Jadi Yuan Xiao artinya adalah Malam dengan Bulan Purnama pertama dalam Tahun yang baru. Festival “Yuan Xiao” disebut juga dengan Festival “Shang Yuan”.
Sejarah Cap Go Meh dimulai pada saat dinasti Zhou (770 – 256 SM) setiap tanggal 15 malam bulan satu Imlek. Para petani memasang lampion-lampion yang dinamakan Chau Tian Can di sekeliling ladang untuk mengusir hama dan menakuti binatang-binatang perusak tanaman, selain itu juga untuk menciptakan pemandangan yang indah dimalam hari tanggal 15 bulan satu.
Dan untuk menakuti atau mengusir binatang-binatang perusak tanaman, mereka menambah segala bunyi-bunyian serta bermain barongsai, agar lebih ramai dan bermanfaat bagi petani. Kepercayaan dan tradisi budaya ini berlanjut turun menurun, baik di daratan Tiongkok maupun diperantauan diseluruh dunia. Ini adalah salah satu versi darimana asal muasalnya Cap Go Meh.
Di Barat, Cap Go Meh dinilai sebagai pesta karnavalnya etnis Tionghoa, karena adanya pawai yang pada umumnya dimulai dari kelenteng. Kelenteng adalah penyebutan secara keseluruhan untuk tempat ibadah “Tri Dharma” (Buddhism, Taoism dan Confuciusm). Nama Kelenteng sekarang ini sudah dirubah menjadi Vihara yang sebenarnya merupakan sebutan bagi rumah ibadah umat Buddha.
Hal ini terjadi sejak pemerintah tidak mengakui keberadaannya agama Kong Hu Chu sebagai agama. Sedangkan sebutan nama Kelenteng itu sendiri, bukannya berasal dari bahasa China, melainkan berasal dari bahasa Jawa, yang diambil dari perkataan “Kelintingan” (lonceng kecil), karena bunyi-bunyian inilah yang sering keluar dari Kelenteng, sehingga mereka menamakannya Kelenteng. Orang Tionghoa sendiri menamakan Kelenteng itu, sebagai Bio (Miào). Wen Miao adalah bio untuk menghormati Confucius dan Wu Miao adalah untuk menghormati Guan Gong.
Cap Cap Go Meh juga dikenal sebagai acara pawai menggotong joli Toapekong untuk diarak keluar dari Kelenteng. Toapekong (Hakka = Taipakkung, Mandarin = Dabogong) berarti secara harfiah eyang buyut untuk makna kiasan bagi dewa yang pada umumnya merupakan seorang kakek yang udah tua.
“Da Bo Gong” ini sebenarnya adalah sebutan untuk para leluhur yang merantau atau para pioner dalam mengembangkan komunitas Tionghoa di Indonesia. Jadi istilah Da Bo Gong itu sendiri tidak dikenal di Tiongkok.
Kalau di China, Cap Go Meh disebut Festival Yuanxiao atau Festival Shangyuan. Perayaan Cap Go Meh dilakukan untuk memberi penghormatan terhadap Dewa Thai Yi, dewa tertinggi di langit pada zaman Dinasti Han (206 SM- 221 M).
Dulunya, Cap Go Meh dilakukan secara tertutup untuk kalangan istana dan belum dikenal masyarakat awam. Festival tersebut dilakukan pada malam hari, sehingga harus menyediakan banyak lampion dan aneka lampu warna-warni. Lampion adalah pertanda kesejahteraan hidup bagi seluruh anggota keluarga.
Makanya, Cap Go Meh kerap disebut Festival Lampion. Ketika pemerintahan Dinasti Han berakhir, barulah Cap Go Meh dikenal oleh masyarakat. Ketika Cap Go Meh, rakyat bisa bersenang-senang sambil menikmati pemandangan lampion yang telah diberi banyak hiasan.
Perayaan ini dirayakan dengan jamuan besar dan berbagai kegiatan. Di Taiwan ia dirayakan sebagai Festival Lampion. Di Asia Tenggara ia dikenal sebagai hari Valentine Tionghoa, masa ketika wanita-wanita yang belum menikah berkumpul bersama dan melemparkan jeruk ke dalam laut (suatu adat yang berasal dari Penang, Malaysia).
Perayaan Festival Cap Go Meh di Indonesia sendiri sangat bervariasi. Perayaan biasanya dilakukan oleh umat kelenteng-kelenteng atau vihara dengan melakukan kirab atau turun ke jalan raya, sambil menggotong ramai-ramai Kio / usungan yang diisi / dimuat arca para Dewa.
Bahkan, di beberapa kota di tanah air, seperti di daerah Jakarta dan di Manado, ada atraksi “lok thung” atau “thang sin“, dimana ada seseorang yang menjadi medium perantara, dimana biasanya akan melakukan beberapa atraksi sayat lidah, memotong lengan / badannya dengan sabetan pedang dan sebagainya yang dipercaya telah dirasuki roh Dewa/i untuk memberikan berkat bagi umatNya.
Perayaan Cap go Meh di Makassar diadakan secara rutin setiap setahun sekali. Pada hari perayaan Cap Go Meh, daerah pecinaan kota Makassar akan ditutup untuk kendaraan sejak pukul 10.00 WITA pagi, namun prosesi perarakan Cap Go Meh atau yang biasa disebut Karnival Budaya Nusantara akan dimulai pukul 14.00 WITA dengan dilepaskannya puluhan ekor burung oleh Wali kota Makassar.
Perarakan Cap Go Meh diawali dengan rombongan Bhineka Tunggal Ika yang antara lain terdiri atas berbagai tokoh agama dan masyarakat serta juga diikuti oleh para Dara dan Daeng Makassar, lalu Kelenteng Kwang Kong, masyarakat Kajang dari Bulukumba, Vihara Dharma Loka, kelompok adat Aluk Tudolo dari Tana Toraja, Kelenteng Xian Ma, kelompok adat Kabupaten Bone, Kelenteng Pan Ku Ong dari Galesong Kabupaten Takalar, Vihara Dharma Agung, Komunitas Bissu dari Segeri, Kabupaten Pangkep, Mapanbumi, Kelompok Adat Mappasili Pallawa serta Vihara Girinaga.
Di barisan terakhir ditutup oleh Yayasan Budha Tzu Chi yang antara lain membersihkan sampah yang memenuhi sepanjang jalan yang dilalui rombongan prosesi tersebut. Hampir setiap klenteng mengarak dewa dan dewi. Seperti Klenteng Kwan Kong yang mengarak Dewa Kwan Kong sebagai dewa perang dan Dewi Kwan Im sebagai pembawa cinta kasih. Vihara Dharma Loka mengarak Dewa Cho Sua Kong atau dewa pengobatan, dan Klenteng Xian Ma yang membawa Dewi Xian Ma. Karnival ini berakhir sekitar pukul 16.30 WITA.
Perayaan Cap Go Meh di Manado diadakan rutin setahun sekali pada tanggal 15 bulan pertama Imlek. Pada Cap Go Meh, jalanan di sekitar daerah Kampung Cina (Pecinan) Manado akan ditutup. Akan diadakan arak-arakan kio yang dinaiki oleh tangsin (wadah roh suci). Prosesi arak-arakan biasanya berlangsung hingga larut malam sampai waktu kunci sembahyang. Setiap klenteng akan mengarakan dewa atau dewi tertentu berdasarkan klenteng masing-masing.
Di daerah asalnya, Tiongkok, malam hari ke lima belas ini dirayakan selain dengan festival lampion dan barongsai, juga dengan menyantap "YuanXiao".
Yuanxiao merupakan bola-bola beras yang padat. Ada anggapan tradisional Tionghoa yang menyatakan bahwa Yuanxiao yang padat melambangkan keberuntungan. Inkulturasi di tanah Jawa membuat YuanXiao berubah bentuk jadi Lontong.
Lontong Cap Go Meh
Seperti halnya dengan banyak tradisi asia yaitu Tionghoa dan Jawa yang kaya makna, bentuk dan kepadatan lontong merupakan simbolisme, yang dianggap berlawanan dengan bubur yang encer yang sering dikaitkan dengan kesialan jika disajikan saat perayaan Tjap Go Meh.
Bentuk lontong yang panjang dianggap melambangkan panjang umur, telur melambangkan keberuntungan, dan santan yang dibumbui kuah kunyit berwarna keemasan melambangkan emas dan keberuntungan. Tak ayal jika lontong dipilih menjadi sajian khas Tjap Go Meh agar tahun baru dipenuhi dengan keberuntungan.
Lontong Cap Go Meh adalah masakan adaptasi Peranakan Tionghoa Indonesia terhadap masakan Indonesia, tepatnya masakan Jawa. Hidangan ini terdiri dari lontong yang disajikan dengan opor ayam, sayur lodeh, sambal goreng hati, acar, telur pindang, abon sapi, bubuk koya, sambal, dan kerupuk.
Lontong Cap Go Meh biasanya disantap keluarga Tionghoa Indonesia pada saat perayaan Cap go meh, yaitu empat belas hari setelah Imlek atau tepatnya hari kelima belas bulan 1 penanggalan imlek. Akan tetapi kini hidangan ini juga kerap disajikan kapan saja, tidak hanya ketika cap go meh.
Asal Mula Lontong Cap Go Meh
Pengaruh masakan Tionghoa tampak jelas pada adaptasinya ke dalam masakan Indonesia, misalnya mie goreng, lumpia, bakso, dan siomay. Akan tetapi pengaruh ini juga berlaku dua arah. Peranakan Tionghoa yang telah sekian lama bermukim di Nusantara sangat dipengaruhi oleh selera masakan Indonesia. Dipercaya lontong cap go meh adalah adaptasi Tionghoa Indonesia terhadap masakan lokal Indonesia.
Para pendatang Tionghoa pertama kali bermukim di kota-kota pelabuhan di pesisir utara Jawa, misalnya Semarang, Pekalongan, Lasem, dan Surabaya. Hal ini berlangsung sejak zaman Majapahit. Pada saat itu hanya kaum laki-laki etnis Tionghoa yang merantau ke Nusantara, mereka menikahi perempuan Jawa penduduk lokal, hal ini melahirkan perpaduan budaya Peranakan-Jawa.
Untuk merayakan Imlek, saat Cap go meh, kaum peranakan Jawa mengganti hidangan yuanxiao (bola-bola tepung beras) dengan lontong yang disertai berbagai hidangan tradisional Jawa yang kaya rasa, seperti opor ayam dan sambal goreng.
Dipercaya bahwa hidangan ini melambangkan asimilasi atau semangat pembauran antara kaum pendatang Tionghoa dengan penduduk pribumi di Jawa. Dipercaya pula bahwa lontong cap go meh mengandung perlambang keberuntungan, misalnya lontong yang padat dianggap berlawanan dengan bubur yang encer.
Hal ini karena ada anggapan tradisional Tionghoa yang mengkaitkan bubur sebagai makanan orang miskin atau orang sakit, karena itulah ada tabu yang melarang menyajikan dan memakan bubur ketika Imlek dan Cap go meh karena dianggap ciongatau membawa sial. Bentuk lontong yang panjang juga dianggap melambangkan panjang umur. Telur dalam kebudayaan apapun selalu melambangkan keberuntungan, sementara kuah santan yang dibubuhi kunyit berwarna kuning keemasan, melambangkan emas dan keberuntungan.
Lontong Cap Go Meh adalah fenomena khusus Peranakan-Jawa; kaum peranakan di Semenanjung Malaya, Sumatera, dan Kalimantan tidak mengenal hidangan ini. Tradisi memakan lontong tidak dikenal dalam perayaan Imlek masyarakat Tionghoa di Kalimantan. Akan tetapi hidangan ini dikaitkan dengan perayaan Imlek di pecinan di kota-kota di pulau Jawa, khususnya Semarang. Karena Suku Betawi sangat dipengaruhi kebudayaan peranakan Tionghoa, Lontong Cap Go Meh juga dianggap sebagai salah satu masakan Betawi.
Di Jakarta lontong Cap Go Meh yang top adalah masakan Udaya Halim dari museum Benteng Heritage Tangerang berlokasi di rumah burung yang ciamik dengan pemandangan kali Cisadane. Nama gedungnya Roemboer (Roemah Boeroeng) walet dan gereja yang juga dikenal dengan kecap Benteng.
Tarian Barongsai
Ketika Cap Go Meh, rakyat akan menyaksikan Tarian Barongsai dan Liong (naga), berkumpul untuk main games penuh teka-teki, dan makan onde-onde. Sepanjang perayaan, tentunya bakal diramaikan oleh kehadiran kembang api dan petasan. Uniknya kata Barongsai bukan berasal dari China, tapi merupakan paduan dari kata ‘barong’ yang merupakan Bahasa Jawa dan kata ‘say’ yang artinya singa dalam dialek Hokkian.
Barongsai adalah simbol kebahagiaan, kegembiraan, dan kesejahteraan. Sedangkan Liong dianggap sebagai simbol kekuasaan atau kekuatan. Pada malam itu, para tua dan muda seolah “diwajibkan” untuk bersenang-senang. Menurut kepercayaan orang Tionghoa, keluarga akan jadi sangat besar jika anak mereka lahir di Tahun Naga.
Ada dua macam jenis macam tarian barongsay yang satu lebih dikenal sebagai Singa Utara yang penampilannya lebih natural sebab tanpa tanduk, sedangkan Singa Selatan memiliki tanduk dan sisik jadi mirip dengan binatang Qilin (kuda naga yang bertanduk). Seperti layaknya binatang-binatang lainnya juga, maka barongsai juga harus diberi makan berupa Angpau yang ditempeli dengan sayuran selada air yang lazim disebut “Lay See”.
Untuk melakukan tarian makan laysee (Chai Qing) ini para pemain harus mampu melakukan loncatan tinggi, sehingga ketika dahulu para pemain barongsai, hanya dimainkan oleh orang-orang yang memiliki kemampuan silat – “Hokkian = kun tao” yang berasal dari bahasa Mandarin Quan Dao (Kepala kepalan atau tinju), tetapi sekarang lebih dikenal dengan kata Wu Shu, padahal artinya Wu Shu sendiri itu adalah seni menghentikan kekerasan.
Di depan barongsai selalu terdapat seorang penari lainnya yang menggunakan topeng sambil membawa kipas. Biasanya disebut Shi Zi Lang dan penari inilah yang menggiring barongsai untuk meloncat atau bermain atraksi serta memetik sayuran. Sedangkan penari dengan topeng Buddha tertawa disebut Xiao Mian Fo.
Pada awalnya tarian barongsai ini tidak pernah dikaitkan dengan ritual keagamaan manapun juga, tetapi akhirnya karena rakyat percaya, bahwa barongsai itu dapat mengusir hawa-hawa buruk dan roh-roh jahat. Jadi budaya atau kepercayaan rakyat itulah yang akhirnya dimanfaatkan atau bersinergi dengan lembaga keagamaan.
Walaupun demikian pada saat sekarang ini sudah ada aliran modern lainnya yang tidak mengkaitkan dengan upacara keagamaan sama sekali, karena mereka menilai barongsai hanya sekedar aksesories untuk nari atau media entertainment saja, seperti juga halnya dengan payung untuk tari payung, atau topeng dalam tarian topeng.
Barongsai sebenarnya sudah populer sejak zaman periode tiga kerajaan (Wu, Wei & Shu Han) tahun 220 – 280 M. Pada saat itu ketika raja Song Wen sedang kewalahan menghadapi serangan pasukan gajah Raja Fan Yang dari negeri Lin Yi. Panglimanya yang bernama Zhing Que mempunyai ide yang jenius dengan membuat boneka-boneka singa tiruan untuk mengusir pasukan raja Fan. Ternyata usahanya itu berhasil sehingga sejak saat ini mulailah melegenda tarian barongsai tersebut hingga kini.
Onde-onde yang dimakan ketika Cap Go Meh biasanya dibuat ramai-ramai oleh seluruh anggota keluarga, terutama wanita dan anak-anak. Lalu, kenapa Tarian Barongsai dan Liong harus sambil membunyikan petasan? Soalnya, petasan dipercaya bisa mengusir energi negatif dan akan membersihkan seluruh lokasi yang dilalui Barongsai.
Secara umum, itulah yang dilakukan orang Tionghoa ketika merayakan Cap Go Meh. Di beberapa daerah, Cap Go Meh dilakukan dengan tradisi unik. Misalnya, saat Cap Go Meh bisa cari jodoh di Pulau Kemaro, Palembang. Sedangkan di Singkawang, bisa merayakan Cap Go Meh dengan melihat pawai tatung untuk mengusir roh jahat.
Tarian Naga (Liong)
Disebut juga dengan nama “Nong Long”. Binatang mitologi ini selalu digambarkan memiliki kepala unta, bertaring serigala dan bertanduk menjangan. Naga di China dianggap sebagai dewa pelindung, yang bisa memberikan rejeki, kekuatan, kesuburan dan juga air.
Air di China merupakan lambang rejeki, karena kebanyakan dari mereka hidup dari bercocok tanam, maka dari itu mereka sangat menggantungkan hidupnya dari air. Semua kaisar di China menggunakan lambang naga, maka dari itu mereka duduk di singgasana naga, tempat tidur naga, dan memakai pakaian kemahkotaan naga. Orang China akan merasa bahagia apabila mendapatkan seorang putera yang lahir di tahun naga.
Kita bisa melihat apakah ini naga lambang dari seorang kaisar ataukah bukan dari jumlah jari di cakarnya. Hanya kaisar yang boleh menggunakan gambar naga dengan lima jari di cakarnya, sedangkan untuk para pejabat lainnya hanya 4 jari. Bagi rakyat biasa yang menggunakan lambang naga cakarnya hanya boleh memiliki 3 jari saja. Naga itu memiliki tiga macam warna, hijau, biru & merah, dari warna naga tsb kita bisa melihat kesaktiannya. Naga warna kuning adalah naga yang melambangkan raja.
Pada umumnya untuk tarian naga ini dibuatkan naga yang panjangnya sekitar 35 m dan dibagi dalam 9 bagian, tetapi ketika mereka menyambut tahun baru millennium di China pernah dibuat naga yang panjangnya 3.500 meter dan dimainkannya di atas Tembok Besar China.
Naga tidak selalu dihormati, sebab apabila ada musim kemarau berkepanjangan, maka para petani mengadakan upacara menjemur naga yang dibuat dari tanah liat untuk membalas dendam atau mendemo sang Naga yang tidak mau menurukan hujan, seakan-akan kaum tani tersebut ingin menyatakan “Rasain Lho kering dan panasnya musim kemarau ini!”
Terutama di Jakarta dan sekitarnya rasanya kurang komplit apabila pawai Cap go meh ini tanpa diiringi oleh para pemain musik "Tanjidor“ yang menggunakan instrumen musik trompet, tambur dan bajidor (Bedug). Orkes ini sudah dikenal sejak abad ke 18. Konon Valckenier gubernur Belanda pada saat itu sudah memiliki rombongan orkes tanjidor yang terdiri dari 15 orang pemain musik. Tanjidor biasanya hanya dimainkan oleh para budak-budak, oleh sebab itulah musik Tanjidor ini juga sering disebut sebagai Sklaven Orkest“.
Tradisi Tjap Go Meh membuat kita kian paham dengan tradisi terlebih menyadari bahwasanya panganan adalah bagian dari metafor doa, harapan dan rasa syukur. Bukan pemuasan nafsu makan apalagi melampiaskan keinginan-keinginan yang tak terarah.