".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Friday 13 July 2018

Tradisi Minum Teh Indonesia



Kita tahu bahwa selama ini Jepang memiliki tradisi khusus dalam menikmati teh. Hal ini mereka sebut dengan nama "Sadou", di mana mereka melakukan upacara minum teh hanya bersama kalangan bangsawan dalam menjamu tamu. Namun, kini tradisi tersebut bisa dilakukan oleh semua kalangan masyarakat Jepang.

Selain itu Inggris juga mempunyai tradisi minum teh di sore hari yang dikenal dengan sebutan "Afternoon Tea".  Ciri khasnya adalah teh disajikan dengan camilan-camilan kecil yang disusun di nampan lapis tinggi atau three tier. Tradisi afternoon tea sudah melewati sejarah panjang sejak tahun 1800-an dan populer di kalangan bangsawan Inggris di masa itu. Karena afternoon tea lebih ke urusan gaya hidup, maka segala sesuatunya tampil begitu cantik. Mulai dari peralatan minum teh seperti cangkir hingga taplak meja.

Tidak berbeda dengan Jepang & Inggris, ternyata Indonesia juga memiliki tradisi serupa. Apalagi mengingat Indonesia merupakan salah satu negara penghasil teh terbesar dan terbaik di dunia. Maka tidak heran jika tradisi minum teh di Indonesia menyebar ke berbagai daerah dengan cara yang berbeda-beda.

Masyarakat Indonesia sudah menjadikan minum teh sebagai sebuah tradisi turun menurun. Tradisi minum teh ini awalnya hanya dimiliki kalangan bangsawan, namun kemudian sudah menjadi kebiasaan masyarakat luas. Contoh kebiasaan Gusti Adipati Paku Alam VII yang selalu melestarikan tradisi minum teh bersama keluarganya setiap sore hari.

Teh pertama kali dikenal pada 1686, yakni ketika warga kebangsaan Belanda, Dr. Andreas Cleyer membawa tanaman tersebut ke Indonesia sebagai tanaman hias. Pada 1782 Pemerintah Belanda mulai membudidayakan tanaman the utamanya di Pulau Jawa dengan mendatangkan biji-biji teh dari China. Semenjak itu, dimulailah kebiasaan untuk minum teh di negeri ini, terutama di Jawa.

Memang sejatinya tradisi minum teh merupakan proses akulturasi yang dibawa oleh para pendatang (Cina) dan proses mimikri dari Belanda yang menjajah bumi Nusantara. Namun bukan berarti bangsa kita meniru bulat tradisi minum teh itu sedemikian rupa tanpa menjelaskan sebab musababnya sebagai suatu budaya masyarakat setempat.

Di bawah ini disampaikan beberapa tradisi minum teh di Nusantara sebagai berikut :

Teh Poci di Jawa
Khusususnya di Cirebon, Slawi, Tegal, Brebes, Pemalang, dan sekitarnya, budaya minum teh menggunakan teh wangi melati yang diseduh di dalam poci bersamaan dengan gula batu sebagai pemanis, setelah itu teh dituang ke gelas-gelas kecil. Tradisi ini disebut “Teh Poci”. Uniknya, penikmat teh ini hanya dibolehkan menambahkan gula batu, tetapi tidak boleh mengaduknya. Mengapa? Ternyata hal ini memiliki filosofinya tersendiri, yakni hidup ini memang pahit pada awalnya, namun jika ingin bersabar maka kita akan mendapatkan manisnya. Jadi, gula dibiarkan mencair dan menyebar dengan sendirinya.

Nyaneut di Sunda
Di Tanah Sunda, terutama di Garut, kita bisa menemukan tradisi minum teh yang cukup sakral. Masyarakat menyebut tradisi ini dengan nama “Nyaneut”. Biasanya Nyaneut dilakukan saat menyambut malam Tahun Baru Islam. Nyaneut sendiri merupakan singkatan dari Nyai Haneut atau Cai Haneut yang berbarti air hangat. Tradisi minum teh ini pun memiliki tata cara, yaitu sebelum meminum teh, kita harus memutar gelas teh di telapak tangan sebanyak 2 (dua) kali. Kemudian, aroma teh harus dihirup sekira 3 (tiga) kali dan barulah teh boleh diminum. Festival tradisi ini biasanya diawali dengan melakukan pawai obor. Tujuannya ialah untuk menjaga kehangatan di lingkungan masyarakat.

Patehan, Karaton Yogyakarta
Tradisi Patehan tidak bisa dilakukan oleh siapa saja, hanya boleh dilakukan oleh Kerajaan Keraton. Nama “Patehan” itu sendiri diambil dari tempat tradisi ini dilakukan, yakni di Bangsal Patehan. Prosesi tradisi ini dilakukan oleh 5 (lima) perempuan dan 5 (lima) pria yang berpakaian adat Jawa dalam meracik dan menyajikan teh lengkap dengan makanan ringan yang dikhususkan untuk raja, keluarga, dan tamu keraton.

Nyahi di Betawi
Ngete atau nyahi, demikian warga asli Jakarta menyebut momen minum teh gaya Betawi baik di pagi maupun sore hari. Sajian teh ala mereka, biasanya cenderung ringan alias tidak seberapa kental dengan citarasa yang mengarah ke tawar.

Konon kata "Nyahi" sendiri berasal dari proses akulturasi pengaruh budaya Arab, dari kata "Syahi" yang artinya teh. Ada pula yang mengatakan budaya ini diadaptasi dari budaya minum teh di Cina.

Kegiatan Nyahi biasanya dilakukan bersama keluarga atau teman pada sore hari beberapa jam usai waktu makan siang. Teh tubruk - minuman dari daun teh kering yang langsung diseduh tanpa disaring - ditaruh dalam teko kaleng blibrik atau teko berbahan kuningan.

Tradisi minum teh gaya Betawi biasanya dinikmati dengan gula kelapa. Pemanis tersebut akan digigit terlebih dahulu, dilanjutkan dengan menyeruput teh hangat. Namun ada banyak variasi jajanan khas Jakarta yang dapat memberi rasa manis pada sebuah momen minum teh, sehingga bisa saja tidak lagi harus repot menggigit gula kelapa.

Nyahi yang sesungguhnya di sebuah keluarga Betawi, bukan menggunakan tea set porcelain / ceramic tetapi gelas teh yang biasanya ada motif bunga warna "ngejreng" (gelas kampung), atau gelas belimbing dengan beralaskan cawan kecil agak cekung.

Sambil "sruput" teh panas biasanya ditemanin kudapan yang dijejerin di meja panjang, berupa jalabia, cucur, talam, ape (pepe), apem, wajik sambil ngupas kacang tanah, pisang atau jagung rebus. Ngetehnya sambil duduk dan ngobrol di meja panjang itu.

Selain keterangan tradisi di atas, adalah Serat Centhini yang salah satunya melukiskan budaya tradisi minum teh tersebut.

Seperti diketahui, masyarakat Jawa, termasuk di dalamnya masyarakat Surakarta, dalam keseharian mempunyai kebiasaan maka 3 (tiga) kali sehari serta mengongsumsi kudapan 2 (dua) kali sehari.

Disebutkan dalam Serat Centhini, masyarakat Jawa biasa makan pada pagi hari sesudah menikmati kudapan, siang hari sesudah waktu dzuhur, kemudian menikmati kudapan pada waktu sore hari dan makan malam pada malam hari sesudah maghrib atau isya.

Pada saat mengongsumsi kudapan di sore hari hidangan minumannya adalah wedang teh gula batu selain wedang herbal seperti wedang jahe, wedang kacang, wedang tape wedang dongo (ronde) dan lain sebagainya.

Dalam salah satu episode dari 12 jilid Serat Centhini ada yang mengisahkan pertemuan antara kakak dan adik yang telah lama berpisah yaitu Jayengraga dan Jayengwesthi. Pertemuan tersebut diwarnai dengan suasana gembira. Jayengraga sebagai tuan rumah menjamu kakaknya dengan minuman teh yang disajikan dalam teko yang menduduki peranan penting, karena teko itu sudah bertahun-tahun dipakai menyedu teh akan berkerak kecoklatan. Semakin tebal kerak yang ada pada dinding teko, akan semakin nikmatlah tehnya dengan rasa dan aroma yang cukup "nggathok" dalam menyesap minuman penimbul rileks ini.

Tidaklah heran jika kemudian kapasitas teko itu semakin sedikit. Seharusnya bisa menampung empat cangkir hanya bisa menampung dua cangkir teh. Dan lagi, teko khusus yang sudah berkerak tebal, jika tehnya dituang, keluarnya pun kecil "ithir-ithir", tidak lancar.

Fungsi makanan dalam cerita Serat Centhini adalah ada tiga macam, yaitu sesaji, jamuan dan menu utama. Biasanya untuk sajian minuman berupa wedang kopi, wedang teh, wedang herbal dan berbagai macam makanan.

Berbagai makanan tradisional yang terdapat Serat Centhini berfungsi sebagai perlengkapan ritual antara lain: tumpeng megana, jenang baro-baro, abang, putih, ireng, ayam lembaran, nasi gurih, nasi wuduk, dan nasi golong. Minuman yang biasa digunakan untuk ritual adalah wedang teh, wedang kopi, srebat, beras kencur, bir manis, sriawan pisang kluthuk.

Berangkat dari ulasan Serat Centhini dan beberapa tradisi minum teh di daerah seperti dijelaskan di atas, bisa dikatakan Indonesia punya "branding power equity" tradisi minum teh yang selama ini terlupakan dan tidak pernah diangkat ke permukaan sehingga bukan menjadi "darling" seperti minum kopi.

Ada baiknya tradisi minum teh sore hari ala Indonesia dengan teko yg diprosesi racikan & penyajiannya oleh 5 (lima) wanita & 5 (lima) pria itu bisa dijadikan momentum baru Bangsa ini dengan memilih kata darlingnya sendiri seperti Sadou di Jepang atau Afternoon Tea di Inggris.  Apakah itu “Nyaneut” atau “Patehan” atau “Teh Poci” atau "Nyahi".

Kalaupun bisa diangkat menjadi urusan gaya hidup yang segala sesuatunya ditampilkan dengan cantik. Mulai dari peralatan minum teh seperti cangkir hingga taplak meja serta etiketnya berikut filosofi primbonnya yakni sebelum meminum teh harus memutar gelas teh di telapak tangan sebanyak 2 (dua) kali. Kemudian, aroma teh harus dihirup sekira 3 (tiga) kali dan barulah teh boleh diminum.

Tabek