".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Friday, 13 July 2018

Tradisi Minum Teh Indonesia



Kita tahu bahwa selama ini Jepang memiliki tradisi khusus dalam menikmati teh. Hal ini mereka sebut dengan nama "Sadou", di mana mereka melakukan upacara minum teh hanya bersama kalangan bangsawan dalam menjamu tamu. Namun, kini tradisi tersebut bisa dilakukan oleh semua kalangan masyarakat Jepang.

Selain itu Inggris juga mempunyai tradisi minum teh di sore hari yang dikenal dengan sebutan "Afternoon Tea".  Ciri khasnya adalah teh disajikan dengan camilan-camilan kecil yang disusun di nampan lapis tinggi atau three tier. Tradisi afternoon tea sudah melewati sejarah panjang sejak tahun 1800-an dan populer di kalangan bangsawan Inggris di masa itu. Karena afternoon tea lebih ke urusan gaya hidup, maka segala sesuatunya tampil begitu cantik. Mulai dari peralatan minum teh seperti cangkir hingga taplak meja.

Tidak berbeda dengan Jepang & Inggris, ternyata Indonesia juga memiliki tradisi serupa. Apalagi mengingat Indonesia merupakan salah satu negara penghasil teh terbesar dan terbaik di dunia. Maka tidak heran jika tradisi minum teh di Indonesia menyebar ke berbagai daerah dengan cara yang berbeda-beda.

Masyarakat Indonesia sudah menjadikan minum teh sebagai sebuah tradisi turun menurun. Tradisi minum teh ini awalnya hanya dimiliki kalangan bangsawan, namun kemudian sudah menjadi kebiasaan masyarakat luas. Contoh kebiasaan Gusti Adipati Paku Alam VII yang selalu melestarikan tradisi minum teh bersama keluarganya setiap sore hari.

Teh pertama kali dikenal pada 1686, yakni ketika warga kebangsaan Belanda, Dr. Andreas Cleyer membawa tanaman tersebut ke Indonesia sebagai tanaman hias. Pada 1782 Pemerintah Belanda mulai membudidayakan tanaman the utamanya di Pulau Jawa dengan mendatangkan biji-biji teh dari China. Semenjak itu, dimulailah kebiasaan untuk minum teh di negeri ini, terutama di Jawa.

Memang sejatinya tradisi minum teh merupakan proses akulturasi yang dibawa oleh para pendatang (Cina) dan proses mimikri dari Belanda yang menjajah bumi Nusantara. Namun bukan berarti bangsa kita meniru bulat tradisi minum teh itu sedemikian rupa tanpa menjelaskan sebab musababnya sebagai suatu budaya masyarakat setempat.

Di bawah ini disampaikan beberapa tradisi minum teh di Nusantara sebagai berikut :

Teh Poci di Jawa
Khusususnya di Cirebon, Slawi, Tegal, Brebes, Pemalang, dan sekitarnya, budaya minum teh menggunakan teh wangi melati yang diseduh di dalam poci bersamaan dengan gula batu sebagai pemanis, setelah itu teh dituang ke gelas-gelas kecil. Tradisi ini disebut “Teh Poci”. Uniknya, penikmat teh ini hanya dibolehkan menambahkan gula batu, tetapi tidak boleh mengaduknya. Mengapa? Ternyata hal ini memiliki filosofinya tersendiri, yakni hidup ini memang pahit pada awalnya, namun jika ingin bersabar maka kita akan mendapatkan manisnya. Jadi, gula dibiarkan mencair dan menyebar dengan sendirinya.

Nyaneut di Sunda
Di Tanah Sunda, terutama di Garut, kita bisa menemukan tradisi minum teh yang cukup sakral. Masyarakat menyebut tradisi ini dengan nama “Nyaneut”. Biasanya Nyaneut dilakukan saat menyambut malam Tahun Baru Islam. Nyaneut sendiri merupakan singkatan dari Nyai Haneut atau Cai Haneut yang berbarti air hangat. Tradisi minum teh ini pun memiliki tata cara, yaitu sebelum meminum teh, kita harus memutar gelas teh di telapak tangan sebanyak 2 (dua) kali. Kemudian, aroma teh harus dihirup sekira 3 (tiga) kali dan barulah teh boleh diminum. Festival tradisi ini biasanya diawali dengan melakukan pawai obor. Tujuannya ialah untuk menjaga kehangatan di lingkungan masyarakat.

Patehan, Karaton Yogyakarta
Tradisi Patehan tidak bisa dilakukan oleh siapa saja, hanya boleh dilakukan oleh Kerajaan Keraton. Nama “Patehan” itu sendiri diambil dari tempat tradisi ini dilakukan, yakni di Bangsal Patehan. Prosesi tradisi ini dilakukan oleh 5 (lima) perempuan dan 5 (lima) pria yang berpakaian adat Jawa dalam meracik dan menyajikan teh lengkap dengan makanan ringan yang dikhususkan untuk raja, keluarga, dan tamu keraton.

Nyahi di Betawi
Ngete atau nyahi, demikian warga asli Jakarta menyebut momen minum teh gaya Betawi baik di pagi maupun sore hari. Sajian teh ala mereka, biasanya cenderung ringan alias tidak seberapa kental dengan citarasa yang mengarah ke tawar.

Konon kata "Nyahi" sendiri berasal dari proses akulturasi pengaruh budaya Arab, dari kata "Syahi" yang artinya teh. Ada pula yang mengatakan budaya ini diadaptasi dari budaya minum teh di Cina.

Kegiatan Nyahi biasanya dilakukan bersama keluarga atau teman pada sore hari beberapa jam usai waktu makan siang. Teh tubruk - minuman dari daun teh kering yang langsung diseduh tanpa disaring - ditaruh dalam teko kaleng blibrik atau teko berbahan kuningan.

Tradisi minum teh gaya Betawi biasanya dinikmati dengan gula kelapa. Pemanis tersebut akan digigit terlebih dahulu, dilanjutkan dengan menyeruput teh hangat. Namun ada banyak variasi jajanan khas Jakarta yang dapat memberi rasa manis pada sebuah momen minum teh, sehingga bisa saja tidak lagi harus repot menggigit gula kelapa.

Nyahi yang sesungguhnya di sebuah keluarga Betawi, bukan menggunakan tea set porcelain / ceramic tetapi gelas teh yang biasanya ada motif bunga warna "ngejreng" (gelas kampung), atau gelas belimbing dengan beralaskan cawan kecil agak cekung.

Sambil "sruput" teh panas biasanya ditemanin kudapan yang dijejerin di meja panjang, berupa jalabia, cucur, talam, ape (pepe), apem, wajik sambil ngupas kacang tanah, pisang atau jagung rebus. Ngetehnya sambil duduk dan ngobrol di meja panjang itu.

Selain keterangan tradisi di atas, adalah Serat Centhini yang salah satunya melukiskan budaya tradisi minum teh tersebut.

Seperti diketahui, masyarakat Jawa, termasuk di dalamnya masyarakat Surakarta, dalam keseharian mempunyai kebiasaan maka 3 (tiga) kali sehari serta mengongsumsi kudapan 2 (dua) kali sehari.

Disebutkan dalam Serat Centhini, masyarakat Jawa biasa makan pada pagi hari sesudah menikmati kudapan, siang hari sesudah waktu dzuhur, kemudian menikmati kudapan pada waktu sore hari dan makan malam pada malam hari sesudah maghrib atau isya.

Pada saat mengongsumsi kudapan di sore hari hidangan minumannya adalah wedang teh gula batu selain wedang herbal seperti wedang jahe, wedang kacang, wedang tape wedang dongo (ronde) dan lain sebagainya.

Dalam salah satu episode dari 12 jilid Serat Centhini ada yang mengisahkan pertemuan antara kakak dan adik yang telah lama berpisah yaitu Jayengraga dan Jayengwesthi. Pertemuan tersebut diwarnai dengan suasana gembira. Jayengraga sebagai tuan rumah menjamu kakaknya dengan minuman teh yang disajikan dalam teko yang menduduki peranan penting, karena teko itu sudah bertahun-tahun dipakai menyedu teh akan berkerak kecoklatan. Semakin tebal kerak yang ada pada dinding teko, akan semakin nikmatlah tehnya dengan rasa dan aroma yang cukup "nggathok" dalam menyesap minuman penimbul rileks ini.

Tidaklah heran jika kemudian kapasitas teko itu semakin sedikit. Seharusnya bisa menampung empat cangkir hanya bisa menampung dua cangkir teh. Dan lagi, teko khusus yang sudah berkerak tebal, jika tehnya dituang, keluarnya pun kecil "ithir-ithir", tidak lancar.

Fungsi makanan dalam cerita Serat Centhini adalah ada tiga macam, yaitu sesaji, jamuan dan menu utama. Biasanya untuk sajian minuman berupa wedang kopi, wedang teh, wedang herbal dan berbagai macam makanan.

Berbagai makanan tradisional yang terdapat Serat Centhini berfungsi sebagai perlengkapan ritual antara lain: tumpeng megana, jenang baro-baro, abang, putih, ireng, ayam lembaran, nasi gurih, nasi wuduk, dan nasi golong. Minuman yang biasa digunakan untuk ritual adalah wedang teh, wedang kopi, srebat, beras kencur, bir manis, sriawan pisang kluthuk.

Berangkat dari ulasan Serat Centhini dan beberapa tradisi minum teh di daerah seperti dijelaskan di atas, bisa dikatakan Indonesia punya "branding power equity" tradisi minum teh yang selama ini terlupakan dan tidak pernah diangkat ke permukaan sehingga bukan menjadi "darling" seperti minum kopi.

Ada baiknya tradisi minum teh sore hari ala Indonesia dengan teko yg diprosesi racikan & penyajiannya oleh 5 (lima) wanita & 5 (lima) pria itu bisa dijadikan momentum baru Bangsa ini dengan memilih kata darlingnya sendiri seperti Sadou di Jepang atau Afternoon Tea di Inggris.  Apakah itu “Nyaneut” atau “Patehan” atau “Teh Poci” atau "Nyahi".

Kalaupun bisa diangkat menjadi urusan gaya hidup yang segala sesuatunya ditampilkan dengan cantik. Mulai dari peralatan minum teh seperti cangkir hingga taplak meja serta etiketnya berikut filosofi primbonnya yakni sebelum meminum teh harus memutar gelas teh di telapak tangan sebanyak 2 (dua) kali. Kemudian, aroma teh harus dihirup sekira 3 (tiga) kali dan barulah teh boleh diminum.

Tabek

Friday, 25 May 2018

Nasi Goreng

Oleh : Dr Andi Achdian, Doktor Sejarah
8 November 2010

Geef mij maar Nasi Goreng, Toen wij repatrieerden uit de gordel van smaragd, Dat Nederland zo koud was hadden wij toch nooit gedacht.
(Louisa Johanna Theodora (Wieteke) van Dort, Geef Mij Maar Nasi Goreng)


Nasi goreng adalah satu di antara sekian banyak jenis masakan yang paling populer di wilayah nusantara. Dari wilayah paling timur di Papua sampai dengan paling barat, setiap orang Indonesia sudah tahu bagaimana rasa, bentuk dan jenis masakan yang akan dimakan bila disebut nasi goreng. Orang Jawa mungkin masih bertanya-tanya apa itu Ayam Tangkap bila disajikan menu masakan tersebut di meja mereka saat berkunjung ke Nangroe Aceh Darussalam. Sebaliknya, orang Aceh akan tetap paham bagaimana cita rasa masakan yang akan dimakan bila disebut dalam menu mereka nasi goreng.

Seseorang kemungkinan besar akan memilih nasi goreng dari sekian banyak pilihan masakan apabila ia kebingungan memilih menu masakan ketika berkunjung ke sebuah restoran. Pilihan itu rasional saja. Sejak kecil - seperti umumnya orang Indonesia - dia sudah terbiasa disuguhkan nasi goreng ketika akan  berangkat sekolah. Semuanya karena alasan praktis dan ekonomis. Praktis karena memasaknya mudah dan cepat. Paling lama dibutuhkan sekitar setengah jam untuk menyiapkan nasi goreng. Dan seluruh anggota keluarga dapat menikmatinya pada pagi hari.

Ekonomis, karena ia cuma memanfaatkan sisa nasi semalam, dengan campuran bumbu sesuai selera yang memasak. Bumbunya pun sederhana saja. Cukup dengan irisan tipis bawang merah dan bawang putih, tomat (atau diulek menjadi bumbu halus), merica, garam, telur, dan kunyit bila ingin berwarna kuning atau kecap bila berwarna kecoklatan. Selebihnya sekedar tambahan seperti daging kornet, sosis atau bakso tergantung pada kondisi keuangan keluarga.

Tidak dapat disangkal, dengan sifatnya yang praktis dan ekonomis ini, nasi goreng menempati urutan pertama jenis makanan Indonesia yang paling populer. Berbeda dengan jenis masakan lain (yang juga memiliki karakter me-nasional) seperti sate dan soto, nasi goreng adalah jenis masakan mudah yang intim dengan kehidupan sehari-hari, baik di dapur-dapur setiap rumah tangga keluarga Indonesia, maupun di ruang publik dari terminal sampai restoran kelas satu.

Di luar proses memasak nasi goreng, sebagai jenis makanan barangkali ia merupakan jenis yang mencerminkan kehidupan paling demokratis dan karakter nasional Indonesia. Dari meja makan di kampung-kampung miskin sampai dengan meja makan di istana kepresidenan, dari sifatnya yang cuma pengisi sarapan sampai dengan pesta formal, nasi goreng tetap menjadi pilihan menu yang layak saji. Di sini kita bisa membandingkan nasi goreng dengan steak atau wine Prancis, atau barangkali pastry dan lamb Inggris yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam kebudayaan makan nasional mereka.

Nasional Indonesia
Tidak seperti sayur sop, gudeg, rendang, atau gulai ikan yang bukan menu sehari-hari, dan terkadang tidak semua keluarga mampu menyajikannya, nasi goreng tetap bisa memberikan rasa kenyang bagi siapa saja orangnya, terlepas latar belakang sosial mereka. Perbedaan tidak lebih dari sekedar rasa dan aneka tambahan yang apabila tidak disediakan tidak mengurangi sosoknya sebagai nasi goreng. Jadi, di sini kita bisa menemukan sebuah bentuk masakan ‘lintas-kelas’ dan juga melintasi batas ‘publik-privat’. Nasi goreng dimasak di rumah-rumah saat pagi, atau kita bisa memesan nasi goreng pada malam hari di kedai-kedai di pinggir jalan dekat terminal sampai restoran kelas atas.

Kualitas lainnya nasi goreng juga dapat dengan bangga mengklaim sebagai jenis masakan yang meng-Indonesia. Boleh jadi ada nasi goreng Sumatera, nasi goreng Jawa, nasi goreng Banjar dan lainnya, tapi tetap saja nasi goreng. Dalam pengalaman sejarah Orde Baru - dengan ambisi swasembada beras - beras pada akhirnya menjadi makanan pokok di wilayah Indonesia bagian timur, dan dengan demikian nasi goreng pun berkembang menjadi bagian dari salah satu jenis menu masakan di wilayah ini. Orang-orang Indonesia akan mengatakan kepada orang-orang asing tentang masakan khas Indonesia dengan menyebut nasi goreng, baru kemudian disusul oleh masakan-masakan dari daerah masing-masing seperti gudeg dari Yogya, rendang dari Padang, Opor Ayam dan srundeng Solo dan lainnya.

Nasi goreng dengan demikian tidak ditempatkan dalam salah satu masakan yang memiliki asal-usul etnis tertentu, seperti juga orang Aceh tidak mungkin mengklaim gudeg Aceh. Apa yang mereka bisa lakukan adalah nasi goreng khas Aceh. Jadi, sifat nasionalnya mendahului konteks kedaerahan dari setiap suku bangsa yang menempati wilayah nusantara.

Gambaran penting dalam kenyataan ini adalah ‘sumbangan’ lokal terhadap nasi goreng yang membuatnya me-nasional. Dan proses ini alamiah saja. Pemerintah tidak perlu ‘mengintegrasikannya’ menjadi nasional, atau dalam bahasa lama sebagai ‘puncak-puncak kebudayaan daerah’ untuk menyebut suatu bentuk kebudayaan nasional Indonesia. Setiap daerah menyumbangnya dengan cuma-cuma. Jadi, kita tidak perlu memberikan sebuah ritual tertentu untuk menyebut nasi goreng sebagai jenis makanan yang ‘menasional’ di Indonesia.

Unsur-unsur Tionghoa dan Arab pun bisa kita lihat di sini. Sebagai penyesuaian atas citra-rasa nasi kebuli yang begitu kuat dengan minyak samin, maka kita akan mendapatkan nasi goreng kambing yang lebih sesuai dengan ‘lidah Indonesia’. Begitu juga sumbangan yang diberikan dari cara memasak dan meramu bahan restoran-restoran Cina terhadap jenis rasa nasi goreng yang dihasilkan.

Di Medan, kata seorang teman, kita bisa memesan nasi goreng yang dimasak sampai kering dan berkerak. Biasanya dimasak sambil bernyanyi, sehingga sebutannya nasi goreng nyanyi. Di keluarga Jawa, biasanya ada nasi goreng yang dibuat dengan menggunakan bahan kunyit dan kencur, terasa agak sedikit kecut dengan warna kekuningan yang memberikan aroma dan rasa rempah-rempah ketika memakannya. Di wilayah pesisir pantai, campuran ikan teri goreng yang kering menjadi bagian dari wujud nasi goreng yang disajikan. Atau kita bisa menemukan jenis masakan nasi goreng dengan rasa terasi yang kuat di lidah, termasuk campuran sambal dan sayur-mayur tambahan untuk meningkatkan citra rasa nasi goreng.

Barat dan Timur (dan Kolonialisme Belanda di Indonesia)
Dari segi asal-usul, tidak jelas sejak kapan nasi goreng menjadi makanan yang begitu populer di seluruh nusantara. Kata nasi goreng belum ditemukan dalam menu tradisional Jawa abad 18 dan 19. Mungkin karena dapur Jawa tradisional lebih menyediakan kemudahan bagi metode memasak dengan merebus, membakar dan menanak, tanpa jenis minyak kelapa seperti biasanya dalam menyiapkan nasi goreng.

Begitu juga dalam menu makanan suku-suku lain seperti Batak, Sumatera Barat dan lainnya. Dugaan terkuat nasi goreng adalah jenis penganan ciptaan abad dua puluh ketika cara memasak dengan minyak tanah, minyak kelapa, dan lempeng penggorengan seperti sekarang muncul di wilayah Indonesia. Juga kita belum memiliki informasi yang cukup jelas tentang siapa atau kelompok masyarakat mana di wilayah nusantara ini yang pertama kali menyajikan atau membuat nasi goreng. Masih perlu dilakukan kajian khusus tentang ini.

Tetapi hal ini nampaknya berkait dengan tidak adanya kebiasaan sarapan pagi dan jenis makanan yang dimasak secara khusus untuk momentum ini. Nampaknya ini lebih berkait dengan tradisi Eropa dalam pola makan mereka. Inggris dengan bangga mengatakan tentang menu sarapan pagi sebagai English breakfast  yang terdiri dari daging babi asap, telur setengah matang, dan kentang atau roti, yang ditutup dengan minum susu.

Dalam tradisi Nusantara, kebiasaan ini sederhana saja. Mungkin karena teknologi memasak, maka kita akan mendapatkan makanan seperti rebusan singkong atau pisang, dengan teh manis atau kopi sebagai pengantar makanan. Sedikit saja dapat kita temukan jenis masakan yang memang khusus diolah untuk sarapan pagi dalam menu-menu masakan Indonesia. Di sinilah kita mendapatkan gambaran istimewa tentang nasi goreng sebagai sebuah menu sarapan pagi di keluarga-keluarga Indonesia.

Jadi - walapun ini masih dugaan saja - kemungkinan besar munculnya nasi goreng sebagai sebuah menu masakan berkait dengan masuknya kebiasaan sarapan pagi dalam tradisi Eropa ke dalam pola makan penduduk di wilayah Nusantara. Cara memasak nasi goreng yang mudah dan cepat untuk setiap anggota keluarga nampaknya berkait dengan masuknya cara produksi kapitalisme dan industri (dulu perkebunan dan sekarang manufaktur) dalam bentuk alokasi waktu pada pagi hari yang lebih singkat dibanding periode sebelumnya.

Di sini juga kita bisa melihat perkembangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia, yang beralih dari situasi agraris - dan sensibilitas waktu agraris - dengan perkembangan waktu yang terjadwal sesuai dengan perkembangan kapitalisme di Hindia Belanda sejak akhir abad 19 dan awal abad 20. Artinya semakin sedikit waktu tersedia di setiap rumah tangga Indonesia yang harus mengikuti waktu kerja dari jam 9 sampai 5 sore.

Ketika kolonialisme Belanda secara menyeluruh menjadi sistem kekuasaan yang berdaulat di seluruh nusantara, cara produksi kapitalisme perkebunan dan birokrasi modern telah membentuk pula sensibilitas baru di masyarakat jajahannya, termasuk juga dalam perubahan pola makan di pagi hari. Dalam kaitan ini nampaknya nasi goreng muncul sebagai menu yang populer di rumah tangga Indonesia. Muncul sebagai penyesuaian dari waktu agraris yang panjang ke dalam budaya waktu industrial yang terbagi secara sederhana dalam tiga waktu antara pagi, siang dan petang.

Dan tidak dapat disangkal, bahwa menu nasi goreng ini terkait erat dengan sebuah gambaran masyarakat penghasil padi. Di wilayah Nusantara - kecuali bagian Indonesia Timur - padi telah menjadi makanan pokok penduduk dengan pola irigasinya. Tetapi, sedikit saja cerita bisa kita dapatkan dalam catatan sejarah mengenai bentuk menu nasi goreng. Jadi, memang perlu sentuhan lain terhadap cara memasak padi menjadi nasi goreng.

Sebuah lagu populer yang menjadi kenangan tentang kejayaan kolonialisme Belanda di Indonesia barangkali dapat menjadi petunjuk tentang ini. Salah seorang Indo-Eropa, Louisa Johanna Theodora (Wieteke) van Dort yang lahir di Surabaya pada tahun 1943, telah menyanyikan lagu berjudul Geef Mij Maar Nasi Goreng (Beri saya hanya nasi goreng). Perhatikan lirik yang dikutip di atas. Menarik.

Lirik yang sentimentil ini mengungkapkan tentang bagaimana orang-orang Belanda di Indonesia terpaksa kembali ke negeri asal mereka yang dingin dan merasakan kehangatan nasi goreng seperti waktu-waktu sebelumnya. Lirik selanjutnya mengatakan Geef mij maar nasi goreng met een gebakken ei, wat sambal en wat kroepoek en een goed glas bier erbij. Tidak terbayang memang bagaimana kita merasakan nasi goreng, dengan sambel dan kerupuk yang diakhiri dengan meminum bir.

Tetapi yang jelas, dalam lirik yang menyatakan ‘berikan saya nasi goreng dengan campuran telur goreng’ kita mendapat sedikit gambaran tentang kemungkinan pengaruh Eropa (baca Belanda) dalam masakan nasi goreng. Kita bisa membayangkan di sini pengenalan menu nasi goreng ketika nyonya-nyonya Belanda mengajarkan kepada pembantu mereka untuk membuat sarapan bagi keluarga, memasak nasi dengan campuran telur goreng, yang kemudian diimpor menjadi bagian tak terpisahkan dari masakan orang-orang Indonesia. Dari semua itu, apabila ditanyakan tentang sesuatu yang memiliki sifat demokratis dan sekaligus watak nasional Indonesia, maka nasi goreng adalah jawabnya.

Catatan Akhir
Dalam kaitan ini, maka tidak dapat disangkal bahwa nasi goreng tumbuh dan berkembang dari masyarakat yang memiliki budi-daya padi dengan kolonialisme Eropa abad 19 dan 20. Nasi goreng di restoran-restoran Eropa dan Amerika Utara akan masuk sebagai satu menu masakan Asia di dalamnya. Dengan nasi goreng di meja makan kita, sesungguhnya kita bisa melihat pula sejarah perpaduan timur dan barat dalam era kolonialisme Eropa di benua Asia.

Dan benar, kita tidak bisa membuat klaim bahwa nasi goreng adalah produk  Indonesia. Negara-negara produsen padi dan bangsa pemakan nasi membuat nasi goreng. Tetapi bercerita tentang nasi goreng dalam kehidupan sehari-hari kita di Indonesia, seperti berbicara tentang sesuatu yang ada dalam pikiran dan dipikirkan oleh kita ‘bersama’ berkait dengan perut dan cita rasa kita di Indonesia. Mungkin ini cara kita menjadi Indonesia.

Tabik

Monday, 21 May 2018

Jejak Pangan India di Nusantara


Oleh : Andreas Maryoto
KOMPAS, Jumat, 1 Okt 2010

Setiap kali melihat masakan bersantan, kita mudah menyimpulkan ada pengaruh kuliner India di dalam makanan itu. Namun, sebenarnya tidak semudah itu untuk melihat pengaruh makanan India di dalam makanan Nusantara karena pengaruh kebudayaan India masuk setidaknya dalam dua gelombang yang setiap gelombang kemungkinan memiliki perbedaan.

Bukti tertulis menunjukkan, pengaruh India masuk ke Nusantara pada abad ke-empat. Namun, jauh sebelum itu kemungkinan orang India dan kebudayaannya sudah masuk ke Nusantara. Untuk menyelidiki jejak makanan yang dibawa pendatang India, kita terbantu oleh sumber-sumber sekunder.

Kita bisa mencari jejak melalui kamus bahasa Sanskerta, bahasa yang diperkenalkan orang India kepada penduduk Nusantara ketika mereka datang, untuk mencari kosakata-kosakata makanan. Dalam kamus Sanskerta itu kita bisa mendapat sejumlah kata makanan, seperti gula, adang (salah cara memasak makanan), caru (sesajian yang direbus dengan susu dan mentega), kundi (mangkuk), dan lain-lain. Beberapa kosakata itu masih dikenal di Nusantara sampai sekarang.

Kata adang kemungkinan terkait dengan cara memasak yang menggunakan uap air atau pengukusan. Cara ini kemungkinan diperkenalkan oleh pendatang India. Salah satu cirinya adalah penggunaan tembaga sebagai bahan baku. Bahan ini dikenal dalam sejumlah peralatan dapur di India. Di sejumlah dapur orang Jawa, alat-alat memasak dari tembaga juga masih digunakan.

Kita juga bisa menduga ada pengaruh makanan India ke dalam makanan Nusantara, semisal dengan mengkaji bahasa Jawa Kuno. Bahasa ini sudah ada sebelum orang India masuk ke Nusantara. Akan tetapi, karena terjadi pertemuan, maka ada pengaruh bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Jawa Kuno. Hal ini pun diakui oleh para penyusun kamus bahasa Jawa Kuno yang menyebutkan ada kosakata bahasa Jawa Kuno yang dipengaruhi oleh bahasa Sanskerta.

Dalam kategori ini terdapat sejumlah kata makanan yang diduga dipengaruhi oleh bahasa Sanskerta, seperti pecel, pepes, urab, carana (sejenis kue kering), dan lain-lain. Akan tetapi, kita masih perlu meneliti lagi kosakata ini karena sangat mungkin jenis-jenis makanan itu sudah ada sebelum orang India masuk ke Nusantara.

Mengenai teknik-teknik pengolahan makanan, Churmatin Nasoichah dari Balai Arkeologi Medan, dalam salah satu tulisannya, menyebutkan, di dalam sejumlah prasasti berbahasa Jawa Kuno terdapat dua pengolahan makanan yang menonjol, yaitu pengeringan dan pengasinan. Prasasti yang dikutip berangka tahun 901 sampai 929.

Untuk mencari makanan-makanan masa lampau yang diduga dipengaruhi oleh kebudayaan India, kita juga bisa menduga-duga dengan mengamati makanan yang ada di beberapa tempat. Salah satunya adalah megana, cacahan sayur atau nangka, yang masih ditemukan antara lain di Pekalongan, Wonosobo, dan Temanggung. Makanan ini berada di daerah yang berada di dalam kerajaan Hindu awal di Jawa, yaitu Kerajaan Kalingga.

Kesultanan Mughal
Periode berikutnya, pengaruh makanan India masuk ke Nusantara terjadi ketika Kesultanan Mughal di India mempengaruhi makanan Nusantara melalui Aceh sekitar abad ke-15 hingga ke-16. Pada masa itu antara Mughal dan Aceh memang ada komunikasi. Utusan Aceh pernah mengunjungi Mughal.

Bahkan, ritus-ritus Kesultanan Aceh mirip dengan Kesultanan Mughal. Adalah etnolog B Schrieke yang menyebut sejumlah contoh pengaruh tradisi istana Mughal terhadap tradisi dan kehidupan Aceh. Pengaruh itu bisa terlihat dalam arsitektur, taman kesultanan, arak-arakan kerajaan menggunakan gajah, gaya berpakaian, kebiasaan minum, dan kebiasaan sultan berbicara kepada rakyat dari balkon. Tradisi makanan Mughal pun kemungkinan ikut terbawa ke Aceh.

Beberapa makanan yang bisa diduga terkait pengaruh Mughal itu antara lain makanan yang bersantan dan pedas. Soal pedas itu, ada yang menyebutkan kalau sumber pedas itu adalah cabai yang dibawa oleh orang Portugis dan diperkenalkan ke Mughal hingga kemudian ke Nusantara. Portugis sendiri mendapat cabai dari Spanyol yang menemukan cabai saat menaklukkan Amerika Selatan.

Akan tetapi, ada yang menolak anggapan ini. Mereka menyebut bahwa cabai sudah ada di India dan juga Nusantara. Orang India menyatakan, sebelum Portugis datang, mereka telah mengenal cabai. Di dalam bahasa Sanskerta terdapat kata “cawi” dan “cawya” yang berarti cabai. Di Nusantara, setidaknya di Jawa di dalam kosakata Jawa Kuno terdapat kata “cabe” dan “cabya” yang sangat mungkin dipengaruhi oleh bahasa Sanskerta. Dalam salah satu kamus disebutkan, kedua kata itu adalah cabai Jawa atau piper caba. Meskipun demikian, kita perlu meneliti kemungkinan ada perbedaan antara jenis cabai yang dimaksud.

Turki dan Persia
Terung dalam makanan yang sangat dikenal di sejumlah menu makanan di Sumatera bagian utara sangat mungkin juga pengaruh dari Mughal. Namun, asal terung dalam konteks ini kemungkinan dari Turki. Kesultanan Mughal sendiri mempunyai darah nenek moyang yang berasal dari Turki dan Persia.

Untuk itulah kita harus berhati-hati karena makanan Mughal sendiri dipengaruhi oleh Turki dan Persia yang merupakan akar dari nenek moyang sultan-sultan Mughal itu. Sangat mungkin makanan Turki dan Persia bercampur dengan bahan- bahan dan makanan India yang sudah ada, meski tetap saja pengaruh Turki dan Persia itu sangat dominan. Karena itu, kadang kesultanan Mughal disebut Kerajaan India-Persia.

Pengaruh Mughal ini sangat mungkin juga terbawa ke sejumlah Kesultanan Melayu dan juga Minangkabau. Rasa makanan yang berempah kemungkinan berasal dari Mughal. Pengaruh ini terbawa ketika Kesultanan Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda yang melebarkan wilayahnya ke berbagai tempat, seperti di Tanah Melayu untuk mendapatkan pasokan beras dan juga berdagang dengan Minangkabau. Hal ini juga bisa menjelaskan mengapa orang Batak tidak terpengaruh oleh makanan Mughal ini, karena pengaruh Kesultanan Aceh sendiri tidak masuk ke tanah Batak (Tapanuli).

Banyak kalangan menyebutkan kalau makanan India yang ada dan dikenal di berbagai negara sekarang lebih didominasi oleh kuliner Mughal itu. Bahkan ada yang mengatakan, hampir sebagian besar makanan India yang dikenal di manca negara mempunyai akar dari Mughal.

Kompas yang mencoba makanan India di sebuah restoran di Phuket, Thailand, mendapati hal itu. Restoran ini menyebutkan bahwa hidangan yang disajikan merupakan Mughal Mahal.

Kita di Indonesia harus hati-hati melihat pengaruh makanan Mughal ini karena pengaruh Persia itu sendiri telah masuk sebelum Kesultanan Aceh. Pada masa Kesultanan Pasai, banyak sumber pada masa lalu, seperti catatan perjalanan Ibnu Batuta yang menyebutkan telah bertemu dengan pedagang Persia di Kesultanan Samudra Pasai pada tahun 1325. Kesultanan itu sendiri disebutkan berhubungan dengan pedagang-pedagang Persia. Catatan serupa ditemukan dalam catatan perjalanan Tomi Pires dari Portugis pada abad ke-16. Karena itu, pengaruh makanan Persia mungkin juga sudah masuk sebelum Kesultanan Aceh berdiri.

Makanan Nusantara
Dengan melihat fakta dan dugaan di atas, setidaknya ada dua gelombang pengaruh makanan India di Nusantara. Kedatangan awal India yang dipengaruhi kebudayaan Hindu membawa pengaruh makanan yang setidaknya bisa dilihat di Jawa. Pengaruh berikutnya atau gelombang kedua melalui Kesultanan Mughal yang dipengaruhi kebudayaan Islam masuk ke Nusantara. Pengaruh makanan ini bisa dilihat di sebagian besar Sumatera bagian utara.

Sekali lagi, kita masih harus meneliti ulang terhadap fakta-fakta di atas. Fakta-fakta itu lebih banyak dilihat dengan kacamata pendatang yang memengaruhi penduduk sebuah tempat. Hal ini sering menjebak sehingga kita sekarang melihat seolah-oleh kita hanya melihat India yang memengaruhi Nusantara. Kadang kita juga perlu melihat bahwa penduduk Nusantara juga memengaruhi pendatang. Karena itu, sangat mungkin kekhasan di Nusantara itu dibawa juga ke India.

Salah satu contoh, ahli sejarah makanan India AT Achaya dalam salah satu publikasinya menyatakan bahwa salah satu makanan yang mirip apem (dalam bahasa India disebut idli) yang semula diduga berasal dari India selatan, ternyata berasal dari Nusantara. Makanan ini dibawa oleh seorang raja yang datang ke India untuk mencari jodohnya.

Wednesday, 14 March 2018

Tumpeng Sunda


Salah satu jenis tumpeng yang sekarang sudah sangat jarang ditemui adalah tumpeng Sunda  yang berbeda dengan pembuatan tumpeng-tumpeng lain yang sering kita jumpai.

Nasi kuning dengan lauk-pauknya (ayam, telur dan lain-lain) diumpetin yang dikemas di luarnya dengan nasi putih.

Beda dengan pembuatan tumpeng Jawa Tengah yang semua lauk-pauknya di dipamerkan.

Disini terletak perbedaan penyajian tumpeng Jawa Tengah dan tumpeng Sunda. Saat dipotong akan terlihat cantik karena di dalamnya akan terlihat lapisan nasi dan lauk-pauk.

Lain pula dengan teknik pembuatan di Sumedang. Kalau biasanya lauk-pauk tumpeng Jawa Tengah disajikan dipinggir nasi, maka dalam resep nasi tumpeng Sumedang justru lauk-pauknya dicampur dengan nasi dan dikukus bersama.

Nasi tumpeng dalam bahasa Sunda disebut sebagai "Sangu Tumpeng".