PENDAHULUAN
Semenjak dua puluh tahun (20) tahun terakhir, peta perekonomian global, menempatkan boga (sebutan lain dari kata makanan atau kuliner)
menjadi satu dimensi komersial dan sosial yang sangat pesat bergerak.
Berubahnya peta perekonomian dunia yang serba cepat & disruptif, menempatkan makanan (kuliner atau boga) menjadi modal utama negara-negara dalam menghadapi tantangan global.
Di dalam konteks globalisasi, daya saing merupakan kunci
utama untuk bisa sukses dan bertahan.
Daya saing ini muncul tidak hanya dalam bentuk produk
dalam jumlah banyak, namun juga berkualitas.
Kualitas produk tersebut dapat diperoleh melalui pencitraan ataupun menciptakan produk-produk inovatif yang berbeda dari wilayah lainnya yang dapat berdaya saing secara global.
Kualitas produk tersebut dapat diperoleh melalui pencitraan ataupun menciptakan produk-produk inovatif yang berbeda dari wilayah lainnya yang dapat berdaya saing secara global.
Keberadaan makanan (kuliner
atau boga) merupakan suatu sektor usaha yang memberikan perhatian terhadap
pemanfaatan, keterampilan serta bakat baik individu maupun kelompok untuk
menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan melalui penciptaan daya
kreasi dan daya cipta
Makanan (kuliner
atau boga) telah terbukti mampu menciptakan sistem ekonomi kreatif atau
sebuah sistem kegiatan manusia yang berkaitan dengan daya kreasi, produksi,
distribusi, pertukaran dan konsumsi barang dan jasa yang memiliki nilai
kultural, artistik, estetika, intelektual dan nilai emosional bagi para
konsumen.
Namun sejak negeri ini berdiri, dirasakan pemangku
kepentingan belum maksimal terlibat dalam urusan makanan (kuliner atau boga).
Kebanyakan masyarakat dan pemangku kepentingan,
menganggap makanan sebatas resep dan acara spektakel festival atau semata diartikan
sebagai seremoni makan.
Padahal makanan (kuliner
atau boga) secara luas harus dipahami sebagai suatu tata olah strategik
pembangunan ekonomi manusia dan kebudayaan melalui pemberdayaan seni masakan
nusantara.
Perlu disadari untuk membangun pemahaman kemajuan kebudayaan suatu bangsa, mau tidak mau, harus juga membicarakan kekayaan (dan mungkin kebanggaan dari) seni masakan itu sendiri.
Sudah saatnya negeri ini mulai meletakkan makanan sebagai
sesuatu yang serius, baik mengenai keekonomian dan substansinya sendiri.
Salah satunya adalah dengan memperjelas rambu-rambu hukum
dan kelembagaan terhadap makanan (kuliner
atau boga), termasuk gastronomi di dalamnya (upaboga).
Tujuan akhirnya adalah untuk melestarikan dan merestorasi
semua warisan masakan masa lalu yang ada maupun yang luput dari amatan, untuk diolah
menjadi suatu identitas Nusantara & ekonomian seni makanan bangsa
Indonesia.
Selain itu pemangku kepentingan perlu mempertimbangkan
& memperlakukan makanan (kuliner atau
boga) sebagai instrumen kebijakan strategik yang terbukti mampu
meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB)
Indonesia.
Notabene ini akan memberi dukungan nyata terhadap
kedaulatan pangan Indonesia serta memberdayakan masyarakat pelaku ekonomi
kreatif.
Kontribusi makanan (kuliner
atau boga) dalam perekonomian Nasional semakin penting dengan semakin
banyaknya jumlah penduduk yang bekerja di sektor ini.
Teristimewa bagi keperluan daya saing pariwisata yang
terus meningkat dan menjadi andalan primadona pemangku kepentingan dalam menggerakkan
perekonomian, terutama ekonomi lokal dan penerimaan devisa.
Melalui instrumen itu, pemangku kepentingan akan dapat
menambah daya serap kekuatan mesin ekonomi masyarakat dengan melestarikan seni
memasak makanan daerah yang tersebar di 34 wilayah propinsi, 416 wilayah
kabupaten, 98 wilayah kota, 83184 wilayah desa dan kelurahan di Indonesia.
Kehadiran pemangku kepentingan merupakan motif utama di
balik menelusuri pelaku-pelaku yang mempersiapkan dan siapa yang menggerakan
sampai tersedianya keperluan bahan pangan makanan.
Antara lain seperti para pembudidaya, petani, nelayan,
pemburu hewan, juru masak, atau apapun judul atau kualifikasi mereka.
Mereka itu semua adalah pelaku usaha Menengah, Mikro
& Kecil serta UKM. Para pahlawan yang jarang diangkat martabat keberadaannya.
Dengan begitu pemangku kepentingan Pusat dan segenap pemangku
kepentingan Propinsi, Kabupaten & Kota, akan terasa kehadirannya langsung
bersama rakyat dalam membudayakan seni budaya makanan Indonesia.
Dalam arti ikut mengelola, membimbing dan mengawasi pelaksanaan,
penelitian, pengembangan, pendidikan dan pelatihan terhadap pemberdayaan
masyarakat setempat sebagai pelaku ekonomi kreatif, khususnya di daerah
pedesaan, pengembangan daerah tertentu, pembangunan daerah tertinggal dan
transmigrasi.
PENGGERAK EKONOMI
Makanan (kuliner
atau boga) dengan industrinya saat ini tumbuh sangat subur yang mampu
menyumbang kontribusi terbesar terhadap PDB ekonomi kreatif yakni sebesar 41.40
persen.
Sektor ini berhasil meraup keuntungan total sebanyak Rp
382 triliun selama tahun 2016, dengan multiplying effect 1,91, terbesar dalam
subsektor ekonomi kreatif.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per akhir tahun 2016, menunjukkan total pembiayaan untuk
industri kreatif sebesar Rp 5,1 triliun, dimana pembiayaan untuk sektor usaha
makanan (kuliner atau boga) mencapai
Rp 2,86 triliun.
Selain itu, sektor usaha makanan (kuliner atau boga) menjadi industri dalam ekonomi kreatif yang
memiliki jumlah bidang usaha terbanyak yaitu sebesar 5,550,960 pelaku di
seluruh Nusantara yang tercatat memiliki badan hukum.
Dari 11 (sebelas)
juta tenaga kerja nasional yang berkecimpung di industri kreatif, 31,5 persen
bekerja di bidang sektor usaha makanan (kuliner
atau boga) seperti di restoran, rumah makan, kedai, warung dan sebagainya.
Data yang ada menunjukkan baru terdapat kurang dari 3%
usaha industri makanan (kuliner atau boga)
yang berbadan hukum.
Menurut yang kami pantau dari beberapa catatan yang ada
di tahun 2017, total jumlah restoran dan rumah makan yang berbadan hukum di 5 (lima) kota besar Indonesia (Jakarta, Bali, Bandung, Surabaya & Medan)
ada 40,282 (Qraved).
Sedangkan menurut catatan data BPS tahun 2015, tempat
makan yang berbadan hukum (restoran &
rumah makan yang besar dan menengah) di Indonesia ada 2,776 dengan
pendapatan rata-rata Rupiah 4,66 Milyar per tahun per setiap restoran &
rumah makan dan pengeluaran Rupiah 2,48 Milyard per tahun setiap restoran &
rumah makan.
Rata-rata per setiap restoran & rumah makan mempekerjakan
26 orang dengan lebih kurang 131 tempat duduk yang tersedia serta pengunjung
rata-rata 227 orang setiap harinya.
Artinya ada lebih kurang Rupiah 6,884,480,000,000 (atau pro rata 6,9 Trilyun) per tahun
biaya pengeluaran dengan pendapatan per tahun Rupiah 12,936,160,000,000 (atau pro rata 13 Trilyun) perputaran
uang dari sekian banyak restoran & rumah makan yang besar dan menengah yang
berbadan hukum di Indonesia.
Lapangan kerja yang ditampung rata-rata 72,176 orang
dengan lebih kurang 363,656 tempat duduk serta pengunjung 630,152 orang setiap
harinya.
Dilihat dari lokasi usaha, sebagian besar usaha restoran
& rumah makan bertempat di kawasan pertokoan atau perkantoran, yaitu
sebesar 54,57 persen. Sedangkan di lokasi objek wisata hanya sebesar 15,71
persen.
Usaha restoran & rumah makan yang telah berbadan
hukum Perseroan Terbatas (PT),
sebesar 51,40 persen. Selain itu, terdapat 11,36 persen perusahaan yang
berbentuk koperasi, CV maupun Firma.
Sedangkan sebanyak 37,24 persen perusahaan belum berbadan
hukum atau tidak punya perusahaan sama sekali, seperti kaki lima, usaha rumah
tangga, dan warung makan sederhana yang kerap disebut sebagai pelaku usaha
Mikro & Kecil serta UKM.
Jumlahnya ada sekitar 366,943 di Indonesia, seperti
pedagang warung tegal (warteg),
pedagang nasi goreng, pedagang martabak, pedagang buah, pedagang minuman, dan
sebagainya, yang rata-rata mempekerjakan 3 - 4 orang.
Menurut catatan Ketua Umum Asosiasi Pedagang Mie dan
Bakso (APMISO) anggotanya yang
tersebar di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur , DKI Jakarta dan
Banten mencapai 60 ribu pedagang dengan penyerapan 100 ribu tenaga kerja. Di
Jawa Tengah saja ada sekitar 10 ribu anggota yang tergabung dalam APMISO.
Sedangkan Ketua Umum Asosiasi Pedagang Warung Tegal (Warteg) mengatakan untuk wilayah DKI
Jakarta saja terdapat sebanyak 26.500 pedagang warteg yang tersebar di penjuru
Ibukota.
Angka-angka di atas itu belum termasuk pedagang makanan keliling
yang bekerja sendirian, seperti pedagang baso dan mie, pedagang gorengan,
pedagang nasi goreng, pedagang sate, pedagang kue, pedagang minuman dan
sebagainya.
Diiperkirakan jumlah pedagang makanan keliling ini lebih
kurang ada sekitar 1,073,521 orang di seluruh Indonesia atau rata-rata 19,605
orang di setiap kabupaten dan kota yang ada di Indonesia.
Dengan melihat kenyataan di atas, wajar dipahami mengapa terjadi
pergeseran semakin banyak masyarakat memiliki kebiasaan makan di luar rumah,
baik di restoran, rumah makan, kedai, warung maupun kaki lima.
Sepanjang tahun 2013, tercatat kunjungan orang Indonesia
ke restoran dan rumah makan saja mencapai 380 juta kali dan menghabiskan total
USD 1,5 miliar per tahun.
Jenis masakan utama yang disajikan, tercatat 54,55 persen
menyajikan makanan khas Indonesia, sedangkan masakan Amerika atau Eropa
sebanyak 22,43 persen, masakan China 10,69 persen, dan masakan lainnya 12,33
persen.
Semaraknya kebiasaan makan di luar rumah ini juga
ditopang dengan pertumbuhan jumlah restoran kelas menengah dan rumah makan di
atas hingga 250 persen dalam lima tahun terakhir.
Fenomena tren makan di luar merupakan bagian dari
aktivitas sosial dimana separuh dari mereka yang makan di luar, datang bersama
rekan bisnis, teman atau keluarga.
Juga perlu dicatatat tanpa disadari, semakin marak
entrepreneur kuliner Indonesia (pengusaha
Menengah, Mikro, Kecil & UKM) yang lahir melalui inkubator secara alam
(otodidak).
Makanan (kuliner
atau boga) merupakan pilihan utama bisnis masyarakat menengah & bawah
dalam mengatasi kesulitan ekonomi semenjak tahun 1998 sampai sekarang dan di
saat ini.
Dengan demikian bisa dikatakan makanan (kuliner atau boga) menjadi salah satu
industri yang patut diperhitungkan dan menjadi penopang di masa depan dalam
memajukan pembangunan ekonomi Indonesia.
KEBERAGAMAN KULINER
Webinar juga akan bicara soal kekayaan ragam makanan (kuliner atau boga) bangsa ini yang tidak
pernah dipoles selama ini sehingga satu persatu hilang dan tidak tercatat
secara resmi.
Malah banyak yang belum dikenal dan langka diketahui
masyarakat. Kekuatan yang dimiliki makanan (kuliner
atau boga) Indonesia terletak pada keunggulannya dari sisi keberagaman,
lokasi strategis, sejarah & budaya.
Keberagam seni dapur masakan yang dimiliki Indonesia ada
di 1334 suku & sub-suku di kepulauan Nusantara, termasuk etnis pendatang
yang jika masing-masing memiliki 50 masakan saja akan terdapat puluhan ribu
jenis makanan (kuliner atau boga)
bangsa ini.
Tapi kemana semua itu. Tidak ada catatan resmi Negara
mengenai harta kekayaan makanan (kuliner
atau boga) negeri ini atau dilakukannya pencacahan statistik mengenainya.
Selain itu selama ini makanan (kuliner atau boga) yang kerap ditampilkan negeri selalu berkisar
yang itu-itu saja. Kesamaan itu bukan hanya di Indonesia, tetapi juga ada di
Malaysia, Singapura, Thailand, Philippine dan Brunei.
Umpamanya seperti yang pernah diluncur dalam program 30
IKTI (Ikon Kuliner Tradisional Indonesia)
menjadi andalan untuk kuliner di semua lokasi destinasi wisata Indonesia yang
dibingkai sebagai "local &
original" kuliner negeri ini.
Padahal gado-gado, nasi goreng, nasi tumpeng, soto, sate,
rawon, rendang, lumpia dan sebagainya belum tentu bisa diterima di daerah lain
sebagai produk keaslian kuliner mereka, meskipun ada di daerah tersebut tapi
dianggap sebagai kuliner pendatang yang bukan menjadi andalan.
Seperti dikatakan, negeri ini mempunyai 1334 suku, sub
suku dan etnis pendatang yang jika saja masing-masing punya 10 (sepuluh) item seni dapur masakan yang
tidak sama dan berbeda dengan daerah lain, maka akan terdapat belasan ribu
kuliner yang bisa menjadi andalan bangsa ini di mata dunia.
Wisatawan sekarang mengharapkan semua makanan di
destinasi tertentu adalah "local,
native, indigenous & authentic" yang berbeda & jarang memiliki
kesamaan dengan lokasi destinasi lainnya, termasuk kemiripan dengan
negara-negara tetangga.
Dari sisi lokasi strategis, Indonesia memiliki Garis Seni
Boga yang beraneka ragam dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Miangas sampai
Pulau Rote serta memiliki kekayaan hayati yang besar dan merupakan nomor dua di
dunia (77 jenis karbohidrat, 75 jenis
sumber lemak / minyak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228
jenis sayuran, 40 jenis bahan minuman, dan bumbu-bumbuan).
Negeri ini memiliki lebih dari 1,000 jumlah spesies
tanaman sayuran, buah, 110 jenis rempah-rempah dan flora nomor dua di dunia yang
tidak tumbuh di negara lain.
Dari sisi sejarah & budaya, bumbu rempah Indonesia
mengubah revolusi cita rasa dunia (yakni
Kayu Manis, Lada, Pala, Bunga Pala & Cengkeh).
Rijsttafel tercatat sebagai aset kedua seni budaya
makanan dunia setelah seni dapur masakan Perancis dan sampai hari ini tidak
yang nomor tiga walaupun masakan Mediteranean berupaya untuk itu tapi belum
diakui dunia sampai saat ini.
Ikatan emosional berbasis sejarah ini menampilkan makanan
(kuliner atau boga) Indonesia punya
benchmark tersendiri di dunia, apalagi dengan adanya catatan mengenai kekayaaan
bumbu rempah & bukti seni dapur rijsttafel.
Selain itu makanan (kuliner
atau boga) Indonesia punya kisah, baik itu yang tangible & intangible (atau dikenal dengan ritual upacara).
PELUANG KULINER
Kesempatan makanan (kuliner
atau boga) Indonesia cukup besar. Saat ini tren globalisasi makanan dunia cenderung
beralih ke seni dapur masakan Asia Tenggara, antara lain Indonesia.
Tren itu ditambah dengan maraknya wisata halal (friendly muslim tourism) di dunia yang makin
meningkatkan jumlah wisatawan yang datang ke negara seperti Indonesia.
Peluang itu juga bertambah dengan pemangku kepentingan di
daerah-daerah mengangkat makanan (kuliner
atau boga) mereka ke dalam acara-acara (festival) Nasional sebagai wujud identitas & kemaslahatan perekonomian
masyarakat setempat.
Selain itu banyak pula eksplorasi & investigasi
pemasak dunia (master chef & chef)
terkenal terhadap kekayaan bumbu & rempah serta teknik memasak kuliner (boga atau makanan) Indonesia (seperti Gordon Ramsey, Jamie Oliver dan
sebagainya).
Pastinya juga akses media sosial & era IT sekarang
semakin mempermudah masyarakat dunia membuka dan mengenal seni dapur makanan (kuliner atau boga) Indonesia.
Apalagi dengan adanya organisasi & komunitas
gastronomi (upaboga) di Indonesia
dalam menelusuri, mengangkat & melestarikan seni dapur masakan negeri ini.
ORGANISASI KULINER
Indonesia saat ini belum mempunyai satu organisasi
F&B (Food and Beverage) yang kuat
bisa menghimpun semua pelaku usaha makanan & minuman dari kalangan bawah (pengusaha Atas, pengusaha Menengah, UKM,
Mikro & Kecil) sampai atas atau apapun kualifikasi mereka itu disebut.
Seperti antara lain : usaha jajanan jalanan, usaha rumah
makan, usaha industri makanan rumah tangga, restoran, cafe, bistro, warung
makan dan lain sebagainya.
Memang sudah ada PHRI (Persatuan Hotel & restoran Indonesia) tapi organisasi ini bicara sebatas restoran dari kalangan tertentu dan aksi gemangnya tidak banyak keliatan di publik.
Ada juga GAPMMI (Gabungan
Pengusaha Makanan & Minuman Seluruh Indonesia) yang menghimpun pelaku
industri makanan & minuman.
Untuk pemasak ada organisasi seperti ICA (Indonesian Chef Association), ACPI
(Association of Culinary Professional
Indonesia) & IFBEC (Indonesian
Food and Beverages Executive Association).
Untuk minuman & kue ada ABI (Asosiasi Bakery Indonesia), ATI (Asosiasi Teh Indonesia), APIKCI (Asosiasi Pengusaha Industri Kakao dan Cokelat Indonesia), ASI (Indonesia Sommelier Association).
Sedangkan untuk organisasi catering ada APJI (Asosiasi Perusahaan Jasaboga Indonesia).
Kesemua organisasi yang disebut di atas belum kohesif,
bersatu dan bersuara secara nasional.
Satu-satunya organisasi yang bicara F&B di Indonesia
hanya IGA (Indonesian Gastronomy
Association) tapi organisasi ini terbatas bicara di sejarah & budaya
makanan & minuman Nusantara.
Jadi wajar akibat tiadanya organisasi F&B, semua
pelaku usaha makanan & minuman di negeri ini belum punya posisi secara
Nasional, walaupun tampil dengan brand mereka namun tampak masing-masing punya
sekat-sekat sendiri.
Sudah saatnya Indonesia memiliki organisasi F&B yang
bukan hanya menjadi payung makanan
(kuliner atau boga) tetapi juga punya kekuatan di supply chain, karena
kunci dari bisnis makanan (kuliner atau
boga) ada di jaringan distribusinya, termasuk packaging.
Packaging adalah kunci dari bisnis makanan (kuliner atau boga), mengingat bahan
baku dan produk makanan kita cukup banyak, hanya packaging materialnya yang
kurang.
Dengan kekuatan supply chain ini akan mudah bagi organisasi
F&B membangun start up companies makanan
(kuliner atau boga) di seluruh Indonesia.
BENCANA PANDEMIK
Pandemik Covid19 telah membentuk sebuah Tatanan Dunia Baru atau Tatanan Kehidupan Baru, dimana kehidupan
manusia telah berubah dan manusia dituntut bersepakat mengadaptasi perilaku dan
sikap baru tersebut.
Kita harus pahami, intisari dari pandemik itu sendiri yang menentukan timelinenya adalah Covid-19, baik waktu terjadinya dan begitu pula tahapannya.
Manusia terpaksa harus menghentikan segala macam
aktifitas (alias terputus), sehingga
yang terjadi sebetulnya, manusia sedang menghadapi proses pembekuan kehidupan.
Perlu disadari kondisi virus itu masih ada dan vaksin
belum ditemukan. Perilaku masyarakat terhadap protokol keselamatan dan
kesehatan membuat penyebaran Covid-19 hanya melambat.
Kita melihat, bencana pandemik Covid-19 telah mengubah
kondisi masyarakat dunia akibat dampak kebijakan larangan bepergian untuk
mencegah penyebaran Corona.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, hampir 90% populasi
dunia sekarang tinggal di negara-negara dengan pembatasan perjalanan.
Terkait bisnis makanan (kuliner atau boga) di Indonesia, sektor yang menyerap banyak
lapangan kerja, awalnya ikut terpengaruh & terkena imbasnya serta sangat
terpukul akibat pandemik Covid-19 yang sulit diprediksi kapan akan berakhir.
Semula sektor makanan (kuliner atau boga) diperkirakan akan mendapatkan pukulan paling
parah sehingga mempengaruhi sektor penyokong lainnya, seperti pertanian,
perikanan, peternakan, pasar pangan, jasa delivery & jasa lainnya yang
terkait.
Terlihat ada sekian ribu restoran, cafe, rumah makan
& jajan jalanan tutup atau terpaksa berhenti operasionalnya dan ada ratusan
ribu pekerja dirumahkan atau terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Namun sejak 3 (tiga)
bulan terakhir, untuk sektor kuliner ada secercah harapan pemulihan (rebound back) dengan meningkatnya pesan-antar (on line), walaupun nilai penjualannya turun sedikit.
Ke depan model pembelian pesan-antar
(on line) akan lebih cocok dan
efisien akibat konsumen menghindari eating
out dan beralih ke layanan delivery.
Dipastikan restoran, cafe, rumah makan & jajan jalanan tidak akan
lagi melayani makan di tempat (dine in).
Selama ini konsumen memanfaatkan layanan delivery untuk
jenis makanan indulgence (kesenangan)
yaitu untuk pleasure dan enjoyment (seperti
boba tea, pizza, burger, atau ayam geprek), akan bergeser ke utility (kegunaan) untuk kebutuhan rutin
sehari-hari. Dari pemesanan sesekali (occasional)
ke pemesanan berulang (habitual/routine).
Jakarta, 6 Juni 2020
IndraKarona Ketaren
Co-Founders
Indonesian Gastronomy Association (IGA)