".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Friday, 31 July 2015

Tradisi Megibung


Tradisi "Megibung" di Desa Ulakan Kabupaten Karangasem Bali masih dilakukan. Satu kelompok "gibungan" biasanya terdiri dari 5-6 orang yang dipisah antara pria dan wanita. 

Tradisi ini dilakukan saat pagi hari terutama saat upacara "yadnya" baik "upacara manusa yadnya" maupun "dewa yadnya". Makanan yang nantinya diolah, tidak hanya untuk keperluan manusianya, tapi juga untuk persembahan kepada Sang Pencipta. 

Persiapan ini dimulai saat subuh sekitar jam 3 pagi dimana para pria wajib "ngayah" atau "tedun" dengan membawa golok untuk memasak makanan berupa lawar kelapa, lawar belimbing, jukut ares, timbungan, sate pusut, sate pontang, urutan serta sate oles. Beberapa olahan makanan yang dibuat juga berbahan daging ayam, yang diistilahkan "tan keni". 

Sedangkan yang wanita saat pagi hari membawakan "patus" atau kewajiban berupa 2 kg nasi. Ketika saatnya tiba, sekitar pukul 7 pagi, para wanita diutamakan untuk makan terlebih dahulu, baru kemudian disusul oleh pihak laki laki. 

Setiap satu atau dua "gibungan" dilayani oleh seorang "saye" yang bertugas menambah nasi maupun lauk sampai acara megibung berakhir. Sebelum acara "megibung" berakhir, mereka tidak boleh meninggalkan tempat untuk menghormati mereka yang masih belum selesai bersantap. Ketika "megibung" urutan makanan yang nantinya "digibung" pun diatur dari yang paling biasa sampai yang paling enak. 

Biasanya diawali dengan lawar dan berakhir dengan sate pusut atau pun urutan. Saat megibung biasanya juga disuguhkan "tuak" yang dipercaya dapat menetralisir lemak, selain air putih berwadah "caratan" dari tanah liat. 

Porsi makanan pun selalu dibuat lebih, biasanya tamu yang datang saat upacara tersebut mendapatkan balasan atau "wales" berupa sate dan nasi untuk dibawa pulang sebagai bentuk penghormatan atas kehadirannya. Selain itu, juga dilakukan "ngejot" atau mengirim makanan kepada pihak pihak yang telah membantu dalam membuat "gibungan" tersebut.


Thursday, 30 July 2015

".. est fabulam post pacem simultatem.."


Acara makan bersama - itu judulnya - yang bisa bikin hati ceria. Sebetulnya hanya menu sederhana. Nasi liwet yang masaknya langsung dicampur dengan ikan teri dan jengkol dimakan dengan sambal terasi dan lalapan daun singkong plus kerupuk kulit. Penyajiannya pun hanya di atas selembar daun pisang. Cara makannya bareng-bareng pula.

Ini sebenarnya sebuah aktivitas rutin manusia dalam kehidupan makan sehari-hari. Tak ada yang aneh. Tapi karena merupakan rutinitas sehari-hari, kegiatan makan seperti itu sering terlupakan. Padahal dalam momen tertentu bisa sangat bermakna.

Acara makan bersama, misalnya, berawal dari sebuah ide dadakan. Tanpa disadari ide itu menghadirkan sebuah kebersamaan yang situasi itu bisa memperkecil kesenjangan dan perbedaan yang semua itu seringkali menimbulkan perpecahan. Perpecahan antar perorangan, antar kelompok atau antar golongan atau bahkan antar masyarakat yang sering terjadi di negeri ini.

Kebersamaan itu penting, karena melalui kebersamaan ada hal-hal yang lebih besar bisa diciptakan. Apa itu ? "Kedamaian" .. situasi yang didambakan oleh setiap orang. Halaah .. acara makan nasi liwet dengan lalapan dan teri-jengkol kok larinya ke kedamaian segala. Jauh amat. Dibilang hubungan mereka jauh, nggak juga. Ibaratnya bertetangga, masih satu RW.

Bisa bercerita seperti itu, karena acara makan bareng benar-benar memberi suasana kebersamaan. Dari momen itu, kita suka lupa bahwa “anggota” yang duduk bersebelahan terdiri dari berbagai suku dengan status sosial berbeda. Tidak ada yang pernah menyinggung latar belakang masing-masing. Padahal ada segelintir Profesor, ada beberapa Doktor, Politisi, Aktifis dengan tak terhitung Sarjana strata 1. Ada juga pegawai negeri, staf kantor sampai tukang parkir, pemilik warung kopi, satpam, penjual serabi serta penjaga tempat kos. Sementara latar belakang suku mereka ada yang orang Karo, orang Aceh, orang Sunda, orang Jawa, orang Padang apalagi orang Bali.

Latar belakang seperti itu yang biasanya menimbulkan pengkotakan-kotakan dalam masyarakat jadi sirna seketika.

'Modernisasi' berhasil menjauhkan megibung, ngariung, ngamayor - tradisi kerukunan nusantara dari masyarakatnya.

Aroma daun pisang, celotehan bahkan berbagi lauk ketika terhampar - memberi nutrisi bathin dan menyempurnakan nutrisi makanan yang terhidang.

Saat itu yang ada hanya satu perasaan dan pikiran. Semua yang duduk hanya ingin merasakan nikmatnya makanan dengan kebahagiaan bersama. Artinya, cinta bisa semakin tumbuh atau semakin berkembang karena hidangan yang disajikan bermakna “bumbu” kasih sayang.

Untuk itu bisa dikatakan ".. di balik kebersamaan ada cerita kedamaian .." (".. est fabulam post pacem simultatem..")


Andaliman


Ingat permen pop rock? Kembang gula mirip bulir-bulir beras yang kondang di kalangan anak sekolah dasar itu menciptakan sensasi hebat. Ketika dikunyah, lidah terasa bergetar. Sensasi serupa, meski sebetulnya daya getarnya tergolong ringan, muncul saat mencocol sambal yang diberi buah andaliman (Zanthoxylum acanthopodium) yang tumbuh terbatas di Desa Lumbanrau, Kecamatan Habinsaran, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara.

Bergetar? Ya, penduduk setempat menyebut demikian. Sesungguhnya sensasi yang muncul adalah rasa getir dan pedas. Kombinasi rasa itu mendorong kelenjar saliva memproduksi liur melimpah meskipun tak sampai menetes. Kalau sambal diberi lebih banyak andaliman, efek getarnya lebih kuat sampai lidah terasa kelu. Efek getar itu sesungguhnya upaya menahan rasa pedas dari tanaman berbau mint itu.

Sensasi rasa itu yang membuat masyarakat Batak sejak lama menyukai andaliman. Hampir semua masakan batak seperti arsik (ikan mas bumbu kuning) dan sangsang pasti memakai andaliman sebagai bumbu sambal. Andaliman memang memberi citarasa pedas. Pedasnya membuat lidah baal atau kelu.

Sejatinya buah andaliman yang sosoknya mirip lada atau merica: bulat kecil hijau dan saat tua kehitaman, merupakan rempah. Aromanya seperti jamu. Untuk menghilangkan bau jamu itu masyarakat Batak biasa menambahkan asam sundai (sejenis jeruk lemon yang rasanya sangat masam) yang akan membuat aroma lemon lebih mendominasi.

Efek rasa andaliman akan lebih nikmat ketika dimasak dengan darah yang dibekukan dengan jeruk asam.

Buku Prosea (Plant Resource of South East Asia: Spices) menyebutkan daun dan buah zanthoxylum dipakai sebagai pemberi rasa masakan. Namun tentang spesies acanthopodium tidak ada keterangan. Demikian pula dalam buku K. Heyne (Tanaman Berguna Indonesia). Di sana tidak ada secuil informasi soal andaliman. Yang paling mendekati anggota keluarga Rutaceae itu kerabatnya Polycias anisum. Ia disebutkan sebagai pohon kecil sebesar pohon delima yang tumbuhan itu liar dan terbatas yang penyebarannya di Danau Toba dan sekitarnya. Buahnya memiliki bau khas seperti adas, tetapi rasa itu cepat hilang.

Titik terang muncul saat pelacakan lewat jurnal-jurnal farmasi. Tumbuhan yang hidup subur di atas 1.200 m dpl itu mempunyai sifat antibakteri (Salmonella typhy, Shigella dysentriae, dan Escherichia coli). Sumbernya senyawa polifenolat, monoterpen dan seskuiterpen, serta kuinon. Selain itu dalam andaliman terdapat kandungan minyak asiri seperti geraniol, linalool, cineol, dan citronellal. Yang terakhir, yakni citronellal, menimbulkan kombinasi bau mint dan lemon.

Sesungguhnya andaliman lebih terkenal di Asia seperti di China, Jepang, Korea, dan India. Sebutan kerennya (szechuan pepper). Prosea menyebutkan andaliman sebagai tumbuhan asli China. Di negeri Tirai Bambu itu andaliman dicampur untuk makanan mapo-berkuah. Masyarakat Sin Jiang muslim menggerus andaliman dengan lada, ketumbar, dan garam-semuanya disangrai-lalu dijadikan cocolan daging panggang.

Di Jepang dan Korea andaliman dijadikan hiasan atau dipakai menambah rasa pedas pada sup dan mi. Masyarakat Gujarat, Goa, dan Maharashtra di India selalu menyelipkan andaliman sebagai bumbu ikan. Karena banyak yang menyukainya, andaliman tak hanya dijajakan di pasar tradisional seperti Pasar Senen di Jakarta Pusat, tapi ia sudah menembus negeri Amerika Serikat.

Andaliman hanya satu dari beberapa bumbu istimewa di tanahair. Masyarakat Dayak Kenyah Oma Longh Desa Setulang di Kalimantan Timur, misalnya, memanfaatkan daun tanaman (Pycnarrhena) yang berbentuk oval untuk penyedap rasa. Lantaran rasanya gurih tanaman merambat itu disebut bekey. Daunnya ditumbuk lalu dimasukkan dalam sup ikan.

Pemanfaatan serupa dilakukan masyarakat Desa Saripoi, Kabupaten Murungraya, Kalimantan Tengah. Hampir seluruh masyarakat Kalimantan memanfaatkan genus Pycnarrhena. Oleh sebab itu pycnarrhena itu menjadi tanaman wajib ditanam di halaman samping rumah yang jumlahnya tidak banyak, biasanya hanya 2-3 tanaman.

Selain bekey, penyedap rasa lain yang dipakai masyarakat Dayak Benuaq, Kutai Barat, Kalimantan Timur, adalah kayu bawang (Scorodocarpus borneensis). Beralasan lapisan dalam kulit kayu mengeluarkan aroma seperti bawang merah. Sayang, nasib kayu bawang tak sebagus bekey. Di Kecamatan Kenohan pohon itu banyak ditebangi untuk diambil kayu dan kulitnya. Andaliman, bekey, dan kayu bawang memang menjadi bumbu penyedap masakan. Mereka perlu dieksplorasi lagi agar manfaat lain bisa terungkap. 

Tulisan ini diambil dari artikel Lastioro Anmi Tambunan

Friday, 24 July 2015

Handicap Promosi & Penanganan Proyek Kuliner Indonesia


Kita sudah sering mendengar lontaran publik tentang upaya apa yang dapat dilakukan untuk promosi kuliner Indonesia. Mengapa pemerintah hanya sibuk menerima proses perijinan dibukanya restauran asing di Indonesia? Bagaimana dengan restauran Indonesia di luar negeri? Apa upaya Pemerintah dalam memotivasi agar restauran Indonesia dapat banyak didirikan di luar negeri ? Contoh dibukanya restauran2 luar negeri di Indonesia sudah memberikan keinginan kepada masyarakat Indonesia untuk berlibur ke negara-negara tersebut. Ini adalah langkah promosi yang berdampak lebih dahsyat daripada iklan TV, koran, atau billboard.

Tetapi apapun situasi yang terjadi, saya melihat kunci suksesnya kuliner Indonesia (di dalam negeri maupun di luar negeri) adalah marketing seperti yang dilakukan perusahaan swasta McD, Subway, Domino Pizza atau negara Thailand. Saat ini untuk kuliner Indonesia sepertinya belum ada perusahaan swasta yang berani melakukan terobosan seperti McD atau Subway jadi masalahnya kembali ke Pemerintah lagi yang artinya Pemerintah harus punya dasar hukum yakni UU tentang Makanan sebagai fondasi memasarkan kuliner Indonesia seperti yang dilakukan Pemerintah Thailand yang setiap tahun untuk promosinya (di dalam dan luar negeri) saja punya budget USD 180 juta yang bisa terlihat dari jumlah restoran mereka di luar negeri yang puluhan di tahun 2002 telah berkembang biak hampir mendekati 18ribuan di tahun 2013.

Namun mengingat suasana anggaran Negara di Kabinet Kerja Pemerintah sekarang, kita juga tidak bisa mendorong kuat posisi pembiayaan itu menyamai Pemerintah Thailand, apalagi jika UU tentang Makanan belum dimiliki Pemerintah sebagai dasar fondasi hukumnya. Jika UU itu ada dan andaikata ada, isyu kedua adalah pembiayaannya bagaimana ? Apa model dengan pinjaman dari luar negeri (G to G) melalui APBN ? Pemerintah harus punya alokasi biaya untuk bergerak seperti yang dilakukan Pemerintah Thailand. Caranya walaupun UU tentang Makanan itu belum bisa dibuat, adalah dengan meminta kepada DPR untuk mengalokasi pos anggaran sebagai dana jaminan (dan bukan untuk digunakan operasional).

Maksudnya dengan anggaran itu Pemerintah jadikan dana tersebut hanya sebagai jaminan (kolateral) kepada Bank-Bank BUMN di dalam negeri yang memberikan biaya kredit bagi pengembangan bisnis kuliner di Indonesia dan dan diluar negeri. Biasanya dana jaminan itu hanya 30% yg diperlukan Bank terhadap kredit yang diajukan pihak pengguna. Artinya Bank-Bank BUMN membiaya 70% dimana bunga & pokok pengembaliannya dibayar oleh pengguna (swasta). Apalagi dana 30% jika pandai-pandai di monitizing di pasar uang bisa mendapat kelipatan 3 atau 4 kali dari nilai sebenarnya.

Kredit ini baik antara lain utk buka restoran di dalam negeri dan luar negeri serta utk kepentingan promosinya melalui assignment perusahaan marketing yang baik dan terkenal di dunia internasional. Dengan cara itu Pemerintah bisa menggalakkan kuliner Indonesia di dalam negeri dan di luar negeri. Selain itu, Pemerintah juga assign perusahaan asuransi untuk mengcover losses bila terjadi default payment oleh pengguna (swasta) dengan menunjuk perusahaan asuransi terkenal di dalam negeri yang resikonya dilapisi dengan sistem reasuransi dengan perusahaan asuransi di luar negeri. Terakhir, jika diperlukan, pola pinjaman ini juga dicover penugasannya oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan PT Sarana Multi Infrastruktur  sebagai lapisan kedua dan ketiga setelah perusahaan asuransi. Sudah tentu kepada LPS dan PT Sarana Multi Infrastruktur diberi tugas khusus  dan tambahan di dalam misi dan tugasnya untuk terlibat dalam proyek ini.

Dengan pola pinjaman Bank BUMN melalui dana kolateral Pemerintah, kita akan membuka kebiasaan baru untuk mencari pinjaman dari dalam negeri yang dicover oleh perusahaan asuransi dan LPS serta PT Sarana Multi Infrastruktur dibanding kebiasaan lama melakukan pinjaman dari luar negeri dengan sistem G to G. Pola pinjaman ini juga akan memperkuat tatanan moneter rupiah Indonesia mengingat pinjaman dilakukan di dalam negeri sehingga daya saing nilai kurs rupiah di pasar dunia akan bisa diperkuat, apalagi melihat melimpahnya dana rupiah yang ada.

Satu-satunya tugas ini bisa dilakukan penyelenggaraannya oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf).

Wednesday, 22 July 2015

MENDAFTARKAN HAK CIPTA MASAKAN TRADISIONAL

Topik ini sempat dibahas beberapa waktu lalu mengenai soal asal makanan tradisional pusaka leluhur tidak pernah didaftarkan atau dibuatkan trademark sebagai sebuah produk industri . Berbicara masalah hak cipta tentang pusaka kuliner, saya memang tidak tahu aturan atau regulasi (produk hukum undang-undang dan peraturan Pemerintah) dalam mendaftarkan sebuah masakan khas tradisional suatu daerah atau suku di Nusantara sebagai sebuah produk industri. Timbul berbagai pertanyaan dalam pikiran apa sebenarnya yang perlu kita daftarkan atau lindungi hak ciptanya :

1. Apakah nama sebuah masakan tradisional, atau
2. Apakah bumbu, bahan dan cara memasaknya, atau
3. Apakah merek dagangnya; dan
4. Apakah nilai intangible (makna dibelakang-nya) bisa di daftarkan

Sebagai contoh sebuah masakan pusaka tradisional ranah minang yang sangat populer yaitu Rendang.
Rendang mana yang kita mau daftarkan sebagai sebuah produk industri. Rendang Bukittinggi kah, Rendang Tanah Datar kah, Rendang  50 Kota, Rendang Solok atau Rendang Pariaman atau rendang lain sebagainya. Rendang ini juga banyak variasi, lagak, ragam dan gayanya. Ada yang rendang daging tok, mulai warna hitam yang sangat kental sampai warna kecoklatan, ada yang dicampur (rancah) mulai dari potongan ubi kayu yang rapuh kelapa mudo, nangka sampai kacang-kacangan. Sekali lagi pertanyaan saya rendang yang mana ingin didaftarkan.

Sebagai ilustrasi saya ingat sebuah kesuksesan seseorang diawal tahun 70-an membuat atau menciptakan Es Teler. Intinya Es Teler ini seperti es campur kebanyakan tapi lebih khas dan wajib ada buah atau daging kelapa muda, alpukat dan potongan nangka masak lalu diberi santan dan susu itu yang dia ciptakan. Ketika menu ini laku keras dan banyak ditiru orang, maka si pencipta bukannya mematen Es Telernya tapi mendaftarkan merek dagangnya yang kita kenal dengan ES TELER 77.  Itu artinya jika ada pemalsuan merek dagangnya (Es Teler 77), maka secara hukum tentu akan dituntutnya. Tetapi ketika kompetitornya menjual Es Teler dengan merek bukan Es Teler 77, tentu dia tidak bisa berbuat apa-apa.

Begitu juga saya rasa makanan dan minuman dari luar seperti sebuah ayam goreng yang menglobal, bukan ayam goreng dengan segala bumbu rahasianya itu yang didaftarkan hak ciptanya atau didaftarkan, tapi merek dagangnya. Ketika banyak yang serupa diciptakan orang ayam goreng tersebut bahkan dijual di kaki lima, tentu tidak ada masalah karena dari segi rasa tentu sangat berbeda sekali tapi jika sebuah restoran ayam goreng yang sama memakai namanya yang telah didaftarkan ini, tentu bisa dituntut secara hukum.

Dari hal diatas menurut saya dalam masalah masakan ini hak cipta atau paten tersebut lebih kepada merek dagang, semisal rumah makan bermerek SEDERHANA, maka merek dagang SEDERHANA itu yang didaftarkan, bukan segala jenis makanan yang dijualnya.

Lalu kalau misalnya negara tetangga kita mengklaim rendang tersebut adalah masakan pusaka mereka, bagi saya itu silahkan saja, sebab yang namanya rendang itu banyak sekali. Orang Aceh punya rendang, orang Melayu punya rendang, tapi tunggu dulu dari segi cita rasa yang tinggi orang akan mengakui kalau rendang suku Minangkabau yang paling enak dan lezat, bukan rendang orang Melayu yang dilidah saya rasanya “agak aneh”, lebih kuat rasa rempah-rempahnya dan pedasnya tidak menggigit.

Menurut saya lagi bukan mendaftarkan hak cipta masakan tradisi kita yang penting, ada yang lebih penting lagi yaitu mencoba mendata serta menginventaris semua kuliner pusaka kita mulai dari bumbu, bahan dan rempahnya sampai cara membuatnya. Lalu tradisinya jika masakan ini disangkut pautkan dengan adat dan budaya, apalagi bahan-bahan atau bumbu-bumbu dalam bentuk tumbuh -tumbuhan apalagi yang langka keberadaannya di hutan atau parak-parak dinagari ranah minang perlu didata, dijaga dan dilestarikan keberadaannya, dicatat nama daerah setempat lalu diklasifikasi menurut kaidah-kaidah ilmu botani (botanical name, taksonomi  dan morfologi tumbuhan tersebut dan lain sebagainya) untuk didaftarkan hak ciptanya.

Generasi selanjutnya akan tahu apa yang dikatakan Rendang, Gulai Kepala Ikan ala Piaman, Aneka Pangek, Dendeng Batokok, Rendang Belut serta makanan, jajanan dan minuman khas lainnya yang sekira memang hanya suku Minangkabau yang memiliki. Tugas kitalah mempopulerkan seni kuliner pusaka para lelhur kita kepada suku bangsa di dunia ini.

Masalah masakan adalah masalah seni dan rahasia dapur yang boleh dikatakan sangat sulit untuk ditiru tapi kalau sekedar nama tentu mudah ditiru dan diklaim, tapi masalah rasa belum tentu bahkan agak mustahil. Jika negara tetangga kita mengklaim rendang sebagai pusaka kuliner mereka, namun saya yakin berbicara rendang semua orang akan tahu itu adalah milik suku Minangkabau. Ini adalah masalah cita rasa yang tidak pernah berbohong yang enak akan selalu dibilang enak dan suku lain tahu bahwa salah satu masakan atau pusaka kuliner yang lamak itu dipunyai oleh suku Minangkabau secara de facto telah diakui masyarakat banyak.  Perlu jugakah kita secara de jure mendaftarkannya ?

Taruhlah kita harus daftarkan hak cipta itu seperti dari ketiga butir pertanyaan di atas - umpamanya mendaftarkan masakan rendang - maka akan bisa timbul pertanyaan :
1. Masakan rendang mana yang mau didaftarkan ?
2. Dari daerah mana ?
3. Siapa pemegang lisensinya ?
4. Kalau sudah didaftarkan, siapa saja yang boleh menggunakannya ?
5. Lagi pula apa manfaatnya ? ... dst dst.

Secara umum (sejauh yang saya ketahui), hak patent - hak merek - dan hak-hak lainnya termasuk dalam rezim hak atas kekayaan intelektual biasa disingkat HAKI atau yang benar sesungguhnya disebut HKI (Hak atas Kekayaan Intelektual). HKI adalah hal yang diberikan oleh negara kepada seseorang / beberapa orang dan atau badan hukum atas temuannya untuk tenggang waktu tertentu. Temuan itu bisa dalam bentuk merek - ciptaan - paten dan-lain-lain. Masing-masing ada UU-nya sendiri. Kalau merek itu ada 2 (dua) macam : Barang dan Jasa, ada pengelompokannya, misalnya kelas 1 mencakup / melindungi apa-apa aja. Kalau hak cipta lain lagi, kalau patent juga ada tatacara dan persyaratan sendiri untuk pendaftarannya, dan seterusnya.

Pada garis besarnya secara global internasional, Hak Kekayaan Intelektual / HKI (IPR- Intellectual Property Rights) yang diatur sebagai TRIPS (Trade Related Intellectual Property Rights) dalam Marakesh Final Act WTO - World Trade Organization yang sudah diratifikasi dan masing-masingnya sudah diberlakukan di Indonesia dengan UU di tahun 2000an. Saat ini HKI di indonesia ada 7 (tujuh) atau 8 (delapan) macam yakni tentang : Merek Dagang & Jasa, Paten, Hak Cipta (Copy Rights), Desain Industri (sirkuit tata letak ),  Rahasia Dagang (Trade Secrets ) dan Indikasi Geografis (Geographical Indication / GI).

Terhadap semua jenis HKI tersebut, secara salah kaprah oleh masyarakat umum kita seringkali sampai dengan sekarang dipakai kata "dipatenkan". Padahal, secara yuridis, masing-masing jenis HKI tersebut memberikan hak perlindungan  ekslusif kepada Pemohon / Pemegang / Pemilik-nya dari Negara untuk hal-hal / obyek HKI  yang berlainan sesuai nama khususnya.

Salah satunya, sesuai dengan UU Paten No. 14/2001 (yang sekarang dalam proses revisi), INVENSI di bidang teknologi yang dapat dimohon (pendaftaran) patennya harus memenuhi syarat adanya "novelty (kebaruan), langkah inventif (inventive steps) dan dapat diterapkan dalam industri". Yang bisa dimohonkan Hak Patennya di bidang invensi teknologi-industri antara lain Produk dan/atau Metodenya.

Betul, yang didaftarkan dan mendapat perlindungan (sekali lagi bukan 'dipatenkan' ) adalah Hak Merek Dagang atau Merek Jasa, misalnya bagi Es Teler 77 (a/n Sukiatno) dan McD (a/n Kantor Pusatnya di USA ) adalah jenis-jenis makanan dan minuman yang disajikan dan jasa penyediaan resto makan-minumnya. Sama sekali bukan bahan-bahan,resep masakan apalagi metode masaknya.

Di sisi lain, yang dilindungi oleh Hak Cipta bagi Pemohon Pendaftaran / Pemilik- Pencipta nya dan Ahli Warisnya adalah segala sesuatu hasil tampilan "karya cipta" manusia di bidang musik dan sastra (dan derivatifnya ) yang jenis-jenisnya banyak. Saya kira di sini secara eksplisit tidak termasuk aneka jenis kuliner berikut metode memasaknya.

Namun pastinya paten misalnya adalah istilah yang digunakan dalam penemuan atau inovasi teknologi. Racikan bumbu masak mustahil dapat dipatenkan. Dibuatkan trademark sebagai sebuah produk industri mungkin, tapi dipatenkan jelas mustahil.

Secara garis besar, kuliner tradisional termasuk kedalam Kekayaan Intelektual Komunal (atau masyarakat Adat), yang Hak-nya dipegang negara, sehingga bisa dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat. Tapi tidak boleh diklaim oleh negara lain

Barangkali kuliner tradisional asli Indonesia seperti Rendang atau Kopi Kintaman bisa dimasukkan sebagai "folklore" untuk mendapatkan perlindungan Hak Cipta, tentu dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi dari Negara / Pemerintah. Atau masuk perlindungan Indikasi Geografis sebagaimana telah dimohon pendaftarannya (misalnya oleh Pemda Gianyar-Bali untuk produk Kopi Kintamani) dari pada nanti di klaim negara tetangga dan didaftarkan atas nama masyarakat Adat (Komunal).

Sebagai tambahan pernah ada cerita permintaan "Hak Waralaba" atas Rendang dari sebuah perusahaan makanan saji cepat di Indonesia. Masalahnya, siapa / institusi mana sebagai Pemilik HKI atas kuliner Rendang itu ? Sehingga, dalam hal ini, siapa Pemberi dan Penerima Waralabanya ?  Apalagi, sesuai dengan Peraturan Mendag tentang Waralaba (WL), setiap Perjanjian WL wajib didaftarkan dan mendapat Sertifikal WL dari Mendag. Untuk itu, ada salah satu syarat wajibnya, yaitu Pemberi WL harus mengajukan prospektus barang/jasa yang diwaralabakan. Nah, denger-dengar yang sekarang sudah duluan  pegang HKI atas Rendang adalah negara tetangga. Puyengkan ?

Berdasarkan pemahaman atas HKI itu, dari mana makanan tradisional pusaka harus didaftarkan ? Apakah ada "lubang" untuk dimasukkan di beberapa kategori 7 atau 8 macam yang dikemukakan tadi. Seperti contoh Coca Cola punya 3 kategori HKI. Apalagi kalau terkait butir ke-4 yang disampaikan di atas yakni untuk masalah "Intangible-nya", apakah bisa punya "lubang" masuk untuk di daftarkan ?

Namun yang pasti saya belum pernah mendengar ada suatu makanan dari suatu daerah atau etnis pendatang di bumi Indonesia ini yang didaftarkan atau lindungi hak ciptanya. Barangkali informasi sekedar saya di atas tersebut cuma sedikit berguna di tengah-tengah birokrasi yang 'ignorance' sehingga perlu dilengkapi dengan masukan atau cara-cara lain supaya Gastronomi Kuliner Indonesia, dan para Pemangku Kuliner di negeri ini sadar akan perlunya peran hukum khususnya HKI, satu dan lain hal, demi menghadapi pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan persaingan global. 

Bagaimana pendapat anda tentang hal ini ?

Tabek
Indra Ketaren (Beta)

Tuesday, 21 July 2015

Saatnya Indonesia Punya UU Makanan

Beberapa waktu lalu saya ramai bahas soal belum tersedianya perangkat Undang-Undang Makanan di Indonesia untuk menata soal kuliner yang sedemikian laju berkembang sejak 15 tahun terakhir. Makanan merupakan satu dimensi komersial dan sosial yang sangat cepat bergerak saat ini karena bisa dibilang menjadi tulang punggung segenap rakyat mulai dari kalangan bawah sampai atas. Saya berasumsi 60%-70% sektor UKM berkisar soal kuliner yang kebanyakan diolah sepertinya oleh rakyat tanpa rambu-rambu yang jelas. Saat ini rakyat yang kehilangan pekerjaan (yang terkena PHK) akan mudah 'switch' diri mereka ke usaha kuliner karena rambah advantage dan profit-nya jelas dan singkat bisa diperoleh (malah lebih besar dari gaji saat mereka bekerja sebagai karyawan). Namun disayangkan Pemerintah belum mempunyai dasar hukum yang jelas sebagai fondasi untuk menata dunia makanan ini yang kelihatan kuliner itu berjalan bebas tanpa ada yang menjadi lalu lintas. Isyu-isyu mengenai gizi, mutu kualitas maupun lainnya seperti tidak terkontrol lagi walaupun saat ini kita punya UU Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan. UU ini tidak secara lengkap bisa mengatur dan menata lalu lintas makanan tersebut. Sekali lagi sudah waktunya kita punya UU tersebut, mengingat sekarang ini di dalam negeri banyak sekali makanan yang menggunakan bahan baku berbahaya seperti formalin, pewarna textil, pemutih, minyak oplosan, dan lain sebagainya yang banyak beredar di berbagai daerah di negeri kita.

UU pangan itu operasionalnya ada di kementrian pertanian. Memang perlu kesepakatan bersama agar masalah makanan baik olahan ataupun hasil bumi perlu pengaturan yang jelas dan dilakukan oleh 1 (satu) lembaga. BPOM terbentuk tanpa UU dan hanya berdasarkan Kepres atau PP (maap sy agak lupa). Saya telah menghimbau para wakil rakyat di DPR dan Pemerintah untuk saatnya memikirkan perihal UU Makanan yang bisa menjadi fondasi bagi Negara ini melindungi dan membiayai rakyatnya menjalankan kehidupan komersial dan sosial di sisi kuliner. UU Makanan itu bukan hanya sebatas masak memasak tapi di dalamnya ada unsur lapangan tenaga kerja (UKM), sertifikasi profesional, sertifikasi assesor atau secara singkat hajat hidup banyak orang, termasuk fondasi bagi pembiayan kredit perbankan; belum lagi soal terkait dengan registrasi hak intelektual property dan merek.

Masalahnya, saya sendiri kalau di tanya tidak tau harus di mulai dari mana. Apakah melengkapi dan menyempurnakan UU # 7 tahun 96 tentang Pangan itu atau mengakomodasi yang baru. Namun apapun, pekerjaan ini cukup besar karena menyangkut berbagai pihak otoritas kebijakan dan pemangku kuliner yang cukup banyak dan bertebaran di seluruh wilayah Indonesia.

Bisnis makanan di Indonesia sangat besar dan fantastis nilainya sehingga semua pihak sekarang ini belum mau dengan sungguh-sungguh merumuskan inisiatif tersebut dibawa ke DPR. Bisnis ini luar biasa dan pemainnya tidak setara dengan permintaan pasar sehingga antara supply dan demand tidak sinkron (lebih besar demand-nya). Wajar pihak luar masuk dan merambah dunia usaha ini dengan mudah karena mereka tau daya beli masyarakat sangat tinggi. Demand itu jangankan di kalangan menengah keatas. Di kalangan bawah saja sangat besar pasarnya dengan bisa diliat begitu banyak saat ini di hampir setiap pelosok jalan-jalan di kota-kota ada warung-warung tenda bertebaran jual makanan.

Apa kita mulai dari inisiatif perguruan tinggi dan sekolah tinggi untuk memulainya atau dari organisasi terkait atau keduanya atau lainnya lagi. Terpenting siapa yang mau mengorganisir ini ke semua pihak itu duduk bersama bicara dan merangkumkan permasalahan yang ada.

Saya sangat concern soal UU Makanan, karena pada akhirnya akan terkait ke masalah Kemandirian & Kedaulatan Pangan dan bukan kepada Ketahanan Pangan. Bangsa kita sebenarnya bisa mandiri diatas kaki sendiri jika kita pandai menatanya.

Di salah satu pemikiran saya adalah bahwa melalui UU Makanan kita bisa membedah kebangsaan Indonesia dengan merefleksikan secara hukum dan kesadaran politis bahwa soal kuliner di negeri ini selain dimiliki oleh pribumi ada aspek etnokuliner peranakan Tionghoa, India, Arab dan Belanda yang para pendatang ini merupakan satu kesatuan dari kumpulan Bangsa Indonesia.

Ingat, tahun depan Indonesia akan memasuki pasar bebas (Masyarakat Ekonomi ASEAN). Saya tidak kebayang bagaimana situasi dan kondisi pasar kuliner negeri ini nantinya, termasuk dalam melindungi posisi profesionalitas para Chef dan pemasak otodidak bersaing dengan bangsa lain yang mau mencari kemaslahatan ekonomi di negeri ini yang begitu besar pangsa pasarnya. Banyak pekerjaan rumah dalam masalah kuliner ini. Jangan kita terpesona dengan keadaan sekarang sebatas begitu hebat nilai komersialnya dan kita lupa memagari diri kita sendiri. Tahun depan negeri ini sudah bisa dimasuki dengan mudah oleh bangsa asing yang juga punya kesempatan untuk bersaing dengan bangsa kita sendiri, apalagi mereka pada umumnya bisa memperlihatkan sertifikasi internasional mereka yang tak tertandingi dengan kualitas sertifikasi lokal  serta dari sisi bahasa maupun pengalaman memasak mereka itu tidak kalah dengan bangsa kita sendiri.

Untuk revisi UU atau membuat UU baru itu pekerjaan besar. Perlu ada champion dan kelompok kerja inti. Tugasnya melakukan framing issue, mengumpulkan fakta/data, membangun sekutu dengan organisasi yang mempunyai visi sama, melakukan lobby secara kontinyu dan konsisten sehingga bisa diterima oleh publik bahwa isu tersebut urgent dan penting. Termasuk kerjasama dengan institusi pendidikan dan sektor pemerintah agar masuk dalam kebijakan nasional. Intinya memang di core team itu yang menjadi motor penggerak. Nah siapa disini yang mau initiate mencari & menjadi core team tersebut.

Semoga ulasan saya ini secara umum bisa memberi masukan bagi pihak terkait untuk membuka slot ke publik membahas kemungkinan Indonesia mempunyai UU tentang Makanan untuk menata dan mengatur lalu lintas kuliner di Indonesia maupun di luar negeri (seperti yg dilakukan oleh Pemerintah Thailand)

Tabek
Indra Ketaren (Beta)

Monday, 20 July 2015

Folkore Semarang : Lunpia


Lunpia Semarang adalah makanan semacam rollade yang berisi rebung, telur, dan daging ayam atau udang. Cita rasa lunpia Semarang adalah perpaduan rasa antara Tionghoa dan Indonesia karena pertama kali dibuat oleh seorang keturunan Tionghoa yang menikah dengan orang Indonesia dan menetap di Semarang, Jawa Tengah. Makanan ini mulai dijajakan dan dikenal di Semarang ketika pesta olahraga GANEFO diselenggarakan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

Sejarah berdirinya dinasti “Loenpia Tjoa-Wasi” di Semarang diawali dengan adanya persaingan keras antara Tjoa Thay Joe dengan mbok Wasi. Tentu saja persaingan dalam hal memasarkan dagangan lunpia masing-masing. Keduanya adalah pedagang lunpia kenamaan pada abad ke-19.

Tjoa Thay Joe adalah seorang cina totok berasal dari Fu Kien. Dia menyajikan lunpia dengan rasa sesuai daerah asalnya yakni Hokkian. Sedangkan mbok Wasi, wanita semarang asli, menyajikan lunpia yang rasanya sesuai dengan lidah semarang, yakni nada rasa masing-masing asing. Karena kerasnya persaingan itu, keduanya berlomba meningkatkan mutu barang dagangannya masing-masing. Namun perkembangan selanjutnya sungguh tak terduga.

Tiba-tiba saja Tjoa Thay Joe datang pada mbok Wasi dengan tujuan meminang saingan beratnya itu. Tiada disangka rupanya gayung bersambut, mbok Wasi menerima lamaran. Setelah persaingan dikompromikan dengan perkawinan, selanjutnya resep lunpiapun dipertemukan dalam racikan. Tjoa dari Cina menggunakan babi dan rebung sebagai bahan pembuatan lunpia, sedangkan mbok Wasi dari Semarang menggunakan sayuran (rebung, kol, wortel), telur dan udang. Hasilnya lahirlah lunpia generasi baru yang merupakan perpaduan rasa Hokkian dan Semarangan.

Lunpia era anyar inilah yang menjadi cikal bakal lunpia Semarang yang terkenal sampai sekarang dan tentunya daging babi sudah tidak masuk dalam bahan pembuatan lunpia lagi. Resepnya yang terambil dari kekuatan cinta.

Pada masa kejayaan Tjoa-Wasi, para penggemar Lunpia harus menunggu dulu apabila mereka ingin membeli makanan tersebut. Sebab lumpia masih dijajakan dengan gerobak dorong.

Sistem itu diteruskan oleh anak dan menantu mereka yang merupakan generasi ke-2 dari dinasti loenpia Tjoa-Wasi, yaitu Tjoa Po Nio dan Siem Gwan Sing. Ketika Tjoa Thag Joe meninggal pada tahun 1930, kendali perusahan beralih tangan pada penerusnya. Sementara Mbok wasi yang menjanda dalam usia 64 tahun hanya bertindak sebagai penasihat saja. Terutama dalam pengolahan lunpia. Cukup lama dia mampu bertahan selama 26 tahun. Pada tahun 1956, pada usianya yang ke-90 tahun, Mbok Wasi meninggal dunia.

Tjoa Po Nio dan suaminya yang mempertahankan resep asli dari orang tua mereka. Resep itulah yang mereka pertahankan dan lestarikan sebagai warisan dari nenek moyang.

Artikel tulisan Prof Dr James Danandjaja - Guru Besar Universitas Indonesia

ONDE ATAU RHONDE


Setiap bulan Desember pada sekitar tanggal 21 atau 22, masyarakat Tionghoa secara tradisi merayakan hari festival Dongzhi / Tang-cheh /Tōji / Dongji / Đông Chí yang berarti Musim Dingin Yang Ekstrem. Dan pada perayaan tersebut mereka memakan makanan yang di masyarakat keturunan etnis Tionghoa di Indonesia sering disebut dengan Onde atau Ronde. Sebuah jenis makanan yang terbuat dari tepung ketan dibentuk bulat besar atau kecil yang disajikan di dalam kuah yang terbuat dari air dan gula. Makanan Onde atau Ronde tersebut di negeri asalnya, Tiongkok, bernamaTāngyuán (Kue Bola Ketan) atau Yuanxiao atau Tangtuan.

MENGAPA BERBENTUK BULAT
Secara tradisi, perayaan Dongzhi atau Tang-cheh merupakan sebuah perayaan untuk berkumpul bersama keluarga di musim dingin di Tiongkok. Kembali berkumpulnya anggota keluarga atau reuni dengan makan onde bersama dengan menggunakan mangkuk di meja bundar menjadi tradisi perayaan tersebut. Reuni dan kebersamaan inilah yang disimbolkan oleh bentuk bulat (nampak bundar saat dilihat dari jauh) dari makanan Tangyuan atau  Onde atau Ronde. Asal kata dari nama makanan Onde atau Ronde di Indonesia pun berasal dari kata “Ronde” dalam bahasa Belanda yang berarti bulat, sesuai dengan bentuk dari makanan tersebut.

Kebersamaan dan ikatan antar anggota keluarga tidak hanya disimbolkan dengan bentuk bulat dari Onde, tetapi juga dari sifatnya yang lengketnya karena terbuat dari tepung ketan. Diharapkan para anggota keluarga memiliki ikatan yang erat atau lengket satu sama dengan lain. Dan disajikannya Onde dalam kuah air gula memberikan simbol hubungan erat keluarga yang manis.

Makna lain dari bulatnya Onde juga dapat ditelusuri dari ajaran filsafat kuno Tiongkok mengenai Yin dan Yang, gelap dan terang. Setelah perayaan Dongzhi yang jatuh pada musim dingin disaat lebih banyak gelap dari pada terang dan energi negatif lebih banyak, maka musim akan berganti menjadi musim semi disaat terang lebih mendominasi dan energi positif lebih banyak. Filsafat ini disimbolkan oleh salah satu gambar pada Hexagram (Ba Gua / Pa Kwa / Pa Kua) dalam kitab I Ching yang disebut fù yang berarti “Kembali”. Hal ini sesuai dengan bentuk bulat yang saat menelusurinya secara lurus dari satu titik maka akan kembali lagi ketitik semula.

LEGENDA
Menurut salah satu legenda, di Tiongkok pada masa Dinasti Han, hidup seorang gadis pelayan bernama Yuanxiao di Istana raja. Ia memiliki keahlian memasak bola-bola ketan (Tangyuan), dan hanya masakan inilah yang merupakan masakan terbaik yang dapat ia masak. Karena peraturan istana yang ketat, ia tidak bisa keluar istana untuk kembali menemui kedua orang tuanya. Karena ia sangat merindukan kedua orang tuanya, ia menangis sepanjang waktu, siang dan malam, bahkan ia berusaha untuk melakukan bunuh diri karena kerinduannya itu.

Kisah kehidupan Yuanxiao yang malang tersebut terdengar oleh seorang menteri kaisar yang menemuinya dan berjanji untuk menolongnya keluar istana. Menteri tersebut melaporkan peristiwa ini kepada sang kaisar. Tapi, peraturan istana adalah peraturan yang tidak bisa dilanggar oleh siapapun kecuali ia memiliki jasa besar yang pantas menerima hadiah dari sang kaisar. Sang menteri pun mencari cara agar dapat mengeluarkan Yuanxiao dari istana.

Saat itu sekitar sebulan menjelang tahun baru penanggalan Tionghoa (Imlek). Dan setiap bulan pertama tanggal 15 penanggalan Imlek (Cap Go Meh), sebuah festival besar dirayakan untuk berterima kasih kepada Kaisar Langit dengan memberikan persembahan makanan. Sebuah gagasan tebersit dalam kepala sang menteri. Ia mengusulkan kepada sang kaisar agar memerintahkan Yuanxiao untuk membuat bola-bola ketan (Tangyuan) yang lezat sebanyak mungkin untuk disajikan sebagai persembahan kepada langit dan dimakan oleh kalangan istana dalam festival tersebut sebagai syarat agar ia bisa keluar dari istana. Sang kaisar pun menyetujuinya.

Kemudian sang menteri menemui dan memberitahu Yuanxiao mengenai tugas yang diberikan oleh kaisar. Dengan senang hati Yuanxiao menerima tugas tersebut dan memulai pekerjaannya. Siang dan malam, seorang diri ia memulung adonan tepung ketan menjadi Onde atau Tangyuan, satu per satu.

Tiba pada waktunya menjelang festival tanggal 15, Yuanxiao pun akhirnya menyelesaikan tugasnya membuat Tangyuan sebanyak mungkin. Dan tiba saatnya untuk dipersembahkan kepada kaisar dan di altar persembahyangan. Kaisar mencicipi Onde atau Tangyuan yang dibuat oleh Yuanxiao, dan ia merasa senang dan puas akan masakan tersebut.

Dianggap berjasa karena menunaikan tugas dari kaisar dengan baik, Yuanxiao akhirnya mendapatkan izin untuk keluar istana untuk menemui kedua orang tuanya. Dan sejak saat itu kaisar memberi nama masakan dari tepung ketan (Onde / Tangyuan) tersebut dengan nama Yuanxiao dan festival tanggal 15 bulan pertama Imlek (Cap Go Meh) disebut juga dengan Festival Yuanxiao.

SEJARAH
Tidak diketahui secara pasti awal dari munculnya makanan Onde / Tangyuan. Menurut catatan sejarah, Tangyuan sudah menjadi makanan ringan yang populer di Tiongkok sejak Dinasti Sung. Nama Tangyuan pun memiliki nama-nama lain. Pada era Yongle dari Dinasti Ming, nama resmi dari makanan ini adalah Yuanxiao (berasal dari Festival Yuanxiao), yang digunakan di Tiongkok utara. Nama ini secara harfiah berarti “malam pertama”, merupakan malam bulan purnama pertama setelah Tahun Baru Imlek yang selalu jatuh pada bulan baru.

Namun di Tiongkok selatan makanan ini disebut dengan mana tangyuan atau tangtuan. Menurut legenda, pada masa pemerintahan Yuan Shikai pada tahun 1912-1916, Yuan Shikai tidak menyukai nama yuanxiao karena terdengar identik dengan “menghilangkan Yuan”, oleh karenanya ia memberikan perintah untuk mengubah namanya menjadi Tangyuan. Nama baru ini secara harfiah berarti “bola bundar dalam sup”. Tangtuan sama berarti “kue bola dalam sup”. Dalam dua dialek Tionghoa utama di perdalaman Tiongkok selatan, yaitu Hakka dan Kanton, “Tangyuan” diucapkan seperti tong rhen (Hakka) dan tong jyun (Kanton) . Istilah “tangtuan” (Hakka: tong ton, Kanton: tong tyun) sendiri tidaklah umum digunakan dalam dialek ini sebagaimana Tangyuan. 

Dari penjabaran di atas dapat kita lihat adanya makna di balik tradisi makan onde di bulan Desember yang dilakukan oleh etnis Tionghoa. Ikatan kekeluargaan yang erat dan baik merupakan makna yang dapat diambil dari perayaan Dongzhi.

Artikel dibuat oleh : A.E Pryana

Sunday, 12 July 2015

Kosa Kata "Chef" Dari Sisi Kacamata Gastronomi


Kemarin pagi hari saya sempat komunikasi dengan beberapa teman-teman gastronomi di luar negeri. Salah satu pembicaraan kami adalah mengenai 'Kosa Kata Chef' yang teringat beberapa waktu lalu Chef Henry Bloem pernah singgung soal isyu yang penggunaannya di Indonesia agak simpang siur alias tidak sepadan dengan situasi yang ada.

Saya mencoba untuk memberikan "garis merah" dari apa yang dirasakan Chef Henry Bloem dari sisi kacamata Gastronomi karena seyogya kita harus berusaha "to be politically correct" dalam meluruskan kosa kata "Chef" ini.

Menurut teman-teman gastronomi di luar negeri asal muasal kata Chef berasal dari istilah dalam bahasa Perancis yakni "Chef de Cuisine". Bagi seorang Chef yang mengendalikan (manage) sebuah dapur (Restoran atau Hotel) - baik yang dimilikinya atau ditempat di mana yang bersangkutan bekerja - maka kepada yang bersangkutan disebut (dititle) sebagai 'Kitchen Director' atau biasa disebut dengan "Head Chef atau Executive Chef atau Chef de Cuisine" atau dengan kata Chef saja.

Senioritas dan pengalaman seorang Chef ditentukan dari jumlah lipatan yang ada di topinya. Semakin banyak lipatan di topi, berarti menunjukkan hierarkhi senioritas Chef tersebut tinggi karena lebih banyak pengalamannya dibandingkan yang lipatannya sedikit. Selain itu, jumlah lipatan juga menunjukkan banyaknya cara Chef bisa menyiapkan hidangan.

Seorang Chef (Head Chef atau Executive Chef atau Chef de Cuisine) mengatur segala sesuatu yang terjadi di dapur dengan tingkatan komando kepada bawahannya. Dari penentuan menu, kreasi masakan, pemilihan bahan-bahan, persiapan memasak, hingga hasil akhir masakan dengan standart yang tinggi.

Tingkatan Komando "Head Chef atau Executive Chef atau Chef de Cuisine" dilakukan terhadap bawahan yang berdasarkan urutan tingkatan jenjang karier mereka sebagai berikut :
1. Sous Chef
2. Expediter or Announcer (Aboyeur)
3. Chef de Partie (atau “station chef” ataupun “line cook”)
4. Sauté Chef (Saucier)
5. Fish Chef (Poissonier)
6. Roast Chef (Rotisseur)
7. Grill Chef (Grillardin)
8. Fry Chef (Friturier)
9. Vegetable Chef (Entremetier)
10. Roundsman (Tournant)
11. Cold-Foods Chef (Garde Manger)
12. Butcher (Boucher)
13. Pastry Chef (Pâtissier)
14. Demi Chef dan Chef de Partie
15. Commis
16. Cook helper atau kitchen assistants

Satu lagi yang perlu ditekankan bahwa seorang Chef sudah melalui sebagian besar proses urutan tingkatan dari bawah sampai ke atas dari jenjang karier yang disebutkan di atas untuk menjadi "Head Chef atau Executive Chef atau Chef de Cuisine".

Kesimpulan pembicaraan saya dengan teman-teman gastronomi di luar negeri adalah sebagai berikut :

1. Jika seorang tidak (atau belum pernah) mengendalikan dapur sebagai "Head Chef atau Executive Chef atau Chef de Cuisine" dan tidak (atau belum pernah) mempunyai tingkatan komando terhadap bawahannya, maka yang bersangkutan bukan dititle (disebut) sebagai "Chef" melainkan dititle (disebut) sebagai "Pemasak" atau"Koki" atau "Juru Masak" atau "Ahli Masak" saja

2. Apabila seorang "Head Chef atau Executive Chef atau Chef de Cuisine" sudah tidak lagi bekerja di Restoran atau Hotel, maka title (sebutan) yang bersangkutan adalah "Chef" saja karena yang bersangkutan pernah kendalikan dapur lengkap dengan tingkatan komando kepada bawahannya & yang bersangkutan pastinya punya jumlah lipatan di topinya yang menunjukkan hierarkhi senioritas dan pengalamannya dalam menyiapkan hidangan.

3. Sebutan "Chef" hanya berlaku untuk title (sebutan) "Head Chef atau Executive Chef atau Chef de Cuisine". Sedangkan untuk butir 1 sampai 16 di atas tidak berlaku. Bagi seseorang yang berada di posisi diantara salah satu dari butir 1 sampai 16 disebut (title) secara lengkap sesuai tingkat jabatannya saat itu (umpamanya Sous Chef atau Aboyeur atau Chef de Partie atau Pastry Chef atau Chef de Partie dan lain sebagainya). Hal itu karena title "Chef" adalah seseorang yang kendalikan (atau pernah kendalikan) dapur lengkap dengan tingkatan komando kepada bawahannya serta yang bersangkutan sudah melalui sebagian besar proses urutan tingkatan dari bawah sampai ke atas dari jenjang karier yang disebutkan di atas untuk menjadi "Head Chef atau Executive Chef atau Chef de Cuisine".

Dalam kata penutup pembicaraan kami ditekankan ada kebiasaan di benua Barat (Eropa & Amerika) bila seorang menyebut dirinya dengan title Chef, maka yang pertama ditanya (saat ini atau pernah) adalah "dimana restoran atau hotel" tempat ia berkarya di dapurnya. Di tempat itu kita akan mengetahui keberadaan hierarkhi komando Chef tersebut lengkap dengan lipatan di topinya.

Oleh karena itu alangkah bijaknya jika semua orang sekarang mengetahui dengan betul mana yang bisa disematkan title "Chef". Memang banyak orang yang jago masak walaupun mereka bukan lulusan perhotelan. Ini juga bukan berarti mereka tidak hebat hanya karena tidak berdasar ilmu masakan. Ada beberapa orang yang mulai jadi figur publik karena jago masak tetapi kepada mereka tetap kita sebut title-nya sebagai "Pemasak" atau"Koki" atau "Juru Masak" atau "Ahli Masak" saja

Semoga bermanfaat