Oleh : KI SONDONG MANDALI
“HONG WILAHENG, SEKARING BAWANA LANGGENG”
“……… Demikian juga selain mengenai masalah kibijaksanaan, tahu sebelum mendapatkan pengajaran serta mengenai segala hal tentang ilmu kesaktian, bisa menghilang serta tampak seperti yang aku ceritakan kepadamu tadi. Sebab di hamparan bentangan bumi dan dibawah langit yang mendapatkan ijin untuk memperlihatkan kebijaksanaan, kesaktian yang luar biasa, hanyalah Engkau beserta sanak keluargamu. “
“Jadi kelebihan orang-orang di barat daya negeri Hindi tersebut, hanya sebatas kemampuan manusia biasa. Adapun yang menguasai Negara, raja atau pembesar di negeri Hindi dan seterusnya serta pulau-pulaau di tenggara negeri Hindi, secara turun-temurun tidak ada lain, semua itu berasal dari silsilahmu serta silsilah para dewa keluargamu.”
(“Mitos Asal-Usul Manusia Jawa”, Paramayoga Ranggawarsita)
SIAPAKAH WONG JAWA
Teori yang selama ini didoktrinkan dan diajarkan kepada kita, bahwa wong Jawa itu termasuk “Ras Melayu” yang cikal bakalnya berasal dari tempat yang dinamakan “Hindia Belakang”. Ras Melayu menyebar ke Nusantara karena terdesak oleh migrasi Ras Arya dan Ras Mongolia dari arah pedalaman Asia Daratan. Teori migrasi yang menyebutkan nenek moyang wong Jawa (Nusantara) dari Hindia Belakang tersebut jelas berpijak dari asumsi bahwa Ras Arya, Ras Kaukasus dan Ras Mongolia adalah “Ras Manusia” yang lebih dulu beradab dibanding ras-ras manusia lainnya di dunia ini.
Kita boleh percaya dengan teori yang oleh para pencetusnya diberi argumen yang cukup valid tersebut. Namun kita juga boleh meragukan teori tersebut, karena kecurigaan kita terhadap “vokal” nya orang- orang Barat yang meng-“under istimatisasi”-kan bangsa-bangsa non Indo German (Arya), termasuk wong Jawa. Mengapa kita boleh meragukan teori tersebut?
Teori tersebut dicetuskan oleh orang Eropa di jaman mereka menemukan kembali kejatidiriannya (renaissance). Ketika para petualang Eropa menjelajah negeri Timur, maka mereka sebenarnya “kaget” ketika menemukan negeri-negeri Timur (India, Cina, dan Nusantara) ternyata negeri yang lebih “beradab” dibanding mereka. Terutama terhadap peradaban agama Hindu dan Buddha. Dua agama yang sebelumnya tidak mereka kenal. Yang mereka kenal cuma agama-agama asal Timur Tengah (Yahudi, Kristen, Islam) serta agama-agama kuno (Paganisme) dari Mesir dan Persia.
Para petualang Eropa yang tercengang tersebut kemudian melakukan penelitian dan “menemukan” bahwa peradaban Timur (Hindu & Buddha) sumbernya dari India. Selanjutnya diteorikan pula bahwa bangsa India yang “beradab” tersebut adalah yang ada di India Utara dan keturunan Ras Arya alias “Indo German” yang juga menjadi nenek moyang orang- orang Eropa.
Ras Arya India tersebut dinyatakan bangsa yang paling berbudaya setara dengan Ras Kaukasus (Roman, Greek, Mesir, Semit, Slavia, dll.) dimana pada kedua ras manusia tersebut lahir semua peradaban umat manusia termasuk agama-agama besar dunia. Begitulah teori yang mereka cetuskan.
Atas dasar teori bahwa sumber peradaban manusia dari ras Kaukasus dan Arya, maka menurut teori tersebut peradaban Nusantara “harus” berasal dari ras-ras unggul tersebut. Oleh karena itu, jejak arkeologi Hindu dan Buddha di Nusantara dijadikan bukti untuk mendukung argumen teori tersebut. Peradaban Nusantara (termasuk Jawa) adalah “turunan” dari India. Nusantara dianggap sebagai “zero zone” peradaban dan kebudayaan manusia.
Kooptasi peradaban asing yang panjang pada bangsa Jawa telah mencuci otak seluruh rakyat hingga bergenerasi-generasi. Maka kita, wong Jawa saat ini, sesungguhnya sudah bukan Jawa lagi. Disindir oleh para “Pujangga Mbalela” dengan mengistilahkan sebagai Jawan atau Jawal Rab-iriban. Dikatakan pula bermata tiga “mata Jawa - mata Arab - mata Belanda”. Istilah bahasa Jawa yang kasar, “koplak”.
Dulunya para pencetus teori “peradaban manusia berasal dari Asia Daratan” tersebut menganggap bahwa semua peradaban bersumber dari India yang dianggap tempat lahirnya agama Hindu dan Buddha. Dengan demikian, kemampuan membuat tempat peribadatan kedua agama tersebut juga berasal atau turunan dari India. Menyebar sampai ke Jawa melalui India Belakang (Asia Tenggara). Sehingga kemampuan Jawa membuat candi-candi Hindu maupun Buddha “diturun” dari Thailand dan Kamboja. Karena di kedua negeri itulah terdapat peninggalan arkeologi candi-candi mirip dengan yang di Jawa.
Namun terbukti kemudian, bahwa yang membuat Angkor-Watt di Kamboja justru seniman pemahat dan pematung yang didatangkan dari Jawa. Maka artinya adalah : bahwa bangsa Jawa waktu itu lebih memahami peradaban Hindu dan Buddha sehingga lebih mampu mempersonifikasikan “dewa Hindu” dan “sesembahan Buddha” dalam bentuk patung-patung dibanding bangsa Khmer (Kamboja), Thai, dan sekitarnya. Dengan kata lain, atas dasar keahlian membuat candi dan patung telah terbukti bahwa Jawa (Nusantara) yang menurunkan “peradaban”-nya kepada bangsa-bangsa Asia Tenggara. Dengan demikian, bahwa Jawa adalah “zero zone” peradaban dan budaya sudah terbantah. Justru kemudian menimbulkan teori baru bahwa Jawa adalah sumber (pusat) peradaban Asia Tenggara. Maka menjadi mungkin pula bahwa asal-usul agama-agama yang kemudian melahirkan agama Hindu dan Buddha adalah Jawa.
Dalam kisah para Nabi di Timur Tengah, ada dikisahkan bahwa cara melaksanakan ritual agamanya Nabi Sulaiman (King Solomon) di kuil menggunakan pembakaran “dupa” yang didatangkan dari negeri Timur. Ketika kita ketahui bahwa dupa untuk keperluan ritual itu dibuat dari serbuk kayu cendana dan getah pohon damar (kemenyan), maka sangat jelas bahwa keduanya berasal dari Nusantara pula.
Para pedagang yang memasok dupa itupun sampai ke negeri Nabi Sulaiman dengan menggunakan perahu. Maka kita boleh bertanya-tanya adakah umat nabi Sulaiman mengenal dan bisa membuat perahu? Kalau memang kenal dan bisa membuat, maka akan tercantum dalam kitab-kitab peninggalan mereka, Taurat maupun Zabur. Ternyata tidak ada diskripsi tentang perahu pada kitab-kitab kuno bangsa Yahudi tersebut. Barangkali cuma pada kisah Nabi Nuh ada keterangan pembuatan perahu. Itupun sangat
tidak masuk akal ceriteranya. Bagaimana mungkin memasukkan semua jenis binatang yang ada di dunia ini dalam satu perahu, kecuali perahunya itu ya bumi ini sendiri. Kalau perahu Nuh itu bumi ini, maka kita harus percaya bahwa mahluk manusia berasal dari planet lain di luar angkasa sana. Pendapat bahwa mahluk manusia berasal dari planet lain kenyataannya memang ada. Bahkan kemudian pendapat ini dijadikan bahan untuk membuat cerita-cerita fiksi semacam film “Startrek”.
Dengan merunut kisah di jaman Nabi Sulaiman, maka bisa disimpulkan bahwa untuk kepentingan peribadatan umat Sulaiman memerlukan sarana (dupa) dari negeri Timur. Bukan umat Sulaiman yang mendatangi negeri Timur, tetapi para pedagang dari negeri Timur yang berdatangan ke negri Sulaiman. Maka dengan demikian, yang menguasai perdagangan antar bangsa melalui laut (samudera) di jaman Nabi Sulaiman itu adalah orang dari Negeri Timur. Dan negeri tersebut sudah maju tingkat peradabannya hingga mengenal perdagangan lintas samudera dengan dagangan yang sangat nyleneh, dupa atau bahan pembuat dupa. Selisik kita dengan ilmu pengetahuan, akan menemukan bahwa bangsa bahari dan yang memiliki bahan pembuat dupa (kayu cendana dan getah damar) adalah bangsa Nusantara.
Ritual agama di jaman Nabi Sulaiman ada di kuil dengan menggunakan pembakaran dupa. Pertanyaannya, murni “karya cipta” manusia di tempat itu? Perintah “Tuhan”? Atau “turunan” dari bangsa yang sudah lebih dahulu mengenal dupa? Pertanyaan-pertanyaan “orang berpikir” semacam ini masuk akal dan wajar. Dalam hal ini (secara subyektif) yang paling mungkin ritual umat Sulaiman adalah “turunan” dari bangsa yang sudah lebih dahulu mengenal dupa. Dan bangsa yang lebih dahulu mengenal dupa dari bahan sampai pemanfaatannya untuk ritual menyembah “sesembahan” adalah bangsa Nusantara. Ketika lebih mendalam kita selisik, maka ketemulah bangsa yang menurunkan tatacara menyembah dengan dupa dan menggunakan kuil peribadatan adalah bangsa Jawa. Karena, semegah-megahnya kuil untuk melakukan pemujaan adalah candi yang berserakan adanya di Jawa.
Dalam kisah King Solomon dan Princes Sheba, dikisahkan bahwa raja (penguasa) negeri Timur adalah seorang wanita. Maka bisa kita selisik pula di negeri atau bangsa mana yang memiliki jejak sejarah menempatkan wanita sebagai penguasa. Maka akan kita ketemukan bahwa negeri dan bangsa itu adalah Nusantara juga. Jejak penguasa dimaksud adalah penguasa kebaharian, tepatnya penguasa yang merangkap saudagar perniagaan antar samudera sebagaimana Puteri Sheba dalam cerita yang diangkat dari Bible tersebut.
Di Nusantara, banyak kisah (meskipun berupa dongeng rakyat) yang menceritakan adanya para perempuan penguasa merangkap saudagar besar perniagaan samudera tersebut. Cerita rakyat itu ada di Sumatera (Melayu Kuno, Aceh Kuno, Pagaruyung), Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Di Jawa, yang terdeteksi dengan ilmu sejarah, ada Puteri Shima (Kalingga), Pramuda Wardani (Mataram Kuno), Tribuwana Tungga Dewi (Majapahit). Kemudian di jaman mulai masuknya agama Islam (abad 11), banyak disebut bahwa pada waktu itu saudagar-saudagar “perniagaan laut” adalah para Nyai Ageng. Ada disebut nama-nama : Nyai Ageng Plembang, Nyai Ageng Serang, Nyai Ageng Giri, Nyai Ageng Cirebon, Nyai Ageng Malaya, dlsb.
Masih dalam cerita “King Solomon and Princess Sheba” yang difilmkan sangat jelas sekali diceritakan bahwa saudagar “armada perniagaan lintas samudera” yang meng-ekspor dupa ke negeri Nabi Sulaiman adalah Ratu Puteri (Princess Sheba). Memang tidak jelas disebutkan bahwa ratu puteri tersebut berasal dari Nusantara. Namun mari kita renungkan, negeri manakah yang di jaman itu memiliki sumber daya alam untuk dupa (cendana - kemenyan) dan rempah-rempah? Dari negeri mana pula para Penguasa Persia mendapatkan penghias mahkotanya yang berupa bulu burung Cendrawasih? Adakah itu India dan Srilanka? Cina? Afrika?
Lagipula kenyataannya jejak peradaban dan kepadatan umat manusia di Jawa justru lebih “tinggi” dibanding dengan daratan Asia yang dianggap sebagai asal nenek moyang bangsa-bangsa di dunia (Nabi Adam). Sampai sekarang ini, jumlah penduduk di sekitar pusat kelahiran “agama-agama Semit” masih kalah padat dengan Jawa.
Di Jawa diketemukan fosil manusia purba. Maka arti-nya, Jawa sudah dihuni mahluk “titah Tuhan” sejak jutaan tahun yang lalu. Maka teori yang mengatakan bahwa Jawa sebelumnya pulau kosong yang kemudian didatangkan penduduknya dari berbagai negeri Asia atas perintah Raja Rum, adalah teori yang sulit diterima untuk “manusia berpikir”.
Dengan paparan wacana berpikir tersebut diatas, maka kita masing-masing berhak untuk menelusuri asal-usul nenek moyang kita, wong Jawa. Saya secara subyektif berpendapat, nenek moyang saya asli Jawa. Kalau toh bukan keturunan manusia purba yang diketemukan fosilnya di Jawa, maka saya akan lebih mempercayai mitos bahwa nenek moyang saya adalah keturunan Hyang Manikmaya, persatuan Bathara Guru dan Semar.
PERADABAN JAWA ADALAH INTISARI PERADABAN NUSANTARA
Sesungguhnya bahwa teori nenek moyang orang Nusantara imigran dari Asia Daratan meragukan. Lebih meragukan lagi ketika kita berpikir tentang sarana transportasi untuk migrasi itu sendiri. Kalau berjalan kaki, mungkinkah? Kalau menggunakan perahu, apakah orang Asia Daratan memiliki peradaban bahari hingga mampu membuat perahu besar untuk mengarungi samudera?
Ada disebut perahu untuk bangsa-bangsa Timur Tengah, Mesir, Yunani, dan Romawi. Namun perahunya bukan perahu untuk samudera besar. Sekedar kapal untuk mengarungi Laut Tengah yang tidak berombak besar sebagai-mana Samudera Hindia dan Samudera Pacific. Bandingkan dengan diskripsi tentang perahu yang ada dalam cerita rakyat di seluruh Nusantara. Di Bugis ada disebut bahwa nenek moyangnya (Sawerigading anak keturunan Guru) berobsesi menguasai dunia dengan perahu- perahunya. Kemudian di Candi Borobudur ada relief perahu.
Dalam pelajaran sejarah (yang disusun orang Belanda) disebutkan bahwa relief perahu di Borobudur adalah cerita awal mulanya orang-orang Hindia belakang datang ke Jawa. Masuk akal atau tidak hal itu? Lha wong orang daratan, mana mungkin mengenal perahu. Apalagi alasan migrasinya terdesak oleh orang Arya dan Mongolia, kok begitu sepele. Bukti sejarah menunjukkan bahwa serbuan Arya ke Asia hanya sampai India Utara. Model serbuan Mongolia tidak menduduki, sekedar merampas harta membunuh semua laki-laki dan memboyong semua perempuan untuk dijadikan pemuas nafsu birahi.
Yang paling mungkin, Jawa adalah hasil migrasi bangsa-bangsa dari kepulauan Nusantara sendiri. Artinya, Jawa adalah perpaduan umat manusia dari seluruh Nusantara yang kemudian menjadikan Jawa sebagai pusat peradaban Nusantara. Dasar pemikirannya bahwa bangsa Nusantara saja yang di jaman purba merupakan bangsa bahari yang mampu menguasai lautan. Mampu membuat perahu-perahu untuk mengarungi samudera yang besar (Samudera Hindia dan Pasifik). Sedangkan di Nusantara, Jawa merupakan pulau terpadat penduduknya. Maka Jawa yang termaju “peradaban” nya, hingga umat manusia nyaman mukim di tempatnya.
Diteorikan bahwa peradaban Jawa adalah “turunan” dari India. Alasannya, agama Hindu dan Buddha di Jawa berasal dari India. Namun kalau kita kembalikan bahwa kenyataan bangsa-bangsa Asia Daratan sama sekali tidak mengenal perahu, maka memunculkan keraguan akan kebenarannya. Di India sama sekali tidak kita dapatkan diskripsi adanya perahu. Untuk mencapai ke Alengka (Srilangka) dari daratan India tidak ada sedikitpun disinggung tentang perahu dalam kitab paling kuno India, Ramayana. Maka bandingkan dengan kitab kuno dari Bugis (La Galigo) yang menyebutkan Sawerigading anak Guru memiliki cita-cita mengarungi dunia dengan perahunya. Konon kitab “La Galigo” lebih tua dari kitab Mahabharata dan Ramayana.
Perenungan saya kemudian menemukan pendapat bahwa bukan Nusantara yang didatangi peradaban Asia Daratan, tetapi sebaliknya daratan Asia yang disebari peradaban Nusantara. Penyebaran peradaban sangat mungkin termasuk juga penyebaran agama. Dalam hal ini yang dimaksud agama adalah agama sebelum Hindu dan Buddha lahir.
Kita boleh percaya dan meyakini agama Hindu dan Buddha berasal dari India. Namun kalau tentang “tata per-adaban” Jawa “turunan” India, belum tentu benar. Sederhana saja dasar pemikirannya. Dalam kitab Mahabharata (konon asalnya dari India) ada disebut cerita asal muasal musik dan tarian. Konon pula seni budaya cermin peradaban manusia tersebut pelajaran dari para dewa di kahyangan kepada Arjuna. Boleh kita renungkan lebih pantas mana sebagai musik dan tarian “kahyangan” antara tarian dan musik India dengan tarian dan gamelan Jawa.
Saya merenungkan nama “Sawerigading” (Srigading) dan “Guru” yang disebut dalam kitab kuno Bugis, La Galigo tersebut. Ternyata nama itu tidak asing bagi telinga hampir seluruh bangsa-bangsa di Nusantara. Batak, Minangkabau, Kubu, Palembang, Dayak, Toraja, Baduy, Sunda Kawitan, Jawa, Bali dan masih banyak lagi wilayah lain di Nusantara ini, memiliki mitologi yang memposisikan “Guru” adalah “nenek moyang” atau “cikal bakal” nenek-moyang pada masing-masing etnis itu. Apa maknanya ?
Atas dasar kesamaan posisi “Guru” pada kepercayaan (mitologi) bangsa-bangsa Nusantara, maka sejak jaman kuno sebelum masuknya agama Hindu dan Buddha, Nusantara sudah satu peradaban. Yang kemudian perlu dicari adalah “pusat peradaban” yang bisa menyatukan Nusantara di jaman kuno itu. Perenungan subyektif saya menemukan bahwa pusatnya ada di Jawa. Dasar pemikiran saya dengan pendekatan konsep kepercayaan (teologi dan mitologi) Jawa adalah yang “terang benderang” dan sangat jelas serta mudah dipahami.
Dengan asumsi bahwa pusat peradaban Nusantara di jaman kuno adalah Jawa, maka sesungguhnya peradaban Jawa adalah intisarinya seluruh peradaban Nusantara. Kalau kemudian peradaban kuno tersebut musnah adalah mungkin sekali. Jawa kenyataannya berada tepat di atas pertemuan lempeng kulit bumi yang terus menerus bergerak dan bertumbukan. Terakhir dampak tumbukan tersebut berupa bencana besar di Aceh. Maka sangat mungkin bahwa di jaman kuno, ribuan tahun yang
lalu, Jawa tertimpa bencana yang lebih besar dari tsunami yang menimpa Aceh. Saking besarnya bencana tsunami yang melanda Jawa hingga menyapu bersih seluruh peradaban yang ada. Yang tersisa tinggal bangunan candi-candi yaang memang kokoh kuat. Perhatikan saja, bahwa candi-candi di Jawa yang masih utuh yang berada di tempat yang tinggi. Juga rata-rata di pedalaman pulau, bukan yang ada di pesisir. Kenyataan ini saja sudah bisa untuk menggugat teori yang menyatakan peradaban Jawa “turunan” dari India. Kalau memang benar berasal dari luar, maka yang berkembang pasti yang ada di pesisir. Jejak penyebarannya juga bisa dirunut dari pulau-pulau sebelah utara Jawa (Sumatera) menuju India sana. Kenyataannya? Di Sumatera tak ada
jejak peninggalan semenonjol Jawa. Kenyataan ini hanya ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama peradaban India sampai ke Jawa dengan disebarkan melalui angkasa (terbang) oleh dewa-dewa sebagaimana mitos yang dikarang para empu jaman Kahuripan yang diteruskan para pujangga Keraton Surakarta. Kemungkinan kedua, bahwa India justru menerima sebaran peradaban dari Jawa. Mana yang lebih mungkin merupakan tantangan bagi “manusia berpikir” untuk menelaah lebih mendalam.
Dengan mewacanakan bahwa peradaban Jawa adalah intisari peradaban Nusantara bukan dimaksudkan untuk merendahkan peradaban Nusantara yang lain saat ini. Namun lebih mengutamakan bahwa sejak jaman kuna Nusantara sebenarnya satu peradaban dengan pusatnya di Jawa. Kenyataannya, saat ini Jawa yang hanya 6% luas daratan Indonesia dihuni 63% populasi penduduk Indonesia.
Permasalahannya, bahwa peradaban Jawa yang diasumsikan “unggul” di jaman kuno itu sudah runtuh (bukan musnah!). Penyebab keruntuhannya bencana alam. Kemungkinan besar tsunami yang lebih besar puluhan atau ratusan kali dibanding yang terjadi di Aceh.
Bukti lain keunggulan Jawa adalah kisah perjalanan para pendeta Buddha dari Tiongkok. Kisahnya sekitar abad 6-7 masehi, sejaman dengan lahirnya Islam di Arab. Maka silahkan membandingkan makna isi kisahnya. Menurut hadis (?), nabi Muhammad SAW mengatakan: “Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina !”. Padahal sejaman dengan lahirnya hadis tersebut, justru para pendeta agama Buddha dari Tiongkok berguru agama kepada para “pendeta besar” Jawa. Salah satu “pendeta besar” itu Jnanabadra. Cukup jelas bahwa pada waktu itu Jawa lebih unggul dari Cina bukan ?
Lebih mencengangkan lagi, bahwa sesungguhnya para pendeta Cina tersebut tujuannya berguru ke India yang dianggaap sebagai sumber agama Buddha. Namun kenyataan-nya mereka hanya sebentar di India dan lebih lama di Jawa dalam berguru tertsebut. Bahkan terbukti pula bahwa para pendeta Cina tersebut dalam perjalanannya menumpang perahu-perahu dari Nusantara.
Nah ! Kiranya tidak salah kalau saya berasumsi bahwa peradaban Jawa di jaman kuna adalah peradaban unggul dan merupakan intisari peradaban Nusantara. Peradaban Jawa adalah Peradaban Semesta. Dalam pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, Bung Karno menyebut bahwa sebelumnya Nusantara pernah memiliki “Negara Bangsa” yaitu di jaman Sriwijaya dan Majapahit. Kalau kita bisa merunut adanya nama “Guru” atau “Bethara Guru” yang dianggap sebagai cikal-bakal seluruh raja-raja di Nusantara, barangkali di jaman jauh sebelum Sriwijaya, Nusantara juga pernah memiliki “Negara Bangsa”.
Demikian pula ketika Bung Karno menyebutkan “Berke-Tuhan-an yang lebih luas dan mendalam ….”, kiranya adalah konsep ber-Tuhan-nya Nusantara yang dengan jelas diwakili pandangan Jawa dengan istilah “tan kena kinaya ngapa”, lha wong menguasai seluruh jagad semesta seisinya, mana mungkin kalau sekedar tinggal di Sinai (Tursina), Himalaya, Gangga, Kakbah atau sekedar diwakili seorang manusia.
Konsep berke-Tuhan-an yang didiskripsikan Jawa (Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Wisesa) itulah yang kemudian diistilahkan dalam bahasa Indonesia “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan kiranya lebih universal pengertiannya baik verbal maupun substansial.
Adanya Tuhan yang melingkupi seluruh semesta alam yang “tan kena kinaya ngapa” merupakan “konsep teologi” yang sangat kuat menjaga ke Maha Esaan Tuhan dari campur tangan pendapat manusia. Bandingkan Tuhan yang diajarkan agama-agama dari Asia Daratan dimana derajat Tuhan diturun-kan sedemikian rupa hingga sekedar menghuni gurun Sinai (Bukit Tursina), Kuil, Kakbah, bahkan pada seorang manusia atau hewan. Maka marilah kita renungkan konsep-konsep Jawa sebagai berikut :
1. Konsep tergelarnya jagad raya yang sangat jelas dinyatakan sebagai ciptaan Tuhan (Sang Hyang Wenang). Penciptaannya dengan cara membanting atau meletuskan antiga (benih kejadian) hingga berujud 3 (tiga) unsur : materi (bumi dan langit), cahaya/enerji (cahya dan teja), Roh (Manik-maya). Kiranya konsep ini sulit terbantahkan.
2. Konsep terciptanya manusia dengan jelas sebagai hasil pembuahan sel telur oleh sperma yang terjadi dalam kandungan Ibu, lebih jelas dan masuk akal dibanding teori rekaan sebagaimana diajarkan agama-agama dari Asia Daratan. Dicipta dari “lempung” yang ditiupkan roh oleh Tuhan, lebih sulit diterima akal dibanding penciptaan adalah pembuahan sel telur oleh sperma.
3. Konsep konstelasi jagad raya seisinya yang terstruktur dalam hubungan inti dan plasma sangat jelas dalam ajaran Jawa. Roh (Suksma, Dzat Hidup) terdiri dari inti (Hyang Manik) dan plasma (Hyang Maya). Roh manusia terdiri dari inti (pancer) dan plasma (sedulur papat). Konsep inti-plasma yang dalam istilah Jawa disebut sebagai : kembanglan cangkoke atau sesotya lan embanan meliputi hampir seluruh pandangan dan ajaran Jawa yang lahiriah maupun spiritual. Tercipta dalam kondisi hayu (harmonis, selaras) namun dinamis dengan pergerakan di dalam keselarasan tersebut. Hal itu terjadi, karena semesta ini “urip” dan uripnya itu karena disuksma oleh Dzat Tuhan Yang Maha Kuasa.
4. Konsep kewajiban hidup manusia menyembah Tuhan dalam ajaran Jawa sangat universal. Yaitu wajib melakukan segala perbuatan untuk menjaga ke-“hayu”-an (keharmonisan) semua yang sudah diciptakan Tuhan dalam keadaan hayu (harmonis). Ajaran kewajiban ini sudah dengan jelas memuat semua kebaikan dan keber-“adab”-an manusia dalam segala hal, lahiriah maupun spirituil. Termasuk didalamnya ajaran hubungan manusia dengan semesta alam seisinya.
5. Ajaran Jawa tentang hidup (urip) dan mati begitu terang benderang menunjukkan tingkat peradaban yang tinggi. Upacara pengantenan (sejak sebelum kedua insan melakukan coitus) sampai dengan kematian (sampai seribu hari sesudahnya) sangat jelas memuat ajaran tentang “sangkan paraning dumadi”.
Atas dasar diskripsi konsep-konsep Jawa tersebut di atas, serta kemampuan Jawa mensinergikan konsep-konsep peradabannya dengan peradaban pendatang menambah keyakinan saya bahwa di jaman kuno pusat peradaban Nusantara adalah Jawa. Peradabannya juga asli bukan “turunan” atau “cangkokan” dari peradaban lain. Bersifat universal, artinya konsep-konsep Jawa tersebut bisa dipahami oleh umat manusia di seluruh dunia.
Sebagaimana telah dibuktikan oleh sejarah, maka Jawa adalah sebuah bangsa yang berperadaban sedemikian luwes dan mampu mensinergikaaan peradabannya dengan peradaban manapun tanpa kehilangan identitas Jawanya. Ketika Jawa menerima Hindu dan besinergi dengannya, maka Hindu di Jawa menjadi sangat cemerlang dan semi abadi terlestarikan. Jejaknya berupa pelestarian cerita Mahabharata yang merakyat dalam pagelaran wayang kulit. Ketika menerima Buddha dan bersinergi, maka candi Borobudur merupakan monument semi abadi agama Buddha di Jawa. Sampai saat ini pula masih berpsoses pensinergian Jawa dengan Islam.
Pijakan falsafah (pandangan hidup) Jawa adalah aras ke-religius-an, kesemestaan dan keberadaban manusia. Ke-religius-an diekspresikan dengan “Kawruh Sangkan Paraning Dumadi”. Merupakan konsep religius yang universal. Bahwa semua titah dumadi berasal dari Tuhan (yang tan kena kinayangapa) dan kepada-Nya kembali (menuju paran).
Konsep pandangan ini melahirkan banyak tradisi buda-ya Jawa yang berkaitan dengan “urip” (hidup) dengan segala prosesinya. Intinya, diawali bahwa kelahiran bayi (anak manusia) adalah “sabdaning Gusti”, maka pandangan Jawa menganggap bahwa urusan seks merupakan bagian dari “sabda Tuhan” tersebut.
Untuk itu marilah kita renungkan betapa rumitnya tata-cara adat Jawa dalam upacara pengantin. Kerumitan itu merupakan ekspresi pandangan bahwa sesungguhnya terjadinya pembuahan sel telur perempuan oleh sperma laki-laki adalah kehendak Tuhan menciptakan manusia baru. Maka sakral nilainya. Renungkan pula betapa banyak dan rumitnya tradisi Jawa mengiringi perkembangan janin dalam kandungan ibu. Termasuk tradisi Jawa dalam menyambut kelahiran bayi. Ada brokohan kemudian selapanan dan seterusnya. Yang tidak boleh dilupakan bahwa Jawa memandang air ketuban, ari-ari dan puser bayi sebagai “saudara” si bayi dan dimuliakan. Pada peradaban lain barangkali organ-organ itu dianggap sampah, justru Jawa mensakralkannya.
Pandangan Jawa, seks adalah sakral maka ikut dijadikan penghias (relief) tempat peribadatan. Lihat saja relief di kaki candi Borobudur maupun yang lebih jelas di candi Sukuh. Banyak yang menganggap relief itu porno. Tetapi bagi mereka yang “berpikir” tidaklah gampang menjastifikasi demikian. Bayangkan saja sudah ratusan tahun yang lalu, perkara seks begitu jelas digambarkan dalam bentuk ukiran (relief) batu dengan terang-terangan. Termasuk pula gambaran janin dalam kandungan ibu. Lho kok dianggap porno. Justru sebuah pembelajaran (pendidikan) bukan ? Boleh kita berangan-angan, seandainya pandangan Jawa yang menganggap seks sebagai kesakralan (sabda Tuhan) bisa menjadi pandangan umat manusia sedunia, kira-kira bagaimana moralitas umat manusia sedunia ?