".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Friday 1 March 2019

Political Will Diplomasi Makanan

Political Will sudah terucapkan

Bapak Presiden pada Rapat Terbatas (Ratas) tanggal 27 September 2016 & tanggal 3 Februari 2017 bicara mengenai Kekuatan Citra Indonesia (branding power) dengan memberikan arahan & keputusan politik mengenai 4 (empat) pilar diplomasi, yakni Diplomasi Kebudayaan, Diplomasi Olah Raga, Diplomasi Film & Diplomasi Makanan.

Bisa dikatakan political will ini yang kedua diucapkan langsung dua Presiden Indonesia  mengenai makanan sejak negeri ini merdeka.

Yang pertama, tahun 1960 oleh Presiden Soekarno yang kemudian terwujud dengan terbitnya buku Mustika Rasa pada tahun 1967.

Buku itu menjadi bukti prestasi tertinggi dalam pengumpulan resep-resep legendaris masakan Nusantara.

Ide pembuatan buku Mustika Rasa digulirkan tahun 1960 di masa Orde Lama dan disajikan resmi sebagai buku tebal di masa Orde Baru.

Disini bisa dikatakan dimulai sejarah Negara dimana dua Presiden terlibat langsung dalam urusan diplomasi makanan Nusantara.

Dua penguasa boleh "berseteru" tetapi urusan makanan membuat Soekarno dan Soeharto bisa "akur".

Yang kedua, tahun 2016, mengenai Diplomasi Makanan. Namun dalam aplikasinya, banyak pengambil kebijakan & otoritas yang berwenang, termasuk masyarakat sendiri, belum memahami pesan Bapak Presiden itu.

Mereka mengartikan arahan sebatas resep masak-memasak atau sebatas icip-icip, atau prototype nama makanan, termasuk mengangkat nama-nama chef selebriti, meskipun kita ketahui hilirnya adalah untuk kepentingan pariwisata.

Mereka menyamakan political will Presiden tahun 2016 sama dengan political will Presiden tahun 1960.  

Padahal sejati berbeda ..

Andaikata Bapak Presiden mengartikan sama dengan apa yang diperkirakan mereka, maka tidak perlu repot-repot political will itu diucapkan, karena selama ini begitu banyak diselenggarakan acara festival & penetapan ikon makanan (kuliner) Indonesia oleh Kementerian Negara & Lembaga Pemerintah, termasuk Pemerintah Daerah.

Jika kita perhatikan pesan dibalik arahan Bapak Presiden, sebenarnya beliau bukan mengharapkan bicara sebatas resep masakan, icip-icip, prototype nama makanan maupun nama chef selebriti.

Dari “bahasa tubuh” Bapak Presiden terbaca Diplomasi Makanan lebih luas diartikan dari yang disampaikan di atas, karena ada penekanan Kekuatan Citra  atau branding power.
Dalam arti sebagai identitas nasional, prestise atau image bangsa Indonesia dengan cara menunjukkan personality, visi & misi yang ingin dikomunikasikan kepada publik.
Indonesia Gastronomy Association (IGA) mengartikan arahan Diplomasi Makanan Bapak Presiden sebagai Gastronomi,  yang bicara mengenai Sejarah (history), Budaya (culture) & Cita Rasa (flavor), dengan menempatkan secara eksklusif & spesifik idiosinkratis Branding, Entrepreneurship & Gastro-Diplomasi.
Sudah pasti perspektif Sejarah, Budaya dan Cita Rasa itu punya cerita atau kisah, baik mengenai falsafah & filosofi yang lahir dari kearifan lokal masyarakat setempat.
Vista sejarah dan budaya inilah yang membentuk karakter, jati diri dan identitas suatu masyarakat bernegara, yang kalau dikemas ke dalam bahasa politik merupakan wawasan kebangsaan (nasionalisme).

IGA menterjemahkan arahan Bapak Presiden dengan mengajak Sekretariat Kabinet Republik Indonesia menyelenggarakan Seminar Nasional Gastronomi Indonesia pada tanggal 23 Oktober 2018 yang menekankan kepada 3 (tiga) komponen idiosinkratis tersebut.

Semoga para pengambil kebijakan & otoritas yang berwenang bisa memahami sejatinya pesan dibalik arahan Bapak Presiden, karena Political Will sudah diucapkan, tinggal kita semua menjabarkannya lebih baik untuk visi kekuatan citra bangsa Indonesia ke depan.


Tabek