".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Thursday 3 October 2019

Apa Itu Gastronomi


Secara Universal, gastronomi mempunyai 3 (tiga) kegiatan yang berkaitan satu sama lain; yakni mengenai :

1.     Kisah Makanan (Food Story)
2.     Penilai Makanan (Food Assessment)
3.     Seni Akan Makan Yang Baik (The Art Of Good Eating)

Sebagai Food Story, gastronomi mempelajari hubungan makanan - selaku poros tengah  - dalam kaitannya dengan pengetahuan Sejarah & Budaya, yang di dalamnya ada kisah atau cerita.

Pelakunya disebut sebagai gastronom yang menikmati dan mengetahui tentang makanan dan minuman yang berkualitas prima.

Seseorang yang menekuni Food Story, harus mempunyai passion terhadap seni makanan mengingat yang bersangkutan adalah food connoisseur (pecinta, pemerhati & penikmat makanan) & food enthusiastic (penggemar makanan - foddie) yang melihat dan mengkaji makanan dari sejarah & budaya.

Sebagai Food Assessment, gastronomi adalah tindakan penilaian yang fokusnya pada hidangan makanan yang berkualitas prima dengan cakupan sebagai berikut :

a.     Makanan : Menu, Gaya & Jenis, Cita-Rasa, Rasa, Flavoring, Aroma, Sensasi, Tekstur, Estetika, Presentasi, Creativity & Food Pairing.
b.     Non Makanan : Pemasak (Chef Profesional & Otodidak), Tipe Restoran, Tema, Hospitality, Dekorasi, Musik, Popularity & Kebersihan.
c.     Penataan : Table Setting & Food Plating.

Catatan : Makanan merujuk kepada Seni Keahlian Masakan, sedangkan Non Makanan & Penataan merujuk kepada Pemasak (Chef Profesional & Otodidak) & Restoran.

Pelaksana atau eksekutor yang melakukan tindakan Food Assessment disebut sebagai Assesor.

Sedangkan The Art Of Good Eating, diartikan sebagai kepiawaian gaya makan yang terampil dan mahir (proficient & skillful eating style). Lengkap dengan tata cara, teknik & sikap makan yang baik.

Gastronom diwajibkan mengikuti aturan protokol terhadap sajian makanan yang ditampilkan di atas peranti saji yang sudah ditata sesuai dengan acara jamuan makan bersama.

Seorang gastronom harus menguasai dan memiliki kompetensi keahlian The Art Of Good Eating dari segala sesuatu yang berhubungan dengan kenikmatan sajian makanan yang apik, indah dan berkelas yang di tata di atas peranti saji yang elok.

Pada intinya The Art Of Good Eating adalah etiket makan atau cara aturan atau tata  sopan santun yang dapat diterima secara sosial untuk makan, terutama ketika makan dengan orang lain.

Dalam sisi lain, The Art Of Good Eating lebih dikenal dengan istilah Table Manner.

Secara singkat dapat disampaikan, bahwa gastronomi adalah segalanya terhubung dengan kenikmatan makan dan minum.

Gastronomi adalah studi tentang hubungan antara budaya dan makanan, di mana gastronomi mempelajari berbagai komponen sejarah & budaya dengan makanan sebagai pusatnya.

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa gastronomi adalah pengetahuan dan apresiasi terhadap semua makanan dan minuman dari berbagai negara di seluruh dunia.

Namun, harus dipahami dengan benar gastronomi tidak hanya berbicara tentang resep memasak atau sekedar mencicipi makanan, atau sebatas nama makanan itu sendiri, termasuk mengangkat nama seorang chef selebritis; meskipun kita tahu hilirnya adalah untuk tujuan pariwisata.

Gastronomi adalah pengembangan sejarah dan budaya melalui pemberdayaan seni keahlian memasak sebagai kearifan lokal masyarakat setempat.

Dengan pemahaman di atas, maka sebagai penutup, perlu dijelaskan mengenai perbedaan antara Gastronomi & Kuliner yang keduanya berbeda tetapi konsentrasinya sama mengenai makanan.

Kuliner dalam dunia akademik disebut sebagai The Art Of Good Cooking alias Seni Akan Memasak Yang Baik atau dalam bahasa man on the street dikatakan sebagai tukang masak.

Pelakunya disebut sebagai ahli masak atau artis seniman memasak (baik itu chef professional atau pemasak otodidak) yang mata pencahariannya dari komersialisasi masak-memasak.

Sedangkan secara business komersial, kuliner adalah produsen karena mereka adalah tukang masak  yang menguasai teknis memasak mengolah & memproses resep masakan menjadi makanan.

Dalam dunia kuliner tidak ada pembahasan mengenai sejarah & budaya, kisah atau cerita.

Sedangkan secara business komersial, gastronomi adalah konsumen karena mereka adalah tukang makan yang paham mengenai Food Story, Food Assessment & The Art of Good Eating (table manner).

Kalau diibaratkan restoran, maka Kuliner bekerja dan berada di ruang dapur yang mengolah resep masakan.

Sedangkan Gastronom ada di ruang makan yang menikmati olahan makanan yang dibuat oleh ahli masak atau artis seniman memasak.

Kalau diibarat pula sebuah lukisan, maka lukisan (makanan) itu adalah seni artistik dari proses perbuatan dari seorang pelukis (ahli masak).

Sedangkan orang atau kolektor yang menikmati, pemerhati dan mencintai lukisan (makanan) itu adalah gastronomi.

Tetapi perlu diingat ada pelaku yang menguasai gabungan dari kuliner & gastronom yang disebut sebagai Gastrosof atau Gastrosophy. Pelakunya disebut sebagai Gastrosof (Gastrosophers atau Gastrosophy), sedangkan ahli masak atau artis seniman memasak disebut sebagai Chef Gastrosof (Gastrosophers atau Gastrosophy).

Semoga bermanfaat

Jakarta, 4 Oktober 2019
Indrakarona Ketaren
Indonesian Gastronomy Association

Wednesday 2 October 2019

Peran Gastronomi Dalam SDG's


Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Sustainable Development Goals disingkat dengan SDGs adalah 17 tujuan dengan 169 capaian yang terukur dan tenggat yang telah ditentukan oleh PBB sebagai agenda dunia pembangunan untuk kemaslahatan manusia dan planet bumi .

Tujuan ini dicanangkan bersama oleh negara-negara lintas pemerintahan pada resolusi PBB yang diterbitkan pada 21 Oktober 2015 sebagai ambisi pembangunan bersama hingga tahun 2030.

Intensi SDG's merupakan kelanjutan atau pengganti dari Tujuan Pembangunan Milenium yang ditandatangani oleh pemimpin-pemimpin dari 189 negara sebagai Deklarasi Milenium di markas besar PBB pada tahun 2000 dan tidak berlaku lagi sejak akhir 2015.

Agenda pembangunan berkelanjutan yang baru dibuat untuk menjawab tuntutan kepemimpinan dunia dalam mengatasi kemiskinan, kesenjangan, dan perubahan iklim dalam bentuk aksi nyata.

Konsep Tujuan Pembangunan Berkelanjutan lahir pada Konferensi Pembangunan Berkelanjutan PBB, Rio+20, pada 2012 dengan menetapkan rangkaian target yang bisa diaplikasikan secara universal serta dapat diukur dalam menyeimbangkan tiga dimensi pembangunan berkelanjutan, yakni : (1). Lingkungan; (2). Sosial; dan (3). Ekonomi

Agenda 2030 terdiri dari 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SGD) atau Tujuan Global, yang akan menjadi tuntutan kebijakan dan pendanaan untuk 15 tahun ke depan (2030).

Untuk mengubah tuntutan ini menjadi aksi nyata, para pemimpin dunia bertemu pada 25 September 2015, di Markas PBB di New York untuk memulai Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030.

Tujuan SDG's diformulasikan sejak 19 Juli 2014 dan diajukan pada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa oleh Kelompok Kerja Terbuka Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Dalam proposal ini terdapat 17 tujuan dengan 169 capaian yang meliputi masalah masalah pembangunan yang berkelanjutan. Termasuk didalamnya adalah pengentasan kemiskinan dan kelaparan, perbaikan kesehatan, dan pendidikan, pembangunan kota yang lebih berkelanjutan, mengatasi perubahan iklim, serta melindungi hutan dan laut.

Pada bulan Agustus 2015, 193 negara menyepakati 17 tujuan (sasaran) berikut ini:
1.     Tanpa Kemiskinan : Pengentasan segala bentuk kemiskinan di semua tempat.
2.     Tanpa Kelaparan : Mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan perbaikan nutrisi, serta menggalakkan pertanian yang berkelanjutan.
3.     Kehidupan Sehat & Sejahtera : Menggalakkan hidup sehat dan mendukung kesejahteraan untuk semua usia.
4.     Pendidikan Berkualitas : Memastikan pendidikan berkualitas yang layak dan inklusif serta mendorong kesempatan belajar seumur hidup bagi semua orang 
5.     Kesetaraan Gender : Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan.
6.     Air Bersih & Sanitasi Layak : Menjamin akses atas air dan sanitasi untuk semua.
7.     Energi Bersih & Terjangkau : Memastikan akses pada energi yang terjangkau, bisa diandalkan, berkelanjutan dan modern untuk semua. 
8.     Pekerjaan Layak & Pertumbuhan Ekonomi : Mempromosikan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan inklusif, lapangan pekerjaan dan pekerjaan yang layak untuk semua. 
9.     Industri, Inovasi & Infrastruktur : Membangun infrastruktur kuat, mempromosikan industrialisasi berkelanjutan dan mendorong inovasi. 
10.  Berkurangnya Kesenjangan : Mengurangi kesenjangan di dalam dan di antara negara-negara. 
11.  Kota & Komunitas Berkelanjutan : Membuat perkotaan menjadi inklusif, aman, kuat, dan berkelanjutan. 
12.  Konsumsi & Produksi Yang Bertanggung Jawab : Memastikan pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan 
13.  Penanganan Perubahan Iklim : Mengambil langkah penting untuk melawan perubahan iklim dan dampaknya. 
14.  Ekosistem Laut : Perlindungan dan penggunaan samudera, laut dan sumber daya kelautan secara berkelanjutan 
15.  Ekosistem Daratan : Mengelola hutan secara berkelanjutan, melawan perubahan lahan menjadi gurun, menghentikan dan merehabilitasi kerusakan lahan, menghentikan kepunahan keanekaragaman hayati. 
16.  Perdamaian, Keadilan & Kelembagaan Yang Tangguh : Mendorong masyarakat adil, damai, dan inklusif 
17.  Kemitraan Untuk Mencapai Tujuan : Menghidupkan kembali kemitraan global demi pembangunan berkelanjutan.

Dari ke-17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals, peran Gastronomi (upaboga) dalam mendukung Pemerintah Indonesia memenuhi target SDG’s ialah dalam bidang untuk :
1.     Tujuan (sasaran) nomor 2 yakni mengenai : Tanpa Kelaparan, karena gastronomi pada hakekatnya bicara soal makanan, dimana di dalamnya secara eksplisit terkait pangan, gizi & nutrisi.

2.     Tujuan (sasaran) nomor 8 yakni mengenai : Pekerjaan Layak & Pertumbuhan Ekonomi, karena gastronomi memiliki kepentingan terhadap kemaslahatan ekonomi bagi masyarakat, dalam arti perihal entrepreneurship, baik untuk  pengusaha Mikro & Kecil serta UKM maupun kalangan Generasi Milenial.

Kepentingan itu dalam rangka untuk menaikkan ratio entrepreneurship Indonesia yang saat ini berkisar di angka 0,18%. Masih jauh ketinggalan dibanding dengan negara-negara tetangga Malaysia (5%) dan Singapura (7%) atau rata-rata ratio entrepreneurship dunia yang berkisar di angka 2%.

3.     Tujuan (sasaran) nomor 12 yakni mengenai : Konsumsi & Produksi Yang Bertanggung Jawab, karena gastronomi mempunyai perhatian penuh terhadap makanan terbuang (food waste) setiap tahunnya, sementara masih ada orang kelaparan atau kekurangan gizi & nutrisi.

Dipahami Indonesia setiap tahunnya mencatat angka makanan terbuang (food waste) rata-rata sebesar 300 kg per orang. Malahan perwakilan FAO untuk Indonesia & Timor Leste mengatakan setiap tahunnya makanan terbuang (food waste) di Indonesia tercatat sebesar 13 juta metric ton, yang bisa memberi makan 11% dari jumlah penduduk Indonesia (+/- 28 juta orang) yang angka menyamai dengan angka populasi orang miskin di Indonesia.

Kontributor terbesar makanan terbuang (food waste) di Indonesia adalah hotel, restoran, rumah makan, jajanan jalanan (street food), jasa boga (catering), supermarket, toko ritel & rumah tangga

Semoga bermanfaat


Jakarta, 3 Oktober 2019
Indrakarona Ketaren
Indonesian Gastronomy Association

 

Tuesday 1 October 2019

Gastro-Branding Sebagai Citra Minyak Makan Sawit Indonesia


Kreatifitas adalah produk ekonomi masa depan. Tidak ada satupun negara di dunia tidak melakukan industri kreatfitas yang terbukti telah membawa efek kepada kemajuan perekonomian bangsanya. Dalam kreatifitas dikenal nama branding power yang merupakan benteng dari pertahanan budaya lokal suatu negara. Semakin bagus kreatifitas yang dikonstruksikan, semakin kuat branding power negara bersangkutan.

Banyak negara di dunia secara maksimal menggarap nation brandingnya untuk mengangkat dan meningkatkan reputasi & daya saing negaranya. Berbagai pemerintah manca negara secara teratur berinvestasi cukup besar membayar lembaga-lembaga branding (merek) dunia dengan antisipasi investasi mereka dapat memberi manfaat yang cukup tinggi dalam mendapatkan peran politik, ekonomi, sosial, budaya di belahan bumi ini.

Tools-nya adalah branding power equity, yang di negara-negara berkembang peruntukannya kerap ditujukan untuk bidang investasi, perdagangan, dan pariwisata; antara lain melalui diplomasi kebudayaan, diplomasi film, diplomasi makanan (boga), sampai kepada diplomasi olahraga. Tindakannya sendiri disebut sebagai outward looking policy dan salah satunya melalui diplomasi nation branding.

Dalam dunia diplomasi, praktek yang biasa digunakan negara untuk memperkenalkan dirinya ke seluruh dunia adalah melalui nation branding, dengan membangun secara eksplisit citra, jati diri & representasi mereka melalui ide-ide, konsep, gambar visual, maupun kata-kata.

Perusahan-perusahaan biasa melakukan promosi branding untuk menaikkan citra, jati diri & representasi. Begitu juga dengan sebuah negara melakukan hal serupa dengan menggunakan slogan untuk menggambarkan esensi atau fitur dari dirinya kepada negara-negara lain.

Representasi branding itu bertujuan untuk mendapatkan rasa hormat secara global dan pengenalan terhadap nama negaranya. Gagasan di balik nation branding melibatkan lebih dari sekedar pengakuan karakteristik dan eksklusif sebuah negara, bangsa dan masyarakat.

Promosi nation branding menyiratkan fragmen dari pemerintah untuk mendayagunakan dan meningkatkan atribut tertentu dari bangsanya di mata dunia. Apalagi melalui branding power equity ini, banyak negara-negara lain mendapatkan faedah keekonomian.

Nation branding (citra atau image), bukan sebatas membuat logo atau menemukan tagline atau kata slogan, tetapi reputasi positif yang memang betul-betul ditemukan dan dirasakan ketika orang datang ke suatu Negara.

Untuk mempromosikan identitas nation branding, beberapa negara melakukan bukan hanya dengan hadir dalam spektakel (festival) acara di negara lain yang bersifat temporer, tetapi lebih kepada program kebijakan komersial jangka panjang yang strategis dengan menjemput perhatian masyarakat dunia terhadap fitur dan atribut negaranya, yakni menyelenggarakan acara-acara di dalam negeri sendiri.

Oleh karena itu membangun dan mengembangkan konstruksi brand power nation sangat penting dalam meningkatkan image branding power suatu Negara di mata dunia. Khusus mengenai Indonesia, sampai saat ini bisa dikatakan branding power equity negara ini masih ketinggalan jauh dibandingkan negara-negara tetangga, khususnya di bidang pariwisata & perdagangan.

Menurut survei Kantar TNS Indonesia, brand power perdagangan Indonesia pada tahun 2016 berada pada posisi 6,4% dan kalah bersaing dengan Singapura yang menembus angka 10%.  Sedangkan brand power pariwisata Indonesia berada pada angka 5,2%, artinya berada di bawah Singapura yang angkanya 8,6%.

Negara Thailand memimpin brand power pariwisata di kawasan Asia dengan angka 9,4%. Brand power pariwisata yang paling kuat adalah Jepang, yakni dengan skor 14,8% dan Australia dengan skor 12,5%. Rata-rata brand power pariwisata dunia berkisar di angka 7,7%. Artinya selama 72 tahun negeri ini bernama Indonesia, angka index branding nationnya masih di bawah rata-rata dunia.

Artinya, Indonesia kurang diketahui banyak pengunjung internasional. Berdasarkan wawancara kuantitatif Kantar TNS Indonesia pada 7.610 responden, 50% responden menyatakan pernah mendengar dan mengetahui banyak tentang Indonesia dan 50% responden menyatakan pernah mendengar namun hanya tahu sedikit tentang Indonesia.  

Dari kelompok responden pertama, sebanyak 24 persennya menyatakan tidak pernah berkunjung ke Indonesia dan hanya 26% yang menyatakan pernah berkunjung ke Indonesia. Dari kelompok responden yang menyatakan pernah berkunjung ke Indonesia, sebanyak 21% menyatakan tidak mengunjungi Indonesia secara rutin dan hanya 5% responden yang menyatakan mengunjungi Indonesia secara rutin.

Kantar TNS Indonesia adalah perusahaan konsultan riset pasar yang dipercaya pemerintah Indonesia melakukan survei citra Indonesia di 16 (enam belas) negara penjuru dunia.

Menurut Anholt-GFK Roper Nation Brand Index (data tahun 2016), Indonesia yang masih di ranking 40 dari 50 negara perlu di-branding-kan menurut 6 (enam) kriteria, yakni tourism, export, governance, investment, culture & heritage serta masyarakatnya. Culture & heritage salah satunya adalah melalui diplomasi makanan (boga).

Mengenai diplomasi makanan (boga), negara-negara tetangga Indonesia mengartikulasikan seni dapur masakan bangsa mereka menjadi bagian dari kesatuan brand power nation equity, dan konstruksi itu dilakukan melalui gastronomi (upaboga) yang dikenal dengan frasa Gastro-Branding.

Gastro-Branding dapat menjadi salah satu inisiatif brand power Indonesia, khususnya terkait diplomasi makanan yang sampai saat ini belum secara maksimal digunakan dalam meningkatkan branding power equity Indonesia. Apalagi digunakan sebagai instrumen kampanye dan sosialisasi.

Instrumen kampanye dan sosialisasi dalam arti Gastro-Branding dapat digunakan salah satunya untuk dintegrasikan atau rangsata (rebranding) terhadap promosi & sosialisasi bahan masakan makanan yakni minyak makan sawit Indonesia yang dibuat dari minyak kelapa sawit

Apa itu minyak kelapa sawit?

Minyak kelapa sawit adalah minyak nabati yang saat ini paling banyak dikonsumsi penduduk Bumi. Minyak kelapa sawit bukan hanya tersaji dalam bentuk minyak untuk memasak. Namun juga ditemukan di segala macam hal mulai dari sabun, cokelat, pizza, kosmetik, dan tangki bensin kendaraan. 

Bila digunakan untuk memasak, minyak kelapa sawit diketahui dapat membuat makanan yang digoreng lebih renyah dan tahan lama. Minyak kelapa sawit diekstrak dari buah cokelat kemerahan dari pohon kelapa sawit. Sejauh ini, Indonesia merupakan produsen utama minyak kelapa sawit diikuti oleh Malaysia yang memasok sekitar 85 persen minyak sawit dunia. Industri ini tentu saja mempekerjakan jutaan orang agar bisa memanem buah sawit unggul

Seperti diketahui, minyak makan sawit paling banyak digunakan di Asia Tenggara. Tidak hanya sebagai primadona di antara semua bahan masakan makanan tetapi juga memainkan peran penting dalam ekonomi masyarakat setempat.

Selain itu Gastro-Branding dapat menjadi inovasi di luar kotak (out of the box) dari instrumen yang selama ini digunakan Indonesia menghadapi black campaign palm oil dari kalangan tertentu di negara-negara Uni Eropa.

Metode out of the box dapat menciptakan pemikiran yang tidak biasa dan mengandung inovasi sehingga mereka dapat keluar dari kotak dengan melihat ke dalam lebih baik. Dengan berpikir di luar kotak, lebih mudah untuk melihat tantangan, melihat solusi yang berbeda dan melihat hal-hal dengan perspektif yang berbeda.

Menggunakan metode out of the box memang tidak mudah, dalam arti bisa keluar dari cara konvensional dan melihat semuanya dari perspektif yang berbeda akan mampu menghasilkan inovasi dan solusi yang tepat.

Gastro-Branding adalah bentuk diplomasi positif; yang dengan manfaat dan kemampuannya dapat memberi pemahaman "di luar kotak bahwa minyak sawit sebagai minyak nabati terbukti tidak berbahaya (karsinogenik).

Pemberdayaan minyak makan sawit melalui Gastro-Branding dapat memberi pengertian bahwa sawit adalah sumber utama minyak nabati masyarakat Indonesia dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Melalui Gastro-Branding dapat diberi pencerahan bahwa industri minyak sawit menjadi lokomotif penghasil devisa terbesar perekonomian negara serta penyerapan tenaga kerja, khususnya dalam industri makanan & minuman Indonesia.

Kontribusi perkebunan minyak sawit dengan pola kemitraan telah membawa petani Indonesia keluar dari kantong kemiskinan dan keterbelakangan menjadi masyarakat kelas menengah serta menjadi tulang pungung roda pembangunan perekonomian daerah.

Industri minyak sawit adalah paradigma ketahanan pangan Indonesia mengingat merupakan komoditas strategis nasional penting yang berdaya saing & berkelanjutan, khususnya bagi kesejahteraan petani kecil (smallholders), dan pencapaian SDG’s, khususnya kepada negara-negara konsumen.

Kelapa sawit merupakan komoditas utama ekspor Indonesia yang nilai ekspor produknya menyumbang devisa kepada negara sebesar USD 22,97 Milyar atau setara dengan Rupiah 300 Trilyun pada tahun 2017 (atau 12,3% dari total ekspor tahun 2016).

Rekor itu mengkukuhkan sawit sebagai industri penyumbang terbesar bagi perekonomian Indonesia, jauh melampaui ekspor migas & ekspor lima komoditas perkebunan utama Indonesia lainnya yakni seperti karet, kakao, kopi, tebu & teh.

Penggunaan Gastro-Branding itu sendiri dapat mengukur pula kekuatan dari diplomasi Indonesia di mata dunia, apalagi disinergikan dengan penggunaan minyak makan sawit yang kini menjadi sorotan dunia.

Melalui diplomasi makanan dengan instrumen Gastro-Branding, Indonesia harus dapat menjelaskan kepada dunia bahwa minyak makan sawit dan minyak non sawit tidak dapat bersaing satu sama lain. Sebaliknya, minyak makan sawit dan minyak makan non sawit dapat bekerja sama dan keduanya bisa saling melengkapi.

Mengapa demikian ?

Karena kalau bicara soal penggunaan & konsumsi minyak makan sayur (baik itu dari kelapa sawit atau non sawit) menyangkut kepada selera dan rasa.

Setiap manusia atau kelompok rumpun masyarakat memiliki selera (appetite) dan rasa (taste)  yang berbeda, yang tidak dapat dibandingkan satu sama lain. Termasuk kelompok rumpun masyarakat Barat & Asia memiliki selera dan rasa yang berbeda satu sama lain.

Selera (appetite) dan rasa (taste)  itu adalah Cita Rasa yang merupakan, pandangan, kesenangan, kenikmatan dan harapan yang meliputi atribut berupa tampakan, rasa, bau, kerenyahan, tekstur, temperatur & suhu.

Cita-rasa merupakan bentuk kerja sama dari kelima macam indera manusia, yakni penglihatan, perasa, penciuman, peraba dan pendengaran.

Cita Rasa itu dibentuk oleh budaya dan kearifan lokal masyarakat setempat. Artinya kelompok rumpun masyarakat tertentu memiliki Cita Rasa yang berbeda yang tidak bisa disamakan dengan kelompok rumpun masyarakat lainnya.

Selain Cita Rasa, proses teknik memasak masyarakat Barat & Asia pun berbeda satu sama lain. Teknik memasak masyarakat Asia mempunyai proses waktu yang lama (seperti masak rendang, gulai atau kari) yang memerlukan penggunaan minyak makan sawit atau minyak makan kelapa.

Sedangkan proses waktu memasak masyarakat Barat kebalikannya, sehingga penggunaan minyak makan non sawit (vegetable oil) cocok dengan teknik memasak mereka. Untuk diketahui, proses pemanasan terhadap minyak makan non sawit (vegetable oil) tidak boleh terlalu lama.

Perlu disadari hampir semua resep seni dapur masakan dunia selalu ada unsur gorengan yang menggunakan minyak makan sawit dan atau minyak non makan sawit (vegetable oil).

Secara tersirat, black campaign kelapa sawit lebih tertuju kepada masalah kompetisi persaingan bisnis semata, bukan soal isyu kesehatan atau isyu perusakan tanah maupun lainnya.

Sebenarnya penggunaan minyak makan sawit dan minyak non sawit (vegetable oil) bisa saling melengkapi atau disatukan dalam sebuah piring. Misalkan, jika sebuah masakan dimasak menggunakan minyak makan sawit, maka ketika disajikan di atas piring bisa ditaburi dengan minyak makan non sawit sebagai pelengkap rasa (taste) makanan.

Di beberapa benua Eropa, teknik pembuatan roti croissant dilemuri (dilapisi) minyak makan sawit sebelum menggunakan minyak makan non sawit (vegetable oil) untuk proses memasaknya. Dari sini memperlihatkan bagaimana taburan minyak makan sawit bisa bersanding akrab dengan minyak makan non sawit untuk menghasilkan roti croissant.

Selain itu, fraksinasi (pemisahan) minyak sawit, banyak digunakan juga untuk membuat antara lain :

Margarine, yang merupakan produk dari kelapa sawit yang kerap dipakai masyarakat barat untuk pembuatan roti, bolu, dan cake, karena daya emulsi margarin lebih baik daripada mentega yang dibuat dari lemak hewani. Apalagi margarin cenderung lebih rendah kolesterol.

Croissant adalah bagian penting dari sarapan pagi kontinental masyarakat Perancis yang dikenal memiliki Layered Airy Structure (struktur lapang berlapis). Airy dalam arti ada ruang kosong / longgar yang menggunakan teknik cook laminating dimana minyak sawit paling cocok dan banyak digunakan para pastry & bakery di negara tersebut.

Coklat & Selai Coklat, dimana secara alami minyak sawit tidak memiliki rasa dan tidak berbau, mudah dioleskan pada suhu ruangan, serta memiliki tekstur halus dan lembut sehingga menjadikannya bahan sempurna untuk coklat dan selai coklat.

Minyak sawit dapat menjamin kelembutan isi truffle coklat, mencegah coklat mencair di cuaca panas & membuat selai coklat mudah dioles. Selain itu penggunaan minyak sawit membuat / menampilkan permukaan coklat halus dan mengkilap (glazing) serta rasa yang enak di mulut (excellent mouth feel).

Kue Kering (Cookies), dimana minyak sawit membuat kue kering dengan tekstur ideal & kombinasi renyah yang lembut.

Karena sifatnya yang semi-padat pada suhu kamar, minyak sawit menjadikan tampilan kue kering garing di luar, namun halus & memberikan rasa lembut di dalam dengan tekstur renyah saat dipanggang, sehingga membuat selai lebih mudah dioles, serta bebas dari lemak trans yang berbahaya.

Contohnya baguette, termasuk yang jenis rustique, campagnarde, forestière atau ficelée; pada umumnya menggunakan minyak sawit seperti yang dikatakan di atas. Menurut Observatoire du Pain, 320 baguette dimakan setiap detik di Prancis atau rata-rata setengah baguette per orang per hari atau 1,32 juta baguette dimakan setiap hari di Prancis, dan 10 miliar total dikonsumsi setiap tahunnya. 

Saat ini di Prancis ada lebih dari 35.000 toko boulangeries di seluruh negeri dimana 95% orang Prancis makan baguette. Artinya satu toko roti per 1.800 orang. Kegemaran Perancis untuk baguette tidak perlu dipersoalkan, malah sudah sampai skala global. Negara-negara termasuk Inggris, AS dan Jepang adalah penggemar berat baguette , bersama dengan bekas koloni Perancis di Tunisia, Maroko dan Aljazair.

Selain baguette, penggunaan minyak sawit juga dilakukan terhadap pembuatan roti kering qween-ah-mahn dengan metode doug (adonan) yang sebenarnya sama dengan menumpuk antara adonan (dough) bersama butter dan gula.

Namun, bisa dikatakan roti qween-ah-mahn teksturnya lebih padat jika dibandingkan dengan croissant yang garing dan kosong. Roti kouign-amann ini memiliki ektra tumpuk dengan gula.

Selain pula qween-ah-mahn, minyak sawit juga digunakan terhadap pembuatan roti macarón yang merupakan kue bulat kecil sangat terkenal di perancis menjadi hidangan sajian yang paling difavoritkan dalam berbagai pesta.

Kue Basah & Roti, dimana shortening minyak kelapa sawit digunakan pada kue untuk meningkatkan kekenyalan, berat, kepadatan, dan tekstur roti. Minyak sawit memastikan bagian tengah roti (seperti Patisserie, Bakery & Viennoiserie) tetap ringan dan halus sementara lapisan kulit luar berkembang karena padat pada suhu ruangan dan meleleh saat dipanggang dalam oven.

Menambahkan minyak sawit akan menghasilkan produk roti yang halus dan kenyal serta bertekstur, ramah bagi vegetarian & murah. Karena sifat alami padat pada suhu kamar, stabil dan vegetarian, minyak sawit sekarang banyak digunakan di industri roti.

Mi Instan, dimana minyak sawit digunakan hingga 20% dari berat sebungkus mie instan. Minyak sawit membuat mi mentah (pra-memasak) dapat dimasak dan dikeringkan serta disimpan terlebih dulu, sehingga yang perlu dilakukan hanya menambahkan air dan merebusnya hingga mendidih. Dengan minyak sawit, mi memiliki umur yang panjang; menghemat waktu dan energi; bisa dimasak dengan cepat & ramah bagi kaum vegetarian.

Pizza, dimana minyak sawit ditambahkan pada pizza beku dan adonan pizza segar agar tidak saling menempel dan untuk meningkatkan tekstur.

Sebagai penutup, Indonesia harus dapat menunjukkan kepada dunia bahwa antara minyak makan sawit dan minyak makan non sawit dapat saling terintegrasi dalam cita rasa (selera & rasa) daripada saling bersaing satu sama lain.

Melalui Gastro-Branding, perspektif dan inovasi tersebut dapat diwujudkan secara harmonis di hadapan dunia, karena di hampir semua resep seni dapur masakan dunia selalu ada unsur penggunaan balancing (keseimbangan) terhadap minyak makan sawit dan atau minyak non makan sawit (vegetable oil).

Jakarta, 2 Oktober 2019
Indrakarona Ketaren
Indonesian Gastronomy Association