".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Tuesday 22 December 2020

Sketsa Paparan Gastronomi

Kalau bicara Gastronomi, ada 2 (dua) komponen yang lazim terkait dengannya, yakni GastroDiplomacy dan GastroTourism.

 

Saat ini banyak masyarakat yang belum memahami makna dari Gastronomi (Upaboga), Gastronomi Diplomasi (GastroDiplomacy) dan Gastronomi Wisata (GastroTourism). Banyak masyarakat mengartikan ketiganya sebatas dalam kerangka kuliner ansich tanpa menguasai dan mendalami arti dari ketiganya, sehingga menimbulkan bias dalam penjelasan mereka.

 

Padahal Gastronomi atau GastroDiplomacy atau GastroTourism punya pengertian yang sangat luas tanpa batas, malah bisa masuk ke dalam deskripsi ekososbudpol  (ekonomi, sosial, budaya, dan politik) maupun lingkungan.


Terlebih dahulu perlu diketahui, Gastronomi itu pada prinsipnya adalah sebuah pengetahuan tentang makanan (food knowledge) yang dalam apilikasinya mempunyai tool atau instrumen yakni antara lain GastroDiplomacy dan GastroTourism.

 

Sebenarnya jika bicara Gastronomi atau GastroDiplomacy atau GastroTourism, pada intinya adalah bicara soal makanan (boga), yang dalam bahasa kesehariannya sangat populer disebut sebagai kuliner, walaupun tidak demikian diartikan kata kuliner itu sendiri. Representasi ketiganya di Indonesia masuk dalam ranah kerja pariwisata, ekonomi kreatif, kebudayaan, dan hubungan internasional.

 

(Catatan: pengertian kata boga dalam artikel ini termasuk minuman selain makanan.)

 

Dalam kepentingan sketsa paparan Gastronomi, di bawah ini dicoba untuk memberi pencerahan ringkas mengenai Gastronomi itu sendiri dalam kaitannya dengan Kuliner serta   GastroDiplomacy dan GastroTourism, yang seyogyanya bisa membuka kaca mata masyarakat mengenai pengertiannya.

 

Disamping itu juga sekedar diberi masukan mengenai peran dari makanan (boga) Indonesia dalam peta dunia untuk diketahui bahwa sumbangsih negeri ini punya catatan tersendiri. 


1. Gastronomi Dan Kuliner
Pertama-tama, kita harus memahami apa yang dimaksud dengan Gastronomi dan Kuliner.
i. Kuliner adalah The Art Of Good Cooking yang dilakukan produsen, yakni pemasak di dapur (yakni para chef profesional & pemasak otodidak). Dalam bahasa “man on the street”, kuliner adalah tukang masak (culinary master).

ii. Gastronomi adalah  The Art Of Good Eating yang dilakukan konsumen, yakni food connoisseur di meja makan (yakni para pecinta, penikmat dan pemerhati makanan). Dalam bahasa “man on the street”, gastronomi adalah tukang makan (food enthusiastic)

2. Kuliner
Pengertian Kuliner adalah seni persiapan, hasil olahan dan penyajian masakan, berupa lauk-pauk, panganan maupun minuman yang dilakukan produsen (pemasak), yang pelakunya kerap disebut sebagai artis kuliner (atau seniman kuliner). 

Proses Kuliner disusun sesuai tahapan seni keahlian sebagai berikut :
i. Resep  (susunan resepi masakan)
ii. Bahan baku (memilih bahan baku masakan)
iii. Persiapan memasak di dapur
iv. Teknik dan proses memasak
v.  Estetika (keseimbangan yang prima terhadap mutu makanan)
vi. Presentasi dan penyajian makanan

Ke 6 (enam) tahapan seni keahlian ini disebut sebagai teknik dan proses memasak, yang setelah dilalui kesemuanya akan memasuki ke tahap mencicipi atau menikmati makanan yang dilakukan para konsumen.

3. Gastronomi
Untuk memahami Gastronomi, kita harus bisa membedakan Gastronomi Barat dan Gastronomi Indonesia, termasuk Asia.

Pada umumnya Gastronomi bicara makanan dari sisi pengetahuan (Food Knowledge). Ini yang menjadi koridor gastronomi barat. Pelaku dari Gastronomi disebut sebagai seorang Gastronom.

Proses Pengetahuan Makanan (Food Knowledge) dibahas dalam 3 (tiga) elemen, yakni:
 i. Food Story yaitu mengenai sejarah dan budaya (termasuk metoda memasak dan lanskap geografis).

(Catatan: metoda memasak diartikan sebagai pengetahuan dan bukan sebagai proses kepandaian memasak karena tidak semua Gastronom bisa memasak)

ii. Food Assessment yakni memberi penilaian (peringkat) terhadap makanan dan non makanan yang fokusnya pada hidangan makanan yang berkualitas prima dengan cakupan sebagai berikut :
a. Makanan : Menu, Gaya dan Jenis, Cita-Rasa, Rasa, Flavoring, Aroma, Sensasi, Tekstur, Estetika, Presentasi, Creativity dan Food Pairing.
b. Non Makanan : Pemasak (Chef Profesional dan Otodidak), Tipe Restoran, Tema, Hospitality, Dekorasi, Musik, Popularity dan Kebersihan.
c. Penataan : Table Setting dan Food Plating.

iii. The Art Of Good Eating adalah aturan, etiket dan sopan santun tata cara makan yang baik, yang biasanya disebut sebagai Table Manner.

Sedangkan Gastronomi Indonesia, atau umumnya di Asia, di dalam Food Story-nya ada cerita atau kisah dibelakangnya; termasuk filosofinya, karena di sebagian makanan  kepulauan Nusantara di Indonesia ada ritual yang bersifat tangible dan intangible.

Bukan berarti gastronomi di masyarakat barat tidak punya kisah atau cerita dibalik boga mereka, namun jarang dijadikan faktor dalam mereka bicara mengenai sejarah dan budaya dari food story-nya.

4. Perbedaan Gastronomi Dan Kuliner
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan Kuliner tidak punya ke-3 (tiga) elemen Gastronomi di atas, walaupun tidak bisa dipungkiri para pemasak juga melakukan penilaian (Food Assesment), namun sebagian dari komponen assessment pemasak tidak sama dengan komponen penilaian Gastronomi.

Dengan demikian jika bicara Gastronomi, maka ke-3 (tiga) elemen itu harus tercakup dalam pembahasannya, yakni mengenai Food Story, Food Assesement dan The Art Of Good Eating, meskipun dengan segala variasi uraian namun dua elemen terpenting daripadanya adalah Food Story dan Food Assesement. Sedangkan The Art Of Good Eating kadangkala untuk tindakan grassroots level cuisine sukar dilakukan. Lebih banyak The Art Of Good Eating dilakukan pada tindakan top level cuisine.

Disitu letak perbedaan antara Kuliner dan Gastronomi, walaupun tidak bisa dinafikan produsen selaku Kuliner kerap melakukan tindakan Food Story, Food Assesement dan The Art Of Good Eating. Sebaliknya konsumen juga melakukan hal serupa, dimana yang bersangkutan punya keahlian dan pandai memasak sebagai produsen. Kalau produsen atau konsumen masuk ke dua ranah keahlian ini maka mereka disebut sebagai Gastrosophers.

Kebiasaan masyarakat saat ini jika bicara Gastronomi hanya membatasi diri kepada ke-6 tahapan seni keahlian Kuliner seperti yang dijelaskan di atas. Ini yang dikatakan sebagai bias yang mempunyai kecenderungan dan prasangka mempercayai bahwa Gastronomi itu adalah sebatas seni keahlian Kuliner ansich, tanpa menguasai dan mendalami arti yang sebenarnya, termasuk untuk GastroDiplomacy atau GastroTourism.

5. Makanan Indonesia Dalam Peta Dunia
Indonesia tercatat punya kontribusi besar dalam sejarah makanan dunia. Ada 2 (dua) catatan yang perlu diketahui soal ini yakni :

Pertama, bumbu rempah Indonesia mengubah revolusi cita rasa dunia pada tahun 1500 yang dipelopori oleh Perancis.

Untuk pertama kali, 5 (lima) buah bumbu yang berasal dari rempah Timur Jauh, khususnya gugusan kepulauan Hindia Timur, digunakan dalam seni dapur masakan Perancis; yaitu Kayu Manis, Lada, Pala, Bunga Pala dan Cengkeh, yang diambil dari Maluku.

Ke 5 (lima) macam bumbu ini telah memperkaya seni memasak masyarakat Eropa sehingga menjadikan makanan berubah rasa dan kelezatannya

Kedua, pada abab ke 17 dan 18 berkembangnya Rijsttafel di masyarakat Eropa yang diperkenalkan oleh Belanda sebagai budaya makanan gaya Hindia Belanda.

Pada hakikatnya Rijsttafel adalah hidangan nasi dengan segala aneka lauk pauk dari berbagai variasi bumbu rempah yang ada di kepulauan Nusantara; dan disajikan menggunakan tata cara makan (table manner) yang mewah, terhormat dan bermartabat.

Bisa dikatakan Belanda mempelopori Rijsttafel sebagai aset, benchmark dan branding kedua seni budaya makanan di dunia, setelah seni masakan Perancis.

Tetapi perlu dicatat, branding Rijsttafel yang diperkenalkan Belanda ke dunia mempunyai  predikat sebagai Indische gerechten atau Indische spezialiteit.

Setelah seni dapur masakan Perancis dan seni dapur masakan Rijsttafel, belum ada sampai hari ini seni dapur masakan ketiga, meskipun Spanyol secara gigih mempromosikan seni dapur masakan Mediterranean sebagai pengimbang seni dapur masakan Perancis, namun sampai sekarang belum dapat diakui masyarakat Eropa maupun dunia.

Ikatan emosional berbasis sejarah ini menampilkan makanan Indonesia punya benchmark tersendiri di dunia, apalagi dengan adanya catatan mengenai kekayaaan bumbu rempah dan bukti seni dapur rijsttafel.

6. Gastronomi Diplomasi

Disebut juga dengan kata GastroDiplomasi yang sebenarnya GastroDiplomacy merupakan salah satu tool instrumen dari aplikasi Gastronomi.

 

Sama dengan mengartikan gastronomi dan kuliner, saat ini masyarakat pun belum memahami apa arti GastroDiplomacy itu sendiri.


Untuk diketahui, pada prinsipnya GastroDiplomasi mengartikan boga (makanan) :
i. Membentuk identitas dan karakter masyarakat bernegara.
ii. Dalam bahasa politik merupakan wawasan kebangsaan.
iii. Lahir dari nilai dan jati diri kearifan lokal masyarakat setempat.
iv. Prestise yang dimiliki membuat dirinya berbeda / istimewa dibandingkan negara lain.

GastroDiplomasi digunakan sebagai :
i. Strategi suatu pemerintah negara mengkomunikasikan ide maupun informasi dalam kepentingan mengakses counterpart mereka di luar jalur birokrasi yang kaku.
ii. Instrumen kewibawaan suatu negara dalam menyelesaikan masalah yang timbul dalam hubungan internasional.
iii. Menterjemahkan aristokrasi politik maupun simbol kekuasaan budaya suatu negara.
iv. Simbol kekuatan diplomasi suatu negara dalam bagaimana counterpart melihat dan menilai kekuatan negara lain mengorganisir kekayaan budaya mereka melalui sajian hidangan.
v. Memperlihatkan prestise dan kewibawaan Negara kepada counterpart-nya mengenai kemahiran merepresentasikan kekayaan dan keramah-tamahan budaya.

Bagi GastroDiplomasi makanan (boga) dapat :
i. Mengubah persepsi dan menempatkan identitas negara di fikiran masyarakat negara lain.
ii. Pencitraan diplomasi untuk mendapatkan pengakuan global dunia.
iii. Mengubah persepsi orang dan publik lain tentang suatu negara atau bangsa.

Tindakan GastroDiplomasi dilakukan :
i. Elit dan aktor politik melalui upacara dan hubungan diplomatik.
ii. Untuk mengubah perilaku aktor / elite politik negara lain melalui persepsi, simbolisme dan budaya.
iii. Sebagai alat untuk menjembatani perselisihan internasional dengan menjalin perdamaian.

Praktek dan teknik GastroDiplomasi dilakukan melalui :
i. Gastronomy Diplomacy yang merupakan lensa diplomasi tingkat bawah (grassroots level cuisine). Contohnya street food, rumah makan, restoran, acara festival dan lain sebagainya.
ii. Culinary Diplomacy yang merupakan lensa diplomasi tingkat atas (top level cuisine). Contohnya dilakukan pada tataran kenegaraan dari pimpinan eksekutif dan legislatif Pemerintahan suatu negara

GastroDiplomacy dan Culinary Diplomacy adalah cara bagaimana pemerintahan suatu negara bisa menyentuh hati orang-orang di seluruh dunia melalui perut mereka.

Keberhasilan Thailand, Korea Selatan, Malaysia, Vietnam adalah cerita dari kesuksesan GastroDiplomacy.

7. Format GastroDiplomasi Indonesia
Jika bicara GastroDiplomacy maka ada 2 (dua) format yang perlu dimiliki yakni :
i. Signature Dish: yakni tentang makanan yang unik, yang menjadi andalan dan tidak ada duanya, baik dari segi rasa, bahan maupun presentasi.
ii. Perjamuan Makan  : adalah budaya acara makan sebagai simbol rasa kebersamaan

Sekarang persoalannya bagaimana dengan GastroDiplomasi Indonesia ?

Apa jurus pamungkas dan tolak ukur (benchmark) signature dish dan perjamuan makan GastroDiplomasi Indonesia ?

Seperti diketahui, Pemerintah Indonesia menempatkan makanan sebagai salah satu dari 4 (empat) pilar diplomasi, selain kebudayaan, olah raga dan film (Pernyataan Presiden Jokowi dalam Rapat Terbatas tanggal 27 September 2016 dan tanggal 3 Februari 2017).

Ini artinya sudah ada political will dari Presiden Indonesia, tetapi bagaimana menterjemahkan lebih lanjut format konstruksi signature dish dan perjamuan makan Indonesia dalam kerangka kebudayaan untuk menaikkan nation branding atau brand power Indonesia di mata dunia.

Bisa dikatakan sampai sekarang belum ada jawabannya, walaupun sudah ada political will dari Presiden Indonesia tetapi belum tegas di formulasikan.

Kita pernah dengar 30 (tiga puluh) IKTI (Ikon Kuliner Tradisional Indonesia), Diplomasi Soto (76) dan 5 (lima) Kuliner Indonesia. Ketiganya dijadikan Ikon Makanan Negara Indonesia ke panggung dunia.

Usia ketiganya pun hanya sebatas pejabat bersangkutan dan setelah itu hilang dari peredaran publik. Tidak bertahan lama seperti Ikon Makanan Negara signature dish Tom Yam (Thailand), Kimchi (Kores Selatan), Pho (Vietnam) dan Nasi Lemak (Malaysia).

Selain itu selama ini makanan yang kerap ditampilkan negeri ini selalu berkisar yang itu-itu saja. Sepertinya nama-nama makanan itu terkesan selalu bersaing dengan simbol-simbol kebudayaan tertentu dan mendominasi.

Pengalaman memperlihatkan, penyebutan makanan dengan nama makanan tertentu menjadi andalan promosi di semua lokasi destinasi wisata Indonesia, selalunya dibingkai sebagai "local dan original" kuliner negeri ini.

Padahal nama-nama makanan itu belum tentu bisa diterima di daerah lain sebagai produk keaslian seni masakan mereka, meskipun ada di daerah tersebut, tetapi dianggap sebagai makanan pendatang yang bukan menjadi andalan.

Contohnya gado-gado, nasi goreng, nasi liwet, nasi kuning, gudeg, soto, sate, rawon, rendang, lumpia, bakso, tahu telur, asinan, serabi, klapentaart, bir pletok, es dawet dan sebagainya, termasuk makanan ritual nasi tumpeng.

Seni dapur (resepi) makanan lain banyak yang tidak pernah diangkat, seperti arsik, terites, kuta-kuta, cimpang tuang, lomok-lomok, na tinombur, dali ni horbo, pakasam, palubasa, mie gomak, gulai banak, gulai paku, gajebo, brenebon, hucap, gohu ikan, cabuk rambak, lentog tanjung, barongko, pallu butung, galamai, samba lingkung, kagape, sinonggi, madumongso, kasuran, keciput dan lain sebagainya.

Bagi suku dan sub-suku, seni dapur (resepi) makanan mereka adalah soal kebanggaan dan harga diri yang menyembunyikan arogansi fenomenal yang sangat kental kepribadiannya bagi mereka, apalagi pengakuan sebagai suatu bangsa.

Mesti disadari, tampilan seni dapur dan makanan satu pihak, akan membawa dorongan dan hasrat kepada pihak lain minta ikut di dalam tampilan tersebut, apalagi kalau sering dan kerap tampilan seni dapur dan makanannya itu-itu saja dari satu pihak.

Sebenarnya bukan karena ada yang diistimewakan atau kurang diperhatikan. Ini adalah soal kurang mendalami dan terbatas menyadari begitu banyaknya kekayaan seni dapur (resepi) makanan yang ada di negeri ini.

Namun terlepas dari soal dibalik cerita Ikon Makanan Negara Indonesia, perlu di apresiasi upaya yang dilakukan pihak-pihak tertentu yang telah merumuskan ketiganya. Ke depan Pemerintah Indonesia perlu lebih fleksible dalam merumuskan soal Ikon Makanan Negara ini.

Salah satu patokan yang bisa digunakan adalah dengan mulai membuka kesempatan dan memberi peluang kepada daerah menentukan ikon-ikon makanan (boga) mereka sendiri ke panggung dunia yang nota bene bisa menjadi cikal bakal dan tolak ukur (benchmark) signature dish maupun perjamuan makan GastroDiplomasi Indonesia.

Perlu diingat sejak dua tahun terakhir, dunia sudah tidak lagi bicara mengenai Ikon Makanan Negara. Para gastronom barat yang berkecimpung di dunia gastronomi wisata dan gastronomi diplomasi sudah meletakan dasar bagi lahirnya Ikon Makanan Kota. Artinya setiap penduduk kota-kota di dunia mulai menentukan sendiri apa yang menjadi Ikon Makanan Kota mereka untuk diangkat dan dipromosikan ke dalam format promosi gastronomi wisata dan gastronomi diplomasi.

Pada bulan Desember 2020, sebuah bisnis media dan hiburan global bernama Time Out, mereleased The world's most iconic dishes according to city locals (Hidangan paling ikonik di dunia menurut penduduk kota). Ada 46 Ikon Makanan Kota dijadikan menu dunia untuk tahun 2020, antara lain Singapore (Chicken Rice), Tokyo (Ramen), Osaka (Takoyaki), Seoul (Korean Barbecue) Kuala Lumpur (Nasi Lemak), Hong Kong (Dim Sum), Mumbai (Vada Pav).

Seyogyanya Indonesia melakukan hal serupa, dimana atau jika ada setengah persen saja dari 554 kota-kota yang di negeri ini, maka paling sedikit bisa ada 3 (tiga) Ikon Makanan Kota Indonesia naik ke panggung dunia. Metoda dan cara ini bisa menutup cerita beragam dibalik kisah soal 30 (tiga puluh) IKTI (Ikon Kuliner Tradisional Indonesia), Diplomasi Soto (76) dan 5 (lima) Kuliner Indonesia.

Sekali lagi perlu disadari bangsa Indonesia punya catatan sumbangsihnya kepada dunia terhadap kekayaan seni masakan manca negara seperti yang dijelaskan di atas.


8. Gastronomi Wisata
Disebut juga dengan kata GastroTourism yang sebenarnya merupakan salah satu tool instrumen dari aplikasi Gastronomi.

 

Sama dengan mengartikan gastronomi dan kuliner, saat ini masyarakat pun belum memahami apa arti Gastronomi Wisata itu sendiri.


Mengingat Gastronomi adalah konsumen, maka Gastronomi tidak masuk dalam ranah Ekonomi Kreatif, karena EKRAF adalah inkubator yang melahirkan produsen (seperti designer, penyanyi, penari, pemasak, design grafis dan sebagainya).

Sebagai konsumen, Gastronomi masuk dalam ranah Kebudayaan dan Pariwisata. Dalam format pariwisata, Gastronomi disebut sebagai GastroTourism (gastronomi wisata), sedangkan dalam format kebudayaan disebut sebagai GastroArts (gastronomi budaya) yang area budaya makanannya terkait kepada GastroCulinary (gastronomi kuliner) dan GastroDiplomacy (gastronomy diplomacy).

Penekanan dari Gastronomi adalah kepada kearifan lokal masyarakat setempat yang aktifitasnya sering dikaitkan dengan budaya lainnya seperti busana, musik, tarian dan lain sebagainya.

Dalam format pariwisata, pelaku GastroTourism punya motivasi melakukan perjalanan karena ingin mempelajari tentang makanan yang belum pernah mereka nikmati sebelumnya.

Makanan memainkan peran penting dalam mempengaruhi pengalaman wisatawan dan niat untuk mengunjungi kembali karena wisatawan tidak hanya ingin "melihat dan mendengar", tetapi juga hendak "mencicipi rasa" makanan di tempat yang mereka kunjungi.

Seperti diketahui banyak definisi mengenai pariwisata, tetapi kalau diperas menjadi suatu kalimat sederhana, maka pariwisata adalah unforgettable experience (pengalaman tak terlupakan) yang dianggap unique dan memorable yang selalu terkenang karena ada unsur novel maupun authentic.

Perlu diingat, pada hakekatnya bisnis pariwisata adalah menjual pengalaman, karena pengalaman yang tersimpan di memori wisatawan akan dibawa pulang dan diceritakan kepada orang lain. Kenangan itu berkembang suatu saat untuk keinginan berkunjung kembali dengan membawa serta keluarga dan handai tolannya.

Dalam  mengekspresikan hubungan antara makanan atau gastronomi dengan pariwisata, banyak frasa digunakan, seperti "wisata kuliner", “wisata makanan” dan "wisata gastronomi" (Ignatov and Smith, 2006).

Frasa "wisata gastronomi" pertama kali digunakan oleh Dr. Long pada tahun 1998 yang mengatakan :

"Wisata gastronomi adalah tentang makanan; yang mengeksplorasi dan menemukan budaya dan sejarah melalui makanan dan kegiatan terkait makanan dalam menciptakan pengalaman yang tak terlupakan ”(Long, 2005).

Semenjak pernyataan Dr. Long, frasa wisata gastronomi (GastroTourism) banyak digunakan berbagai negara di dunia dalam mengekspresikan pariwisata mereka, karena ada elemen pengetahuan (pembelajaran) yang didapatkan wisatawan yang dibawa pulang untuk dikembangkan.

Di dunia Barat GastroTourism adalah format pemasaran wisata yang cukup laris dan banyak diminati. Adalah negara-negara seperti Amerika Serikat, Perancis, Jerman, Swiss, Italia, Russia, Spanyol, Belanda, Thailand, Malaysia dan Vietnam kerap memakai frasa GastroTourism dalam produk pemasaran pariwisata mereka.

9. Wisata Kuliner Dan Wisata Gastronomi
Seperti dikatakan frasa wisata gastronomi (GastroTourism) baru dikenal masyarakat tahun 1998 dan peranannya dalam dunia pariwisata pun masih muda usianya.

Kita kerap mendengar slogan mengenai wisata gastronomi, tetapi praktik penggunaannya agak kurang tepat dan lebih condong menyamakan dengan wisata kuliner. Wisata kuliner  berbeda dengan wisata gastronomi.

Di bawah ini akan dijelaskan perbedaan antara wisata gastronomi dan wisata kuliner, yakni :
i. Wisata Gastronomi didorong motivasi untuk  mengenal dan mempelajari sejarah dan budaya makanan setempat, termasuk mengenai kisah atau cerita kearifan lokalnya, selain melihat objek wisata alam yang bersifat alami dan objek wisata yang dibuat oleh manusia.

ii. Wisata Kuliner didorong sebatas mencari dan menikmati makanan saja tanpa perlu mengenal dan mempelajari sejarah, budaya, cerita atau kisahnya. Bagi wisatawan obyek wisata alam, obyek wisata buatan manusia, bukan opsi utama dari kunjungan mereka. Kerap pula non wisatawan melakukan wisata kuliner (kunjungan bisnis dan lain sebagainya) .

Contoh wisata kuliner adalah kota Bandung yang diketahui dulu Pemdanya jarang mempromosikan kota kembang itu sebagai destinasi wisatawan, namun setiap tahunnya jumlah wisatawan yang datang meningkat.

Kota Bandung dikenal dengan aneka ragam makanannya dan kebanyakan pelawat datang untuk melakukan wisata kuliner, karena obyek wisata alamnya bisa dibilang tidak banyak. Obyek wisata Bandung ada disekitar kabupaten Bandung.

10.  Keunggulan Gastronomi Dalam Pariwisata Indonesia
Mengenai keunggulan gastronomi dalam pariwisata Indonesia, belum banyak dikaji dan dipraktekan secara mendalam, walaupun potensinya cukup tinggi.

Sedangkan keunggulan kuliner dalam pariwisata sudah cukup teruji, bahkan kuliner tanpa komponen wisata sudah menjadi mesin cetak uang tersendiri yang cukup signifikan bagi pendapatan kebanyakan masyarakat setempat. Kontribusi dunia makanan cukup besar sumbangannya terhadap PDB dan menjadi penyedia lapangan kerja yang cukup besar.

Meskipun kuliner dan gastronomi merupakan saudara kembar, karena sama-sama terlibat dalam urusan makanan, bisa dikatakan penerapan gastronomi dalam mesin pariwisata belum semarak seperti kuliner.  Salah satu penyebab karena banyak yang belum mengerti dan memahami cara menerapkan wisata gastronomi ke dalam konsep kepariwisataan. Sering diucapkan tapi beda teknis penerapannya.

Handicapnya karena belum ada suatu kebijakan (policy) mengenai makanan di negeri ini. Selama saya menggeluti dunia gastronomi, belum terlihat ada koridor kebijakan makanan lokal di negeri ini. Kebijakan pangan sudah kita miliki, tetapi yang satu itu, belum sama sekali.

Wajar, kalau dunia makanan belum menjadi perhatian utama Pemerintah, karena kebijakan mengenainya tidak ada dalam strategi program kerja mereka, meskipun bicaranya kerap lantang mengenainya. Saya harapkan kedepan semua pihak terkait mulai mengkaji Local Food Policy Indonesia, sehingga negeri ini punya patokan dalam menghadapi dunia makanan lokal Indonesia.

Local Food Policy dalam arti setiap daerah di Indonesia punya kebijakan makanannya masing-masing sebagai "local, native, indigenous dan authentic kuliner dan gastronomi.

Paling tidak, adanya Local Food Policy ini bisa memberi warna terhadap rencana 5 (lima) destinasi pariwisata super prioritas, yakni Borobudur, Danau Toba, Likupang, Mandalika dan Labuan Bajo. Alangkah bagusnya, terhadap 5 (lima) destinasi pariwisata super prioritas itu, Pemerintah punya program kebijakan makanan lokal, yang akan ditampilkan sebagai alat promosi dan pemasaran ke para calon wisatawan.

Selama ini makanan yang kerap ditampilkan dalam paket promosi pariwisata selalu berkisar yang itu-itu saja. Sepertinya nama-nama makanan itu terkesan selalu bersaing dengan simbol-simbol kebudayaan tertentu dan mendominasi.

Padahal Indonesia sebagai sebuah negara, memiliki kekayaan boga yang sangat banyak dimana sampai sekarang belum terdata dengan baik. Boga Indonesia seperti harta terpendam yang tidak diketahui berapa banyak jumlahnya.

Terlepas dari penjumlahan makanan (boga) yang belum ada data statistiknya, yang menjadi ukuran pembicaraan kita sampai hari ini, siapa yang pegang kendali terhadap boga di negeri ini? Atau siapa yang lebih memahami dan mengetahui dimana harta kekayaan terpendam itu ?

 

Jawabannya hanya masyarakat setempat dan Pemerintah Daerah yang punya otoritas dan kepemilikan terhadap boga tersebut.

 

Bukan Negara (Pemerintah Pusat) tetapi masyarakat setempat dan Pemerintah Daerah yang lebih paham dan mengetahui mengenai harta kekayaan terpendam itu. Baik mengenai nama, resep, sejarah, budaya, cerita dan kisahnya.

 

Segala aset kekayaan boga, pelaku boga (konsumen dan produsen) maupun penyelenggaraannya ada di daerah; yang dikelola langsung oleh masyarakat lokal, badan dan dinas di daerah terkait. Apalagi di era desentralisasi, kuasa itu semakin kuat.


Tetapi mengapa wewenang itu kurang dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat setempat dan Pemerintah Daerah, terutama di pentas dunia, meskipun mereka paham betul soal itu.

 

Hendaknya semasa menghadapi pandemi Covid-19, disarankan langkah promosi dan pemasaran pariwisata Indonesia hendaknya jangan tersesat di lautan kesamaan (sea of similarity), khususnya dalam penampilan kulinernya, sehingga kurang memiliki daya tarik bagi pelancong.


Perlu diketahui, wisatawan barat di masa sekarang mengharapkan semua makanan di destinasi tertentu adalah "local, native, indigenous dan authentic" yang berbeda dan jarang memiliki kesamaan dengan lokasi destinasi lainnya, termasuk kemiripan dengan negara-negara tetangga.

11. Kekuatan Gastronomi Dan Kuliner
Kuliner dan gastronomi tidak bisa jalan sendiri, mesti ada pengikatnya (atau pairingnya) untuk bisa dilihat dan didengar dunia. Selama ini, kuliner dan gastronomi di Indonesia, jalan sendiri dan terpisah satu sama lain.

Akibatnya, kuliner dan gastronomi tidak berkembang dan tidak melebar kancah gerakannya dan hanya merupakan bagian pelengkap dari bagian lain, termasuk terhadap pariwisata dan kepariwisataan. Dunia kuliner atau gastronomi Indonesia, seperti hidup dalam dunianya sendiri. Menjadi suatu eksklusifitas bagi dirinya masing-masing.

Sudah saatnya, kuliner dan gastronomi di Indonesia, berdiri sejajar dengan bidang lainnya dengan cara mengangkat dan mempertajam dirinya yang itu bisa diterjemahkan ke dalam Local Food Policy

Jika kuliner dan gastronomi berdiri sejajar dan saling melengkapi dengan yang lainnya, maka akan menjadi kenyataan dari apa yang diucapkan dan diinginkan negeri ini, bahwa kuliner dan gastronomi akan menjadi masterpiece keekonomian dan pemasukan devisa Bangsa Indonesia.

Bagaimanapun, wisatawan ingin mengetahui, pengetahuan dan pengalaman kuliner dan gastronomi apa yang mereka bisa dapatkan dari perjalanan nantinya. Pola strategi ini sudah banyak dilakukan negara-negara barat.

Kalau Indonesia punya strategi ini, maka negeri kita akan menjadi yang pertama di Asia lakukan itu, walaupun Thailand, Malaysia, Singapura dan Vietnam sudah melakukan, tetapi sifatnya masih sebatas atraksi kuliner, yang belum banyak bobot gastronominya.

Demikian disampaikan sepintas mengenai topik ini. Mohon maaf jika ada kekurangan dalam penyampaiannya.

Semoga bermanfaat
Tabek

Jakarta, 22 Desember 2020
Betha Ketaren (Indra)