".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Tuesday 17 September 2019

GastroDiplomasi Sebagai Instrumen Persuasi Kelapa Sawit Indonesia


Industri kelapa sawit, terutama di negara-negara ASEAN, sebagai negara produsen besar, saat ini menghadapi banyak tekanan besar. Industri kelapa sawit dirusak di Eropa dengan banyak lobi dan kampanye yang meminta konsumen untuk berhenti membeli produk dengan minyak makan sawit. Ini menjadi tekanan global sejak tahun 1980 hingga hari ini, tanpa tanda-tanda penyelesaian yang baik.

Bisa dikatakan kampanye negatif industri minyak sawit ini dianggap semata persaingan dari produsen minyak nabati lainnya atau bahkan dari negara-negara maju. Kampanye negatif terhadap industri minyak sawit itu sendiri semakin tidak adil, tidak bertoleransi dan pelanggaran prinsip pasar bebas dan kemandirian konsumen.

Alasan klasik yang beresiko untuk mendukung pertanian monokultural (sawit) agak kurang dapat diterima oleh mayapada bangsa Indonesia (termasuk negara-negara produsen lainnya). Apapun deskripsi narasi artistiknya, termasuk efek jangka panjang memberi pengaruh terhadap habitat dan ekosistem tidak membuktikan fakta yang sebenarnya. Narasi sugestif masyarakat Eropa agar bangsa Asia mendukung resusitasi banyak varietas tanaman dan hewan pun tidak menjadi ukuran melarang penggunaan minyak makan sawit.

Untuk diketahui pertanaman tunggal atau monokultur adalah salah satu cara budidaya di lahan pertanian dengan menanam satu jenis tanaman pada satu areal. Pertanaman padi, jagung, atau gandum sejak dulu bersifat monokultur karena memudahkan perawatan. Dalam setahun, misalnya, satu lahan sawah ditanami hanya padi, tanpa variasi apa pun. Akibatnya hama atau penyakit dapat bersintas dan menyerang tanaman pada periode penanaman berikutnya.

Cara budidaya ini meluas praktiknya sejak paruh kedua abad ke-20 di dunia serta menjadi penciri pertanian intensif dan pertanian industrial di negara-negara dunia, termasuk Indonesia maupun negara-negara Asia. Pertanian pada masa kini biasanya menerapkan monokultur spasial tetapi lahan ditanami oleh tanaman lain untuk musim tanam berikutnya untuk memutus siklus hidup (daur ulang) sekaligus menjaga kesehatan tanah.

Masyarakat Uni Eropa yang mengadopsi Draft Delegated Act (DDA) untuk mengurangi dan pada akhirnya melarang penggunaan biofuel dengan bahan baku kelapa sawit menjadi pukulan berat untuk industri sawit. Kriteria yang dipergunakan dalam DDA yang focus pada periode 2008-2015 telah menempatkan sawit menjadi satu-satunya komoditas minyak nabati sebagai penyebab pengrusakan hutan (deforestasi).

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Rabu, 7 Mei 2019 menyampaikan bahwa Indonesia menjadi satu-satunya negara pemilik hutan hujan tropis yang mendapat apresiasi Internasional atas keberhasilannya menjaga hutan dari deforestasi.

Jika dibandingkan negara-negara pemilik hutan hujan tropis lain di dunia seperti Ghana, Pantai Gading, Papua Nugini, Angola, Suriname, Liberia, dan Kolombia angka laju deforestasi Indonesia jauh lebih rendah, hal ini berdasarkan data presentase perubahan dari tahun 2017 ke tahun 2018.

Narasi yang dikembangkan oleh Uni Eropa dengan mengabaikan nilai ekonomis dan apresiasi atas keberhasilannya menjaga hutan dari deforestasi adalah upaya yang dengan sengaja dilakukan sebagai bentuk kampanye negatif untuk memperlemah industri sawit Indonesia.

Oleh karena itu Indonesia harus mengembangkan narasi yang setara tanpa harus mengikuti genderang yang ditabuh oleh Uni Eropa. Narasi tersebut haruslah narasi yang dapat diterima oleh banyak pihak baik di dalam maupun luar negeri serta berlaku untuk semua jenis sumber minyak nabati. United Nations Sustainable Development Goals yang lebih dikenal dengan UN SDGs adalah platform yang lebih tepat untuk dipergunakan.

Industri sawit memahami bahwa Uni Eropa mengadopsi DDA sebagai kelanjutan dari komitmen mereka terhadap Perjanjian Paris yang lebih menekankan pada pengurangan emisi gas rumah kaca. Sementara pendekatan yang dilakukan Indonesia adalah untuk mendukung pencapaian UN SDG 2030. Meskipun pada dasarnya baik Indonesia maupun Uni Eropa juga mendukung Perjanjian Paris maupun UN SDG’s.

Untuk itu dipandang perlu menyusun platform baru kampanye (persuasi) positif sawit Indonesia melalui narasi Gastro-Diplomacy yang berjalan seiring dengan platform UN SDGs.

Platform narasi Gastro-Diplomacy adalah dengan cara intrusi atau penerobosan langsung melakukan sosialisasi & promosi minyak makan sawit ke pangsa pasar di dunia dan atau di negara-negara pesaing.

Gastro-Diplomacy dapat menjadi inovasi di luar kotak (out of the box) dari instrumen yang selama ini digunakan Indonesia menghadapi black campaign palm oil dari kalangan tertentu di negara-negara Uni Eropa. Metode out of the box dapat menciptakan pemikiran yang tidak biasa dan mengandung inovasi sehingga mereka dapat keluar dari kotak dengan melihat ke dalam lebih baik.

Dengan berpikir di luar kotak, lebih mudah untuk melihat tantangan, melihat solusi yang berbeda dan melihat hal-hal dengan perspektif yang berbeda. Menggunakan metode out of the box memang tidak mudah, dalam arti bisa keluar dari cara konvensional dan melihat semuanya dari perspektif yang berbeda akan mampu menghasilkan inovasi dan solusi yang tepat.

Gastro-Diplomacy adalah bentuk diplomasi positif; yang dengan manfaat dan kemampuannya dapat memberi pemahaman "di luar kotak" bahwa minyak sawit sebagai minyak nabati terbukti tidak berbahaya (karsinogenik).

Indonesia harus mempertimbangkan penggunaan Gastro-Diplomacy sebagai instrument baru dalam menghadapi isyu-isyu kelapa sawit, khususnya di negara-negara dari kompetisi perdagangan tersebut. 


Semoga bermanfaat