".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Sunday 22 September 2019

EXPO MILAN 2015: Dialog GastroDiplomasi Melalui Makanan


Expo 2015 adalah World Expo yang pernah diselenggarakan oleh pemerintah kota Milan, Italia.  Acara enam bulan ini dibuka pada tanggal 1 Mei dan ditutup pada tanggal 31 Oktober tahun 2015 dengan tema "Feeding the Planet, Energy for Life" (Memberi Makan Planet, Energi untuk Kehidupan).

Expo 2015 menampilkan pameran yang dipresentasikan oleh 145 negara dan mampu menarik 20 juta pengunjung, sekitar sepertiganya dari luar Italia. World Expo, juga dikenal sebagai "pameran dunia", adalah panggung besar di mana negara-negara berkumpul bersama untuk memamerkan inovasi teknologi dan budaya nasional kepada masyarakat luas.

Milan menyelenggarakan eksposisi ini untuk kedua kalinya; yang pertama adalah Milan International 1906. Perjalanannya dapat ditelusuri kembali ke tahun 1851, ketika London menjadi tuan rumah “Great Exhibition of the Works of Industry of All Nations” (Pameran Besar Karya Industri Semua Bangsa).

Shanghai pun pernah menjadi tuan rumah Expo terakhir pada tahun 2010, yang terbesar dalam sejarah Expo dalam hal partisipasi peserta (190 negara) dan kehadiran pengunjung (73 juta). Tahun 2015 adalah kedua kalinya Milan menjadi tuan rumah pertemuan semacam itu; yang terakhir adalah Milan International Great Expo of Work pada tahun 1906. Memang Ekspo Milan menawarkan pengingat yang jelas kepada dunia tentang mengapa lembaga bersejarah ini masih penting hingga abad ke-21.

World Expo adalah kegiatan banyak hal. Dari forum dialog, acara festival makanan, demo memasak, seni tarian, seni busana, seni musik, dan paviliun pameran, dengan beragam pemain maupun atraksinya. Partisipasi atau keikutsertaan mulai dari pengelola pemerintah kota dan kabupaten, organisasi transnasional sampai ke perusahaan bisnis maupun entitas non-pemerintah. Di Expo 2015  identitas negara dan paviliun tetap menjadi fitur utama dan partisipasi masyarakat merupakan misi inti.

Oleh karena itu, World Expo adalah platform untuk diplomasi publik melalui instrumen GastroDiplomasi. Di sini secara luas didefinisikan sebagai keterlibatan negara dengan publik asing untuk komunikasi yang lebih baik dan hubungan yang diinginkan. Acara ini memfasilitasi transfer dan transformasi budaya, karena negara-negara membawa budaya mereka ke dalam kontak langsung dengan publik asing. Aspek Expo ini sangat menyentuh mengingat kebanyakan dihadiri pengunjung kelas menengah global yang semakin mobile.

Seperti acara-mega lainnya, World Expo membantu memberi sorotan kepada tuan rumah. Selain prestise yang terkait dengan menjadi tuan rumah,  acara ini juga memberikan peluang bagi negara-negara peserta untuk memproyeksikan citra dan identitas mereka kepada audiens internasional yang lebih luas melalui paviliun nasional. Bagi sebagian besar negara peserta, World Expo tetap menjadi ajang promosi tunggal terbesar dari suatu negara di luar perbatasannya sendiri.

Expo ini juga merupakan momen komunal global yang unik. Berbeda dengan Olimpiade atau Piala Dunia FIFA, Expo bukanlah "acara media". Pemandangan ini harus dirasakan dan dialami langsung saat "berada di sana", apalagi sebagai pejalan kaki di taman dan dengan terbenam di dalam ruang paviliun peserta.

Ini mewujudkan bentuk unsur komunikasi manusia melalui gerakan fisik. Ketika kita semakin hidup di dunia digital, kehadiran fisik dan pengalaman multi-indera tampaknya mendapatkan mata uang baru.

Apalagi Expo tidak hanya untuk dialami, tetapi juga untuk diingat. Karena World Expo adalah kejadian sosial temporal yang terkonsentrasi, dimana acara besar ini memukau perhatian dan daya tarik pengunjung. Sementara dengan pengalaman langsung hadir di Expo, kesan seseorang itu bisa tahan lama.

Acara Expo di desain untuk lebih merayakan sesuatu yang reflektif & kooperatif, bukan sebaliknya. Kesemarakan Expo yang memberi nuansa santai menjadikan masing-masing paviliun nasional berwujud seperti ruang normatif dalam konteks kosmopolitanisme, karena melibatkan masyarakat manca negara dalam gagasan dan cita-cita negara untuk membangun kesadaran dan pemahaman kebersamaan dunia.

Area ajang Expo adalah zona kompetitif, dengan setiap negara berusaha menghadirkan yang terbaik dari dirinya kepada dunia. Tapi adalah ruang "bebas konflik", tanpa negara mana pun menyatakan superioritas nasional atau budaya. Bisa dikatakan, World Expo mewakili sebuah aktifitas berpolitik rendah (low political activity) di arena global.

Adalah tradisi di Expo bahwa setiap acara memiliki tema. Milan Expo 2015 fokus pada isu seputar makanan. Mulai dari mengeksplorasi sejarah, budaya dan teknologinya, hingga mengatasi kelaparan, nutrisi, hygenitas dan obesitas. Setiap negara peserta membagikan asal usul kultur makanan nasionalnya serta keyakinan, sikap dan nilai-nilai yang mendasari.

Para pengunjung disuguhi kisah-kisah cerita nasional ini. Bagaimana mereka bersinggungan dan menyimpang dalam pengalaman subyektif tentang makanan, yang merupakan sebuah obyek biasa dalam kehidupan sehari-hari, namun begitu kuat dalam membentuk persepsi dan pemahaman tentang bangsa dan budaya dunia.

Sekarang pertanyaannya apakah  Pemerintah DKI Jakarta mampu menyelenggarakan acara seperti World Expo Milan. Paling tidak jangan bicara kelas dunia (world expo) dengan 6 (enam) bulan. Cukup setingkat nasional (national expo) dengan 1 (satu) bulan yang melibatkan peserta dari 554 pemerintah daerah Indonesia dan pengunjung seantero Nusantara yang hadir saat acaranya diselenggarakan di waktu liburan sekolah.

Kepentingannya untuk menyatukan kembali kebersamaan bangsa ini dan menghapus segala prasangka destruktif akibat ritme karnaval politik yang telah berjalan selama beberapa tahun lalu.

Semoga bermanfaat