".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Wednesday 29 July 2020

Sejarah Sate


Sate adalah makanan yang terbuat dari potongan daging (ayam, kambing, domba, sapi, babi, ikan, dan lain-lain) yang dipotong kecil-kecil, dan ditusuki dengan tusukan yang biasanya dibuat dari bambu, kemudian dibakar menggunakan bara arang kayu.

Sate kemudian disajikan dengan berbagai macam bumbu (bergantung pada variasi resep sate tapi pada umumnya kecap atau kacang) dengan irisan tomat serta mentimun yang dimakan dengan nasi hangat atau, kalau di beberapa daerah disajikan dengan lontong atau ketupat.

Sate kerap dikatakan sebagai satu makanan yang serba fungsional. Sering bisa dimakan sebagai camilan, bisa merupakan makanan muka (dessert) direstoran maupun sebagai hidangan utama (main course) dengan lontong atau nasi.

Banyak orang yang tidak menyangka bahwa istilah sate itu asalnya timbul di Tanah Air kita sendiri, seratus atau dua-ratus tahun lalu di Indonesia, yang sekarang sudah menyebar kemana-mana.

Sebagai salah satu makanan asli Indonesia, asal-usul sate sebenarnya memiliki riwayat panjang yang melibatkan pertukaran budaya. Selain itu, sate juga memiliki peran dalam mengenalkan budaya Indonesia ke negara-negara lain.

Sate diketahui berasal dari Jawa, Indonesia, tetapi sate juga populer di negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia, Singapura, Filipina dan Thailand. Sate juga populer di Belanda dan Jepang yang dipengaruhi masakan Indonesia yang dulu merupakan koloninya.

Asal mula sate diciptakan oleh pedagang makanan jalanan di Jawa sekitar awal abad ke-19, berdasarkan fakta bahwa sate mulai populer sekitar awal abad ke-19 bersamaan dengan semakin banyaknya pendatang dari Arab ke Indonesia.

Hal ini pula yang menjadi alasan populernya penggunaan daging kambing dan domba sebagai bahan sate yang disukai oleh warga keturunan Arab.

Sate itu sebetulnya merupakan istilah cara pembuatan satu makanan daging. Cara yang paling mudah dan unik untuk memanggang daging. Setelah daging diiris kecil dan tipis lalu disusun dalam tusukan sujen yang terbuat dari bambu atau kayu, sekarangpun ada yang terbuat dari stainless steel, bila dipanggang dagingnya lebih mudah matang secara merata dalam waktu yang lebih singkat, juga lebih mudah memakannya tanpa pisau dan garpu.  

Daging panggang dalam tusukan itu semulanya pakai daging sapi lalu daging ayam, dan sekarang bisa pakai apa saja atas selera. Hal ini di Timur Tengah disebut kebab, bukan sate.

Diperkirakan bahwa istilah sate itu adalah pembawaan dari Penjajah di Indonesia yang menamakan daging panggang itu "steak".

Seperti biasanya, istilah dan sebutan asing itu akan disuarakan seenaknya mulut kita, demikianlah "steak" itu juga di-jawa-kan menjadi "sa-te".

Di Malaysia, sate sering dikaitkan dengan sate Kajang yang dipercayai diperkenalkan oleh Haji Tasmin bin Sakiban di pusat bandar Kajang pada tahun 1917.

Beliau berasal dari Pulau Jawa, Indonesia, yang sampai di Kajang melalui Sungai Langat dan berlabuh di tebing Sungai Jerlok.

Selain daripada Tasmin, ada seorang lagi penduduk berasal dari Pulau Jawa bernama Wak Jono Darmon (Haji Mohamad Noor).

Sate Kajang yang diperkenalkan Tasmin dan Wak Jono dicatat sebagai pelopor perniagaan trademark sate di Malaysia yang mirip dengan sate Gagrak dari Pulau Jawa dan sate Antasari dari Pontianak; dengan bumbu kacang kecap yang encer.

Sate telah menjadi makanan yang populer secara luas di berbagai belahan dunia, hal ini menjadikan orang tertarik untuk mengetahui asal mula hidangan populer ini.

Hidangan internasional yang mirip sate antara lain yakitori dari Jepang, shish kebab dari Turki, shashlik dari Kaukasia, chuanr dari China, dan sosatie dari Afrika Selatan.

Kata "sate" atau "satai" diduga orang berasal dari bahasa Tamil, walaupun diketahui orang India, kebanyakan yang atas kepercayaan mereka, tidak makan daging. Entah mulai kapan Tamil memulai makan daging sewaktu ribuan tahun zaman Hindhu di Nusantara, tetapi bisa diperkirakan mereka mengikuti cara makan Pribumi di Jawadwipa dengan memanggang daging di-sate. Dengan demikian, maka makanan sederhana rakyat yang sudah umum dikampung dan didesa dimana-mana juga sate, namun pada waktu itu masih bukan disebut sate, entah dinamakan apa ?

Diduga sate diciptakan oleh pedagang makanan jalanan di Jawa sekitar awal abad ke-19, berdasarkan fakta bahwa sate mulai populer sekitar awal abad ke-19 bersamaan dengan semakin banyaknya pendatang dari Arab dan pendatang Muslim Tamil dan Gujarat dari India ke Indonesia.

Teori lain mengatakan kata sate berasal dari istilah Minnan Tionghoa sa tae bak yang berarti tiga potong daging. Akan tetapi teori ini diragukan karena secara tradisional sate terdiri atas empat potong daging, bukan tiga. Dan angka empat dianggap bukan angka yang membawa keberuntungan dalam kebudayaan Tionghoa.

Sate ini juga dibawa oleh Tionghoa yang pulang ke Tiongkok ditahun 1960an, disanapun istilah sate ini di-tionghoa-kan "sha-die", tetapi dimana-mana hanya disebut "satay".

Warga Tionghoa Indonesia juga mengadopsi dan mengembangkan sate sesuai selera mereka, yaitu sate babi yang disajikan dengan saus nanas atau kecap yang manis dengan tambahan bumbu-bumbu Tionghoa, sehingga sate Tionghoa memiliki cita rasa seperti hidangan daging panggang khas Tionghoa.

Dari Jawa, sate menyebar ke seluruh kepulauan Nusantara yang menghasilkan beraneka ragam variasi sate. Pada akhir abad ke-19, sate telah menyeberangi selat Malaka menuju Malaysia, Singapura, dan Thailand, dibawa oleh perantau Jawa dan Madura yang mulai berdagang sate di negeri jiran tersebut.

Pada abad ke-19 istilah sate berpindah bersamaan dengan perpindahan pendatang Melayu dari Hindia Belanda menuju Afrika Selatan, di sana sate dikenal sebagai sosatie.

Orang Belanda juga membawa hidangan ini dan banyak hidangan khas Indonesia lainnya ke negeri Belanda, hingga kini seni memasak Indonesia juga memberi pengaruh kepada seni memasak Belanda . Sate ayam atau sate babi adalah salah satu lauk-pauk yang disajikan dalam hidangan Rijsttafel di Belanda.

Sate juga memiliki nilai-nilai filosofis yang luhur. Umpamanya mengapa sate dipotong kecil-kecil. Hal ini bukan semata-mata agar mudah dalam proses pembakarannya. Namun, di dalamnya terkandung nilai kebersamaan dan kekeluargaan. Satu nilai budaya yang menjadi ciri khas Bangsa Indonesia.

Bagi sebagian orang, sate (daging) menjadi sajian makanan istimewa. Orang kampung tidak setiap hari atau sering memakan sajian daging ini. Terkadang mereka hanya menikmati makan daging satu tahun sekali ketika lebaran Idul Adha.

Tentu saja bagi mereka, sate menjadi salah satu sajian makanan yang harus dinikmati oleh seluruh keluarga. Maka, semakin kecil potongan-potongan dagingnya, semakin banyak anggota keluarga yang ikut menikmatinya.

Nilai lain yang terkandung dalam sate adalah nilai kesederhanaan. Memasak daging sebenarnya menjadi pekerjaan tersendiri yang cukup melelahkan dan membutuhkan beragam bumbu rempah, termasuk alat-alat untuk memasaknya. Tetapi tidak demikian halnya dengan sate.

Sate cukup dibakar dan kemudian ditambahkan sambal kecap atau sambal kacang atau jenis lainnya sesuai selera.

Memasaknya pun tidak membutuhkan peralatan yang rumit. Cukup disediakan arang dan lidi atau bambu yang dihaluskan untuk menusuknya. 

Nilai lain adalah keseimbangan hidup. Sekilas seperti mengada-ada dan berlebihan. Tetapi memang demikian faktanya. Jika dicermati dalam seporsi sate terdapat beberapa jenis bahan pelengkap; bawang merah, tomat, jeruk nipis, kubis, acar atau sayuran lainnya.

Penemu sate zaman dulu mungkin menyadari akan bahaya sate untuk kesehatan jika dikonsumsi berlebihan. Hal ini karena kandungan zat yang terdapat dalam daging yang dibakar. Maka untuk menetralisir zat-zat tersebut, sate dilengkapi dengan bahan-bahan penyeimbang yang terdiri dari sayuran.

Segala sesuatu kalau berlebihan menjadi tidak baik. Keseimbangan dalam makanan pun diperlukan yang kelihatannya sepele, tetapi sangat berguna dan baik bagi kesehatan.

Di dalam tradisi membuat sate, juga terdapat nilai manfaat sampingan.  Yang dimaksud di sini adalah nilai-nilai penghargaan terhadap bagian-bagian hewan yang disembelih untuk dibuat sate.

Ketika seekor kambing disembelih untuk dijadikan sajian sate, maka jeroan dan tulang-belulangnya pun dimanfaatkan. Muncullah sajian makanan yang bernama gulai kambing dan tengkleng.

Jika gulai kambing isinya kebanyakan adalah jeroan dari kambing yang disembelih, maka tengkleng isinya adalah tulang belulang yang masih memiliki bagian-bagian daging yang melekat.

Ada juga nilai nasionalisme  dalam sate  seperti dipaparkan di atas, sejarah sate meskipun diduga diilhami oleh kebab dari Bangsa Gujarat dan Tamil, tetapi dengan kreativitas dan cara pandang orang Indonesia, sate menjadi makanan khas bangsa Indonesia.

Memakan sate berarti ikut juga menjaga dan memelihara kelestarian budaya makanan Indonesia. Jadi bukan semata-mata urusan mencari variasi makanan, tetapi juga urusan nasionalisme yang diekspresikan dengan cara menyantap makanan khas bangsa kita.

Namun apapun filosofinya, sate tetap saja menjadi sajian sederhana dan kuno yang telah mendunia. 

Jakarta, 19 Juli 2020
Betha Ket (Indra)
Indonesian Gastronomy Association

Sumber dan referensi:
- Wikipedia
- CNNGO: "40 of Indonesia's best dishes"
- Sri Owen: "Indonesian Regional Food and Cookery"
- Rians Saidi Blog

- Anthony Hocktong Tjio, Monterey Park, 14 Nopember 2016




Sunday 26 July 2020

Pariwisata Oenogastronomik


Pariwisata Oenogastronomik (oenogastronomic tourism) adalah fenomena yang relatif baru di mana wisatawan semakin tertarik pada produk makanan dan minuman lokal bukan sebagai sumber makanan sederhana tetapi sebagai cara untuk menemukan dan mengkonsumsi asal usul budaya otentik suatu tempat.

Pengaruh homologisasi globalisasi terhadap rasa dan kepedulian yang meningkat tentang keamanan pangan adalah beberapa faktor yang mengarah pada pengembangan bentuk pariwisata yang berfokus pada pemulihan identitas dan akar masyarakat setempat melalui produk-produk bahan makanan dan minuman khas.

Tingkat minat pada tema baru-baru ini juga terkait erat dengan profil konsumen turis abad ke-21 serta aspek perilaku, seperti modal budaya, kebutuhan yang semakin menuntut dan pencarian perbedaan pribadi.

Untuk menanggapi kecenderungan oenogastronomic tourism secara efektif, pariwisata pasokan harus terlebih dahulu menjamin kualitas dan keberlanjutan penawaran makanan dan minuman khas di ruang lokal geografis.

Begitu prasyarat untuk mengembangkan pariwisata oenogastronomik di suatu wilayah telah diverifikasi, maka makanan dan minuman lokal setempat berpotensi diubah dari sumber daya menjadi produk pariwisata.

Namun, untuk menjaga laju permintaan pariwisata yang dinamis, sektor pasokan harus bertujuan untuk menciptakan tawaran oenogastronomi berdasarkan pengalaman yang otentik, mudah diingat, dan masuk akal.

Di bidang ini, Indonesia mempunyai keunggulan berkat produk dan tradisi kulinernya yang berkualitas tinggi. Namun, sudah terlalu lama Indonesia kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan maupun memaksimalkan makanan dan minuman khas lokal sebagai brand pariwisata, walaupun namanya terkenal, tetapi asal usulnya benar-benar diabaikan.

Rendang, soto, sate, tuak, bandrek dan jamu atau angkringan adalah sekian buah dari tradisi lokal dan kreativitas kuliner khas Indonesia, memiliki prasyarat yang tepat untuk menjadi daya tarik bagi wisatawan oenogastronomik serta sarana pengembangan pariwisata di daerah tersebut.

Perlu dilakukan suatu upaya kajian untuk memeriksa kekuatan dan kelemahan makanan dan minuman khas lokal Indonesia sebagai tindakan pemasaran yang efektif agar dapat mengubah potensi pariwisata ke depannya. Rendang, soto, sate, tuak, bandrek dan jamu atau angkringan adalah salah satu dari sekian banyak penawaran yang realistis.

Disadari mengembangkan potensi pariwisata oenogastronomik tidak semudah seperti apa yang diucapkan mengingat keadaan embrionik dari ciri oenogastronomic tourism itu akan mengalami kesulitan tertentu menemukan kontribusi akademiknya, apalagi menyadari sumber materi penelitian yang berkaitan dan koheren di bidang ini masih terbatas serta secara fakta studi pariwisata oenogastronomik masih relatif baru.

Namun potensi pariwisata oenogastronomik Indonesia tak terbatas melihat keragaman warisan dan seni dapur masakan maupun minuman lokal setempat sangat besar dan bisa menjadi peluang yang cukup menjanjikan. Hanya tinggal apa ada kemauan untuk mengeksplorasi tren wisata ini dirancang secara strategis menjadi alat pemasaran yang baru, baik di tingkat lokal maupun di tingkat internasional.  

Bisa dikatakan Indonesia memiliki prasyarat yang diperlukan untuk menarik wisatawan tertarik pada spesialisasi tradisional dan masakan dan minuman lokal berkualitas tinggi yang bisa dikontekstualisasikan secara unik untuk dikemas dalam pariwisata oenogastronomik.

Tanda-tanda pariwisata oenogastronomik di Indonesia itu sudah ada yang mana inisiatifnya bisa menjadi pilihan terhadap permintaan pasar turis dunia. Dimensi pun sangat segar, sudah layak dan lincah untuk menstimulasi dan menawarkan ruang pengembangan ide-ide kreatif dalam meningkatkan dimensi budaya lokal dengan memasukan aspek sosiologis, antropologis, sejarah dan ekonomi.

Tabek
Betha Ketaren (Indra)