".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Friday 12 June 2020

Kuliner Indonesia Pasca Pandemi

Pandemik Covid19 telah membentuk sebuah Tatanan Dunia Baru atau Tatanan Kehidupan Baru, dimana kehidupan manusia telah berubah dan manusia dituntut bersepakat mengadaptasi perilaku dan sikap baru tersebut.

Kita harus pahami, intisari dari pandemik itu sendiri yang menentukan timelinenya adalah Covid-19, baik waktu terjadinya dan begitu pula tahapannya.

Manusia terpaksa harus menghentikan segala macam aktifitas (alias terputus), sehingga yang terjadi sebetulnya, manusia sedang menghadapi proses pembekuan kehidupan.

Perlu disadari kondisi virus itu masih ada dan vaksin belum ditemukan. Perilaku masyarakat terhadap protokol keselamatan dan kesehatan membuat penyebaran Covid-19 hanya melambat.

Kita melihat, bencana pandemik Covid-19 telah mengubah kondisi masyarakat dunia akibat dampak kebijakan larangan bepergian untuk mencegah penyebaran Corona.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, hampir 90% populasi dunia sekarang tinggal di negara-negara dengan pembatasan perjalanan. 

Terkait bisnis makanan (kuliner atau boga) di Indonesia, sektor yang menyerap banyak lapangan kerja, awalnya ikut terpengaruh & terkena imbasnya serta sangat terpukul akibat pandemik Covid-19 yang sulit diprediksi kapan akan berakhir.

Semula sektor makanan (kuliner atau boga) diperkirakan akan mendapatkan pukulan paling parah sehingga mempengaruhi sektor penyokong lainnya, seperti pertanian, perikanan, peternakan, pasar pangan, jasa delivery & jasa lainnya yang terkait.

Terlihat ada sekian ribu restoran, cafe, rumah makan & jajan jalanan tutup atau terpaksa berhenti operasionalnya dan ada ratusan ribu pekerja dirumahkan atau terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Namun sejak 3 (tiga) bulan terakhir, untuk sektor kuliner ada secercah harapan pemulihan (rebound back) dengan meningkatnya pesan-antar (on line), walaupun nilai penjualannya turun sedikit.

Ke depan model pembelian pesan-antar (on line) akan lebih cocok dan efisien akibat konsumen menghindari eating out dan beralih ke layanan delivery.

Ini yang bagi banyak orang disebut sebagai virtual cuisine menggantikan physical culinary yang konvensional.

Dipastikan restoran, cafe,  rumah makan & jajan jalanan dan lain sebagainya, tidak akan lagi melayani makan di tempat (dine in). Trend ke depan, social gathering akan semakin sempit.

Virtual cuisine juga akan mengubah model gaya makan, mengingat selama ini konsumen memanfaatkan layanan delivery untuk jenis makanan indulgence (kesenangan) yaitu untuk pleasure dan enjoyment (seperti boba tea, pizza, burger, atau ayam geprek), akan bergeser ke utility (kegunaan) untuk kebutuhan rutin sehari-hari. Dari pemesanan sesekali (occasional) ke pemesanan berulang (habitual/routine).

Konsep virtual cuisine sekarang berkembang dengan adanya platform Cloud Kitchen (CK). Cloud Kitchen menggeser pemikiran dari restoran yang padat modal dan repot tempat, menuju dapur yang ringan modal dan bebas tempat.

Platform Cloud Kitchen (CK) adalah sebuah dapur kolektif yang terdiri atas berbagai macam kumpulan restoran.  

Cloud Kitchen sering juga disebut sebagai dapur satelit atau ghost kitchen yang merupakan model restoran dengan konsep hanya menawarkan jasa delivery saja dan tidak menyediakan fasilitas makan di tempat (dine in).

Di dalam dapur satelit CK tersedia ruang kerja berupa dapur besar dengan fasilitas lengkap yang bisa digunakan untuk memasak macam-macam menu dari berbagai restoran.

Konsep dapur di dalamnya mirip dengan konsep co-working space yang memang sedang populer belakangan ini.

Dengan menggunakan konsep ini, proses pengantaran makanan ke pelanggan akan relatif lebih singkat dibanding dengan pemesanan di restoran konvensional, karena Cloud Kitchen menyediakan layanan delivery yang langsung dilakukan oleh pihak restoran yang bekerja sama dengan layanan antar pesan-antar (on line) pihak ketiga.

Kalau Cloud Kitchen (CK) berupa sekumpulan restoran dengan dapur kolektif (satelit) dari berbagai restoran, maka virtual cuisine punya platform lain lagi yakni Online Food Ordering (OFO) yang beroperasi tanpa restoran.

Dapur OFO hanya bangun tempat produksi yang bisa di sembarangan tempat (lokasi) dengan juga kekuatan marketing sales via online. OFO kerap disebut sebagai the world’s largest internet restaurant company.

Model Online Food Ordering melakukan pemberontakan pada status quo bisnis restoran yang tinggi pada keperluan modal, repot pada menentukan lokasi. Bangun restoran itu tempatnya harus strategis, areanya harus luas, akhirnya biaya tempatnya akan mahal.

Platform Online Food Ordering menggeser pemikiran dari restoran yang padat modal dan repot tempat, menuju dapur yang ringan modal dan bebas tempat.

Berbeda dengan OFO yang memiliki dapur yang relatif minim area, dan tidak perlu tempat strategis. Bagi OFO kekuatan mereka ada di jasa delivery online yang bisa masuk ke lokasi dapur manapun & mobil logistik yang bisa drop bahan baku.

Dengan adanya Cloud Kitchen & Online Food Ordering bisa dikatakan persaingan tidak dapat dihindarkan antar pegiat penjualan makanan online CK & OFO yang ramai-ramai listing di marketplace.

Untuk diketahui puluhan ribu anak bangsa Indonesia sebagai pedagang makanan pemula (start up atau beginner) mencari peruntungan di dunia traffic pasar maya.

Bangunan traffic mampu membangun keramaian dan mengajak pembeli masuk ke pasar maya karena dianggap lebih rapi transaksinya serta memberi jaminan keamanan bagi pembeli.

Lama kelamaan pemain besar akan masuk & ini persaingan berikutnya. Pedagang makanan pemula yang membentuk CK & OFO dengan melisting produk & jasanya di pasar maya, jelas akan kalah dengan pemain besar yang lebih kompetitif di rasa dan harga serta mampu mengorganisir dengan cepat pegiat penjualan makanan lainnya.

Ini yang disebut dengan hack market dimana pemain besar masuk dan hadir dengan menggeser pasar maya pedagang makanan pemula. Konsumen di cross selling dengan produk lain yang lebih kompetitif di rasa dan harga karena mereka memiliki visual yang lebih baik dan sangat memukau.

Disini yang bicara adalah alam ekonomi pasar bebas yang melegalkan setiap entitas bisnis untuk bersaing terbuka dan keras di lapangan.

Pertarungannya nanti sudah jelas, siapa yang kuat dalam men-engage (mengikutsertakan) pelanggan yang setia maupun konsumen baru, siapa yang kuat di cita rasa, siapa yang kuat dalam struktur biaya, siapa yang kompetitif dalam harga, dia yang akan bertahan dalam persaingan ini.

Pedagang makanan pemula Indonesia harus membangun sikap positif dalam menghadapi hack market ini dan mulai berfikir membangun dirinya sendiri dalam urusan dapur dan urusan perut masyarakat agar mereka sebagai  start up atau beginner bisa berdiri sendiri menjadi sebuah andalan bagi bangsanya.

Sebagai penutup, dengan adanya virtual cuisine, perlu diingat food and man menjadi sangat penting dalam kehidupan manusia, terutama bagi dunia gastronomi Indonesia. Bicara makan memang diperlukan rasa (taste), tetapi ada hal yang lebih penting pula terkait masalah nutrition.

Banyak chef Indonesia, dan bahkan di dunia, yang hanya mengetahui tentang technical dan method memasak saja. Sebatas mengetahui masak yang enak dan garnishing yang indah, namun lemah dengan pengetahuan yang lain, terutama mengenai nutrition.

Dengan adanya new formal protocol diharapkan para chef Indonesia dapat meningkatkan pengetahuan mereka dimana gastronomi dapat lebih berperang penting mengenai nutrition ini.

Jakarta, 12 Juni 2020

IndraKarona Ketaren

Co-Founders

Indonesian Gastronomy Association (IGA)

Thursday 11 June 2020

Inisiatif Menghadapi Pandemi

Menghadapi krisis kesehatan yang disebabkan oleh coronavirus, sejumlah besar negara memilih menerapkan penguncian (lock-downs) dengan membatasi kontak secara langsung antara penduduk. Industri restoran adalah salah satu yang paling terpengaruh. Diperkirakan 90% perusahaan di industri restoran harus benar-benar ditutup, meskipun beberapa di antaranya dapat terus beroperasi melalui pembelian pesan-antar (on line)

Dalam menghadapi situasi ketidakpastian ini, lahir inisiatif dari para pemasak (chef) dan kalangan gastronomi melakukan kegiatan amal. Banyak pemasak profesional (chef) dan kalangan gastronomi saling bersinergi membantu para profesional kesehatan dan relawan lapangan yang melawan virus di garis depan dengan cara apa pun yang mereka bisa lakukan.

Di Prancis, gerakan "Chefs Support Carers" (Les Chefs Avec Les Soignants) telah menetapkan misi menyiapkan makanan di dapur restoran mereka untuk tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit Prancis.

Pada saat yang sama, sekolah kuliner & gastronomi École Ducasse telah meluncurkan serangkaian memasak dan membuat kue mingguan yang mereka sebut sebagai "Tantangan Harian" (Daily-cious Challenge) untuk disumbangkan ke rumah sakit.

Chef José Andrés membuat amal "The World Central Kitchen" yang dimuat di sampul depan majalah Time. Pemasak Spanyol ini berinisiatif meletakkan makanan di atas meja orang-orang yang membutuhkannya di masa krisis dan darurat. Inisiatif chef José Andrés menyebar ke negara-negara lain di mana berbagai kalangan gastronomi menyiapkan ribuan makanan untuk dikirim ke keluarga yang membutuhkan.

Chef Manoella Buffara dari Brasil melahirkan manifesto "Mulheres do Bem" dengan tema "Kami adalah wanita yang ingin berbuat baik melalui makanan". Buffara menutup semua operasi restorannya untuk melindungi stafnya pada awal Maret 2020. Sejak itu, Buffara sibuk memasak untuk dan mengkoordinasikan Mulheres do Bem menjadi sebuah jaringan koki (chef), jurnalis dan produsen makanan yang didedikasikan untuk memasak makanan sehat bagi para tunawisma di kota. Dengan bantuan dua putrinya, Chef Manoella Buffara memasak untuk 500 orang per minggu & menyiapkan makanan rumahan seperti pai sosis asin, roti jagung dan kue pisang.

Kalangan gastronomi & chef lokal di Brasil pun turut mengambil bagian dalam proyek ini, dengan menyelenggarakan "Solidarita Mesa" dari Solidarita Curitiba untuk memberi makan kepada para tunawisma.

Dalam menanggapi pandemi Covid-19, La Cocina sebuah organisasi nirlaba yang berbasis di San Francisco membantu para wanita berpenghasilan rendah dan orang kulit berwarna untuk membuka dan menumbuhkan kembali bisnis restoran mereka. La Cocina telah membantu buka kembali 60 jaringan bisnis wanita di 33 lokasi dengan memberi konsultasi gratis tentang cara mengamankan pengurangan sewa, pinjaman dan bantuan kepada karyawan. La Cocina juga membuat daftar sumber daya untuk semua bisnis pengusaha kecil & mikro, pemilik restoran dan pekerja perhotelan, yang dilakukan gratis secara online.

Selanjutnya, La Cocina menyediakan dana bantuan darurat untuk membantu menyediakan uang tunai kepada pengusaha kecil & mikro menutupi pengeluaran dasar & bagaimana konsumen dapat mendukung mereka selama masa pandemi. Melalui dana tersebut, La Cocina mampu menyediakan US$ 4.000 untuk setiap pengusaha kecil & mikro dan sangat aktif mencari sumbangan dari para donatur.

Nirlaba ini juga menjual Community Food Boxes selama seminggu yang dimasak oleh para koki wanita berbakat dimana 100% dari hasil penjualannya diperuntukan bagi pengusaha yang berpartisipasi. Menu diterbitkan pada hari Sabtu dan pesanan dapat diselesaikan sampai jam 3 sore pada hari Selasa.

Ladies of Restaurants di Inggris didirikan oleh mantan juru masak dan guru pemasaran Natalia Ribbe. Ladies of Restaurants adalah sekelompok wanita di sektor makanan dan minuman yang berupaya mengatasi kesenjangan gender dalam industri perhotelan melalui tindakan positif.

Sejak awal bulan April, Ribbe menjadi tuan rumah acara obrolan mingguan di Instagram Live yang disebut "The Shift Show", yang menyoroti proyek-proyek yang layak di mana banyak wanita yang memimpin, serta berbagi resep dan kisah inspiratif oleh wanita di bisnis perhotelan.

Mary Ellen McTague, chef & pemilik restoran Manchester dan bar anggur Hello Creameries. McTague melakukan amal dengan memasak makanan untuk petugas kesehatan sambil mengumpulkan bantuan di Inggris utara.

Di London, Anna Haugh, kepala chef dari Myrtle Restaurant, berkolaborasi dengan Hospitality for Heroes, mengkoordinasikan koki-koki lokal setempat memasok para pekerja kesehatan dengan makanan sehat gratis dari sumbangan yang mereka peroleh. Kampanye ini mendapatkan momentum dan baru-baru ini mampu menghasilkan lebih dari 1.000 makanan dalam sehari untuk memasok enam rumah sakit di sekitar kota London

Terlepas dari penutupan Singapura Venue 2am Dessert Bar-nya, mantan Pastry Chef dan artis Asia Terbaik Janice Wong termotivasi berbagi cintanya dengan mendirikan "Bake at Home" untuk memasak selama pandemi coronavirus. Janice Wong menciptakan Bake at Home, sebuah platform untuk "menemukan kegembiraan dalam memanggang di rumah lagi", di mana dia menjual segala sesuatu dari premiks dan bahan-bahan baking ke peralatan dengan harga terjangkau. Wong juga telah berbagi keahlian dan resepnya melalui video di Instagram dan YouTube sehingga semua orang dapat ikut serta.

Ada banyak lagi para pemasak (chef) dan kalangan gastronomi dunia merespons pandemi Covid-19. Bisa dikatakan dalam situasi yang tidak menentu dan belum pernah terjadi sebelumnya, jelas terlihat para pemasak (chef) dan kalangan gastronomi menunjukkan kemurahan hati yang besar, mengerahkan semua potensi dan kemampuan mereka bersatu untuk membantu para profesional kesehatan dan masyarakat umum dalam situasi yang luar biasa ini.

Bagaimana dengan Indonesia ?

Tabek
IndraKarona Ketaren

Friday 5 June 2020

Sepintas Mengenai Kuliner Indonesia

PENDAHULUAN
Semenjak dua puluh tahun (20) tahun terakhir, peta perekonomian global, menempatkan boga (sebutan lain dari kata makanan atau kuliner) menjadi satu dimensi komersial dan sosial yang sangat pesat bergerak.

Berubahnya peta perekonomian dunia yang serba cepat & disruptif, menempatkan makanan (kuliner atau boga) menjadi modal utama negara-negara dalam menghadapi tantangan global.

Di dalam konteks globalisasi, daya saing merupakan kunci utama untuk bisa sukses dan bertahan.

Daya saing ini muncul tidak hanya dalam bentuk produk dalam jumlah banyak, namun juga berkualitas.

Kualitas produk tersebut dapat diperoleh melalui pencitraan ataupun menciptakan produk-produk inovatif yang berbeda dari wilayah lainnya yang dapat berdaya saing secara global.

Keberadaan makanan (kuliner atau boga) merupakan suatu sektor usaha yang memberikan perhatian terhadap pemanfaatan, keterampilan serta bakat baik individu maupun kelompok untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan melalui penciptaan daya kreasi dan daya cipta

Makanan (kuliner atau boga) telah terbukti mampu menciptakan sistem ekonomi kreatif atau sebuah sistem kegiatan manusia yang berkaitan dengan daya kreasi, produksi, distribusi, pertukaran dan konsumsi barang dan jasa yang memiliki nilai kultural, artistik, estetika, intelektual dan nilai emosional bagi para konsumen.

Namun sejak negeri ini berdiri, dirasakan pemangku kepentingan belum maksimal terlibat dalam urusan makanan (kuliner atau boga).

Kebanyakan masyarakat dan pemangku kepentingan, menganggap makanan sebatas resep dan acara spektakel festival atau semata diartikan sebagai seremoni makan.

Padahal makanan (kuliner atau boga) secara luas harus dipahami sebagai suatu tata olah strategik pembangunan ekonomi manusia dan kebudayaan melalui pemberdayaan seni masakan nusantara.

Perlu disadari untuk membangun pemahaman kemajuan kebudayaan suatu bangsa, mau tidak mau, harus juga membicarakan kekayaan (dan mungkin kebanggaan dari) seni masakan itu sendiri.

Sudah saatnya negeri ini mulai meletakkan makanan sebagai sesuatu yang serius, baik mengenai keekonomian dan substansinya sendiri.

Salah satunya adalah dengan memperjelas rambu-rambu hukum dan kelembagaan terhadap makanan (kuliner atau boga), termasuk gastronomi di dalamnya (upaboga).

Tujuan akhirnya adalah untuk melestarikan dan merestorasi semua warisan masakan masa lalu yang ada maupun yang luput dari amatan, untuk diolah menjadi suatu identitas Nusantara & ekonomian seni makanan bangsa Indonesia.

Selain itu pemangku kepentingan perlu mempertimbangkan & memperlakukan makanan (kuliner atau boga) sebagai instrumen kebijakan strategik yang terbukti mampu meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Notabene ini akan memberi dukungan nyata terhadap kedaulatan pangan Indonesia serta memberdayakan masyarakat pelaku ekonomi kreatif.

Kontribusi makanan (kuliner atau boga) dalam perekonomian Nasional semakin penting dengan semakin banyaknya jumlah penduduk yang bekerja di sektor ini.

Teristimewa bagi keperluan daya saing pariwisata yang terus meningkat dan menjadi andalan primadona pemangku kepentingan dalam menggerakkan perekonomian, terutama ekonomi lokal dan penerimaan devisa.

Melalui instrumen itu, pemangku kepentingan akan dapat menambah daya serap kekuatan mesin ekonomi masyarakat dengan melestarikan seni memasak makanan daerah yang tersebar di 34 wilayah propinsi, 416 wilayah kabupaten, 98 wilayah kota, 83184 wilayah desa dan kelurahan di Indonesia.

Kehadiran pemangku kepentingan merupakan motif utama di balik menelusuri pelaku-pelaku yang mempersiapkan dan siapa yang menggerakan sampai tersedianya keperluan bahan pangan makanan.

Antara lain seperti para pembudidaya, petani, nelayan, pemburu hewan, juru masak, atau apapun judul atau kualifikasi mereka.

Mereka itu semua adalah pelaku usaha Menengah, Mikro & Kecil serta UKM. Para pahlawan yang jarang diangkat martabat keberadaannya.

Dengan begitu pemangku kepentingan Pusat dan segenap pemangku kepentingan Propinsi, Kabupaten & Kota, akan terasa kehadirannya langsung bersama rakyat dalam membudayakan seni budaya makanan Indonesia.

Dalam arti ikut mengelola, membimbing dan mengawasi pelaksanaan, penelitian, pengembangan, pendidikan dan pelatihan terhadap pemberdayaan masyarakat setempat sebagai pelaku ekonomi kreatif, khususnya di daerah pedesaan, pengembangan daerah tertentu, pembangunan daerah tertinggal dan transmigrasi.

PENGGERAK EKONOMI
Makanan (kuliner atau boga) dengan industrinya saat ini tumbuh sangat subur yang mampu menyumbang kontribusi terbesar terhadap PDB ekonomi kreatif yakni sebesar 41.40 persen.

Sektor ini berhasil meraup keuntungan total sebanyak Rp 382 triliun selama tahun 2016, dengan multiplying effect 1,91, terbesar dalam subsektor ekonomi kreatif.

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per akhir tahun 2016, menunjukkan total pembiayaan untuk industri kreatif sebesar Rp 5,1 triliun, dimana pembiayaan untuk sektor usaha makanan (kuliner atau boga) mencapai Rp 2,86 triliun.

Selain itu, sektor usaha makanan (kuliner atau boga) menjadi industri dalam ekonomi kreatif yang memiliki jumlah bidang usaha terbanyak yaitu sebesar 5,550,960 pelaku di seluruh Nusantara yang tercatat memiliki badan hukum.

Dari 11 (sebelas) juta tenaga kerja nasional yang berkecimpung di industri kreatif, 31,5 persen bekerja di bidang sektor usaha makanan (kuliner atau boga) seperti di restoran, rumah makan, kedai, warung dan sebagainya.

Data yang ada menunjukkan baru terdapat kurang dari 3% usaha industri makanan (kuliner atau boga) yang berbadan hukum.

Menurut yang kami pantau dari beberapa catatan yang ada di tahun 2017, total jumlah restoran dan rumah makan yang berbadan hukum di 5 (lima) kota besar Indonesia (Jakarta, Bali, Bandung, Surabaya & Medan) ada 40,282 (Qraved).

Sedangkan menurut catatan data BPS tahun 2015, tempat makan yang berbadan hukum (restoran & rumah makan yang besar dan menengah) di Indonesia ada 2,776 dengan pendapatan rata-rata Rupiah 4,66 Milyar per tahun per setiap restoran & rumah makan dan pengeluaran Rupiah 2,48 Milyard per tahun setiap restoran & rumah makan.

Rata-rata per setiap restoran & rumah makan mempekerjakan 26 orang dengan lebih kurang 131 tempat duduk yang tersedia serta pengunjung rata-rata 227 orang setiap harinya.

Artinya ada lebih kurang Rupiah 6,884,480,000,000 (atau pro rata 6,9 Trilyun) per tahun biaya pengeluaran dengan pendapatan per tahun Rupiah 12,936,160,000,000 (atau pro rata 13 Trilyun) perputaran uang dari sekian banyak restoran & rumah makan yang besar dan menengah yang berbadan hukum di Indonesia.

Lapangan kerja yang ditampung rata-rata 72,176 orang dengan lebih kurang 363,656 tempat duduk serta pengunjung 630,152 orang setiap harinya.

Dilihat dari lokasi usaha, sebagian besar usaha restoran & rumah makan bertempat di kawasan pertokoan atau perkantoran, yaitu sebesar 54,57 persen. Sedangkan di lokasi objek wisata hanya sebesar 15,71 persen.

Usaha restoran & rumah makan yang telah berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT), sebesar 51,40 persen. Selain itu, terdapat 11,36 persen perusahaan yang berbentuk koperasi, CV maupun Firma.

Sedangkan sebanyak 37,24 persen perusahaan belum berbadan hukum atau tidak punya perusahaan sama sekali, seperti kaki lima, usaha rumah tangga, dan warung makan sederhana yang kerap disebut sebagai pelaku usaha Mikro & Kecil serta UKM.

Jumlahnya ada sekitar 366,943 di Indonesia, seperti pedagang warung tegal (warteg), pedagang nasi goreng, pedagang martabak, pedagang buah, pedagang minuman, dan sebagainya, yang rata-rata mempekerjakan 3 - 4 orang.

Menurut catatan Ketua Umum Asosiasi Pedagang Mie dan Bakso (APMISO) anggotanya yang tersebar di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur , DKI Jakarta dan Banten mencapai 60 ribu pedagang dengan penyerapan 100 ribu tenaga kerja. Di Jawa Tengah saja ada sekitar 10 ribu anggota yang tergabung dalam APMISO.

Sedangkan Ketua Umum Asosiasi Pedagang Warung Tegal (Warteg) mengatakan untuk wilayah DKI Jakarta saja terdapat sebanyak 26.500 pedagang warteg yang tersebar di penjuru Ibukota.

Angka-angka di atas itu belum termasuk pedagang makanan keliling yang bekerja sendirian, seperti pedagang baso dan mie, pedagang gorengan, pedagang nasi goreng, pedagang sate, pedagang kue, pedagang minuman dan sebagainya.

Diiperkirakan jumlah pedagang makanan keliling ini lebih kurang ada sekitar 1,073,521 orang di seluruh Indonesia atau rata-rata 19,605 orang di setiap kabupaten dan kota yang ada di Indonesia.

Dengan melihat kenyataan di atas, wajar dipahami mengapa terjadi pergeseran semakin banyak masyarakat memiliki kebiasaan makan di luar rumah, baik di restoran, rumah makan, kedai, warung maupun kaki lima.

Sepanjang tahun 2013, tercatat kunjungan orang Indonesia ke restoran dan rumah makan saja mencapai 380 juta kali dan menghabiskan total USD 1,5 miliar per tahun.

Jenis masakan utama yang disajikan, tercatat 54,55 persen menyajikan makanan khas Indonesia, sedangkan masakan Amerika atau Eropa sebanyak 22,43 persen, masakan China 10,69 persen, dan masakan lainnya 12,33 persen.

Semaraknya kebiasaan makan di luar rumah ini juga ditopang dengan pertumbuhan jumlah restoran kelas menengah dan rumah makan di atas hingga 250 persen  dalam lima tahun terakhir.

Fenomena tren makan di luar merupakan bagian dari aktivitas sosial dimana separuh dari mereka yang makan di luar, datang bersama rekan bisnis, teman atau keluarga.

Juga perlu dicatatat tanpa disadari, semakin marak entrepreneur kuliner Indonesia (pengusaha Menengah, Mikro, Kecil & UKM) yang lahir melalui inkubator secara alam (otodidak).

Makanan (kuliner atau boga) merupakan pilihan utama bisnis masyarakat menengah & bawah dalam mengatasi kesulitan ekonomi semenjak tahun 1998 sampai sekarang dan di saat ini.

Dengan demikian bisa dikatakan makanan (kuliner atau boga) menjadi salah satu industri yang patut diperhitungkan dan menjadi penopang di masa depan dalam memajukan pembangunan ekonomi Indonesia.

KEBERAGAMAN KULINER
Webinar juga akan bicara soal kekayaan ragam makanan (kuliner atau boga) bangsa ini yang tidak pernah dipoles selama ini sehingga satu persatu hilang dan tidak tercatat secara resmi.

Malah banyak yang belum dikenal dan langka diketahui masyarakat. Kekuatan yang dimiliki makanan (kuliner atau boga) Indonesia terletak pada keunggulannya dari sisi keberagaman, lokasi strategis, sejarah & budaya.

Keberagam seni dapur masakan yang dimiliki Indonesia ada di 1334 suku & sub-suku di kepulauan Nusantara, termasuk etnis pendatang yang jika masing-masing memiliki 50 masakan saja akan terdapat puluhan ribu jenis makanan (kuliner atau boga) bangsa ini.

Tapi kemana semua itu. Tidak ada catatan resmi Negara mengenai harta kekayaan makanan (kuliner atau boga) negeri ini atau dilakukannya pencacahan statistik mengenainya.

Selain itu selama ini makanan (kuliner atau boga) yang kerap ditampilkan negeri selalu berkisar yang itu-itu saja. Kesamaan itu bukan hanya di Indonesia, tetapi juga ada di Malaysia, Singapura, Thailand, Philippine dan Brunei.

Umpamanya seperti yang pernah diluncur dalam program 30 IKTI (Ikon Kuliner Tradisional Indonesia) menjadi andalan untuk kuliner di semua lokasi destinasi wisata Indonesia yang dibingkai sebagai "local & original" kuliner negeri ini.

Padahal gado-gado, nasi goreng, nasi tumpeng, soto, sate, rawon, rendang, lumpia dan sebagainya belum tentu bisa diterima di daerah lain sebagai produk keaslian kuliner mereka, meskipun ada di daerah tersebut tapi dianggap sebagai kuliner pendatang yang bukan menjadi andalan.

Seperti dikatakan, negeri ini mempunyai 1334 suku, sub suku dan etnis pendatang yang jika saja masing-masing punya 10 (sepuluh) item seni dapur masakan yang tidak sama dan berbeda dengan daerah lain, maka akan terdapat belasan ribu kuliner yang bisa menjadi andalan bangsa ini di mata dunia.

Wisatawan sekarang mengharapkan semua makanan di destinasi tertentu adalah "local, native, indigenous & authentic" yang berbeda & jarang memiliki kesamaan dengan lokasi destinasi lainnya, termasuk kemiripan dengan negara-negara tetangga.

Dari sisi lokasi strategis, Indonesia memiliki Garis Seni Boga yang beraneka ragam dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Miangas sampai Pulau Rote serta memiliki kekayaan hayati yang besar dan merupakan nomor dua di dunia (77 jenis karbohidrat, 75 jenis sumber lemak / minyak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, 40 jenis bahan minuman, dan bumbu-bumbuan).

Negeri ini memiliki lebih dari 1,000 jumlah spesies tanaman sayuran, buah, 110 jenis rempah-rempah dan flora nomor dua di dunia yang tidak tumbuh di negara lain.

Dari sisi sejarah & budaya, bumbu rempah Indonesia mengubah revolusi cita rasa dunia (yakni Kayu Manis, Lada, Pala, Bunga Pala & Cengkeh).

Rijsttafel tercatat sebagai aset kedua seni budaya makanan dunia setelah seni dapur masakan Perancis dan sampai hari ini tidak yang nomor tiga walaupun masakan Mediteranean berupaya untuk itu tapi belum diakui dunia sampai saat ini.

Ikatan emosional berbasis sejarah ini menampilkan makanan (kuliner atau boga) Indonesia punya benchmark tersendiri di dunia, apalagi dengan adanya catatan mengenai kekayaaan bumbu rempah & bukti seni dapur rijsttafel.

Selain itu makanan (kuliner atau boga) Indonesia punya kisah, baik itu yang tangible & intangible (atau dikenal dengan ritual upacara).

PELUANG KULINER
Kesempatan makanan (kuliner atau boga) Indonesia cukup besar. Saat ini tren globalisasi makanan dunia cenderung beralih ke seni dapur masakan Asia Tenggara, antara lain Indonesia.

Tren itu ditambah dengan maraknya wisata halal (friendly muslim tourism) di dunia yang makin meningkatkan jumlah wisatawan yang datang ke negara seperti Indonesia.

Peluang itu juga bertambah dengan pemangku kepentingan di daerah-daerah mengangkat makanan (kuliner atau boga) mereka ke dalam acara-acara (festival) Nasional sebagai wujud identitas & kemaslahatan perekonomian masyarakat setempat.

Selain itu banyak pula eksplorasi & investigasi pemasak dunia (master chef & chef) terkenal terhadap kekayaan bumbu & rempah serta teknik memasak kuliner (boga atau makanan) Indonesia (seperti Gordon Ramsey, Jamie Oliver dan sebagainya).

Pastinya juga akses media sosial & era IT sekarang semakin mempermudah masyarakat dunia membuka dan mengenal seni dapur makanan (kuliner atau boga) Indonesia.

Apalagi dengan adanya organisasi & komunitas gastronomi (upaboga) di Indonesia dalam menelusuri, mengangkat & melestarikan seni dapur masakan negeri ini.

ORGANISASI KULINER
Indonesia saat ini belum mempunyai satu organisasi F&B (Food and Beverage) yang kuat bisa menghimpun semua pelaku usaha makanan & minuman dari kalangan bawah (pengusaha Atas, pengusaha Menengah, UKM, Mikro & Kecil) sampai atas atau apapun kualifikasi mereka itu disebut.

Seperti antara lain : usaha jajanan jalanan, usaha rumah makan, usaha industri makanan rumah tangga, restoran, cafe, bistro, warung makan dan lain sebagainya.

Memang sudah ada PHRI (Persatuan Hotel & restoran Indonesia) tapi organisasi ini bicara sebatas restoran dari kalangan tertentu dan aksi gemangnya tidak banyak keliatan di publik.

Ada juga GAPMMI (Gabungan Pengusaha Makanan & Minuman Seluruh Indonesia) yang menghimpun pelaku industri makanan & minuman.

Untuk pemasak ada organisasi seperti ICA (Indonesian Chef Association),  ACPI (Association of Culinary Professional Indonesia) & IFBEC (Indonesian Food and Beverages Executive Association).

Untuk minuman & kue ada ABI (Asosiasi Bakery Indonesia), ATI (Asosiasi Teh Indonesia), APIKCI (Asosiasi Pengusaha Industri Kakao dan Cokelat Indonesia), ASI (Indonesia Sommelier Association).

Sedangkan untuk organisasi catering ada APJI (Asosiasi Perusahaan Jasaboga Indonesia).

Kesemua organisasi yang disebut di atas belum kohesif, bersatu dan bersuara secara nasional.

Satu-satunya organisasi yang bicara F&B di Indonesia hanya IGA (Indonesian Gastronomy Association) tapi organisasi ini terbatas bicara di sejarah & budaya makanan & minuman Nusantara.

Jadi wajar akibat tiadanya organisasi F&B, semua pelaku usaha makanan & minuman di negeri ini belum punya posisi secara Nasional, walaupun tampil dengan brand mereka namun tampak masing-masing punya sekat-sekat sendiri.

Sudah saatnya Indonesia memiliki organisasi F&B yang bukan hanya menjadi payung makanan (kuliner atau boga) tetapi juga punya kekuatan di supply chain, karena kunci dari bisnis makanan (kuliner atau boga) ada di jaringan distribusinya, termasuk packaging.

Packaging adalah kunci dari bisnis makanan (kuliner atau boga), mengingat bahan baku dan produk makanan kita cukup banyak, hanya packaging materialnya yang kurang.

Dengan kekuatan supply chain ini akan mudah bagi organisasi F&B membangun start up companies makanan (kuliner atau boga) di seluruh Indonesia.

BENCANA PANDEMIK
Pandemik Covid19 telah membentuk sebuah Tatanan Dunia Baru atau Tatanan Kehidupan Baru, dimana kehidupan manusia telah berubah dan manusia dituntut bersepakat mengadaptasi perilaku dan sikap baru tersebut.

Kita harus pahami, intisari dari pandemik itu sendiri yang menentukan timelinenya adalah Covid-19, baik waktu terjadinya dan begitu pula tahapannya.

Manusia terpaksa harus menghentikan segala macam aktifitas (alias terputus), sehingga yang terjadi sebetulnya, manusia sedang menghadapi proses pembekuan kehidupan.

Perlu disadari kondisi virus itu masih ada dan vaksin belum ditemukan. Perilaku masyarakat terhadap protokol keselamatan dan kesehatan membuat penyebaran Covid-19 hanya melambat.

Kita melihat, bencana pandemik Covid-19 telah mengubah kondisi masyarakat dunia akibat dampak kebijakan larangan bepergian untuk mencegah penyebaran Corona.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, hampir 90% populasi dunia sekarang tinggal di negara-negara dengan pembatasan perjalanan. 

Terkait bisnis makanan (kuliner atau boga) di Indonesia, sektor yang menyerap banyak lapangan kerja, awalnya ikut terpengaruh & terkena imbasnya serta sangat terpukul akibat pandemik Covid-19 yang sulit diprediksi kapan akan berakhir.

Semula sektor makanan (kuliner atau boga) diperkirakan akan mendapatkan pukulan paling parah sehingga mempengaruhi sektor penyokong lainnya, seperti pertanian, perikanan, peternakan, pasar pangan, jasa delivery & jasa lainnya yang terkait.

Terlihat ada sekian ribu restoran, cafe, rumah makan & jajan jalanan tutup atau terpaksa berhenti operasionalnya dan ada ratusan ribu pekerja dirumahkan atau terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Namun sejak 3 (tiga) bulan terakhir, untuk sektor kuliner ada secercah harapan pemulihan (rebound back) dengan meningkatnya pesan-antar (on line), walaupun nilai penjualannya turun sedikit.

Ke depan model pembelian pesan-antar (on line) akan lebih cocok dan efisien akibat konsumen menghindari eating out dan beralih ke layanan delivery.

Dipastikan restoran, cafe,  rumah makan & jajan jalanan tidak akan lagi melayani makan di tempat (dine in).

Selama ini konsumen memanfaatkan layanan delivery untuk jenis makanan indulgence (kesenangan) yaitu untuk pleasure dan enjoyment (seperti boba tea, pizza, burger, atau ayam geprek), akan bergeser ke utility (kegunaan) untuk kebutuhan rutin sehari-hari. Dari pemesanan sesekali (occasional) ke pemesanan berulang (habitual/routine).

Jakarta, 6 Juni 2020

IndraKarona Ketaren

Co-Founders

Indonesian Gastronomy Association (IGA)



Tuesday 2 June 2020

Mengembangkan Kembali Pariwisata Indonesia Melalui Makanan yang Kaya akan Bumbu


PENDAHULUAN
Bisnis, destinasi, dan organisasi wisata di seluruh dunia sedang berusaha mengetahui langkah apa selanjutnya untuk mengembalikan perputaran roda mesin usaha mereka dan membuat orang berwisata lagi.

Bagaimana rencana masa depan wisata dan apa inovasi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dalam persiapan meluncurkan kembali perjalanan dan pariwisata berkelanjutan dunia.

Industri & jasa pariwisata memahami betul bahwa kuliner membentuk dasar utama pemasaran mereka dengan alasan sederhana bahwa 100% pelancong makan (termasuk minum).

Pengunjung dapat pulang ke negaranya dengan ingatan tak terlupakan dari pengalaman yang didapatkan saat mencicipi makanan. Mereka bercerita kepada teman-teman dan koleganya dengan memperlihatkan foto, video, dan kisah pengalaman makanan yang mereka dapatkan saat berwisata.

Saat ini ada pemikiran di negara-negara barat menempatkan makanan (termasuk minuman) sebagai nilai jual utama dalam pemasaran wisata.

Seperti diketahui, selama ini nilai jual wisata dunia lebih banyak mengandalkan wisata alam & wisata buatan manusia sebagai atraksi pemasaran.

Memang solusinya tidak sesederhana itu dengan menempatkan gambar (poster), foto maupun video menawan makanan (termasuk minuman) di bagian depan dan tengah dalam kampanye pemasaran wisata kepada konsumen.

Pemikiran out of the box ini perlu dipertimbangkan, mengingat di saat travel & tourism mulai kembali hidup dan setiap pelaku industri & jasa pariwisata memasarkan tempat rekreasi wisata, tempat pertemuan, belanja & hiburan, maka perhatian kepada makanan akan ditempatkan pada urutan di pertama.

PARIWISATA INDONESIA
Bagaimana dengan pariwisata Indonesia ?

Sekarang bukan waktunya untuk duduk dan menunggu !

Sudah saatnya langkah negara-negara barat perlu dipertimbangkan dengan nilai tambah lainnya

Dengan nanti akan banyaknya penawaran wisata manca negara, akibat pandemi Covid-19, maka langkah promosi & pemasaran pariwisata Indonesia hendaknya jangan tersesat di lautan kesamaan (sea of similarity) dengan negara-negara lain, sehingga kurang memiliki daya tarik bagi pelancong.

Pemangku kepentingan pariwisata Indonesia hendaknya mempertimbangkan perhatian mereka pada wisata makanan saat mereka merencanakan program bagaimana mendorong pengunjung manca negara dan Nusantara kembali berwisata di negeri ini.

Tantangan baru yang di identifikasi Food Travel Monitor 2020 adalah adanya kenyataan pengunjung tidak lagi merespons "local & original" sebagai kata-kata yang dibingkai untuk mendorong ketertarikan pelancong untuk datang

Karena berbagai lokasi destinasi yang ditawarkan suatu negara kerap mengandalkan kesamaan dengan lokasi lain di negara itu, termasuk dalam hal makanannya

Kesamaan itu bukan hanya di Indonesia, tetapi juga ada di Malaysia, Singapura, Thailand, Philippine dan Brunei.

Umpamanya seperti yang pernah diluncur dalam program 30 IKTI (Ikon Kuliner Tradisional Indonesia) menjadi andalan untuk kuliner di semua lokasi destinasi wisata Indonesia yang dibingkai sebagai "local & original" kuliner negeri ini.

Padahal gado-gado, nasi goreng, nasi tumpeng, soto, sate, rawon, rendang, lumpia dan sebagainya belum tentu bisa diterima di daerah lain sebagai produk keaslian kuliner mereka, meskipun ada di daerah tersebut tapi dianggap sebagai kuliner pendatang yang bukan menjadi andalan.

Negeri ini mempunyai 1334 suku, sub suku dan etnis pendatang yang jika saja masing-masing punya 10 (sepuluh) item seni dapur masakan yang tidak sama dan berbeda dengan daerah lain, maka akan terdapat belasan ribu kuliner yang bisa menjadi andalan bangsa ini di mata dunia.

Wisatawan sekarang mengharapkan semua makanan di destinasi tertentu adalah "local, native, indigenous & authentic" yang berbeda & jarang memiliki kesamaan dengan lokasi destinasi lainnya, termasuk kemiripan dengan negara-negara tetangga.

MODUL WISATA
Apa yang bisa menjadi tujuan & fokus pemasaran wisata Indonesia untuk membuat pesannya didengar oleh konsumen wisata dunia di lautan kesamaan (sea of similarity) ?


Bagaimana modul pemasaran wisata Indonesia dalam mempromosikan "local, native, indigenous & authentic" tanpa menggunakan kata-kata "local & original"

Jawabannya :
1. Pertama, mengangkat beragam kekayaan seni dapur masakan dari 1334 suku, sub suku dan etnis pendatang.
2. Kedua, memberi nama produk & kisah (cerita) makanan dari seni dapur masakan lokasi destinasi itu.
3. Ketiga, memperkenalkan & mempromosikan pemasak (profesional & otodidak) daerah yang membuatnya.
4. Keempat, mengandalkan keberagaman kekayaan rempah dalam bumbu masakan seni dapur masakan Indonesia.

Perlu diingat keberagaman kekayaan rempah negeri ini bisa menjadi nilai tambah selain bingkai "local, native, indigenous & authentic" makanan setempat.

Artinya, menampilkan bumbu rempah makanan yang fresh dan bukan bumbu rempah instan yang nota bene ada bahan pengawet dengan dengan produk kimianya.

Untuk diketahui, wisatawan manca negara menyukai bumbu rempah alami (go nature) dan ada keinginan tau mereka terhadap cerita sejarah dari kekayaan rempah-rempah tersebut.

Apalagi sudah menjadi kebiasaan Chef-Chef di barat tidak pernah memasak dengan bumbu jadi dan mereka anti dengan bumbu instan.

Mereka ingin membuat dan meracik bumbu mereka sendiri, bahkan untuk membuat kaldu pun tidak pakai penyedap rasa tapi dibuat dari kaldu sari tulang-tulang ayam atau sapi.

Isyu ini akan menjadi tolak ukur dari masyarakat barat terhadap promosi dan pemasaran wisata berkelanjutan Indonesia.

Selain itu, promosi bumbu rempah makanan ini akan menjadi istimewa dan berbeda dari wisata negara lain manalagi jalur rempah Indonesia sudah mendapat pengakuan sebagai warisan budaya dunia dari Badan PBB untuk urusan Pendidikan, Sosial, dan Budaya (UNESCO).

Ini penting mengingat jalur rempah bisa membuka peluang promosi kekayaan Nusantara di kancah global.

Sampai sekarang, jalur rempah Indonesia masih belum dikenal luas dunia dan makanan Indonesia belum banyak yang diketahui secara global.

Oleh karena itu promosi dan pemasaran wisata untuk "local, native, indigenous & authentic" makanan Indonesia akan berhasil dengan cara mengangkat jalur rempah Indonesia ke dunia international, yakni dengan memperlihatkan keaslian dari kekayaan rempah-rempah yang ada.

Jadi yang kita perlu tunjukkan makanan Indonesia melalui keberagaman rempah-rempah negeri ini karena pada dasarnya makanan Indonesia kaya akan penggunaan bumbu rempah.

Lagi pula dengan adanya pandemi Covid-19, semua orang di dunia akan lebih memilih makanan organik yang alami dan bukan dengan bumbu jadi (instan).

Sekarang semua orang akan memiilih go natural, go green, dan makanan dari alam serta bio food sangat laku di Eropa serta menjadi tren setelah pasca Covid-19.

Disamping itu terhadap bumbu-bumbu rempah ini sudah saatnya distandarkan oleh pemerintah; seperti ada standar bumbu rendang, bumbu nasi goreng, bumbu soto ayam dan lain sebagainya untuk dijadikan standar nasional Indonesia.

Saat ini semua perusahaan berlomba-lomba membuat bumbunya sendiri. Belum lagi bumbu-bumbu yang dibuat secara artisanal oleh UKM-UKM di daerah.

Terkecuali bumbu yang dibuat itu adalah bumbu artisanal tanpa bahan kimia, tanpa bahan pengawet dan alami serta  dibuat secara tradisi, ini bisa diterima semua pihak di barat.

Kalaupun memang susah untuk membawa & menampilkan rempah-rempah fresh ke luar negeri, bisa dibuat dalam kemasan bubuk tetapi natural alami tidak ditambah bahan-bahan kimia atau pengawet.

INTERPRETASI WISATA INDONESIA
Oleh karena itu, interpretasi pertama dari pencerahan di atas adalah setiap tujuan lokasi destinasi Indonesia yang akan dipasarkan harus mampu mengangkat seni dapur masakan yang "local, native, indigenous & authentic", lengkap dengan kisah (cerita)  makanannya.

Pengertiannya bukan memasarkan atau mengandalkan makanan yang sama dengan destinasi lain, bahkan yang mempunyai kesamaan dengan negara tetangga.

Lebih-lebih lagi setiap tujuan lokasi memiliki kekayaan & keberagaman seni dapur masakan yang berbeda dengan destinasi lain.

Kedua, interpretasi kedua dari pencerahan di atas, setiap promosi lokasi destinasi Indonesia harus mengandalkan keberagaman kekayaan rempah dalam bumbu masakan mereka yang bisa menjadi nilai tambah selain bingkai "local, native, indigenous & authentic" makanan setempat.

Terakhir, memperkenalkan & mempromosikan pemasak (profesional & otodidak) yang membuat "local, native, indigenous & authentic" makanan tersebut.

Selain keberagaman kekayaan seni dapur masakan tersebut, nilai tambah lain yang bisa diangkat adalah dengan memperkenalkan kisah (cerita) kekayaan keberagaman tradisi acara kuliner Indonesia, antara lain :
1. Tradisi masakan Bali, masakan Banten & Sunda, masakan Betawi, masakan Jawa, masakan Kalimantan, masakan Minangkabau, masakan Aceh, masakan Karo, masakan Batak dan lain sebagainya.
2. Tradisi makan bersama di Indonesia yang beragam asalnya seperti Banten (Babancakan), Minangkabau (Bajamba), Kutai (Baseprah), Bali (Megibung), Sunda (Bancakan, Botram, Ngaliwet), Palembang (Ngobeng) dan sebagainya.
3. Tradisisi minum teh di Indonesia yang beragam asalnya seperti dari Jawa (Teh Poci), Sunda (Nyaneut), Karaton Yogyakarta (Patehan) dan Betawi (Nyahi)

PENUTUP
Pada kenyatannya hampir semua daerah di Indonesia mengadaptasi keberagaman masakan daerah lain, tapi yang benar-benar unik dan asli sulit ditiru di tempat lain, sehingga perlu melakukan perjalanan ke asal makanan tersebut untuk menemukan "hal yang nyata."

Pecinta makanan bisa mendapatkan makanan Aceh atau masakan Sunda di mana saja, tetapi akankah merasakan hal yang sama di daerah lain dengan yang mereka nikmati di daerah asalnya ?

Pastinya tidak, karena mereka tidak merasakan rasa dan suasana tempat yang sama yang tidak dapat ditiru di tempat lain. Apalagi kalau sudah bicara soal  bumbu rempah "local, native, indigenous & authentic" dari makanan tersebut.

Teristimewa jika bicara soal yang mengolahnya, mereka ingin mencicipi dari pemasak yang asli. Banyak wisatawan manca negara maupun Nusantara tergugah ingin melihat sekilas siapa yang memasak dan bagaimana tentang kisah kehidupan dan keluarganya

Banyak kuliner Indonesia memiliki pengalaman yang unik dan berkesan sehingga akan memikat pengunjung datang kembali.

Sehingga keberagaman dan keunikan kuliner di masing-masing daerah akan dapat membantu meningkatkan kekuatan makanan dalam pariwisata Indonesia menuju kesuksesan di masa depan

Inilah yang dimaksud dengan "local, native, indigenous & authentic" dari masing-masing makanan lokasi destinasi itu dengan mengandalkan kisah (cerita) serta keberagaman kekayaan rempah dalam bumbu masakan mereka.

Disinilah nilai jual wisata keberlanjutan baru Indonesia nantinya setelah pasca Covid-19.

Jakarta, 2 Juni 2020
IndraKarona Ketaren
Indonesian Gastronomy Association (IGA)