakan.

 Industri sawit memahami bahwa Uni Eropa mengadopsi DDA sebagai kelanjutan dari komitmen mereka terhadap Perjanjian Paris yang lebih menekankan pada pengurangan emisi gas rumah kaca.

Sementara pendekatan yang dilakukan Indonesia adalah untuk mendukung pencapaian UN SDG 2030. Meskipun pada dasarnya baik Indonesia maupun Uni Eropa juga mendukung Perjanjian Paris maupun UN SDG’s.

Untuk itu dipandang perlu menyusun platform baru kampanye (persuasi) positif sawit Indonesia melalui narasi Gastro-Diplomacy yang berjalan seiring dengan platform UN SDGs.

Gastro-Diplomacy adalah kependekan dari Gastronomi Diplomasi yang dalam pemahaman lain disebut sebagai Diplomasi Melalui Makanan.

Gastro-Diplomacy merupakan cabang lain dari Diplomasi (atau Diplomasi Publik), di mana soft power digunakan sebagai alat perang.

Pada hakekatnya, Gastronomi Diplomasi adalah tindakan memenangkan hati dan pikiran melalui perut yang menggunakan makanan sebagai instrumen untuk menciptakan pemahaman lintas budaya dengan harapan meningkatkan interaksi dan kerjasama.

Makanan (boga) digunakan untuk menunjukkan wibawa, prestise & image suatu negara di mata dunia, yang nota bene bernuansa dapat menaikkan brand power equity negara yang bersangkutan.

Makanan dimanfaatkan menjadi lambang identitas nasional, yang mana representasi ini bertujuan untuk mencapai nilai-nilai ekonomi melalui pengakuan global.

Dalam keseharian dunia bisnis, makanan (boga) kerap dipakai sebagai bagian dari entertainment karena merupakan strategi atau taktik dari lobi dan negosiasi yang dilakukan untuk menghasilkan target usaha dagang.

Gastro-Diplomacy terkait dengan pengenalan & pertukaran budaya boga dalam ruang lingkup tidak resmi kepada masyarakat kebanyakan. Dikenal dengan istilah grass-root cuisine yang merupakan praktik kontak langsung (people to people contact) pada level masyarakat umum (publik).

Bentuk aksinya dilakukan melalui makanan jajanan jalanan (street food), rumah makan, restoran, maupun acara festival makanan (boga & upaboga) serta kunjungan pariwisata.

Usulan platform baru kampanye (persuasi) positif sawit Indonesia adalah melalui narasi Gastro-Diplomacy dengan cara intrusi atau penerobosan langsung melakukan sosialisasi & promosi minyak makan sawit ke pangsa pasar di dunia dan atau di negara-negara pesaing.

Gastro-Diplomacy dapat menjadi inovasi di luar kotak (out of the box) dari instrumen yang selama ini digunakan Indonesia menghadapi black campaign palm oil dari kalangan tertentu di negara-negara Uni Eropa.

Metode out of the box dapat menciptakan pemikiran yang tidak biasa dan mengandung inovasi sehingga mereka dapat keluar dari kotak dengan melihat ke dalam lebih baik.

Dengan berpikir di luar kotak, lebih mudah untuk melihat tantangan, melihat solusi yang berbeda dan melihat hal-hal dengan perspektif yang berbeda.

Menggunakan metode out of the box memang tidak mudah, dalam arti bisa keluar dari cara konvensional dan melihat semuanya dari perspektif yang berbeda akan mampu menghasilkan inovasi dan solusi yang tepat.

Gastro-Diplomacy adalah bentuk diplomasi positif; yang dengan manfaat dan kemampuannya dapat memberi pemahaman "di luar kotak” bahwa minyak sawit sebagai minyak nabati terbukti tidak berbahaya (karsinogenik).

Contoh Gastro-Diplomacy dengan memilih lokasi prime area & strategis di negara-negara Uni Eropa untuk mempromosikan penggunaan minyak makan sawit dalam hidangan makanan.

Umpamanya membuka loket atau kios makanan Nusantara di airport - airport negara bersangkutan dengan daya tarik kopi & teh Indonesia namun menyajikan masakan makanan yang menggunakan minyak makan sawit.

Dengan hadir langsung di negara bersangkutan, apalagi di lokasi prime area & strategis,  seperti di airport setempat dimana manusia dari seluruh dunia berseliweran, akan lebih terasa dan lebih mengena brand power Indonesia, khususnya dalam mengatasi masalah black campaign palm oil.

Contoh Gastro-Diplomacy lainnya adalah hadir dalam acara-acara festival makakan (boga) & gastronomi kelas dunia antara di negara-negara Uni Eropa & Amerika, di mana Indonesia berpartisipasi sebagai pembicara dan melakukan atraksi demo masakan menggunakan minyak makan sawit.

Festival seperti di Madrid Fusion (Spain), Gastro Festival (Spain), San Sebastian Gastronomika (Spain), Internationale Tourismus-Börse (Germany), Les Etoiles de Mougins (France), Fête de la Gastronomie (France), Gastronomie Jaarbeurs (Netherlands), World Expo Milano (Italia), Salon de Gourmets (Spain), Expogast (Luxembourg), Bocuse d'Or or the Concours mondial de la cuisine (France), and The International Exhibition of Culinary Art or Internationale Kochkunst Ausstellung (Germany).

Contoh Gastro-Diplomacy berikutnya adalah dengan hadir langsung (directly present) di pasar dunia khususnya di negara-negara Uni Eropa yang selama ini kalangan tertentu melakukan black campaign terhadap sawit Indonesia.

Hadir langsung dalam arti buka kantor perwakilan di beberapa negara bersangkutan, khususnya Eropa Barat, untuk melakukan lobby tingkat atas dengan assign perusahaan atau tokoh lobbyist terbaik dunia, intelijen gathering & action, menggunakan influencer dan endorser, kampanye penggunaan minyak makan sawit dengan menyelenggarakan berbagai acara festival makanan Nusantara ke kalangan masyarakat bawah, aksi tindakan media dan lain sebagainya yang pada intinya adalah melakukan communication strategy yang lebih nyata dengan menggunakan perangkat gastronomi sebagai instrumen diplomasi.

Perangkat Gastro-Diplomacy yang digunakan adalah :

1.   Gastronomi Konvensional (Popular) diperuntukkan bagi masyarakat kalangan bawah (atau kebanyakan) dengan jenis makanan (boga) grass root cuisine.

Bentuk aksinya dilakukan melalui makanan jajanan jalanan (street food), rumah makan, restoran, maupun acara festival makanan serta kunjungan pariwisata.

2.   Gastronomy Luxury diperuntukkan bagi masyarakat kalangan atas (high end) dengan jenis makanan (boga) serupa dengan Culinary-Diplomacy (high level cuisine), namun jenisnya hanya berupa Adiboga (fine dine)  tanpa Andrawina (official banquet)

Bentuk aksinya dilakukan melalui perjamuan atau perhelatan makan Adiboga

3.   Culinary Diplomacy terkait dengan pengenalan & pertukaran budaya boga dalam ruang lingkup resmi di meja perundingan oleh kalangan elit politik Pemerintahan (atau melalui perwakilan negara) dengan counterpartnya di luar negeri. Dikenal dengan istilah perjamuan makan Adrawina Adiboga.

Andrawina (official banquet) Adiboga (fine dine) adalah seni memasak tingkat tinggi (high level cuisine).

Culinary-Diplomacy terkait dengan aktifitas lobi, negosiasi & upacara diplomatik kenegaraan (state diplomatic ceremonial).

Contoh terakhir Gastro-Diplomacy adalah melibatkan influencer dan endorser terkenal melakukan soft counter terhadap black campaign palm oil yang dengan sengaja dilakukan negara-negara barat sebagai bentuk kampanye negative untuk memperlemah industri sawit Indonesia.

Pesan influencer dan endorser kepada masyarakat global adalah untuk membangun citra minyak sawit, yang tidak mengandung kolesterol dan zat negatif lainnya, seperti asam lemak jenuh & lemak trans. Selain memberi suara kepada masyarakat dunia bahwa mereka bebas untuk makan apa pun yang mereka inginkan, termasuk minyak makan berbasis sawit.

Pemberdayaan minyak makan sawit melalui Gastro-Diplomacy dapat memberi pengertian bahwa sawit adalah sumber utama minyak nabati masyarakat Indonesia dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Melalui Gastro-Diplomacy para influencer dan endorser dapat memberi pencerahan bahwa industri minyak sawit menjadi lokomotif penghasil devisa terbesar perekonomian negara serta penyerapan tenaga kerja, khususnya dalam industri makanan & minuman Indonesia.

Kontribusi perkebunan minyak sawit dengan pola kemitraan telah membawa petani Indonesia keluar dari kantong kemiskinan dan keterbelakangan menjadi masyarakat kelas menengah serta menjadi tulang punggung roda pembangunan perekonomian daerah.

Industri minyak sawit adalah paradigma ketahanan pangan Indonesia mengingat merupakan komoditas strategis nasional penting yang berdaya saing & berkelanjutan, khususnya bagi kesejahteraan petani kecil (smallholders), dan pencapaian SDG’s, khususnya kepada negara-negara konsumen.

Kelapa sawit merupakan komoditas utama ekspor Indonesia yang nilai ekspor produknya menyumbang devisa kepada negara sebesar USD 22,97 Milyar atau setara dengan Rupiah 300 Trilyun pada tahun 2017 (atau 12,3% dari total ekspor tahun 2016).

Rekor itu mengkukuhkan sawit sebagai industri penyumbang terbesar bagi perekonomian Indonesia, jauh melampaui ekspor migas & ekspor lima komoditas perkebunan utama Indonesia lainnya yakni seperti karet, kakao, kopi, tebu & teh.

Negara Malaysia sudah melakukan itu dengan melibatkan orang-orang ternama (artis atau olah ragawan dan lain sebagainya) sebagai influencer dan endorser, termasuk Perdana Menteri Mahathir sendiri bicara secara viral di berbagai prime media dunia.

Sebagai kata penutup, Indonesia harus mempertimbangkan penggunaan Gastro-Diplomacy sebagai instrument baru dalam menghadapi isyu-isyu kelapa sawit, khususnya di negara-negara dari kompetisi perdagangan tersebut.

Artinya dalam Gastro-Diplomacy berbagai seni dapur masakan dan hidangan Nusantara Indonesia yang menggunakan minyak makan sawit ditampilkan.

Jakarta, 1 Oktober 2019
Indrakarona Ketaren
Indonesian Gastronomy Association













                         











Sunday 22 September 2019

EXPO MILAN 2015: Dialog GastroDiplomasi Melalui Makanan


Expo 2015 adalah World Expo yang pernah diselenggarakan oleh pemerintah kota Milan, Italia.  Acara enam bulan ini dibuka pada tanggal 1 Mei dan ditutup pada tanggal 31 Oktober tahun 2015 dengan tema "Feeding the Planet, Energy for Life" (Memberi Makan Planet, Energi untuk Kehidupan).

Expo 2015 menampilkan pameran yang dipresentasikan oleh 145 negara dan mampu menarik 20 juta pengunjung, sekitar sepertiganya dari luar Italia. World Expo, juga dikenal sebagai "pameran dunia", adalah panggung besar di mana negara-negara berkumpul bersama untuk memamerkan inovasi teknologi dan budaya nasional kepada masyarakat luas.

Milan menyelenggarakan eksposisi ini untuk kedua kalinya; yang pertama adalah Milan International 1906. Perjalanannya dapat ditelusuri kembali ke tahun 1851, ketika London menjadi tuan rumah “Great Exhibition of the Works of Industry of All Nations” (Pameran Besar Karya Industri Semua Bangsa).

Shanghai pun pernah menjadi tuan rumah Expo terakhir pada tahun 2010, yang terbesar dalam sejarah Expo dalam hal partisipasi peserta (190 negara) dan kehadiran pengunjung (73 juta). Tahun 2015 adalah kedua kalinya Milan menjadi tuan rumah pertemuan semacam itu; yang terakhir adalah Milan International Great Expo of Work pada tahun 1906. Memang Ekspo Milan menawarkan pengingat yang jelas kepada dunia tentang mengapa lembaga bersejarah ini masih penting hingga abad ke-21.

World Expo adalah kegiatan banyak hal. Dari forum dialog, acara festival makanan, demo memasak, seni tarian, seni busana, seni musik, dan paviliun pameran, dengan beragam pemain maupun atraksinya. Partisipasi atau keikutsertaan mulai dari pengelola pemerintah kota dan kabupaten, organisasi transnasional sampai ke perusahaan bisnis maupun entitas non-pemerintah. Di Expo 2015  identitas negara dan paviliun tetap menjadi fitur utama dan partisipasi masyarakat merupakan misi inti.

Oleh karena itu, World Expo adalah platform untuk diplomasi publik melalui instrumen GastroDiplomasi. Di sini secara luas didefinisikan sebagai keterlibatan negara dengan publik asing untuk komunikasi yang lebih baik dan hubungan yang diinginkan. Acara ini memfasilitasi transfer dan transformasi budaya, karena negara-negara membawa budaya mereka ke dalam kontak langsung dengan publik asing. Aspek Expo ini sangat menyentuh mengingat kebanyakan dihadiri pengunjung kelas menengah global yang semakin mobile.

Seperti acara-mega lainnya, World Expo membantu memberi sorotan kepada tuan rumah. Selain prestise yang terkait dengan menjadi tuan rumah,  acara ini juga memberikan peluang bagi negara-negara peserta untuk memproyeksikan citra dan identitas mereka kepada audiens internasional yang lebih luas melalui paviliun nasional. Bagi sebagian besar negara peserta, World Expo tetap menjadi ajang promosi tunggal terbesar dari suatu negara di luar perbatasannya sendiri.

Expo ini juga merupakan momen komunal global yang unik. Berbeda dengan Olimpiade atau Piala Dunia FIFA, Expo bukanlah "acara media". Pemandangan ini harus dirasakan dan dialami langsung saat "berada di sana", apalagi sebagai pejalan kaki di taman dan dengan terbenam di dalam ruang paviliun peserta.

Ini mewujudkan bentuk unsur komunikasi manusia melalui gerakan fisik. Ketika kita semakin hidup di dunia digital, kehadiran fisik dan pengalaman multi-indera tampaknya mendapatkan mata uang baru.

Apalagi Expo tidak hanya untuk dialami, tetapi juga untuk diingat. Karena World Expo adalah kejadian sosial temporal yang terkonsentrasi, dimana acara besar ini memukau perhatian dan daya tarik pengunjung. Sementara dengan pengalaman langsung hadir di Expo, kesan seseorang itu bisa tahan lama.

Acara Expo di desain untuk lebih merayakan sesuatu yang reflektif & kooperatif, bukan sebaliknya. Kesemarakan Expo yang memberi nuansa santai menjadikan masing-masing paviliun nasional berwujud seperti ruang normatif dalam konteks kosmopolitanisme, karena melibatkan masyarakat manca negara dalam gagasan dan cita-cita negara untuk membangun kesadaran dan pemahaman kebersamaan dunia.

Area ajang Expo adalah zona kompetitif, dengan setiap negara berusaha menghadirkan yang terbaik dari dirinya kepada dunia. Tapi adalah ruang "bebas konflik", tanpa negara mana pun menyatakan superioritas nasional atau budaya. Bisa dikatakan, World Expo mewakili sebuah aktifitas berpolitik rendah (low political activity) di arena global.

Adalah tradisi di Expo bahwa setiap acara memiliki tema. Milan Expo 2015 fokus pada isu seputar makanan. Mulai dari mengeksplorasi sejarah, budaya dan teknologinya, hingga mengatasi kelaparan, nutrisi, hygenitas dan obesitas. Setiap negara peserta membagikan asal usul kultur makanan nasionalnya serta keyakinan, sikap dan nilai-nilai yang mendasari.

Para pengunjung disuguhi kisah-kisah cerita nasional ini. Bagaimana mereka bersinggungan dan menyimpang dalam pengalaman subyektif tentang makanan, yang merupakan sebuah obyek biasa dalam kehidupan sehari-hari, namun begitu kuat dalam membentuk persepsi dan pemahaman tentang bangsa dan budaya dunia.

Sekarang pertanyaannya apakah  Pemerintah DKI Jakarta mampu menyelenggarakan acara seperti World Expo Milan. Paling tidak jangan bicara kelas dunia (world expo) dengan 6 (enam) bulan. Cukup setingkat nasional (national expo) dengan 1 (satu) bulan yang melibatkan peserta dari 554 pemerintah daerah Indonesia dan pengunjung seantero Nusantara yang hadir saat acaranya diselenggarakan di waktu liburan sekolah.

Kepentingannya untuk menyatukan kembali kebersamaan bangsa ini dan menghapus segala prasangka destruktif akibat ritme karnaval politik yang telah berjalan selama beberapa tahun lalu.

Semoga bermanfaat

Saturday 21 September 2019

Mengatasi Prasangka Destruktif Melalui GastroDiplomacy


Ludwig Andreas Feuerbach, seorang filsuf, antropolog & gastrosophy Jerman dari abad ke -19 pernah menulis “Der mensch ist, was er ißt” ("A man is what he eats”). Pernyataan ini menyinggung fakta bahwa makanan yang dimakan seseorang memiliki efek pada kondisi pikiran dan kesejahteraan mereka (Marius Crous, 2012).

Relevansi pernyataan ini dalam istilah ilmiah tidak dapat diabaikan, namun ada banyak hal yang dapat dipelajari dari pernyataan itu di dalam perspektif politik, sosial dan diplomatik.

Mengingat bahwa “A man is what he eats", tidak perlu dikatakan bahwa seseorang dapat mengetahui Apa Pria Itu dengan memeriksa apa yang dia makan. Logika ini dirangkum oleh pengacara dan politisi Prancis abad ke-19 Jean Anthelme Brillat-Savarin ketika dia berkata, “Dis-moi ce que tu manges, je te dirai ce que tu es" ("Tell me what you eat, I'll tell you what you are").

Itu berarti kita dapat belajar tentang karakter orang, budaya orang, identitas nasional orang dengan menemukan seni dapur masakan mereka. Dalam menemukan budaya, seseorang mengembangkan pola pikir yang simpatik terhadap orang lain.

Mereka mulai berpikir tentang asal-usul makanan yang mereka hargai dan ini, seperti yang diakui Aristoteles, berfungsi untuk memperkuat ikatan dan mengurangi antagonisme (Sam Chapple-Sokol, 2013).

Untuk diketahui antagonis adalah kepribadian (perilaku) yang melawan karakter utama atau protagonis atau pertentangan antara dua paham yang saling berlawanan. Antagonis adalah nilai-nilai negatif, sedangkan protagonis adalah nilai-nilai positif.

Berbicara tentang antagonisme, Indonesia adalah contoh dari sebuah negara yang dapat dikatakan telah mengalami beberapa tingkat antagonisme sejak reformasi, dalam arti bahwa persepsinya dalam pandangan masyarakat barat terkadang kurang menguntungkan.

Fenomena antagonisme ini digambarkan oleh representasi negara Indonesia yang agak bias di media internasional alias dipandang dengan dua sisi mata yang berbeda. Representasinya di media telah berkontribusi untuk mengindoktrinasi stereotip kerusuhan, korupsi dan masyarakat dalam krisis yang mendalam.

Memang, kondisi-kondisi ini ada, namun beberapa negara - negara sahabat tidak memandang kerusuhan-kerusuhan yang terjadi sebagai sebuah persoalan serius. Meski tetap dianggap sebagai sebuah kekacauan, sejumlah negara melihat Indonesia masih dapat mengendalikan situasi tersebut. Mereka menyebutnya sebagai 'riot' kalau diikuti di media. Tapi, dunia internasional melihat situasi itu so far porsinya pas.

Disamping dunia barat tidak menceritakan keseluruhan cerita yang ada. Aspek positif lainnya seperti iklim demokrasi yang tumbuh dengan baik, Islam dan demokrasi bisa berjalan beriringan, ancaman radikalisme & terorisme dapat ditangani melalui pendekatan kultural dan keagamaan, pemberantasan korupsi yang signifikan, pengentasan kemiskinan yang berkelanjutan, pemberdayaan ekonomi yang inklusif, warisan budaya yang kaya, dan kelas menengah yang tumbuh cepat.

Saya berpendapat bahwa makanan memiliki kekuatan untuk mengubah persepsi ini, yang bisa menjadi modal besar bagi Indonesia di mata internasional. Apalagi kalau bisa menempatkan modal besar itu sebagai landasan dalam politik global bahwa Indonesia adalah negara Islam dan negara demokrasi terbesar di dunia.

Makanan, yakni melalui GastroDiplomacy, memiliki potensi untuk mengubah persepsi, dan menempatkan identitas negara di benak populasi negara lain, dan bagaimana negara memanfaatkannya untuk menempatkan dirinya pada peta signifikansi global.

Makanan adalah bagian sentral dari kehidupan. Dalam arti yang sangat mendasar, setiap organisme hidup untuk makanan dan akan melakukan apa saja untuk mendapatkannya. Ini bahkan lebih benar bagi manusia. Makanan memberi manusia energi yang dibutuhkan untuk bertahan hidup setiap hari.

Namun, bagaimana makanan dibuat sangat bervariasi karena banyaknya variasi bahan yang tersedia di dunia. Selain itu variasi lain adalah budaya. Makanan menjadi bentuk dari budaya, berarti makanan dapat juga digunakan dalam konteks diplomasi dan memang demikian adanya, karena makanan telah menjadi instrumen lobi & negosiasi diplomatik selama berabad-abad.

Sejarah mengajarkan bahwa faksi-faksi yang saling bertikai, diselesaikan melalui upacara rumit dengan menyajikan makanan, sehingga dapat memutuskan bagaimana gencatan senjata bisa dicapai dan perbedaan direkonsiliasi. Francois de Callières (1645-1717), salah satu sarjana pertama praktik diplomatik, dalam bukunya De la Manière de Négocier Avec Les Souverains, mengakui kekuatan strategis makanan dalam diplomasi :  “A good table is the best and the easiest way of keeping oneself informed [as a diplomat], … when people are a coaxed by wine they often disclose important secrets" (Geoff Berridge, 2010).

Aspek makanan sebagai alat untuk saluran protokol & instrumen diplomatik adalah GastroDiplomacy (diplomasi upaboga) & Culinary Diplomacy (diplomasi boga).

Relevansi makanan dalam hubungan diplomatik dilakukan dengan berbagai cara yang dapat dikelompokkan konsepnya dalam dua kategori berbeda, yakni Gastronomy Diplomacy atau GastroDiplomacy (diplomasi upaboga) & Culinary Diplomacy (diplomasi boga). Keduanya berinduk kepada atau merupakan turunan dari Food Diplomacy (diplomasi makanan).

Culinary Diplomacy dan GastroDiplomacy mungkin tampak memiliki kesamaan semantik, namun, Chapple-Sokol (2013) mengingatkan bahwa dua konsep ini cukup berbeda untuk menjamin kosa kata yang terpisah. Perbedaan utama antara kedua konsep ini adalah ruang lingkup di mana masing-masing terjadi, yakni pribadi vs publik (private vs public).

Chapple-Sokol (2013) menyoroti penggunaan pribadi makanan dalam diplomasi, mempertimbangkan kerja seorang diplomat walaupun utamanya didominasi tugas formal mereka memiliki beberapa tugas informal, seperti menghadiri makan malam kenegaraan dan makan siang bilateral.

Kegiatan berbagai aktifitas makanan ini merupakan bagian dari tugas seorang diplomat untuk membina hubungan internasional. Saat menghadiri makan malam dan makan siang tingkat tinggi (high-level cuisine), detail merupakan sangat penting karena menu dibuat dengan cermat untuk mencerminkan masakan nasional dari pihak-pihak yang terlibat.

Seseorang bahkan dapat membedakan suasana hubungan bilateral dari mengamati detail protokol seperti pengaturan tempat duduk. Penggunaan makanan pribadi ini dalam diplomasi dapat didefinisikan sebagai Culinary Diplomacy (diplomasi boga) yang terjadi di balik pintu tertutup dan dilakukan dengan counterpart sang diplomat.

Konsep lain adalah Gastronomy Diplomacy atau GastroDiplomacy (diplomasi upaboga), lebih berkaitan dengan bagaimana suatu pemerintah menggunakan makanan nasionalnya sebagai alat pencitraan diplomasi publik untuk mendapatkan pengakuan global melalui program penjangkauan boga (grass root cuisine) yang ditujukan untuk masyarakat kebanyakan (publik) di suatu negara.

Rockower (2014) mendefinisikannya secara ringkas GastroDiplomacy sebagai berikut: "GastroDiplomacy berupaya meningkatkan image (branding) edible nation brand melalui diplomasi budaya yang menyoroti dan mempromosikan kesadaran dan pemahaman budaya boga nasional kepada sejumlah besar publik di suatu negara."

Strategi ini bukan novel atau kiasan belaka. GastroDiplomacy terbukti sebagai solusi yang telah berhasil digunakan menjangkau publik di seluruh dunia sebagai upaya untuk mengesankan perubahan persepsi salah arah (mispersepsi) orang tentang satu negara atau bangsa.

Bisa dikatakan GastroDiplomacy sangat efektif dimanfaatkan untuk mengubah persepsi masyarakat menengah & ke bawah. Kesuksesan Thailand, Korea Selatan, Malaysia dan negara tetangga lainnya adalah cerita dari kesuksesan itu.

Selain berhasil mengubah persepsi, GastroDiplomacy juga mempengaruhi banyak orang untuk bepergian ke negara yang masakannya mereka nikmati atau mereka berpikir untuk bepergian ke suatu negara berdasarkan makanan yang telah pernah nikmati. Ini terjadi karena rasa penasaran yang merupakan kecenderungan alami manusia untuk mengetahui lebih mendalam tentang apa yang pernah mereka makan, termasuk sejarah & budayanya.
Bentuk ketertarikan inilah yang dibutuhkan suatu negara, yang telah menjadi korban representasi media, dengan mengalihkan fokus masyarakat setempat ke kisah nyata yang lain yakni perdamaian, keindahan budaya & keramahtamahan masyarakat. Indonesia, misalnya, memiliki banyak keuntungan dari bentuk diplomasi budaya ini.

Indonesia harus dapat menghadapi representasi negatif terhadap negaranya di panggung global, karena penggambaran metaforis bangsa Indonesia oleh media barat telah berdampak pada tingkat ekonomi, bisnis, investasi, sosial dan bahkan lokal.

Melalui penggunaan GastroDiplomacy sebagai prakarsa branding bangsa, yang memiliki masakan sebagai elemen inti, Indonesia dapat memperbaiki citra yang agak bias selama ini, yang berbicara melalui makanan dan seni masakannya. Dengan mengadopsi inisiatif GastroDiplomacy, Indonesia memiliki banyak hal ditawarkan kepada dunia.

GastroDiplomacy adalah konsep yang memiliki implikasi nyata terhadap opini publik internasional. Ia memiliki kekuatan untuk mengubah persepsi, meningkatkan pengakuan dan menarik perhatian wisatawan untuk keuntungan ekonomi.

Bentuk diplomasi budaya ini juga memungkinkan masyarakat Indonesia sendiri, dengan sumber daya yang tersedia, melakukan berbagai inisiatif diplomasi publik secara bersamaan dengan Pemerintah. Masyarakat memiliki kesempatan yang sama dengan Pemerintah untuk membangun persepsi positif pada sistem global dan dalam mempengaruhi publik asing bersimpati dengan negeri ini.

Pemerintah perlu secara aktif mempertimbangkan & merumuskan dalam kepentingan kebijakannya berinvestasi dalam agenda branding bangsa melalui boga sebagai elemen inti. Namun mungkin ada tantangan, karena boleh jadi rumit untuk menentukan apa yang merupakan identitas boga nasional negeri ini.

Akan tetapi pada awalnya kemajuan selalu dapat dicapai, umpamanya melalui penciptaan buku seni memasak dalam berbagai bahasa asing yang merinci seni dapur masakan Indonesia dan akan menjadi daya tarik negara & masyarakat tertentu.

Perwakilan Indonesia di luar negeri dapat menyebar luaskan buku seni masakan itu secara gratis kepada publik dan atau sentra-sentra jaringan masyarakat setempat sebagai promosi GastroDiplomasi negara Indonesia.

Dengan cara ini, Indonesia bisa menyentuh hati orang-orang di seluruh dunia melalui perut mereka.

Semoga bermanfaat
Tabek
Indrakarona Ketaren
Indonesian Gastronomy Association

Referensi Artikel:
1. Chapple-Sokol, Sam : "Culinary Diplomacy: Breaking Bread To Win Hearts & Minds", The Hague Journal of Diplomacy 8, no. 2 (1 January 2013):
2. Geoff Berridge : "Diplomacy: Theory & Practice", 4th ed (Houndmills, Basingstoke, Hampshire; New York: Palgrave Macmillan, 2010)
3. Iver B. Neumann : "Diplomatic Sites: A Critical Enquiry, Crises In World Politics", (London: Hurst & Company, 2013)
4. Marius Crous : "Der Mensch Ist Was Er Isst (Feuerbach) -Texts On Food, The Eating Process & The Philosophy Of Recipes",  Journal of Literary Studies 28, no. 1 (1 March 2012)
5. Paul Rockower : "The State Of Gastrodiplomacy", Public Diplomacy Magazine, 2014.