".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Sunday, 24 December 2017

Feliz Navida


My dearest mate, cobber & buddy

First of all let me wish you and your family a very merry holiday season ..
Rather than stop there, let me give you some real holiday cheer in this time when we traditionally think of families, loved ones and miss those who have gone before us ..

I think during this festive season it is important to remember that whether we are Jewish, Muslim, Christian, Hindu, Agnostic, Atheist etc, there is one thing we all share in common ..
We all have a mother and father ..
That is the one thing that bonds us all ..
Let us take a special moment to remember and honour our parents and those who have gone before us ..
Santa reminds us that we are all born of man and woman ..
We are all united by a mother and father ..
This is what bonds us as humans ..

So during this time, when we reflect on family, friends and loved ones, please accept my heartfelt Season's Greetings and take some time to reach out to your loved ones, maybe someone you are estranged to even and wish them a happy holiday ..

Also please, take a moment to reflect on the coming year and your priorities and for those of you, who have children, give them a hug, tell them you love them and spend every moment you can with them ..
I promise you .. you will miss them more than you know once they are grown up and gone.

Cierra los ojos, abre el corazón .. y aprende a ver con los ojos del alma ..
(close your eyes .. open your heart and learn to see with the eyes of the soul) ...

FELIZ NAVIDAD .. HAPPY HOLIDAYS AND MERRY EVERYTHING ..

Yours

Presidente
Indonesian Gastronomy Association

Thursday, 21 December 2017

Ihwal Profil Boga Indonesia


Secara prematur kartografi profil makanan Indonesia masih belum bisa digambaran secara baik dan utuh.

Banyak masyarakat yang ahli dan tidak ahli (yang passion terhadap boga), apapun sebutan terhadap mereka, belum bisa memberikan proyeksi fisiografis secara umum mengenai seni dapur Indonesia.

Ada yang mampu mengangkat profil makanan, namun sifatnya masih terbatas dan bicara di makanan yang selalu di perbincangkan orang ramai. Terkesan seperti ada yang diistimewakan dan ada yang di kurang diperhatikan.

Misalnya sebatas soto, sate, nasi goreng, bakso, gado-gado, rawon, sarikayo, urap sayuran, lumpia, gudheg, asinan, tahu telur, serabi, klapentaart, rendang, nasi tumpeng, dan lain sebagainya yang memang cukup dikenal kalangan masyarakat.

Seni dapur lain banyak yang tidak pernah diangkat, seperti arsik, terites, kuta-kuta, cimpang tuang, lomok-lomok, na tinombur, dali ni horbo, pakasam, nasi kuning, palubasa, mie gomak, gulai banak, gulai paku, gajebo, brenebon, hucap, gohu tahu, cabuk rambak, lentog tanjung, barongko, pallu butung, galamai, samba lingkung, kagape, sinonggi, madumongso, kasuran, keciput dan lain sebagainya.

Sebenarnya bukan karena ada yang diistimewakan atau kurang diperhatikan. Ini adalah soal kurang mendalami dan terbatas menyadari kekayaan seni dapur dan boga yang ada di kepulauan Nusantara.

Namun mesti disadari, tampilan seni dapur dan boga satu pihak, akan membawa dorongan dan hasrat kepada pihak lain minta ikut di dalam tampilan tersebut, apalagi kalau sering dan kerap tampilan seni dapur dan boganya dari satu pihak itu-itu saja.

Indonesia mempunyai 1,335 suku dan sub-suku yang masing-masing memiliki seni dapur dan boga yang tercipta dari proses kearifan lokal tradisional, akulturasi dan mimikri.

Bagi suku dan sub-suku, seni dapur mereka adalah soal kebanggaan dan harga diri yang menyembunyikan arogansi fenomenal yang sangat kental di kepribadian mereka, apalagi pengakuan sebagai suatu bangsa.

Oleh karena itu, sudah saatnya profil seni dapur Indonesia diteliti dan dikaji secara mendalam agar rasa keinginan tahu yang besar dari berbagai kalangan, khususnya masyarakat awam, dapat disalurkan dan memberi kesadaran mengenai warna seni dapur dan boga Nusantara.

Sudah tentu tugas ini tidak mudah dan memerlukan waktu cukup panjang melihat begitu banyaknya kekayaan seni dapur dari suku dan sub-suku yang ada. Namun harus dimulai dengan pertama mencari jalan masuk, yakni formula dan mekanisme apa yang harus digunakan mengkartografikan profil makanan di negeri ini.

Sebagai pembuka jalan untuk menentukan format formula dan mekanisme, perlu terlebih dahulu memahami bagaimana sebenarnya terbentuknya negara Indonesia.

Pada dasarnya negeri ini terbentuk dari akibat penjajahan sekian ratus tahun yang mengakibatkan penderitaan dan perlawanan terhadap kolonial.

Pada asal muasal, suku dan sub-suku  yang ada di kepulauan Nusantara, bukan satu kesatuan, tetapi mereka bersatu karena tindasan kolonialisme dan pengalaman akibat dipengaruhi oleh bangsa luar lainnya.

Sejak jaman dahulu Indonesia merupakan kepulauan yang kaya akan hasil alamnya yang berlimpah, hingga membuat negara-negara Eropa tergiur untuk menjajah dan bermaksud menguasai sumber daya alam untuk pemasukan bagi negaranya.

Negara-negara yang pernah menjajah Indonesia antara lain : Portugis, Spanyol, Belanda, Perancis, Britania Raya dan Jepang.

Ikhtiar bersatu itu dideklarasikan melalui yang kita kenal dengan "Sumpah Pemuda" tanggal 28 Oktober tahun 1928. Sumpah Pemuda adalah tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Ikrar Sumpah Pemuda dianggap sebagai kristalisasi semangat untuk menegaskan cita-cita berdirinya negara Indonesia dengan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus tahun 1945.

Secara ringkas, Sumpah Pemuda adalah kesepakatan politik semua suku dan sub-suku untuk bersatu yang kemudian berjuang melalui jalan sejarah yang cukup panjang sampai puncaknya berbuah menjadi Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 tahun Masehi, yang dibacakan Soekarno dengan didampingi Mohammad Hatta bertempat di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat.

Terjemahan sebagai suatu Negara yang berdaulat dan merdeka diaplikasikan melaluiikatan politik lima sendi yakni Pancasila dan dengan ikatan hukum Undang-Undang Dasar 1945.

Jika tidak ada penjajahan, pastinya tidak ada Sumpah Pemuda, tidak ada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dan pastinya tidak ada satu atap payung negara bernama Indonesia.  Bisa saja masing-masing suku menjadi suatu bangsa dengan kedaulatan negaranya sendiri.

Kalau diibaratkan versi lain, Indonesia mirip seperti organisasi PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) yang terbentuk pada tanggal 24 Oktober 1945 untuk mendorong kerjasama internasional akibat konflik berkepanjangan dari Perang Dunia II, maupun pengalaman dari akibat Perang Dunia I yang sewaktu itu organisasinya bernama Liga Bangsa-Bangsa.

Walaupun tidak bisa dikatakan persis sama dengan PBB, namun bisa dicatat ada kemiripan bahwa berhimpunnya suku dan sub-suku kepulauan Nusantara ke dalam negara Indonesia adalah sejatinya mereka bukan berasal dari suku bangsa yang sama.

Masing-masing  suku dan sub-suku di Indonesia mempunyai perjalanan kesejarahan yang berbeda meski ada yang sama. Persatuan dan kesatuan sebagai bangsa & negara Indonesia disepakati hanya melalui ikatan politik dan ikatan hukum seperti dijelaskan di atas.

Konstruksi peradaban budaya masing-masing suku dan sub-suku masih tetap dipertahankan karena merupakan produk kearifan lokal leluhur yang tidak bisa disatukan dan atau disamakan dalam satu ikatan kesatuan kebangsaan Indonesia.

Peradaban budaya masing-masing suku dan sub-suku itu menjadi kekayaan yang saling melengkapi dan saling mendukung terhadap Negara kesatuan Indonesia.

Salah satu peradaban budaya itu adalah di seni boga (makanan), selain adat istiadat, seni tari, seni berkain (tenun, batik & ikat) dan lain sebagainya.

Oleh karena itu sangat sulit mengatakan Indonesia memiliki warna dan profil makanan yang serupa satu sama lain. Kemiripan bisa tapi bukan kesamaan.

Sebagai contoh, negeri Thailand dan Korea Selatan berasal dari satu rumpun kesukuan yang sama, walau ada turunannya berbagai sub-suku, yang memiliki seni dapur, boga, bumbu, rempah dan citarasanya yang sama, baik itu di belahan barat, timur, utara dan selatan dari kedua negara.

Kesamaan itu disebut sebagai "Garis Seni Boga" sehingga mudah menentukan peta kartografi seni dapur dari profil boga kedua negara ini.

Indonesia tidak demikian. Garis Seni Boga Indonesia tidak satu dan masing-masing suku dan sub-suku punya keunikan tersendiri yang berbeda walaupun ada yang mirip memiliki kesamaan.  

Perhatikan dengan seksama dari sisi barat, timur, utara dan selatan Indonesia, masing-masing punya bumbu, rempah dan citarasa yang berbeda, makanya makanannya pun berbeda.

Ada daerah-daerah tertentu di Indonesia yang suka masakan pedas, manis, natural (bening). Ada yang suka cabe. Ada yang menggunakan andaliman (sebagai cabai atau merica) dan macam-macam lainnya.

Oleh karena itu kalau bicara soal ikhwal profil boga (makanan) dan seni dapur Indonesia, perlu ditelusuri terlebih dahulu mengenai "Garis Seni Boga" kepulauan Nusantara Indonesia.

Seyogyanya sudah saatnya mulai difikirkan merumuskan garis seni boga seperti yang dilakukan dalam dunia flora dan fauna Indonesia yang memiliki garis "Wallace-Weber"(garis khayal).

Jika sudah dimiliki formula garis seni boga, akan mudah menentukan profil boga Indonesia berdasarkan kategori dan kriteria yang dirumuskan dalam garis seni boga tersebut.

Garis seni boga ini bisa juga dijadikan standard dalam menentukan ikon makanan Indonesia sebagai branding nation Negara.

Ingat, membangun garis seni boga Indonesia mirip seperti dahulu kala membangun konstruksi isi teks Sumpah Pemuda, yakni :

Ada 14,572 pulau tapi hanya satu garis kepulauan nasional yang diakui, yakni tanah air Indonesia.

Ada 1,335 suku dan sub-suku tapi hanya satu garis kebangsaan nasional yang diakui, yakni bangsa Indonesia.

Ada 1,211 ragam bahasa tapi hanya satu garis bahasa nasional yang disepakati, yakni bahasa Indonesia.

Semoga bermanfaat

Tabek



Wednesday, 6 December 2017

Perbedaan Budaya Dalam Gastronomi Barat & Timur

Dalam sebuah artikel tertentu, pernah saya tulis tentang Perbedaan Gastronomi Barat & Timur.

Dalam artikel itu dijelaskan koridor kajian gastronomi umumnya menekankan kepada 4 (empat) elemen, yakni :
1.     Sejarah
2.     Budaya  
3.     Lanskap Geografis
4.     Metode Memasak

Ke-empat elemen itu dinamakan dengan *tangible* (nyata, jelas dan terwujud) yang selalu dipakai sebagai tolak ukur masyarakat barat dalam bicara gastronomi. Sebatas itu saja karakter gastronomi masyarakat barat walaupun tidak dipungkiri ada juga sedikit unsur  intangible-nya.

Sedangkan gastronomi di masyarakat timur, seperti juga di Indonesia, mempunyai unsur tambahan, yakni nilai ritual dan adat istiadat, sebagai elemen kelima.  Artinya punya nilai intangible yakni filosofi, falsafah, kearifan lokal atau cerita warisan pusaka dibelakangnya.

Elemen tambahan itu ada akibat disimilaritas kebudayaan dan kebiasaan tertentu dalam ciri pola hidup masyarakat barat dan timur.

Untuk itu karena ada unsur budaya, maka perlu kita pahami terlebih dahulu pola kebudayaan masyarakat barat dan timur, karena masing-masing memiliki makna dan fungsi tersendiri.

Soal nilai intangible tidak perlu dibahas karena kebanyakan dari kita sudah paham apa yang dimaksud dengan filosofi, falsafah dan atau kearifan lokal.

Kebudayaan
Budaya (disebut juga kebudayaan) berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu "buddhayah", yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal yang berkaitan dengan budi, dan akal manusia.

Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut "culture", yang berasal dari kata Latin, "Colere", yaitu mengolah atau mengerjakan. Kata culture juga kadang diterjemahkan menjadi "kultur" dalam bahasa Indonesia.

Budaya adalah suatu gaya hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok masyarakat yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Budaya terbentuk dari banyak elemen yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, pakaian, bangunan, hingga karya seni.

Budaya itu dipelajari dan merupakan suatu pola hidup sosial manusia secara menyeluruh yang memiliki sifat yang kompleks, abstrak, dan luas.

Perbedaan kebudayaan antara barat dan timur dicerminkan oleh banyak faktor yang sekaligus menjadi ciri masing-masing dalam berpola hidup.

Banyak hal yang mana bagi orang barat dianggap umum ternyata menjadi sangat tidak etis bagi orang timur.

Hal tersebut membuktikan, bahwa antara barat dan timur memiliki perbedaan kebudayaan dan kebiasaan-kebiasaan tertentu dalam berpola hidup.

Kata barat dalam arti merujuk kepada masyarakat di benua Eropa, benua Amerika dan benua Australia, sedangkan diluar itu disebut sebagai masyarakat timur yang pada umumnya ada disekitar benua Asia dan Afrika.

Perbedaan Budaya Barat dan Timur
1.     Kebudayaan Barat
Kebudayaan barat tersusun dan terbina dari kumpulan himpunan dan pemahaman terhadap sastra, ilmu pengetahuan, filsafat, politik, serta prinsip artistik dan filosofi yang membedakannya dari peradaban lain.

Masyarakat barat melakukan berbagai macam cara diskusi dan perdebatan untuk mempelajari, menemukan atau menentukan makna seperti apa yang sebenarnya kesadaran akan berbudaya itu.

Kebudayaan barat tidak bisa langsung diartikan murni datang dari sebuah arah mata angin masyarakat barat itu sendiri. Produknya merupakan proses akulturasi dan belajar dari perkembangan antara budaya barat dan budaya timur.

Sebagian besar rangkaian tradisi dan pengetahuan budaya tersebut dikumpulkan dan dipengaruhi oleh imigrasi atau kolonisasi orang-orang Eropa, misalnya seperti negara-negara di benua Amerika dan Australia, dan tidak terbatas hanya oleh imigran dari Eropa Barat.

Eropa Tengah juga dianggap sebagai penyumbang unsur-unsur asli dari kebudayaan Barat.

Karena datangnya dari proses rasionalitas & logika, budaya barat mempunyai ciri lebih selektif dalam banyak hal, memiliki disiplin tinggi, tertib, sikap to the point, individualis dan lebih terbuka walau sangat jarang menjalin hubungan dengan orang lain kecuali dengan adanya maksud atau kepentingan tertentu.

2.     Kebudayaan Timur
Kebudayaan timur mempunyai manner yang khas yang membedakannya dengan masyarakat barat.

Bangsa timur sangat terkenal dengan keramahtamahannya terhadap orang lain bahkan terhadap orang asing sekalipun.  Bagaimana mereka saling memberikan salam, tersenyum atau berbasa basi menawarkan makanan atau minuman.

Bangsa Timur juga sangat menjunjung tinggi nilai-nilai atau norma-norma yang tumbuh di lingkungan masyarakat mereka. Salah satu contohnya adalah berkaitan dengan nilai kesopanan.

Pembinaan kebudayaan ini kesadarannya dengan cara melakukan berbagai macam pelatihan fisik dan mental.

Pelatihan fisik dapat dicontohkan dengan cara menjaga pola makan dan minum ataupun makanan apa saja yang boleh dimakan dan minuman apa saja yang boleh di minum, karena hal tersebut dapat berpengaruh pada pertumbuhan maupun terhadap fisik kehidupan sosial mereka.

Sedangkan untuk pelatihan mental, yaitu dapat berupa kegiatan ritual yang umumnya dilakukan sendiri atau berkelompok, seperti bermeditasi, bertapa, berdo’a, beribadah, dan lain sebagainya.

Dengan demikian, budaya timur mempunyai ciri memiliki solidaritas tinggi, menghargai orang lain, sangat mengedepankan etika, mempunyai sifat toleransi yang tinggi, sangat bersosial tidak individualis, ramah dan bersahabat, suka  saling tolong menolong, respek terhadap yang lebih tua, dekat dengan kerabat terutama keluarga maupun (ini yang paling penting) memegang teguh norma, etika serta nilai ritual maupun adat istiadat yang ada

Gastronomi Indonesia
Dengan penjelasan di atas secara umum dapat dipahami kebudayaan masyarakat timur, terutama di Indonesia, memegang teguh norma, etika serta nilai ritual maupun adat istiadat dalam kehidupan mereka.

Sama sebangun keteguhan ini dibangun dalam budaya makanan yang lahir dari produk warisan kearifan lokal leluhur yang diturunkan dari generasi ke generasi.

Dengan demikian, jika bicara peradaban gastronomi masyarakat timur, khususnya Indonesia, elemen tambahan nomor lima koridor kajian gastronomi itu mutlak ada.

Elemen tambahan ini dalam dunia gastronomi Indonesia diistilahkan dengan “makanan punya cerita” (cibus habet fabula – food has its tale), yakni mengenai intagible dari nilai ritual dan adat istiadat.


Semoga bermanfaat

Monday, 27 November 2017

*Chef vs. Cook: Is There A Difference Between the Two?*

Article by : Christina Staalstrom :

In an interview with Eater, Nigella Lawson promotes her new cookbook, Nigella Kitchen. Yet this curvaceous cookbook author, TV personality, and all around fabulous foodie who has a way of making even a grilled cheese sound sultry and sexy stands fast that she is not a chef.

Eater: Why do you shirk the title of chef?

Nigella: I am not a chef.

Well, what does a chef mean that you aren't?

Nigella: Chef means a degree of professionalism either because you've got the qualification or because you've worked in a restaurant kitchen. I have done neither. My only qualification is in Medieval Modern Languages at Oxford. A chef means in some sense that you are a professional and I feel like I am a passionate amateur. It's partly because I feel that the age we live in is the great age of expert.

The idea of what defines a chef versus a cook is an ongoing battle in our editorial meetings as we dispute whether some "chefs" in fact are cooks who have taken on the title to give themselves more credibility. According to the Oxford Dictionary, the word chef is defined as a professional cook, typically the chief cook in a restaurant or hotel. So by this definition any cook who is the head of a kitchen is in fact a chef, regardless of educational background or work history -- be it the Outback Steakhouse or Prime 112. We concede that the dining experience at these two restaurants is vastly different, but so should your expectations going in.

In the end of the day, as they say, the proof is in the pudding and it doesn't matter what your title is, as long as your pudding is good this passionate amateur will eat with wanton abandon.


Respons by Lee Klein :

I can't argue with Christina over the dictionary definition of chef -- in my old American Heritage, the main definition is simply "a cook." Then again, my old American Heritage, under Eisenhower it says "current President of the United States." But the point here is that every restauranteur knows very well the distinction between chef and cook -- the former cost sixty grand and up, the latter maybe thirty grand. And yes, you get what you pay for.

All chefs know the difference too. Imagine being a Philippe Ruiz, Michael Schwartz, or Michelle Bernstein -- people who have gone to school and worked for decades to become professional chefs in the true sense of the word -- and have read blog after blog about "this talented chef so and so and that talented chef so and so" -- some young goofballs who've worked as prep cooks or line cooks for a few years at some well known restaurant and are now billing themselves as chefs, or to put it another way, touting themselves as performers in the same league as the aforementioned toques.

No other profession permits this sort of fraudulence. Imagine going to the hospital and finding out the doctor about to operate on you never actually went to school, and has no professional medical training, but is a huge fan of medicine and has read medical journals, watched all the medical shows on television, owns his own set of surgery tools, and worked a couple of summers as a hospital intern. Not a fair comparison because nobody dies from eating food from an amateur chef rather than a professional one. Except, come to think of it, thousands of Americans die each year from food poisoning, quite a few of those from eating bad food in restaurants run by "chefs" who never sat through the sanitation classes culinary students have to.

Problem is, most of the public, because lines get blurred so often, are confused over the difference between cook and chef, and so, sadly are the majority of food bloggers here in Miami. So while I disagree with Nigella about this being the "great age of the expert" (I believe it to be the great age of know-nothings), she has it mostly correct when saying that "Chef means a degree of professionalism you've got the qualification or because you've worked in a restaurant kitchen." Except it really goes further than just having any old restaurant experience. You can work at Denny's for 20 years and not learn enough to be a chef. To be a chef (again, in the real sense), those who don't possess culinary degrees need to work years under the tutelage of experienced chefs in respectable kitchens, or else work many years in regular kitchens, until they learn the necessary skills. And those who do possess culinary degrees likewise have to work some years in the business before achieving true toqueness.

A common misconception is that an amazingly talented cook who consistently puts out delicious food is a chef. Not necessarily true. If that person doesn't know how to manage a kitchen, he or she is just a great cook -- nothing to be ashamed of. How good the pudding is, or how well you cook, has as much to do with being an executive chef as how well you throw the football as to do with being a great football coach. One of the big surprises to me and my classmates as we started out at the Culinary Institute of America was how many more days and weeks were spent attending cost control classes, management classes, nutrition classes, sanitation classes, menu planning classes, and so forth, than was spent in the kitchen learning how to cook. At times we'd go two months without stepping foot in a kitchen, and we'd go batty, but it was what we learned in the non-cooking classes that differentiates us from great cooks.

Seeing how I've already gone on too long, I won't detail the basic job description of a chef here and now, but will do so in the future. But trust me on this, there is a huge difference between a professional chef and a cook who merely proclaims him or herself one.

By the way, did I mention that a few weeks ago I decided to become a lawyer? My fees are more reasonable than those so-called "professionals" who have fancy schmancy degrees, and anyone who knows me will tell you I have a lot of experience arguing. Those interested in my legal service may contact me through my Short Order email address.

Sunday, 29 October 2017

Makanan dan Minuman yang Sudah Ada Zaman Jawa Kuno


Suka makanan tradisional Jawa? Di antara aneka makanan-minuman tradisional Jawa, ternyata ada makanan dan minuman yang umurnya sudah berabad-abad atau malah sudah lebih dari 1.000 tahun. Itu artinya makanan-minuman itu berasal dari zaman Gajah Mada masih menjabat sebagai mahapatih amangkubhumi di Majapahit. Bahkan berasal dari zaman ketika candi-candi di Kompleks Percandian Prambanan sedang disusun batu-batunya. makanan-minuman tersebut masih tetap populer di dalam masyarakat zaman Indonesia sekarang. 

Keluarga-keluarga Indonesia masih lazim mengolah dan menghidangkan makanan-minuman itu di rumah mereka. Di banyak tempat pun masih ada pedagang yang menjual makanan-minuman itu. Bahkan, ada beberapa dari makanan-minuman itu terkenal menjadi makanan khas sejumlah kota . Berikut ini makanan-minuman yang sudah ada sedari zaman Jawa Kuno sebagaimana diterangkan oleh Prof Dr Timbul Haryono, Guru Besar Arkeologi Universitas Gadjah Mada,

1.Dendeng:
Makanan berupa daging yang dikeringkan dan dibumbui sehingga membentuk lembaran-lembaran tipis ini turut disebutkan dalam Prasasti Taji yang berangka tahun 901 Masehi dari era Kerajaan Medang.

2.Urap:
Olahan beberapa sayur yang dibumbui memakai parutan kelapa ini turut disebutkan dalam Prasasti Linggasuntan yang berangka tahun 929 Masehi dari era Kerajaan Medang.

3.Lalapan:
Sajian sayur yang tetap dibiarkan mentah atau sekadar direbus sebentar ini turut disebutkan dalam Prasasti Jeru-jeru yang berangka tahun 930 Masehi dari era Kerajaan Medang.

4.Dodol:
Kini, kue manis yang kenyal, lengket, dan berwarna cokelat gelap ini begitu identik sebagai jajanan khas kota Garut di Jawa Barat. Namun, jika mengamati bentuk, bahan baku, maupun penyajiannya, jenang ala kota Kudus di Jawa Tengah sebenarnya terbilang juga di dalam keluarga besar dodol. 


Dodol rupanya sudah turut disebutkan dalam saduran kitab Ramayana versi Jawa. Ramayana sendiri acap dianggap sebagai karya sastra India yang pertama kali disadur oleh masyarakat Jawa. Ramayana versi Jawa diperkirakan berasal dari zaman akhir Kerajaan Medang, yakni ketika masih menempati Jawa Tengah dan belum dipindahkan ke Jawa Timur oleh Maharaja Sindok. Penyaduran Ramayana guna menciptakan versi Jawanya diperkirakan terjadi antara 840 Masehi sampai dengan 930 Masehi.

5.Tape ketan:
Ramayana versi saduran Jawa yang diperkirakan berasal dari pertengahan abad IX atau awal abad X Masehi sudah menyebutkan tentang keberadaan tape ketan. Kini, makanan bercitarasa manis-asam dan kerap dijadikan campuran minuman ini terkenal sebagai makanan khas dari kota Muntilan dan Magelang.

6.Pecel:
Ramayana versi saduran Jawa juga turut menyebut tentang keberadaan hidangan pecel. Makanan yang pada dasarnya merupakan racikan sejumlah sayuran yang diguyur saus bumbu kacang ini sampai sekarang populer. Sayuran yang biasa dipakai sebagai bahan utamanya adalah bayam, atau sawi, atau kangkung. 

Namun, sejumlah sayuran lain acap ditambahkan yakni kacang panjang, taoge, kembang turi, kubis, hingga irisan wortel. Selain itu, pecel sering dihidangkan dengan dilengkapi sejumlah lauk seperti rempeyek, kerupuk, karak beras, hingga telur asin. Orang antara lain kerap menjadikannya sebagai salah satu pilangan menu untuk sarapan. Karena itu banyak warung makan laris yang mengandalkan menu ini sebagai jualan utamanya. Madiun di Jawa Timur adalah contoh kota yang dikenal karena racikan pecelnya.

7.Agar-agar:
Smaradahana, kitab sastra bergenre kakawin dari zaman Kerajaan Kediri di abad XII Masehi ternyata telah mencatat keberadaan penganan yang diidentifikasi sebagai agar-agar. Namun belum dapat dipastikan pula seperti apa tepatnya agar-agar yang dicatat oleh Smaradahana ini, apakah berbahan rumput laut sebagaimana dikenal sekarang atau berbahan lain. Smaradahana sendiri mengisahkan Dewa Kama dan Dewi Ratih yang harus menjalani inkarnasi ke dunia setelah Kama terbakar hangu

8.Dawet:
Minuman segar dan manis dari hasil perpaduan air gula merah, santan kelapa, dan butiran-butiran kenyal berbahan tepung beras yang dinamakan cendol ini rupanya telah ada zaman Kerajaan Kediri, sekitar abad XII Masehi. Hal ini tercatat dalam kitab Kresnayana yang berkisah tentang percintaan Krisna dan Rukmini. Sekarang, ada beberapa dawet yang menjadi minuman khas bagi daerahnya. Sebut saja dalam hal ini adalah dawet ayu dari Banjarnegara, dawet telasih dari Pasar Gede di Solo, juga dawet ala Bayat, Klaten, yang lebih banyak di jual di Kalasan, Yogyakarta.

9.Kerupuk:
Makanan ini dibuat dari adonan tepung bercampur lumatan udang atau ikan, yang lalu dikukus, kemudian dibentuk tipis-tiipis melalui pengirisan ataupun pencetakan, lantas dijemur, serta akhirnya digoreng sehingga menjadi renyah. Keberadaan kerupuk telah disebutkan dalam kitab Sumanasantaka yang merupakan hasil penulisan dari zaman Kediri pada abad XII. Isi Sumanasantaka adalah kisah bidadari Harini yang dikutuk Begawan Trnawindu sehingga menjalani hidup di sebagai manusia di Bumi, lalu diperistri oleh Pangeran Aja, dan dari perkawinan mereka lahirlah Dasarata yang nantinya akan menjadi ayah dari Rama.

10.Rawon:
Masakan ini sekarang identik sebagai makanan khas daerah-daerah di Jawa Timur, khususnya Surabaya. Hidangan olahan irisan daging ini bercirikan genangan kuah cokelat gelap menjurus hitam yang dihasilkan dari penggunaan biji kluwak sebagai salah satu bumbunya. Keberadaan rawon sudah disebutkan dalam kitab Bomakawya yang berasal dari zaman Kerajaan Kediri.

11.Ikan asin:
Macam-macam ikan laut yang diawetkan dengan cara digarami dan dikeringkan ini dicatat keberadaannya dalam kitab Bomakawya dari zaman Kediri.

12.Wajik:
Jajanan manis berbahan dasar ketan yang dimasak bersama cairan gula merah sehingga berwarna kecokelatan ini telah tercatat keberadaannya dalam kitab Nawa Ruci yang berasal dari zaman Kerajaan Majapahit, sekitar abad XIV Masehi. Nawa Ruci sendiri bercerita tentang petualangan Bima mencari air suci tirta amertha yang membuatnya sampai menyelam jauh ke dalam samudera. Sekarang, wajik dikenal sebagai makanan khas dari Magelang.

13.Jadah:
Penganan dari ketan yang dihaluskan dan lalu dibentuk menjadi lempengan-lempengan atau kepalan-kepalan ini telah disebutkan keberadaannya dalam kitab Nawa Ruci hasil penulisan pada zaman Majapahit. Contoh jadah yang menjadi penganan tersohor adalah jadah tempe ala Kaliurang, Sleman, Yogyakarta.

14.Serbat:
Minuman hangat pedas berbahan dasar jahe yang dicampur bersama tambahan bahan-bahan lain seperti kencur, kemiri, dan adas pulowaras ini telah dicatat keberadaannya dalam kitab Kidung Harsawijaya yang berasal dari zaman Majapahit. Kidung Harsawijaya sendiri bercerita tentang sejarah masa akhir Singhasari sampai berdirinya majapahit

Note
Kompilasi tulisan Prof Dr Timbul Haryono, Guru Besar Arkeologi Universitas Gadjah Mada