".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Monday, 2 March 2015

Pangan : Ketahanan atau Kemandirian

Banyak yang masih belum bisa menarik garis tegas antara Ketahanan Pangan atau Kemandirian Pangan walaupun pesan mereka pada ujungnya ingin agar rakyat di negeri ini berdaulat dalam bidang Pangan. Di bawah ini dicoba untuk memberi penjelasan secara ringkas dan mendalam sehingga kita bisa memahami kemana Kebijaksanaan Pangan di negeri ini seyogyanya dikelola, khususnya oleh otoritas pemangku kebijakan yang menjadi kapten dari perahu bangsa Indonesia.

KETAHANAN PANGAN adalah akses semua orang terhadap pangan pada setiap waktu, tidak memandang di mana (lokasi negara) pangan itu diproduksi dan dengan cara bagaimana. Ketahanan pangan adalah kemampuan untuk menyediakan pangan pada level global, nasional, maupun regional yang menjadikan perdagangan internasional menjadi suatu keniscayaan bagi kepentingan negara-negara maju dan perusahaan - perusahaan multinasional. Ketahanan pangan mempunyai model produksi pertanian industri dengan model perdagangannya liberal dengan organisasi intinya World Trade Organization (WTO) yang bertujuan membangun suatu sistem yang efisien untuk perdagangan pangan internasional dan komponen vital guna menjamin ketahanan pangan dunia. Strategi ketahanan pangan nasional masing-masing negara  diletakkan dalam kerangka perdagangan internasional sebagaimana diatur WTO yang mengawasi banyak persetujuan dan mendefinisikan "aturan perdagangan" di antara anggotanya untuk meniadakan hambatan perdagangan internasional serta bertugas untuk mendaftar maupun memperluasnya.

KEMANDIRIAN PANGAN adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri, terutama diambil dari kearifan lokal para leluhur. Kemandirian Pangan adalah kemampuan produksi pangan dalam negeri yang didukung kelembagaan ketahanan pangan yang mampu menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup ditingkat rumah-tangga, baik dalam jumlah, mutu, keamanan, maupun harga yang terjangkau, yang didukung oleh sumber-sumber pangan yang beragam sesuai dengan keragaman kearifan lokal. Kemandirian pangan tidak harus diartikan secara absolut, yaitu seluruh kebutuhan dipenuhi dari produksi dalam negeri. Dalam batas-batas rasional dan terukur, impor pangan masih bisa diterima, apalagi ketika keadaan diprediksi kritis. Kemandirian pangan juga berarti mengembalikan diversifikasi pangan lokal, baik berasal dari biji-bijian, kacang-kacangan, terutama umbi-umbian; serta mencipta budaya pangan baru berbasis tepung.

KEDAULATAN PANGAN adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan dengan menjamin kondisi terpenuhinya hak atas pangan bagi rakyatnya. Dengan demikian kedaulatan pangan adalah hak tiap masyarakat menetapkan pangan dan sistem pertanian bagi dirinya sendiri tanpa menjadikannya sebagai subjek berbagai kekuatan pasar internasional. Sebuah negara dikatakan memiliki kedaulatan pangan yang baik apabila pangan itu tersedia, baik jumlah maupun mutunya aman dan merata. Rakyat dapat membeli dengan harga terjangkau dan kita tidak harus tergantung secara mutlak kepada sumber-sumber pangan negara lain di pasar internasional. Bentuk kedaulatan pangan adalah agroekologis dengan model proteksionis dan pasar lokal dengan organisasinya melalui campensina. Campesina adalah gerakan petani internasional yang meng-koordinasi organisasi-organisasi petani skala kecil dan menengah, pekerja pertanian, wanita pedesaan, dan masyarakat setempat di Asia, Afrika, Amerika, dan Eropa. Di skala global, Campesina merupakan koalisi lebih dari 100 organisasi di manca negara yang diatur ke dalam delapan daerah dan memiliki anggota di seluruh dunia.

PERBEDAAN ANTARA KEDAULATAN PANGAN DENGAN KETAHANAN PANGAN
Kedaulatan pangan (food sovereignty) merupakan istilah politik; sedangkan ketahanan pangan (food security) adalah istilah kebijakan dan strategi dari kepentingan politik Negara (Pemerintah) mengenai pertanian dan penyediaan pangan. Konsep ketahanan pangan lebih fokus pada ketersediaan, stabilitas, aksesibilitas dan keamanan pangan dengan tanpa memperhatikan lokasi sistem produksinya dan karakteristik budaya lokal. Konsep kedaulatan pangan memperhatikan seluruh mata rantai sistem produksi, distribusi, pengolahan dan konsumsi. Banyak pihak mengkritisi ketahanan pangan sebagai ”kuda troya” kapitalisasi sistem pangan dunia yang memarjinalisasi petani kecil di negara-negara berkembang. Pada 1996 muncul konsep kedaulatan pangan yang semula merupakan kerangka kebijakan dan wacana untuk mengangkat kesejahteraan petani kecil di negara-negara berkembang. Kedaulatan pangan lalu menjadi konsep yang berkembang paling cepat dan diadopsi ribuan organisasi petani di dunia, masyarakat lokal, LSM, lembaga kemasyarakatan, bahkan mulai diadopsi lembaga-lembaga di bawah PBB, termasuk lembaga pangan dunia, FAO.

Sunday, 1 March 2015

Makanan Pokok Bangsa Nusantara Jaman Dulu

Makanan pokok erat kaitanya dengan kejayaan sebuah bangsa, karena dia adalah energi yang menggerakkan individu / rakyat di sebuah wilayah untuk menghasilkan suatu karya. Catatan para leluhur Bangsa kita baru diketahui sebatas kerajaan Kutai Kertanegara bertahun 300 Masehi belum sampai ke tahun sebelum Masehi.

Bila saat ini masyarakat mengkonsumsi beras tiga kali sehari, maka itu adalah murni hasil dogma dan doktrinisasi era Orde Baru. Di era tersebut, aneka makanan pokok selain nasi dari beras dikonotasikan sebagai makanan melarat, makanan penderitaan dan sebagainya.

Nasi yang berasal dari beras padi diduga berasal dari India atau Indocina yang masuk ke Indonesia dibawa oleh nenek moyang yang migrasi dari daratan Asia sekitar 1500 SM. Jika kita melihat sejarah kerajaan besar di Nusantara mulai jaman Kutai Kertanegara, Mataram kuno, Majapahit, Sriwijaya hingga kerajaan Mataram islam di Jogjakarta terdapat berbagai macam artefak dan bukti sejarah yang menunjukkan bahwa tanaman padi sudah sangat lama berkembang di Indonesia. Ada ratusan varietas benih lokal yang berkembang di Indonesia. Teknologi modern persawahan padi diperkenalkan oleh bangsa India sewaktu tenaga kerja mereka membangun candi Borobudur.

Selebihnya yang dikonsumsi rakyat saat itu adalah makanan yang asal muasalnya dari luar yang diperkenalkan di bhumi Nusantara. Seperti ketela pohon, ubi rambat dan jagung dibawa dari Amerika Selatan yang dikenalkan di Nusantara oleh Portugis pada abad ke-16 dari Brazil - ketika itu Brazil jadi ibukota Portugis.

Sedangkan ubi jalar (kereta jalar) - walau ada pendapat yang menyatakan berasal dari Papua - tapi teori yang populer di kalangan ahli tetap berpendapat bahwa asal muasalnya juga dari Amerika Selatan dan pelaku penyebaranya adalah Spanyol.

Lalu apa makanan pokok nenek moyang bangsa bhumi pertiwi ini semenjak dahulu. Jawabannya thiwul-ketela sebagai karbohidrat ditambah susu sapi serta bahan olahan dari susu, dan juga daging sapi sebagai bahan proteinnya.

Thiwul-Ketela merupakan makanan pokok masyarakat Nusantara sebelum ditemukan budidaya beras, jagung, atau gandum. Di era tersebut masyarakat jamaknya mengkonsumi thiwul-ketela sebagai makanan pokok; walaupun sebenarnya makanan pokok suku bangsa di pulau jawa adalah tanaman “jawawut”.

Jawawut merupakan sejenis serealia berbiji kecil sebelum budidaya thiwul dan padi dikenal orang kebanyakan; dan nama pulau Jawa acap dikaitkan dengannya.

Pada tahun 1800-an, kolonial Belanda memaksa penduduk Nusantara untuk menjadikan thiwul-ketela sebagai bahan makanan pokok dan menyerahkan tanaman padi-beras sebagai pajak ke Belanda.

Para leluhur kita sudah bisa swasembada thiwul-ketela dan sapi. Bukti-bukti itu bisa dilihat di relief candi Borobudur. Nenek moyang kita mengkonsumsi thiwul-ketela dan daging sapi sebagai makanan pokok, sedangkan nasi hanya sebagai lauk-pauk makanan pendamping (bukan pokok). Mereka dahulu kala bersusah payah menakluk'an banteng-banteng liar agar menjadi sapi sebagai sumber bahan makanan.

Bukti betapa melimpahnya populasi sapi di masa dulu bisa dilihat dari tulisan yang ditinggalkan prasasti kerajaan Kutai di Kalimantan yang menceritakan kedermawanan Raja Mulawarman menyedekahkan 20.000 ekor sapi untuk kaum Brahmana. Dalam tradisi Hindu di India, daging sapi memang tidak dikonsumsi, tapi dalam tradisi Hindu di Nusantara sepertinya sapi tetap dikonsumsi seperti kasus di Bali, mungkin hanya kasta Brahmana saja yang mengikuti tradisi di India.

Secara hitungan ekonomis pada jaman tersebut, biaya membuat peternakan sapi lebih mudah dan murah dibanding membuka hutan untuk membuat sawah dan ladang. Sapi juga tidak memerlukan saluran irigasi yang rumit. Di era itu, sapi adalah sumber makanan yang murah dan mudah. Kerajaan Kutai sendiri bertahun abad ke-4 masehi berarti sekitar tahun 300-an. Lalu bagaimana dengan populasi sapi di Jawa? Kurang lebih sama dengan di kerajaan Kutai-Kalimantan. Populasi sapi hancur ketika Jawa terlibat perang besar berlandaskan ideologi agama abad ke 17M.

Perang Aliansi kerajaan Islam vs Aliansi Kerajaan Hindu itu menghancurkan hampir semua sendi kehidupan di Jawa. Karena itu adalah perang pertama di Jawa yang memakai artileri mesiu. Demak pada masa itu mampu dan terkenal sebagai produsen aneka macam senjata berbahan mesiu, meriam dan bedil. Ditambah dengan bantuan amunisi, finansial dan kavaleri Gajah dari kerajaan Mughal di India.

Walhasil, sapi juga turut menjadi korban, bahkan mungkin yang terparah, selain terbunuh, juga sengaja dibunuh sebagai harta rampasan perang dan konsumsi prajurit. Karena pihak yang menang adalah masyarakat pesisir yang tidak faham peternakan sapi.

Sejak itulah budaya budidaya sapi dan bahan olahan sapi musnah dari peradaban Nusantara. Masyarakat pun kemudian hanya mengenal beras, jagung, ubi rambat , dan aneka makanan lain yang dijejalkan kolonial Belanda dan bukan makanan para leluhur kita. Thiwul pernah digunakan untuk makanan pokok sebagian penduduk Indonesia pada masa penjajahan Jepang.

Thiwul bisa diangkat kembali sebagai makanan pokok pengganti nasi beras. Thiwul yang dibuat dari gaplek, adalah makanan tradisional yang dikonsumsi oleh masyarakat Nusantara sejak dahulu yang bahannya dibuat dari singkong, thelo, pohong, ketela pohon (manihot utilisima). Dengan perkembangan pola fikir dan tehnologi yang dimiliki Bangsa ini, thiwul dapat dibuat dalam bentuk instan, supaya dalam penyajian lebih cepat dan praktis. Sebagai makanan pokok, thiwul kandungan kalorinya lebih rendah daripada beras namun cukup memenuhi sebagai bahan makanan pengganti beras.

Dari apa yang diungkapkan di atas bisa dikatakan "Kasepuhan nenek moyang Nusantara ini sengaja dikubur disembunyikan oleh pemenang sejarah dunia karena dahulu kala para leluhur Bangsa kita merupakan 'perintis peradaban dunia' dari mulai budaya pertanian, budaya peternakan, budaya kemaritiman, budaya peperangan, budaya kebathinan atau apapun saja"