".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Monday, 29 January 2018

Makanan & Nasionalisme


Saat berkeliaran di sekitar kota-kota di Indonesia, kesan pertama seseorang diwarnai begitu banyaknya tempat makanan di negeri ini. Mulai dari restoran, warung makan, jajanan jalanan, kaki lima hingga toko souvenir. 

Menarik dan tanpa disadari apa yang dilihat itu semua adalah gambaran nasionalisme makanan Indonesia, meskipun tidak dihiraukan tentang keaslian makanan itu, apakah dari Jawa, Padang, Betawi dan lain sebagainya, kesemua melambangkan nasionalisme Indonesia.

Nasionalisme ? Ya ...

Nasionalisme ini kurang banyak diperhatikan hubungannya dengan makanan. Malah ada yang mengatakan sumbu antara makanan dan nasionalisme telah terabaikan selama ini.

Makanan sangat penting untuk kehidupan dan karena itu penting dalam banyak cara. Secara harfiah makanan menopang kehidupan. Makanan dijiwai dengan makna. Sangat simbolis dan emotif dan karena itu sangat politis. 

Fitur makanan sangat menonjol dalam dunia politik, apalagi dalam menentukan identitas suatu masyarakat.

Makanan adalah bagian dari warisan budaya yang di dalamnya ada kekuasaan, nilai, hak dan kewajiban. 

Artinya ada unsur politik dengan nama identitas yang itu dinamakan nasionalisme.

Coba anda selusuri jalan-jalan atau pasar tradisional dan modern di seluruh negeri ini yang menjual makanan. Pada setiap kemasan makanan diberi label atau dipasarkan sesuai dengan nama negara tertentu. 

Makanan yang kita konsumsi atau yang diiklankan selalu mempunyai label nama negara tertentu. 

Ini menunjukkan identitas nasional suatu negara di citrakan dalam kemasan label makanan.

Tanpa disadari, kita semakin menjadi bagian dari rantai global identitas nasional dari negara-negara tertentu.

Pencitraan branding nasional dan pelabelan makanan ditemukan di mana-mana untuk menyampaikan image bangsa tersebut.

Contoh, Starbucks menyoroti tempat asal kopi dan teh mereka dari Kenya, Guatemala, Ethiopia. Termasuk cara budaya minum yang mereka pelajari di Amerika, Italia, Perancis dan sebagainya. Kesemua itu bertujuan untuk menyampaikan gagasan mengenai selera, nilai, dan kualitas yang akan meningkatkan nilai dan daya tarik konsumen terhadap Starbucks.

Praktik pelabelan makanan berdasarkan asal-usul nasional juga merupakan kebijakan banyak pemerintahan di dunia.

Tujuannya untuk promosi dan melindungi produk makanan sebagai bagian dari warisan budaya bangsa mereka.

Di Uni Eropa (UE), kerangka geografis yang terpadu telah disiapkan untuk memastikan bahwa hanya barang makanan yang berasal atau diproduksi di wilayah tertentu dapat dipasarkan di negara tsb. 

Misalnya, cuka balsamic hanya bisa diproduksi di Emile Romagna (Italia), kentang Jersey Royal di pulau Jersey (Inggris), keju feta di Yunani, dan spettekaka di Swedia.

Langkah serupa digunakan di Meksiko, di mana tequila hanya bisa diproduksi dari tanaman agave biru dari daerah tertentu.

Namun memahami hubungan antara makanan dan nasionalisme tidak hanya terbatas pada pelabelan atau promosi produk nasional.

Makanan & presentasi penyajiannya, termasuk proses memasaknya, sudah menjadi elemen penting dalam kehidupan politik maupun identitas nasional. 

Negara-negara barat menggali secara mendalam pentingnya makanan dan dampaknya terhadap politik domestik dan global, serta hubungan dialektika antara makanan dengan nasionalisme.

Pada umumnya manusia tidak makan berbagai makanan secara acak untuk memuaskan dirinya. 

Apa dan bagaimana manusia makan, atau apa yang tidak manusia makan adalah indikasi tentang siapa diri manusia itu sebagai suatu bangsa. 

Gastronom Prancis Jean Anthelme Brillat-Savarin memperjelas hal itu dengan ucapan: Katakan padaku apa yang Anda makan, dan saya akan memberitahu siapa Anda

Bahkan antropolog Claude Lévi-Strauss dan teoretikus sastra dan sosial Belanda Barthes mengatakan: kebiasaan makan, perilaku, diet dan selera tertentu mencerminkan struktur maupun budaya negara-negara tertentu

Contoh makanan Thai dikenal sekarang sebagai masakan paling populer di dunia. Cerita makanan Thailand adalah representasi dari pencampuran identitas nasional, kebijakan pangan, dan usaha bagaimana sebuah negara membangun dan menggunakan makanan sebagai alat dalam budaya diplomasi serta sebagai cara mengubah rangsatanya (rebranding) gambaran dirinya di luar negeri. Teknik ini sering disebut sebagai gastrodiplomacy. 

Gagasan Thailand menggunakan makanan untuk  mengubah image negaranya dilatarbelakangi oleh citra negeri gajah itu yang selama ini dikenal sebagai destinasi wisata seks.

KeterlibatanThailand dimulai tahun 2002 dengan diluncurkannya program Global Thai. Melalui program itu pemerintah Thailand berusaha menggunakan makanan sebagai alat politik untuk mempromosi Thailand sebagai negara yang menarik dan eksotis. Keberhasilan kampanye gastrodiplomacy Thailand belum dapat terkalahkan, walaupun dalam beberapa tahun terakhir sejumlah negara lain mencoba meniru seperti Taiwan, Malaysia, Korea Selatan, dan Peru.

Dengan demikian bisa dikatakan makanan adalah politik, terlepas dari sifatnya yang sekedar dianggap sebatas memuaskan ambang batas perut. Makanan mengandung tempat yang penting dalam bagaimana kita melihat identitas nasionalisme di diri kita sendiri. 

Bagi banyak orang, makanan mewakili keterikatan dirinya sebagai suatu bangsa terhadap tanah, sejarah, dan budaya.

Oleh karena itu bisa dikatakan makanan menjadi milik suatu bangsa, baik untuk mereka yang memasaknya dan untuk mereka yang memakannya. Makanan adalah identitas diri mereka sendiri. Dan ini adalah Nasionalisme

Tabek

Sunday, 28 January 2018

Gastronomi & Daya Saing Pariwisata Indonesia

GASTRONOMI
Sebutan gastronomi di Indonesia baru ramai dipergunakan masyarakat sejak tahun 2013, walaupun istilah itu sudah lama akrab di lapisan terbatas (akademisi dan chef profesional atau kalangan tertentu).

Namun sampai hari ini penggunaanya masih menimbulkan kekaburan sehingga kerap menimbulkan ketidakjelasan. Selain itu penggunaan kata makanan dengan sebutan kuliner juga menimbulkan pertanyaan karena kurang tepat dalam arti sebenarnya.

Gastronomi pada prinsipnya adalah The Art Of Good Eating alias tukang makan yang melihat dan mengkaji makanan dari sejarah & budaya.

Pelakunya disebut sebagai “gastronom” yang dalam tindakannya melakukan “penilaian” (assessor). Seorang gastronom tidak harus pandai memasak atau ahli dalam sejarah dan budaya makanan, namun cukup sekedar mengenal secara umum (generalis).

Selain itu gastronom harus punya passion terhadap seni makanan karena yang bersangkutan adalah food connoisseur (pecinta, pemerhati & penikmat makanan).

The Art Of Good Eating disini diartikan sebagai kepiawaian gastronom dalam gaya makan yang terampil dan mahir (proficient & skillful eating style).

Seorang gastronom harus menguasai dan memiliki kompetensi keahlian The Art Of Good Eating dari segala sesuatu yang berhubungan dengan kenikmatan sajian makanan yang apik, indah dan berkelas yang di tata di atas peranti saji yang elok.
Dalam bahasa Indonesia, gastronomi diterjemahkan oleh ahli bahasa Indonesia almarhum Anton Moeliono sebagai Upaboga.

Sedangkan Kuliner digunakan pada tahun 2005 berkat slogan “Wisata Kuliner”, dari sebuah tayangan televisi yang meliput tempat-tempat makan unik atau sudah memiliki reputasi yang baik.

Sejak saat itu, kata kuliner menjadi semakin populer dan menjadi sesuatu yang identik dengan mencicipi berbagai jenis makanan dan minuman.

Secara harfiah kata kuliner diserap dari bahasa Inggris culinary yang merujuk kepada aktifitas masak-memasak, yaitu teknik dalam menyiapkan makanan sehingga siap dihidangkan

Dengan demikian kuliner merujuk kepada tukang masak atau bahasa kerennya The Art Of Good Cooking.

Pelakunya adalah artis seniman yang berkreatif dalam teknik dan proses masak – memasak (chef profesional dan pemasak otodidak).

Karena kata kuliner kurang tepat merujuk kepada makanan, maka ada kata padanan yang paling cocok yakni Boga.

Kata boga  dipakai di Nusantara pada masa kuna yang diambil dari bahasa Sansekerta, "bhoga" atau "bhogi" yang penggunaannya banyak muncul dalam prasasti-prasasti kuno di Jawa sejak abad ke-8 M.  Arti boga itu sendiri adalah kenikmatan dan kesenangan terhadap makanan yang lezat.

DAYA SAING PARIWISATA INDONESIA
Kita pakai laporan tahunan World Economic Forum (WEF) yang selalu dijadikan tolak ukur bagi pemerhati pariwisata dunia, yakni The Travel & Tourism Competitiveness Report (TTCR).

Tahun 2017 laporan TTCR WEF diberi judul Paving the Way for a More Sustainable and Inclusive Future yang  berkeinginan agar industri pariwisata bisa menjadi lebih berkesinambungan, terutama terkait alam dan komunitas lokal di dalamnya.

Dalam laporan TTCR ada index yang mengukur faktor-faktor dan kebijakan pemerintah dalam mengembangkan sektor pariwisata dan perjalanan suatu negara yang kemudian berkontribusi kepada perkembangan dan daya saing wisata negara.

Tolak ukur itu disebut Travel and Tourism Competitiveness Index (TTCI) dan untuk tahun 2017 ada 136 negara yang dimasukkan dalam daftar daya saing pariwisata dunia ini.

Menurut senarai TTCI secara umum, Indonesia berada di peringkat 42. Artinya naik 8 peringkat dari tahun sebelumnya. Skor Indonesia adalah 4,16 dari total 7.

Saya tidak berkeinginan membahas lebih jauh soal senarai TTCI ini, karena bukan ahlinya. Pembicaraan kita tidak akan mengupas soal itu secara detail, tapi bisa dikatakan pencapaian angka 42 memang lebih baik dari tahun sebelumnya ketimbang Turki, Barbados, Arab Saudi, Vietnam, atau Filipina, walaupun masih tetap ketinggalan dari negara tetangga Thailand, Malaysia dan Singapura.

Walaupun Indonesia punya keunggulan seperti sumber daya alam yang sukar ditandingi di kawasan Asia dan daya saing harga (price competitiveness), tetap ada kelemahan seperti layanan infrastruktur, kesehatan dan higienitas, kultur masyarakat lokal yang masih kaku dan kadangkala menutup diri terhadap wisatawan yang datang, maupun kesiapan di bidang information and communication technology.

Secara umum bisa dikatakan posisi daya saing pariwisata Indonesia banyak mengalami kemajuan, walaupun brand power pariwisatanya masih berada pada angka 5,2%, ketinggalan dibanding dengan negara tetangga seperti Singapura (8,6%) dan Thailand (9,4%) atau masih dibawah rata-rata angka brand power pariwisata dunia yang berkisar di angka 7,7%.

Meskipun demikian, masyarakat menyadari, dari tahun ke tahun, Pemerintah sudah melakukan perbaikan. Contoh konkrit kebijakan bebas visa kunjungan selama 30 hari bagi 169 negara telah menaikkan angka kunjungan 11,52 juta wisatawan asing pada 2016 melalui 19 pintu masuk.

Terus terang, masyarakat punya harapan besar terhadap sektor wisata, mengingat potensinya paling banyak menyerap tenaga kerja dibandingkan sektor lain.

Dalam pertumbuhan ekonomi, sektor pariwisata menempati peringkat keempat sebagai penyumbang pendapatan negara.

Pada tahun 2016 pendapatan negara dari sektor ini mencapai USD 11,76 Milyard. Malah diproyeksikan pariwisata akan menjadi tulang punggung devisa Indonesia di masa depan.

Namun apapun prestasi yang telah dicapai, kekuatan utama pariwisata Indonesia adalah wisata alam (TTCI di peringkat 14).

Indonesia belum bisa bersaing dan belum bisa memaksimalkan wisata buatan manusia (man-made tourism) & wisata minat khusus (special interest tours) melawan negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia & Singapura. Padalah potensi untuk itu luar biasa, banyak dan tersebar di pelosok negeri ini.

WISATA UPABOGA & WISATA BOGA DALAM PARIWISATA
Seperti dikatakan istilah gastronomi baru dikenal masyarakat tahun 2013 dan peranannya dalam dunia pariwisata pun masih muda usianya.

Saat ini kerap kita dengar ada slogan yang menarik yakni wisata gastronomi. Tetapi praktiknya agak kurang tepat.

Penggunaannya condong kepada aplikasi wisata boga (atau istilah populernya wisata kuliner). Wisata boga berbeda dengan wisata gastronomi (upaboga).

Di bawah ini akan dijelaskan perbedaan antara wisata upaboga dan wisata boga, yakni :

Wisata Upaboga (gastronomi) didorong oleh motivasi untuk  mengenal dan mempelajari sejarah & budaya makanan setempat, selain melihat objek wisata alam yang bersifat alami dan objek wisata yang dibuat oleh manusia (budaya & sejarah).

Wisata Boga (makanan) didorong sebatas mencari dan menikmati makanan tanpa perlu mengenal dan mempelajari sejarah & budayanya. Bagi wisatawan obyek wisata alam, obyek wisata buatan manusia (budaya dan sejarah), bukan opsi utama dari kunjungan. Kerap pula non wisatawan pun melakukan wisata boga.  

Contoh wisata boga adalah kota Bandung walaupun sampai saat ini Pemdanya tidak mempromosikan kota kembang itu sebagai destinasi wisatawan, setiap tahunnya jumlah wisatawan meningkat.

Setiap akhir pekan orang Jakarta datang ke kota Bandung hanya untuk melakukan wisata makan (boga). Di hari-hari libur datang pagi dan pulang malam atau keesokan hari, hanya untuk menikmati aneka kreasi makanan lokal dan non lokal maupun souvenir makanan yang ada di setiap pelosok jalan kota.

Rata-rata di tahun 2015, jumlah wisatawan berkunjung ke Bandung mencapai 125 ribu setiap minggunya. Pada tahun 2015 kota Bandung  sudah didatangi 6 juta turis yang 20% diantaranya adalah wisatawan asing.

Kota Bandung dikenal dengan aneka ragam makanannya (lokal & non lokal) dan kebanyakan pelawat datang untuk melakukan wisata boga karena obyek wisata alamnya bisa dibilang tidak banyak. Obyek wisata Bandung ada disekitar kabupaten Bandung.

KEUNGGULAN BOGA DALAM PARIWISATA
Keunggulan makanan (boga) lebih banyak diutarakan dengan memakai ukuran pertumbuhan angka restoran dan rumah makan yang perkembangannya cukup besar akibat fenomena kebiasaan makan di luar.

Sampai saat ini belum diketahui apa sudah ada penelusuran secara rinci mengenai sejauh mana daya tarik makanan lokal memberi sumbangan terhadap pariwisata.

Apakah wisatawan asing atau lokal datang ke suatu destinasi wisata karena obyek makanan atau tidak.

Sejauh yang diketahui belum ada data mengenai sumbangan sektor makanan dalam dunia pariwisata, mengingat diperlukan untuk mengetahui peta keunggulan pariwisata Indonesia.

Untuk menyimpang sedikit dari topik pembicaraan, bisa dikatakan sejak 20 tahun terakhir terjadi pergeseran kebiasaan di mana semakin banyak masyarakat Indonesia makan di luar.

Sepanjang tahun 2013, tercatat kebiasaan makan di luar ini mencapai 380 juta kali dan menghabiskan total USD 1,5 miliar.

Menurut data tahun 2016, saat ini jumlah kelas menengah ke atas di Indonesia tercatat 70 juta jiwa dari total penduduk 260 juta jiwa.

Kalau memakai kebiasaan makan di luar angka tahun 2013 itu dan mengambil  umpamanya 40 juta kelas menengah di Indonesia, artinya rata-rata  satu jiwa kelas menengah ke atas melakukan kebiasaan makan di luar 9,5 kali / tahun. Fenomena itu tidak berkurang dengan adanya online delivery, malah semakin semarak perputaran bisnisnya.

Menurut yang kami pantau dari beberapa catatan yang ada, total jumlah restoran dan rumah makan yang berbadan hukum di 5 (lima) kota besar Indonesia (Jakarta, Bali, Bandung, Surabaya & Medan) ada 40,282.

Ini belum termasuk yang tidak berbadan hukum seperti kaki lima, usaha rumah tangga, dan warung makan sederhana yang kerap disebut sebagai UKM.

Sektor UKM yang 60% dari pelakunya bergerak di sektor makanan bisa dikatakan sebagai warna & wajah makanan Indonesia yang minim akan standard pelayanan, dekorasi, sanitasi, presentasi maupun penampilan.

Pilihan masyarakat kebanyakan pada sektor ini, karena masyarakat masih melihat "apa adanya" dan bangga terhadap seni masakan UKM yang tidak perlu di "up to date" penampilannya secara mutakhir.

Memang bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, rasa dan kelezatan yang menjadi pilihan utama, yang penting enak, kejangkau secara ekonomi dan tidak perlu mengikuti standard macam-macam.

Bisa dikatakan, keunggulan makanan (boga) dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah teruji keberhasilannya. Di tahun 2017 bisnis makanan tumbuh 8,5%.

Kementerian Perindustrian memprediksi sektor makanan dan minuman tahun 2017 hanya tumbuh kisaran 7,5% - 7,8%.

Sementara, pengusaha yang tergabung dalam organiasi GAPMMI memperkirakan bisa tumbuh minimal sama dengan 2016 yakni sekitar 8,2% - 8,5%.

Sedangkan sumbangannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 34,17 persen atau tertinggi dibandingkan sektor lainnya.

Kalau kita kembali ke topik pembicaraan, makanan memiliki peran sangat penting dalam pengembangan jasa pariwisata.

Pada prinsipnya semua wisatawan harus makan dengan selera atau membuat makanan yang ada menjadi perhatian khusus bagi mereka yang berkunjung.  

Diketahui 30% atau lebih dari pengeluaran wisatawan diperuntukkan untuk makanan yang merupakan bisnis lokal masyarakat setempat.

Konsumsi wisatawan akan makanan merupakan kontribusi terbesar untuk restoran lokal, warung / kedai makan, penjaja makanan jalanan dan industri makanan.

Disamping itu makanan menjadi salah satu elemen penting dalam dunia pariwisata, mengingat wisatawan menjadi salah satu pasar utama untuk bisnis masakan lokal (Dodd, 2011; Hjalager dan Richards, 2002 ).

Pentingnya masakan lokal, dicatat dalam survey Torres dimana 46% makanan yang dikonsumsi para wisatawan asing adalah masakan lokal, sedangkan pengeluaran harian pada makanan lokal oleh turis adalah lima kali lebih besar dari rata-rata masyarakat setempat (Torres, 2002).

The International Culinary Tourism Association (ICTA) memperkirakan rata-rata wisatawan dunia menghabiskan biaya sekitar $ 1.200 per perjalanan, dimana sepertiganya (36% atau $ 425) berhubungan dengan belanja makanan.

Bahkan untuk kedepannya diperkirakan cenderung akan menghabiskan jumlah yang cukup signifikan dan lebih tinggi dari sebelumnya (yakni sekitar 50%) untuk yang berhubungan dengan makanan.

KEUNGGULAN GASTRONOMI DALAM PARIWISATA
Mengenai keunggulan gastronomi itu sendiri dalam daya saing pariwisata, belum banyak diperbincangkan atau dikaji secara mendalam, walaupun potensinya cukup tinggi.

Sedangkan keunggulan boga dalam daya saing pariwisata sudah cukup teruji, bahkan boga itu sendiri saja tanpa komponen wisata sudah menjadi mesin cetak uang tersendiri yang cukup signifikan bagi pendapatan kebanyakan masyarakat setempat. Apalagi sektor ini memberi potensinya menyerap tenaga kerja yang cukup lumayan.

Meskipun boga (makanan) dan upaboga (gastronomi) merupakan saudara kembaran, bisa dikatakan penerapan upaboga kedalam mesin pariwisata belum semarak seperti wisata boga.

Salah satu penyebabnya karena banyak yang belum mengerti dan memahami cara menerapkan wisata upaboga ke dalam konsepsi kepariwisataan. Kerap diucapkan tapi beda teknis penerapannya.

Secara umum wisata gastromomi ada dua macam jenis :
1. Gastronomi Luxury : Diperuntukkan bagi kalangan high end dengan kapasitas rombongan terbatas dan mampu membayar dengan harga yang tinggi.
Kalangan wisatawan high end memang kerap keliling dunia mencari kenikmatan dan pengalaman artistik sensorik masakan dari kreasi master chef yang memiliki reputasi yang sudah diakui kepiawaiannya.
Kemewahan hospitality, presentasi dan kelezatan hidangan makanan yang terbaik menjadi incaran utama mereka, disamping mengenal dan mempelajari sejarah & budaya dari makanan itu sendiri.

2. Gastronomi Konvensional : Diperuntukkan bagi kalangan kebanyakan yang ingin mengenal dan mempelajari sejarah & budaya makanan serta penggunaan produk lokal (seperti bumbu dan rempah), resep tradisional maupun cara proses pembuatannya
Wisatawan jenis ini tidak terlalu menghiraukan soal kemewahan dan siapa pemasaknya (bisa chef professional atau pemasak otodidak).
Bagi mereka yang paling penting adalah kenikmatan dan pengalaman artistik sensorik seni masakan dengan harga yang kejangkau dan tidak mahal.

Sampai saat ini belum terlihat ada paket-paket wisata Gastronomi Luxury di Indonesia, walau tidak menafikan ada kalangan terbatas melakukannya dengan pelancong asing berdasarkan orderan artinya dilakukan secara tidak kontinyu.

Potensi untuk melakukan wisata Gastronomi Luxury di Indonesia cukup besar. Umpamanya gaya makan kerajaan Nusantara (ala keraton Surakarta atau Yogyakarta atau lainnya), bisa menjadi pertimbangan dengan segala kemewahan presentasi dan hospitalitynya.

Paket ini bisa menampilkan, merasakan dan memilih Inheritance of Harmony dari beragam kekayaan local heritage hidangan klasik tradisional kerajaan Nusantara sebagai kebanggaan dan pelestarian terhadap kekayaan makanan asli bangsawan yang berasal dari latar belakang sosial-budaya yang berbeda.

Untuk Gastronomi Luxury, kalangan high end tidak keberatan membayar mahal, apalagi kalau jumlahnya terbatas justru semakin baik karena eksklusif.

Sebagai contoh untuk suatu paket wisata Gastronomi Luxury di suatu kota di Eropa, selama 2 (dua) hari, yang diselenggarakan sebuah organisasai gastronomi di Paris, anggotanya membayar USD 3,500 per orang. Biaya ini  di luar biaya akomodasi, transportasi udara dan sarapan pagi.

Biaya itu hanya untuk acara makan siang, acara makan malam dan transportasi darat bersama (bis) untuk kapasitas 30 orang. Artinya selama 2 (dua) hari dengan 4 (empat) kali paket acara makan, per orang dikenakan biaya USD 875 per acara makan atau Rupiah 11,6 juta.

Peminatnya cukup banyak di benua barat tapi secara umum sukar diketahui keberadaannya. Biasanya mereka bernaung dalam organisasi-organisasi gastronomi, sommelier, culinary, yayasan-yayasan sosial dari kalangan masyarakat atas, atau sejenisnya.

Gastronomi Konvensional lazim ditemui di hampir semua kegiatan wisata boga dan pelakunya harus dipilih yang punya minat khusus (special interest) dengan harga yang relatif kejangkau isi dompet mereka.

Keunggulan Gastronomi Konvensional itu bisa satu paketkan dengan wisata boga (makanan) dengan tambahan atraksi memberi pengenalan dan pelajaran mengenai proses pembuatan makanan serta penggunaan produk lokal (seperti bumbu dan rempah) serta resepi masakannya.

Tambahan atraksi ini memberi ruang komunikasi, bertukar pikiran dan pengetahuan serta keramah tamahan yang sangat berperan penting mendeskripsikan pengalaman para wisatawan itu akan menjadi tak terlupakan (berkesan).

Perlu diketahui pada umumnya wisatawan mencari novel dan authentic experience karena dianggap unique & memorable.

Misalnya, kunjungan ke pabrik membuat tahu yang kedelenya harus diinjak-injak membuat tempe. Atau diajarkan cara membuat rendang, mulai dari cara penyembelihan sapi, belanja bahan baku ke pasar tradisional sampai proses mengolah masakan rendang itu di dapur.

Wisatawan diajak ke tempat pembuatan atau tahu atau rendang disuruh lihat dan praktik membuatnya. Si wisatawan dilibatkan emosional, interaksi fisik, spiritual dan level intelektualnya menjadi sebuah hiburan yang mempunyai estetika, pendidikan dan petualangan.

Secara sadar wisatawan Gastronomi Konvensional diberi pemahaman filosofi, sejarah & budaya serta terakhir ada unsur transaksi dagang untuk oleh-oleh yang akan dibawa pulang.

PESAN
Mengingat daya saing pariwisata Indonesia di tahun 2017 berada di peringkat 42 dalam senarai kalibrasi TTCI WEF. Naik 8 peringkat dari tahun sebelumnya dengan skor 4,16 dari total 7. Dimana ditargetkan tahun 2019 akan diproyeksikan naik 12 level di posisi peringkat 30 besar dunia, maka sudah seharusnya Pemerintah kini mulai mempertimbangkan dengan bijak dan serius memaksimalkan wisata buatan manusia (man-made tourism) & wisata minat khusus (special interest tours) dengan mengangkat Wisata Upaboga sebagai salah satu programnya. Potensi untuk itu luar biasa, banyak dan tersebar di pelosok negeri ini.