GASTRONOMI
Sebutan gastronomi di Indonesia baru ramai
dipergunakan masyarakat sejak tahun 2013, walaupun istilah itu sudah lama akrab
di lapisan terbatas (akademisi dan chef profesional atau kalangan tertentu).
Namun sampai hari ini
penggunaanya masih menimbulkan kekaburan sehingga kerap menimbulkan
ketidakjelasan. Selain itu penggunaan kata makanan dengan sebutan kuliner juga
menimbulkan pertanyaan karena kurang tepat dalam arti sebenarnya.
Gastronomi pada prinsipnya
adalah The Art Of Good Eating alias
tukang makan yang melihat dan mengkaji makanan dari sejarah & budaya.
Pelakunya disebut sebagai “gastronom” yang dalam
tindakannya melakukan “penilaian”
(assessor). Seorang
gastronom tidak harus pandai memasak atau ahli dalam sejarah dan budaya makanan,
namun cukup sekedar mengenal secara umum (generalis).
Selain
itu gastronom harus punya passion terhadap
seni makanan karena yang bersangkutan adalah food connoisseur (pecinta, pemerhati & penikmat
makanan).
The Art Of
Good Eating disini diartikan sebagai kepiawaian gastronom
dalam gaya makan yang
terampil dan mahir (proficient & skillful
eating style).
Seorang gastronom harus menguasai dan
memiliki kompetensi keahlian The Art Of
Good Eating dari
segala sesuatu yang berhubungan dengan kenikmatan sajian makanan yang apik,
indah dan berkelas yang di tata di atas peranti saji yang elok.
Dalam bahasa Indonesia, gastronomi diterjemahkan oleh ahli bahasa
Indonesia almarhum Anton Moeliono sebagai Upaboga.
Sedangkan Kuliner digunakan pada tahun 2005 berkat slogan “Wisata Kuliner”, dari sebuah tayangan
televisi yang meliput tempat-tempat makan unik atau sudah memiliki reputasi
yang baik.
Sejak saat itu, kata kuliner menjadi semakin populer dan menjadi sesuatu
yang identik dengan mencicipi berbagai jenis makanan dan minuman.
Secara harfiah kata kuliner diserap dari bahasa Inggris culinary yang
merujuk kepada aktifitas masak-memasak, yaitu teknik dalam menyiapkan makanan
sehingga siap dihidangkan
Dengan demikian kuliner merujuk kepada tukang masak atau bahasa kerennya
The Art Of Good Cooking.
Pelakunya adalah artis seniman yang berkreatif dalam teknik dan proses
masak – memasak (chef profesional dan pemasak otodidak).
Karena kata kuliner kurang tepat merujuk kepada makanan, maka ada kata
padanan yang paling cocok yakni Boga.
Kata boga dipakai di Nusantara pada masa kuna yang diambil dari
bahasa Sansekerta, "bhoga" atau
"bhogi" yang penggunaannya banyak muncul dalam prasasti-prasasti
kuno di Jawa sejak abad ke-8 M. Arti
boga itu sendiri adalah kenikmatan dan kesenangan terhadap makanan yang lezat.
DAYA SAING
PARIWISATA INDONESIA
Kita pakai laporan tahunan
World Economic Forum (WEF) yang selalu dijadikan tolak ukur bagi pemerhati
pariwisata dunia, yakni The Travel &
Tourism Competitiveness Report (TTCR).
Tahun 2017 laporan TTCR WEF
diberi judul Paving the Way for a More
Sustainable and Inclusive Future yang berkeinginan agar industri
pariwisata bisa menjadi lebih berkesinambungan, terutama terkait alam dan
komunitas lokal di dalamnya.
Dalam laporan TTCR ada index
yang mengukur faktor-faktor dan kebijakan pemerintah dalam mengembangkan sektor
pariwisata dan perjalanan suatu negara yang kemudian berkontribusi kepada
perkembangan dan daya saing wisata negara.
Tolak ukur itu disebut Travel and Tourism Competitiveness Index
(TTCI) dan untuk tahun 2017 ada 136 negara yang dimasukkan dalam daftar daya
saing pariwisata dunia ini.
Menurut senarai TTCI secara
umum, Indonesia berada di peringkat 42. Artinya naik 8 peringkat dari tahun
sebelumnya. Skor Indonesia adalah 4,16 dari total 7.
Saya tidak berkeinginan
membahas lebih jauh soal senarai TTCI ini, karena bukan ahlinya. Pembicaraan
kita tidak akan mengupas soal itu secara detail, tapi bisa dikatakan pencapaian
angka 42 memang lebih baik dari tahun sebelumnya ketimbang Turki, Barbados,
Arab Saudi, Vietnam, atau Filipina, walaupun masih tetap ketinggalan dari
negara tetangga Thailand, Malaysia dan Singapura.
Walaupun Indonesia punya
keunggulan seperti sumber daya alam yang sukar ditandingi di kawasan Asia dan
daya saing harga (price competitiveness), tetap ada kelemahan seperti layanan infrastruktur,
kesehatan dan higienitas, kultur masyarakat lokal yang masih kaku dan
kadangkala menutup diri terhadap wisatawan yang datang, maupun kesiapan di
bidang information and communication technology.
Secara umum bisa dikatakan posisi daya saing pariwisata
Indonesia banyak mengalami kemajuan, walaupun brand power pariwisatanya masih
berada pada angka 5,2%, ketinggalan dibanding dengan negara tetangga seperti
Singapura (8,6%) dan Thailand (9,4%) atau masih dibawah rata-rata angka brand
power pariwisata dunia yang berkisar di angka 7,7%.
Meskipun demikian, masyarakat menyadari, dari
tahun ke tahun, Pemerintah sudah melakukan perbaikan. Contoh konkrit kebijakan
bebas visa kunjungan selama 30 hari bagi 169 negara telah menaikkan angka
kunjungan 11,52 juta wisatawan asing pada 2016 melalui 19 pintu masuk.
Terus terang, masyarakat punya harapan besar
terhadap sektor wisata, mengingat potensinya paling banyak menyerap tenaga
kerja dibandingkan sektor lain.
Dalam pertumbuhan ekonomi, sektor pariwisata
menempati peringkat keempat sebagai penyumbang pendapatan negara.
Pada tahun 2016 pendapatan negara dari sektor
ini mencapai USD 11,76 Milyard. Malah diproyeksikan pariwisata akan menjadi
tulang punggung devisa Indonesia di masa depan.
Namun apapun prestasi yang telah dicapai,
kekuatan utama pariwisata Indonesia adalah wisata alam (TTCI di peringkat 14).
Indonesia belum bisa bersaing dan belum bisa
memaksimalkan wisata buatan manusia (man-made tourism) & wisata minat
khusus (special interest tours) melawan negara-negara tetangga seperti
Thailand, Malaysia & Singapura. Padalah potensi untuk itu luar biasa,
banyak dan tersebar di pelosok negeri ini.
WISATA UPABOGA & WISATA BOGA DALAM PARIWISATA
Seperti dikatakan istilah gastronomi baru dikenal masyarakat tahun 2013
dan peranannya dalam dunia pariwisata pun masih muda usianya.
Saat ini kerap kita dengar ada slogan yang menarik yakni wisata
gastronomi. Tetapi praktiknya agak kurang tepat.
Penggunaannya condong kepada aplikasi wisata boga (atau istilah populernya wisata kuliner). Wisata boga berbeda dengan
wisata gastronomi (upaboga).
Di bawah ini akan dijelaskan perbedaan antara wisata upaboga dan wisata
boga, yakni :
Wisata Upaboga (gastronomi) didorong oleh motivasi untuk mengenal dan mempelajari
sejarah & budaya makanan setempat, selain melihat objek wisata alam yang
bersifat alami dan objek wisata yang dibuat oleh manusia (budaya &
sejarah).
Wisata Boga (makanan) didorong sebatas mencari dan menikmati makanan tanpa perlu
mengenal dan mempelajari sejarah & budayanya. Bagi wisatawan obyek wisata
alam, obyek wisata buatan manusia (budaya dan sejarah), bukan opsi utama dari
kunjungan. Kerap pula non wisatawan pun melakukan wisata boga.
Contoh wisata boga adalah kota Bandung
walaupun sampai saat ini Pemdanya tidak mempromosikan kota kembang itu sebagai
destinasi wisatawan, setiap tahunnya jumlah wisatawan meningkat.
Setiap akhir pekan orang Jakarta datang
ke kota Bandung hanya untuk melakukan wisata makan (boga). Di hari-hari libur
datang pagi dan pulang malam atau keesokan hari, hanya untuk menikmati aneka
kreasi makanan lokal dan non lokal maupun souvenir makanan yang ada di setiap
pelosok jalan kota.
Rata-rata di tahun 2015, jumlah
wisatawan berkunjung ke Bandung mencapai 125 ribu setiap minggunya. Pada tahun 2015 kota
Bandung sudah didatangi 6 juta turis yang 20% diantaranya adalah
wisatawan asing.
Kota Bandung dikenal dengan aneka ragam
makanannya (lokal & non lokal) dan kebanyakan pelawat datang untuk
melakukan wisata boga karena obyek wisata alamnya bisa dibilang tidak banyak.
Obyek wisata Bandung ada disekitar kabupaten Bandung.
KEUNGGULAN BOGA DALAM PARIWISATA
Keunggulan
makanan (boga) lebih banyak diutarakan dengan memakai ukuran pertumbuhan angka
restoran dan rumah makan yang perkembangannya cukup besar akibat fenomena kebiasaan
makan di luar.
Sampai
saat ini belum diketahui apa sudah ada penelusuran secara rinci mengenai sejauh
mana daya tarik makanan lokal memberi sumbangan terhadap pariwisata.
Apakah
wisatawan asing atau lokal datang ke suatu destinasi wisata karena obyek
makanan atau tidak.
Sejauh
yang diketahui belum ada data mengenai sumbangan sektor makanan dalam dunia
pariwisata, mengingat diperlukan untuk mengetahui peta keunggulan pariwisata
Indonesia.
Untuk
menyimpang sedikit dari topik pembicaraan, bisa dikatakan sejak 20 tahun
terakhir terjadi pergeseran kebiasaan di mana semakin banyak masyarakat
Indonesia makan di luar.
Sepanjang
tahun 2013, tercatat kebiasaan makan di luar ini mencapai 380 juta kali dan
menghabiskan total USD 1,5 miliar.
Menurut data tahun 2016, saat ini jumlah kelas
menengah ke atas di Indonesia tercatat 70 juta jiwa dari total penduduk 260
juta jiwa.
Kalau memakai kebiasaan makan di luar angka
tahun 2013 itu dan mengambil umpamanya 40
juta kelas menengah di Indonesia, artinya rata-rata satu jiwa kelas
menengah ke atas melakukan kebiasaan makan di luar 9,5 kali / tahun. Fenomena
itu tidak berkurang dengan adanya online delivery, malah semakin semarak
perputaran bisnisnya.
Menurut
yang kami pantau dari beberapa catatan yang ada, total jumlah restoran dan
rumah makan yang berbadan hukum di 5 (lima) kota besar Indonesia (Jakarta,
Bali, Bandung, Surabaya & Medan) ada 40,282.
Ini belum
termasuk yang tidak berbadan hukum seperti kaki lima, usaha rumah tangga, dan
warung makan sederhana yang kerap disebut sebagai UKM.
Sektor
UKM yang 60% dari pelakunya bergerak di sektor makanan bisa dikatakan sebagai warna & wajah makanan Indonesia yang
minim akan standard pelayanan, dekorasi, sanitasi, presentasi maupun
penampilan.
Pilihan
masyarakat kebanyakan pada sektor ini, karena masyarakat masih melihat
"apa adanya" dan bangga terhadap seni masakan UKM yang tidak perlu di
"up to date" penampilannya secara mutakhir.
Memang
bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, rasa dan kelezatan yang menjadi pilihan
utama, yang penting enak, kejangkau secara ekonomi dan tidak perlu mengikuti
standard macam-macam.
Bisa dikatakan, keunggulan makanan (boga) dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia
sudah teruji keberhasilannya. Di tahun 2017 bisnis makanan tumbuh 8,5%.
Kementerian
Perindustrian memprediksi sektor makanan dan minuman tahun 2017 hanya tumbuh
kisaran 7,5% - 7,8%.
Sementara,
pengusaha yang tergabung dalam organiasi GAPMMI memperkirakan bisa tumbuh
minimal sama dengan 2016 yakni sekitar 8,2% - 8,5%.
Sedangkan
sumbangannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 34,17 persen atau
tertinggi dibandingkan sektor lainnya.
Kalau
kita kembali ke topik pembicaraan, makanan memiliki peran sangat penting dalam
pengembangan jasa pariwisata.
Pada
prinsipnya semua wisatawan harus makan dengan selera atau membuat makanan yang
ada menjadi perhatian khusus bagi mereka yang berkunjung.
Diketahui
30% atau lebih dari pengeluaran wisatawan diperuntukkan untuk makanan yang
merupakan bisnis lokal masyarakat setempat.
Konsumsi
wisatawan akan makanan merupakan kontribusi terbesar untuk restoran lokal,
warung / kedai makan, penjaja makanan jalanan dan industri makanan.
Disamping
itu makanan menjadi salah satu elemen penting dalam dunia pariwisata, mengingat
wisatawan menjadi salah satu pasar utama untuk bisnis masakan lokal (Dodd,
2011; Hjalager dan Richards, 2002 ).
Pentingnya
masakan lokal, dicatat dalam survey Torres dimana 46% makanan yang dikonsumsi
para wisatawan asing adalah masakan lokal, sedangkan pengeluaran harian pada
makanan lokal oleh turis adalah lima kali lebih besar dari rata-rata masyarakat
setempat (Torres, 2002).
The
International Culinary Tourism Association (ICTA) memperkirakan rata-rata
wisatawan dunia menghabiskan biaya sekitar $ 1.200 per perjalanan, dimana
sepertiganya (36% atau $ 425) berhubungan dengan belanja makanan.
Bahkan
untuk kedepannya diperkirakan cenderung akan menghabiskan jumlah yang cukup
signifikan dan lebih tinggi dari sebelumnya (yakni sekitar 50%) untuk yang
berhubungan dengan makanan.
KEUNGGULAN GASTRONOMI DALAM PARIWISATA
Mengenai keunggulan gastronomi itu sendiri dalam daya saing pariwisata,
belum banyak diperbincangkan atau dikaji secara mendalam, walaupun potensinya
cukup tinggi.
Sedangkan keunggulan boga dalam daya saing pariwisata sudah cukup
teruji, bahkan boga itu sendiri saja tanpa komponen wisata sudah menjadi mesin
cetak uang tersendiri yang cukup signifikan bagi pendapatan kebanyakan
masyarakat setempat. Apalagi sektor ini memberi potensinya menyerap tenaga
kerja yang cukup lumayan.
Meskipun boga (makanan) dan
upaboga (gastronomi) merupakan saudara kembaran, bisa dikatakan penerapan
upaboga kedalam mesin pariwisata belum semarak seperti wisata boga.
Salah satu penyebabnya karena
banyak yang belum mengerti dan memahami cara menerapkan wisata upaboga ke dalam
konsepsi kepariwisataan. Kerap diucapkan tapi beda teknis penerapannya.
Secara umum wisata gastromomi ada dua macam jenis :
1. Gastronomi Luxury : Diperuntukkan bagi kalangan high end
dengan kapasitas rombongan terbatas dan mampu membayar dengan harga yang
tinggi.
Kalangan wisatawan high end memang kerap keliling dunia mencari kenikmatan dan
pengalaman artistik sensorik masakan dari kreasi master chef yang memiliki
reputasi yang sudah diakui kepiawaiannya.
Kemewahan hospitality, presentasi dan kelezatan hidangan makanan yang
terbaik menjadi incaran utama mereka, disamping mengenal dan mempelajari
sejarah & budaya dari makanan itu sendiri.
2. Gastronomi Konvensional : Diperuntukkan bagi kalangan
kebanyakan yang ingin mengenal dan mempelajari sejarah & budaya makanan
serta penggunaan produk lokal (seperti bumbu dan rempah), resep tradisional
maupun cara proses pembuatannya
Wisatawan jenis ini tidak terlalu menghiraukan soal kemewahan dan siapa
pemasaknya (bisa chef professional atau pemasak otodidak).
Bagi mereka yang
paling penting adalah kenikmatan dan pengalaman artistik sensorik seni masakan
dengan harga yang kejangkau dan tidak mahal.
Sampai saat ini belum terlihat ada
paket-paket wisata Gastronomi Luxury di Indonesia, walau tidak menafikan ada
kalangan terbatas melakukannya dengan pelancong asing berdasarkan orderan
artinya dilakukan secara tidak kontinyu.
Potensi untuk melakukan wisata Gastronomi Luxury di Indonesia cukup besar. Umpamanya gaya makan kerajaan Nusantara (ala
keraton Surakarta atau Yogyakarta atau lainnya), bisa menjadi pertimbangan
dengan segala kemewahan presentasi dan hospitalitynya.
Paket ini bisa menampilkan, merasakan dan memilih “Inheritance of Harmony” dari beragam
kekayaan local heritage hidangan klasik tradisional kerajaan Nusantara sebagai
kebanggaan dan pelestarian terhadap kekayaan makanan asli bangsawan yang
berasal dari latar belakang sosial-budaya yang berbeda.
Untuk Gastronomi Luxury, kalangan
high end tidak keberatan membayar mahal, apalagi kalau jumlahnya terbatas
justru semakin baik karena eksklusif.
Sebagai contoh untuk suatu paket wisata Gastronomi
Luxury di suatu kota di Eropa, selama 2 (dua) hari, yang diselenggarakan
sebuah organisasai gastronomi di Paris, anggotanya membayar USD 3,500 per orang.
Biaya ini di luar biaya akomodasi, transportasi
udara dan sarapan pagi.
Biaya itu hanya untuk acara makan siang, acara makan malam dan transportasi
darat bersama (bis) untuk kapasitas 30 orang. Artinya selama 2 (dua) hari
dengan 4 (empat) kali paket acara makan, per orang dikenakan biaya USD 875 per
acara makan atau Rupiah 11,6 juta.
Peminatnya cukup banyak di benua barat tapi secara umum sukar diketahui
keberadaannya. Biasanya mereka bernaung dalam organisasi-organisasi gastronomi,
sommelier, culinary, yayasan-yayasan sosial dari kalangan masyarakat atas, atau
sejenisnya.
Gastronomi Konvensional lazim ditemui di hampir semua kegiatan
wisata boga dan pelakunya harus dipilih yang punya minat khusus (special
interest) dengan harga yang relatif kejangkau isi dompet mereka.
Keunggulan Gastronomi Konvensional itu bisa satu paketkan
dengan wisata boga (makanan) dengan tambahan atraksi memberi pengenalan dan
pelajaran mengenai proses pembuatan makanan serta penggunaan produk lokal
(seperti bumbu dan rempah) serta resepi masakannya.
Tambahan atraksi ini memberi ruang komunikasi, bertukar pikiran dan
pengetahuan serta keramah tamahan yang sangat berperan penting mendeskripsikan
pengalaman para wisatawan itu akan menjadi tak terlupakan (berkesan).
Perlu diketahui pada umumnya wisatawan mencari novel dan authentic experience karena dianggap unique & memorable.
Misalnya, kunjungan ke pabrik membuat tahu yang kedelenya harus
diinjak-injak membuat tempe. Atau diajarkan cara membuat rendang, mulai dari cara
penyembelihan sapi, belanja bahan baku ke pasar tradisional sampai proses
mengolah masakan rendang itu di dapur.
Wisatawan diajak ke tempat pembuatan atau tahu atau rendang disuruh
lihat dan praktik membuatnya. Si wisatawan dilibatkan emosional, interaksi
fisik, spiritual dan level intelektualnya menjadi sebuah hiburan yang mempunyai
estetika, pendidikan dan petualangan.
Secara sadar wisatawan Gastronomi Konvensional diberi pemahaman filosofi, sejarah & budaya serta terakhir ada unsur transaksi
dagang untuk oleh-oleh yang akan dibawa pulang.
PESAN
Mengingat daya saing pariwisata Indonesia di tahun 2017 berada di peringkat 42 dalam senarai kalibrasi TTCI WEF. Naik
8 peringkat dari tahun sebelumnya dengan skor 4,16 dari total 7. Dimana
ditargetkan tahun 2019 akan diproyeksikan naik 12 level di posisi peringkat 30
besar dunia, maka sudah seharusnya Pemerintah kini mulai mempertimbangkan
dengan bijak dan serius memaksimalkan wisata buatan manusia (man-made tourism) & wisata minat khusus
(special interest tours) dengan mengangkat Wisata Upaboga sebagai salah satu programnya. Potensi untuk itu luar biasa,
banyak dan tersebar di pelosok negeri ini.