".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Thursday, 27 January 2022

Boga & Hak Kekayaan Intelektual

PENDAHULUAN
Melonjaknya perjalanan dan liburan ke luar negeri sepanjang paruh kedua abad kedua puluh, telah meningkatkan kesadaran akan pentingnya budaya alternatif yang secara khusus difokuskan terhadap preferensi tradisi makanan (boga).

Bersamaan dengan itu kebangkitan ini telah membuka nuansa lain akan adanya kebutuhan dari produsen makanan untuk melindungi ciptaan mereka, khususnya dari ancaman perdagangan produk imitasi yang ditiru menyerupai produk kreasi mereka di tempat lain yang dicap berbeda.

Selain ancaman produk perdagangan imitasi, globalisasi turut menciptakan tekanan internal dan regional di negara-negara yang mengarah kepada homogenisasi potensi keahlian memasak daerah.

Di bawah ini akan dicoba memberikan gambaran sepintas mengenai situasi dan kondisi dari makanan (boga), termasuk gastronomi (upaboga), dalam kaitannya dengan kekayaan intelektual.

GENERAL AGREEMENT ON TARIFFS & TRADE
Badan internasional yang menjembatani isyu-isyu ini adalah General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), sebagai kamar negosiasi multilateral yang bertujuan mengatur perdagangan internasional dalam pengurangan substansial atas tarif dan hambatan perdagangan lainnya dan penghapusan preferensi, berdasarkan asas timbal balik dan saling menguntungkan.

Kompetensi GATT pada area-area seperti jasa, modal, kekayaan intelektual (intellectual property), tekstil, dan pertanian.

Perjanjian pertanian menjadi perjanjian liberalisasi perdagangan paling substansial dalam sejarah negosiasi perdagangan GATT. Tujuan perjanjian ini adalah untuk meningkatkan akses pasar bagi produk-produk pertanian, mengurangi dukungan domestik terhadap pertanian dalam bentuk subsidi yang mendistorsi harga dan kuota, menghapuskan subsidi ekspor produk pertanian secara bertahap, dan untuk menyelaraskan sejauh mungkin ukuran-ukuran sanitasi dan fitosanitasi di antara negara-negara anggota.

GATT mengglobalisasikan undang-undang perdagangan untuk melindungi kompetensi di atas, yang mana untuk produk kreasi dirembuk di bawah aturan hukum kekayaan intelektual (intellectual property).

Kekayaan intelektual atau Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau hak milik intelektual adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights (IPR), yakni hak yang timbul dari hasil olah pikir yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia.

Pada intinya kekayaan intelektual adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam kekayaan intelektual berupa karya-karya yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia.

Secara garis besar kekayaan intelektual (intellectual property) dibagi menjadi 2 (dua) sektor, yaitu :
i.  Hak Cipta (Copyrights)
ii. Hak Kekayaan Industri (Industrial Property Rights) yang mencakup Paten (Patent), Desain Industri (Industrial Design), Merek (Trademark), Indikasi Geografis (Geographical Indication), Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Layout Design Of Integrated Circuit). Rahasia Dagang (Trade Secret) & Perlindungan Varietas Tanaman (Plant Variety Protection).

Contoh indikator geografis, umpamanya untuk kebutuhan produsen suatu negara melindungi produk mereka dari perdagangan imitasi (seperti anggur, susu, keju dan mentega) di bahas dalam Hak Kekayaan Industri berdasarkan aturan Indikasi Geografis.

Hukum yang mengatur kekayaan intelektual bersifat teritorial. Artinya pendaftaran ataupun penegakan kekayaan intelektual harus dilakukan secara terpisah di masing-masing yurisdiksi teritorial bersangkutan.

Sebagai contoh kekayaan intelektual yang dilindungi di suatu teritorial adalah kekayaan intelektual yang sudah didaftarkan di wilayah teritorial tersebut.

Namun sayangnya teritorial yang dimaksud dalam hukum kekayaan intelektual itu hanya sebatas bagian wilayah (daerah hukum) suatu negara. Walaupun dunia mengakui produk teritorial bisa berupa geografis suatu daerah (negara) dan bisa juga berupa geografis kawasan regional. Namun ketentuan ini belum dinyatakan secara implisit dalam hukum hak kekayaan intelektual.

BOGA & KEKAYAAN INTELEKTUAL
Sekarang pertanyaannya, apakah dan bagaimana aturan hukum kekayaan intelektual itu dapat mencakup juga terhadap makanan (boga), termasuk gastronomi (upaboga), khususnya yang berdasarkan indikator teritorial geografis daerah (negara) & kawasan regional.

Seperti kita ketahui, resep adalah tentang mengatur kombinasi hidangan makanan dan minuman. Oleh karena itu bagaimana & dimana hidangan itu dimakan serta bagaimana & dimana tradisi makan & minum itu telah membentuk budaya makanan (boga), termasuk gastronomi (upaboga),  suatu daerah (negara) atau kawasan regional.

Kalau bicara soal aturan hukum, maka perihal bagaimana & dimana adalah bagian dari kekayaan intelektual (intellectual property) yang berdasarkan aturan indikasi geografis.

Namun belum jelas dinyatakan sampai sekarang, apakah indikasi geografis mencakup hak kekayaan industri berdasarkan produk origin teritorial suatu daerah (negara) dan juga berdasarkan teritorial kawasan regional, karena tradisi budaya penggunaannya.

Dengan mengenali makanan (boga), termasuk gastronomi (upaboga), sebagai kekayaan intelektual berdasarkan indikasi geografis akan berfungsi untuk membuat inventarisasi dan meningkatkan kesadaran.

Disini kekayaan intelektual akan membantu membuat profil dengan membedakan budaya daerah (negara) & kawasan regional serta menekankan sifatnya yang unik; yakni mengenai kombinasi dari atmosfer, adat-istiadat, budaya, lanskap geografis (iklim) dan orang-orang lokal yang tidak bisa direproduksi secara otentik di tempat lain.

Telah diketahui bahwa pengalaman dan kenangan terhadap makanan (boga), termasuk gastronomi (upaboga), (produksi, resep, tradisi, sejarah & budaya) merupakan cinderamata paling kuat dari perjalanan liburan.

Cinderamata ini akan diingat lama setelah liburan berakhir. Ini akan memperkuat sifat dan nilai pengalaman yang tidak terlupakan (unforgettable experience) dari makanan (Van Westering 1999).

Budaya makanan (boga) dan  gastronomi (upaboga) sering digunakan untuk memasarkan dan menjual produk budaya kepada wisatawan.

Cuma menjadi pertanyaan apakah budaya makanan (boga) dan gastronomi (upaboga) yang diperkenalkan itu merupakan indikasi teritorial geografis suatu daerah (negara) atau indikasi teritorial geografis suatu kawasan regional.

CONTOH NEGARA SPANYOL
Kalau kita beralih arah sebentar dari topik kekayaan intelektual untuk memperjelas iluminasi di atas mengenai indikasi teritorial geografis suatu daerah (negara) atau kawasan regional, maka akan diceritakan sepintas mengenai negara Spanyol.

Seperti diketahui negara Spanyol telah berhasil menandai kembali dirinya sebagai tujuan wisata dengan budaya yang bermanfaat. Namun sampai saat ini, gastronomi  Spanyol belum menjadi daya tarik yang signifikan bagi wisatawan mancanegara. Walaupun banyak turis mengadopsi negara Spanyol untuk tujuan liburan mereka secara teratur, masakan Spanyol relatif tetap tidak dikenal.

Ini sangat ironis, melihat dampak global dari produk pertanian Spanyol, sebagai bahan baku keahlian memasak, sangat tinggi.

Umpamanya permintaan akan buah zaitun, minyak zaitun atau cava telah meningkat dengan tajam diekspor ke banyak negara. Sama halnya, restoran tapas dapat ditemukan banyak kota di Eropa.

Seolah-olah seni dapur masakan Spanyol menjadi bintang utama dan sangat populer di kalangan masyarakat Eropa, walaupun sampai saat ini belum ada kesepakatan untuk menjadikanya sebagai masakan utama Eropa, seperti yang diperlakukan terhadap seni keahlian memasak Prancis.

Gastronomi (upaboga) Spanyol juga dikatakan banyak mempengaruhi keahlian memasak di negara-negara lain, khususnya gastronomi Meksiko, yang menjadi salah satu pilihan makanan utama bagi wisatawan dunia (seperti chilaquiles, quesadilla, tortilla, taco atau tapas).

Banyak yang menganggap bahwa masakan Meksiko memang terasa seperti sebelas dua belas dengan masakan Spanyol.

Ceritanya jadi lain kalau Meksiko kemudian mengatakan Spanyol telah mengambil kekayaan intelektual seni keahlian masakan negerinya, karena berdasarkan sejarah indikasi geografis makanan chilaquiles, quesadilla, tortilla, taco atau tapas adalah warisan milik leluhur Meksiko.

Mungkin adalah sesuatu yang wajar, pasalnya pada tahun 1521, Spanyol memang pernah menjajah Meksiko. Sehingga mau tidak mau makanan (boga) Spanyol memiliki pengaruh besar dalam masakan Meksiko sampai sekarang.

Bagaimanapun resepi masakan Meksiko tidak 100% meniru seni dapur Spanyol, karena ada komponen seperti bubuk cabai, madu, garam, dan cokelat di menu makanan yang disebutkan tadi bukan berasal dari budaya Spanyol tapi merupakan pengaruh budaya kerajaan Aztec.

Pengaruh budaya Spanyol dalam masakan Meksiko hanya dalam menggunakan daging hewani seperti domba, sapi, dan babi lalu juga pemakaian dairy product atau produk makanan-minuman yang dihasilkan dari olahan susu, serta tidak lupa juga pemakaian beberapa rempah-rempah, bumbu, dan gandum.

Itu baru masakan Meksiko, klaim itu juga pernah dinyatakan oleh Belanda, Inggris, Portugis, negara-negara di Amerika Tengah & Amerika Selatan maupun Filipina, walaupun diketahui negara-negara ini semua pernah dahulunya dijajah oleh Spanyol, sehingga budaya seni dapur Spanyol ada berbaur dalam resepi masakan mereka.

Kembali ke topik kekayaan intelektual, kenyataan perkembangan & keberhasilan Spanyol dalam menciptakan kembali dirinya sebagai tujuan liburan budaya dunia telah mengancam makanan (boga), termasuk gastronomi (upaboga) negara-negara lain.

Dengan semakin luas pengakuan internasional dan meningkatnya konsumsi produk-produk makanan (boga), termasuk gastronomi (upaboga), Spanyol dianggap mengganggu kepentingan negara-negara di luar Spanyol, karena ada dampak gastronominya secara kawasan regional.

Contoh itu bisa dilihat dalam penjelasan seni dapur masakan Meksiko maupun klaim yang dilakukan oleh Belanda, Inggris, Portugis, negara-negara di Amerika Tengah & Amerika Selatan maupun Filipina.

Sebenarnya hal itu bisa dihindari jika masing-masing negara mampu melindungi kekayaan intelektual makanan (boga), termasuk gastronomi (upaboga), mereka masing-masing.

Kekhawatiran negara-negara lain semakin nyata dengan adanya tekanan eksternal (misalnya dari operator biro perjalanan) menyebabkan kreolisasi makanan (boga) daerah (negara) bersangkutan menjadi refleksi autentik makanan kawasan regional yang memenuhi harapan pasar dunia daripada mencerminkan perbedaan gastronomi nyata antar daerah (negara).

Kreolisasi dalam arti sekelompok hidangan masakan yang berasal dari latar belakang daerah (negara) yang berbeda-beda menjadi satu sajian makanan kawasan regional.

Sejak awal tahun 1960, Spanyol muncul sebagai surga wisata dunia yang mampu menandingi popularitas negara Perancis & Italia.

Image & merek pariwisata Spanyol dikenal dengan matahari, laut, pasir dan makanan mediterranean. Masakan mediterranean Spanyol berakar pada masakan daerah tradisional yang dicampur ke dalam kombinasi modern (fusion) yang bahan-bahannya dihasilkan secara lokal.

Makanan (boga) mediterranean Spanyol terdiri dari berbagai jenis masakan yang berasal dari berbagai perbedaan geografis, budaya dan iklim yang banyak dipengaruhi oleh makanan laut dengan juga banyak dipengaruhi budaya dari luar yang menyebabkan negeri ini punya masakan yang unik dengan ribuan resep dan rasa.

Untuk melindungi kekayaan intelektualnya, seperti juga negara Perancis & Italia, negara Spanyol menggunakan undang-undang tentang indikator geografis dalam memperkenalkan gastronomi negaranya, termasuk untuk melindungi produk-produk pangan yang diperlukan keahlian memasak & untuk meminimalkan perdagangan produk imitasi oleh pihak ketiga.

Produk pangan lokal (daerah) adalah dasar identitas keahlian memasak Spanyol & hasil bumi ini merupakan bukti kebanggaan masyarakat Spanyol yang dapat ditemukan pada hampir semua menu restoran.

Bisa dibilang nyaris di setiap menu restoran yang ada di negara itu selalu menyebutkan spesialisasi asal bahan lokal (daerah) yang digunakan.

WORLD TRADE ORGANIZATION
Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization) menyatakan hak-hak kekayaan intelektual sebagai hak yang diberikan kepada orang-orang atas penciptaan pikiran mereka.

Kreasi ini termasuk properti simbol, tanda, nama, gambar, dan desain. Properti seperti itu bisa saja memiliki banyak kesamaan dengan properti hak orang lainnya (pihak ketiga) yang diperdagangkan, termasuk berbagai properti intelektual tidak berwujud (intangible), seperti masakan.

Sekarang terpulang bagaimana parameter yang digunakan maupun dengan cara apa dan di mana hak itu melekat padanya, Parameter hak inilah yang menandakan pentingnya nilai kekayaan intelektual sama pastinya dengan jenis properti lainnya.

Menetapkan parameter hak atas kekayaan intelektual memberi pemilik kemampuan untuk membangun penghalang untuk mencegah orang lain (pihak ketiga) menggunakan properti itu sebagai perniagaan imitasi - kecuali mereka membayar yang bersangkutan untuk hak istimewa tersebut.

Dengan demikian, hak (dan bukan properti), yang memunculkan potensi eksploitasi komersial imitasi tersebut.

Gikkas (1996) & Hefter dan Litowitz (2000) mengemukakan bahwa ada 2 (dua) cara di mana kekayaan dapat dihasilkan dari kekayaan intelektual, yakni :
i.  Penggabungan kekayaan intelektual tak berwujud ke dalam satu produk berwujud yang dapat dijual.
ii.  Perjanjian melisensikan orang lain (pihak ketiga) untuk menggunakan & membuat produk properti yang serupa dengan mereka yang berbeda.

Kedua cara itu disebut sebagai "Indikasi Geografis Sumber" (geographical indication of source) yang didefinisikan sebagai tanda yang digunakan pada barang yang memiliki asal geografis tertentu dan memiliki kualitas atau reputasi yang disebabkan oleh tempat asal tersebut.

Indikasi Geografis Sumber pada dasarnya adalah masalah asal muasal properti serta kualitas dan karakteristik produk, terutama disebabkan oleh lingkungan geografis di mana ia diproduksi (Bodenhausen 1968).

Contoh kasus ini banyak terjadi di minuman anggur & keju yang secara geografis originalitasnya berasal dari praktik produksi negara Perancis, tapi bisa digunakan (atau diberi lisensi) kepada pihak ketiga untuk membuat & memperdagangkan produk serupa asal menyerupai kualitas asalnya dan membayar ijin penggunaan kekayaan intelektualnya.

Namun tetap kesemuanya apa-apa yang diatur dalam ketentuan WTO (World Trade Organization) sama seperti dengan GATT, masih bersandar pada ketentuan teritorial sebatas bagian wilayah (daerah hukum) suatu negara.

Seperti juga GATT, maka WTO belum mengindikasikan adanya kekayaan intelektual berdasarkan geografis kawasan regional.

BOGA, UPABOGA INDONESIA & KEKAYAAN INTELEKTUAL
Dari kesemua penjelasan di atas, apa hubungannya kekayaan intelektual (intellectual property) dengan makanan (boga), termasuk gastronomi (upaboga), Indonesia.

Jika kita ambil contoh cerita negara Spanyol di atas diandaikan dengan Indonesia, maka banyak makanan kepulauan Nusantara ini di klaim negara-negara tetangga sebagai miliknya.

Cerita-cerita klaim seperti rendang, nasi goreng kampung, ketupat, nasi ulam, lemang, serunding, tempoyak, es cendol, kue bolu batik dan banyak sebagainya sudah sering kita dengar. Upaya klaim itu pun diprotes berbagai pihak di Indonesia secara konsisten.

Tapi pertanyaannya apakah benar atau salah klaim yang dilakukan negara-negara tetangga itu ?

Klaim ini serupa yang dilakukan negara Meksiko, Belanda, Inggris, Portugis, negara-negara di Amerika Tengah & Amerika Selatan maupun Filipina terhadap Spanyol.

Ada baiknya kita semua memetakan kembali seni dapur makanan (boga), termasuk gastronomi (upaboga), Indonesia berdasarkan kekayaan intelektual bersandarkan pada ketentuan teritorial GATT.  

Malah kalau perlu dikembangkan dengan inisiatif menjadikannya ke dalam 2 (dua) kategori, yakni apa saja yang masuk sebagai bagian dari wilayah teritorial (daerah hukum) negara Indonesia dan apa saja yang masuk dalam geografis teritorial kawasan regional (seperti Asia & Eropa)

Kita semua ketahui seni dapur masakan kepulauan Nusantara Indonesia terdiri dari 3 (tiga) jenis, yakni tradisional, akulturasi & mimikri.

Seni dapur tradisional & mimikri bisa masuk ke dalam kategori teritorial bagian wilayah (daerah hukum) negara Indonesia, karena makanan itu asli 100% berasal dari warisan leluhur kepulauan Nusantara, walaupun ada yang bersifat mimikri yaitu meniru gaya budaya makanan penjajah (kolonial), tetapi tetap asli buatan masyarakat setempat Indonesia.

Sedangkan seni dapur akulturasi bisa masuk ke dalam kategori teritorial geografis kawasan regional (seperti Asia & Eropa), karena makanan itu aslinya berasal dari budaya luar (etnis pendatang) yang diakomodasi oleh masyarakat setempat dengan berbagai perubahan dalam bumbu, rempah dan resepnya, termasuk metode memasaknya.

Dengan memetakan kembali seni dapur makanan Indonesia akan lebih luwes dan terbuka diri kita menghadapi klaim-klaim negara-negara tetangga tersebut pun mereka sebaliknya terhadap Indonesia.

Apalagi diketahui di sebagian makanan negara-negara tetangga itupun ada yang berupa akulturasi & mimikri yang bisa jadi senasib asalnya dengan seni dapur kepulauan Nusantara Indonesia.

Tapi pertanyaannya sekarang apakah warisan budaya makanan (boga) gastronomi (upaboga) itu sudah masuk di dalam ketentuan hukum hak kekayaan intelektual GATT maupun dijadikan landasan bagi WTO (World Trade Organization).

Negeri ini patut memperhatikan dengan serius hak kekayaan intelektual mengenai warisan makanan & gastronomi sebagai properti intelektual tidak berwujud (intangible).

Selama ini yang diketahui batasan hak kekayaan intelektual hanya mengenai merek dagang (trademark) dan rahasia dagang makanan sebagai sebuah produk industri.

UU Hak Cipta Indonesia No. 28 tahun 2014, tidak memasukan makanan (boga) sebagai salah satu yang dilindungi oleh hak cipta.

UU Hak Cipta melindungi bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Walaupun banyak yang beranggapan bahwa makanan (boga) adalah bagian dari seni dan budaya, tetapi UU Hak Cipta tidak mencantumkannya sebagai salah satu obyek hak cipta.

Makanan (boga) atau cara pengolahan dan penyajiannya dapat dilindungi oleh seseorang hanya dalam bidang merek dagangnya (trademark) dan rahasia dagang.

Namun yang pasti makanan tidak bisa dipatenkan karena istilah paten hanya digunakan dalam penemuan atau inovasi teknologi.

Oleh karena itu racikan bumbu masak mustahil dapat dipatenkan, dibuatkan merek dagangnya sebagai sebuah produk industri mungkin, tapi dipatenkan jelas mustahil.

Kepentingan mendaftarkan kekayaan intelektual makanan harus dilakukan sungguh-sungguh yakni mulai dari mendata dan menginventarisir :
i.   Semua warisan masakan pusaka leluhur, mulai dari bumbu, bahan dan rempahnya sampai cara membuatnya.
ii.  Hikayah gastronomi intangible dari sejarah dan budaya warisan masakan tradisional bangsa, termasuk naskah referensi catatan / naskah / lontar kuna.
iii. Selain itu tradisinya sendiri - jika masakan disangkut pautkan dengan adat dan budaya - apalagi bahan-bahan atau bumbu-bumbu dalam bentuk tumbuhan yang langka keberadaannya, perlu didata, dijaga dan dilestarikan keberadaannya, dicatat nama daerah setempat lalu diklasifikasi menurut kaidah-kaidah ilmu botani (botanical name, taksonomi  dan morfologi tumbuhan tersebut dan lain sebagainya).

KESIMPULAN
Oleh karena itu bisa diberi disimpulkan bahwa sistem intellectual property rights saat ini untuk melindungi kekayaan intelektual masih belum memadai, terutama di bidang budaya dan pengetahuan tradisional (Weatherall 2001).

Mold-Iddrisu (2000) menyatakan sebenarnya hak kekayaan intelektual dapat membantu mendorong industri negara-negara berkembang sambil melindungi budaya dan adat istiadat setempat.

Namun sampai sekarang belum ada pembicaraan di GATT maupun WTO (World Trade Organization) apakah hak kekayaan intelektual harus diperluas sampai ke warisan budaya gastronomi.

Jangankan gastronomi (upaboga), termasuk makanan (boga), hendaknya dicantumkan dalam sektor Hak Kekayaan Industri (Industrial Property Rights) berdasarkan Indikasi Geografis (Geographical Indication).

Indikasi Geografis tersebut hendaknya secara implisit menyatakan hak kekayaan intelektual tersebut dibagi ke dalam 2 (dua) kategori, yakni ada indikasi teritorial geografis suatu daerah (negara) dan juga ada indikasi teritorial geografis suatu kawasan regional.

Sebagai properti intelektual tidak berwujud (intangible), racikan bumbu masak warisan budaya makanan memang tidak bisa dipatenkan.

Selaku produk industri budaya pengolahan dan penyajian, makanan (boga), termasuk gastronomi (upaboga), hanya dapat dilindungi dalam bidang merek dagang (trademark) dan rahasia dagangnya.

Sudah saatnya Pemerintah Indonesia mengajukan usulan agenda itu dalam sidang GATT untuk kemudian diadopsi dalam sidang WTO (World Trade Organization). Selain GATT, sudah waktunya juga Pemerintah bersama DPR mulai mempertimbangkan memasukan makanan (boga), termasuk gastronomi (upaboga), ke dalam UU Hak Cipta Indonesia dengan content serupa yang diajukan ke GATT.

Budaya makanan (boga), termasuk gastronomi (upaboga), adalah salah satu faktor pembeda utama antara teritorial daerah (negara) dengan teritorial kawasan regional yang sangat penting bagi produk pariwisata.

Faktor itu dapat digunakan untuk memasarkan dan menjual merek keseluruhan suatu daerah kepada wisatawan.

Pencitraan merek suatu wilayah dan sejauh mana keahlian memasaknya yang terjalin dengan daerah (negara) itu akan menekankan hak kekayaan intelektual wilayah tersebut.

Namun, kurangnya perhatian terhadap warisan makanan (boga), termasuk gastronomi (upaboga), ke dalam kekayaan intelektual menyebabkan branding umum keahlian memasak suatu negara dipandang sekedar sebagai variasi dari keahlian kawasan regional yang sudah terbentuk sekian ratus tahun yang lalu.

Sehingga wajar saling klaim pun kerap terjadi di antara masing-masing negara mengenai hak kekayaan intelektual masakan gastronominya.

Inilah yang menyebabkan kreolisasi makanan daerah (negara) menjadi refleksi autentik makanan (boga) regional, dalam arti sekelompok hidangan masakan yang berasal dari latar belakang daerah (negara) yang berbeda-beda menjadi satu sajian makanan regional.

Budaya gastronomi yang kuat akan memberikan keunggulan kompetitif yang kuat, yang oleh karenanya harus dipertahankan dengan baik.

Untuk merangsang daerah (negara) yang mengklaim warisan makanan (boga), termasuk gastronomi (upaboga), dan hak kekayaan intelektual mereka, subsidi dapat diberikan dan hadiah diberikan untuk produsen kecil dan menengah produk tradisional.

Pelestarian makanan (boga), termasuk gastronomi (upaboga), harus dicari di berbagai bidang untuk menghasilkan, resep, kombinasi makanan, kehidupan lokal dan tradisi yang berkaitan dengan makanan & minuman maupun festival sendiri menjadi tulang punggung budaya daerah (negara).

Semua elemen ini harus dianggap sebagai bagian dari inventarisasi kekayaan intelektual suatu daerah (negara) yang secara kontras dapat membedakannya dengan budaya daerah (negara) lain karena keunikannya.

Semoga bermanfaat

Jakarta, 12 Juli 2017
Indra Ketaren (Betha)
Founder & President

Referensi Artikel:
1. Bodenhausen, G.H.C. : "Guide To The Application Of The Paris Convention For The Protection Of Industrial Property", Geneva: United International Bureau for the Protection of Intellectual Property (1968)
2. Gikkas, N.S. : "International Licensing Of Intellectual Property: The Promise & The Peril’, Journal of Technology Law & Policy (1996)
3. Hefter, L.R. and Litowitz, R.D. : " What Is Intellectual Property - Introduction To Intellectual Property Rights", Washington DC: US Department of State (2000)
4. Mould-Iddrisu, B. : "A Developing Country’s Perspective’, Introduction To Intellectual Property Rights", Washington DC: US Department of State (2000)
5. Van Westering, J. : "Heritage & Gastronomy: The Pursuits Of The New Tourist", International Journal of Heritage Studies (1999)
6. Weatherall, K. : "Culture, Autonomy & Djulibinyamurr: Individual & Community In The Construction Of Rights To Traditional Designs", The Modern Law Review Limited (2001)
7. Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.

           

 

Monday, 10 January 2022

ParaDiplomasi Instrumen GastroDiplomasi Indonesia

Salam Gastronomi

Saya mencoba untuk memberikan sedikit pencerahan sesuai topik yang disampaikan untuk kita memahami apa yang dimaksud dengan paradiplomasi
 
I. HUBUNGAN INTERNASIONAL
Dalam pandangan tradisional, konsep diplomasi merujuk pada hubungan antar negara berdaulat (Pemerintah Pusat) dalam rangka pelaksanaan kebijakan luar negeri yang dilakukan dalam ranah formal kenegaraan.

Namun, konsep diplomasi terus mengalami perkembangan hingga menyebabkan pergeseran makna. Sejak tahun 1960 an, pada awal perang dingin, nilai dasar diplomasi bergeser dari sifat formal kenegaraan menuju konsep yang lebih luas yang kerap disebut sebagai diplomasi modern.

Sejak pasca 1960-an, diplomasi tidak lagi merujuk pada aktivitas hubungan internasional yang dilakukan oleh negara saja (Pemerintah Pusat), melalui perwakilan diplomatnya. Diplomasi juga dapat dilakukan oleh aktor non negara.

Diplomasi modern menempatkan para pelaku diplomasi non negara pada posisi penting dalam hubungan internasional. Mereka turut diperhitungkan dalam pengambilan kebijakan internasional. Bahkan mereka pun kerap menjadi rekan negara (Pemerintah Pusat) dalam berdiplomasi karena dapat mempengaruhi kebijakan dalam dan luar negeri suatu negara.

Negara (Pemerintah Pusat) mempertinggi hak dan peran non negara dalam melakukan diplomasi dengan memperluas aspek pembahasan diplomasi di luar yang tradisional. Termasuk tujuan dari diplomasi itu sendiri juga berkembang menyesuaikan kepentingan yang ada.

Aktor non negara itu adalah pelaku sub-nasional, yakni pemerintah lokal, atau pemerintah daerah atau pemerintah regional; serta pelaku bisnis (badan usaha) maupun kelompok kepentingan yang tergabung dalam organisasi, atau lembaga, atau institusi, atau perkumpulan (seperti lingkungan, politik, kesehatan, budaya, kuliner, wanita, pendidikan, ketenagakerjaan maupun lainnya); atau warga negara secara individual.

Perkembangan diplomasi modern ini tentu memberikan dampak yang luas dalam khasanah ilmu hubungan internasional. Kajian-kajian mengenainya juga terus berkembang. Diplomasi modern memunculkan adanya multitrack diplomasi, total diplomasi, hingga paradiplomasi. Disini konsep diplomasi modern diasumsikan negara membagikan tugas pokok diplomasinya.

Miguel Santos Neves, dalam sebuah jurnal terkait paradiplomasi mengungkapkan bahwa globalisasi mendorong pergeseran dari macro-regionalism menjadi bentuk micro-region atau yang disebutnya sebagai paradiplomasi.

Sekedar mengingatkan kembali, globalisasi mendorong diplomasi total yang artinya memberikan peluang seluas-luasnya bagi berbagai elemen masyarakat dan pemerintahan untuk melakukan hubungan internasional. Di dalam perwujudan diplomasi total inilah aktor daerah mengambil peran dalam melakukan diplomasinya sendiri.

Perlu diketahui, globalisasi adalah proses integrasi internasional yang terjadi karena pertukaran pandangan, produk, pemikiran, dan aspek kebudayaan.

Globalisasi terjadi akibat kemajuan infrastruktur transportasi dan telekomunikasi, termasuk kemunculan telegraf dan Internet, yang semakin mendorong interdependensi manusia dalam aktivitas ekonomi, budaya dan lingkungan alam.

Istilah globalisasi itu sendiri digunakan sejak pertengahan tahun 1980-an dan lebih sering lagi sejak pertengahan tahun 1990-an.  Proses globalisasi mempengaruhi dan dipengaruhi oleh bisnis serta tata kerja, ekonomi, sumber daya sosial-budaya, maupun lingkungan alam.

Rujukan Neves di atas, bisa dikatakan bahwa peran diplomasi oleh negara (Pemerintah Pusat) kini mulai diambil alih oleh pemerintah daerah dan para aktor lokal daerah lainnya yang saling bekerjasama dengan daerah lain dalam ranah hubungan internasional di berbagai sektor.

II. PARADIPLOMASI
Paradiplomasi mengacu pada sebuah kegiatan hubungan internasional yang dilakukan oleh aktor daerah dengan tujuan untuk mempromosikan kepentingan mereka sendiri. Paradiplomasi adalah kelanjutan dari globalisasi dimana aktor daerah semakin banyak berperan dalam hubungan internasional seiring dengan kemajuan globalisasi itu sendiri.

Paradiplomasi itu sendiri diperkenalkan oleh Soldatos Panayotis, dan kemudian dikembangkan oleh Ivo Duchachek. Paradiplomasi dapat disebut sebagai Diplomasi Multilapis, Diplomasi Sub-nasional, dan Diplomasi Intermestic. Dari beberapa istilah tersebut, istilah Diplomasi Intermestik paling sering digunakan karena konsepnya yang mudah dipahami.

Secara sederhana dan yang mudah dipahami, paradiplomasi adalah menyelesaikan masalah internasional dengan cara domestik atau menggabungkan masalah internasional dengan masalah domestik.

Penggunaan paradiplomasi di suatu negara dapat menimbulkan dua efek, yakni mendukung atau melemahkan. Paradiplomasi yang dilakukan aktor daerah terkadang bisa semakin menguatkan dan melengkapi diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat, namun bisa juga menimbulkan konflik apabila bertentangan dengan diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat.

Paradiplomasi yang baik seharusnya memiliki sifat yang saling melengkapi dan menguatkan diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat sehingga kepentingan nasional dan kepentingan daerah dapat tercapai dengan baik.

Di Indonesia, landasan hukum terkait paradiplomasi adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dimana  disebutkan pelaku hubungan internasional meliputi pemerintah di tingkat pusat dan daerah atau lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan usaha, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau warga negara

Sejak memasuki era desentralisasi, Pemerintah Daerah (termasuk DPRD) memiliki kewenangan melakukan kerjasama luar negeri, kecuali terkait 6 (enam) hal, yakni Politik Luar Negeri, Pertahanan, Keamanan, Yustisi, Agama, Moneter dan Fiskal.

Politik Luar Negeri yang tidak dapat dilaksanakan adalah berkaitan dalam urusan mengangkat pejabat diplomatik, menunjuk warga daerah untuk duduk dalam jabatan lembaga internasional, menetapkan kebijakan luar negeri. sehingga hubungan luar negeri yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah (termasuk DPRD)  tidak bertentangan dengan UU tersebut.

III. PARADIPLOMASI INSTRUMEN GASTRODIPLOMASI INDONESIA
Jika bicara Gastronomy (Upaboga) atau GastroDiplomacy (Gastronomy Diplomacy) atau Gastro Tourism (Gastronomy Wisata), intinya adalah bicara soal makanan dan minuman yang dalam bahasa keseharian disebut sebagai kuliner atau boga.

Selama ini makanan dan minuman (boga) Indonesia yang kerap ditampilkan selalu berkisar yang itu-itu saja. Sepertinya nama-nama makanan itu terkesan selalu bersaing dengan simbol-simbol kebudayaan tertentu dan mendominasi.

Umpamanya pengalaman memperlihatkan hanya nama makanan dan minuman tertentu menjadi andalan di semua lokasi destinasi wisata, walaupun dibingkai sebagai "local dan original" kuliner negeri ini.

Padahal nama-nama makanan dan minuman itu belum tentu bisa diterima di daerah lain sebagai produk keaslian kuliner mereka, meskipun ada di daerah tersebut, tetapi dianggap sebagai boga pendatang yang bukan menjadi andalan.

Contohnya gado-gado, nasi goreng, nasi liwet, nasi kuning, gudeg, soto, sate, rawon, rendang, lumpia, bakso, tahu telur, asinan, serabi, klappertaart, bir pletok, es dawet dan sebagainya, termasuk makanan ritual nasi tumpeng.

Seni dapur (resepi) makanan dan minuman daerah lain banyak yang tidak pernah diangkat, seperti arsik, terites, kuta-kuta, cimpa tuang, lomok-lomok, na tinombur, dali ni horbo, pakasam, palubasa, mie gomak, gulai banak, gulai paku, gajebo, brenebon, hucap, gohu ikan, cabuk rambak, lentog tanjung, barongko, pallu butung, galamai, samba lingkung, kagape, sinonggi, madumongso, kasuran, keciput dan lain sebagainya.

Sebenarnya bukan karena ada yang diistimewakan atau kurang diperhatikan. Ini adalah soal kurang mendalami dan terbatas menyadari begitu banyaknya kekayaan seni dapur makanan dan minuman yang ada di negeri ini.

Wisatawan sekarang mengharapkan semua makanan dan minuman di destinasi wisata adalah "local, native, indigenous dan authentic" yang berbeda dan jarang memiliki kesamaan dengan lokasi destinasi lainnya, termasuk kemiripan dengan negara-negara tetangga.

Perlu diketahui, Indonesia sebagai sebuah negara, memiliki kekayaan makanan dan minuman yang sangat banyak dimana sampai sekarang belum terdata dengan baik. Makanan dan minuman Indonesia seperti harta terpendam yang tidak diketahui berapa banyak jumlahnya.

Tercatat baru ada 5,000 seni masakan dapur yang ditulis oleh almarhum ibu Suryatini N. Ganie dalam bukunya "Mahakarya Kuliner 5,000 Resep Makanan dan Minuman di Indonesia"

Padalah negeri ini yang memiliki 1335 suku & sub-suku di berbagai daerah, dengan 5 (lima) etnis pendatang, sejatinya memiliki puluhan ribu seni masakan dapur.

Jika masing-masing suku, sub-suku dan etnis pendatang punya 40 aneka masakan dan minuman (dari yang ringan sampai berat), maka diperkirakan ada 53,400 lebih seni resepi makanan dan minuman di negeri ini.

Katakan ada yang mempunyai kemiripan dan kesamaan resep, maka dengan dibagi 3 (tiga) saja hasilnya akan berkisar 17,800. Pertanyaan kemana semua catatan seni resepi makanan dan minuman itu ?

Terlepas dari penjumlahan makanan dan minuman (boga) yang belum ada data statistiknya, yang menjadi ukuran pembicaraan kita sampai hari ini, siapa yang pegang kendali terhadap makanan dan minuman (boga) di negeri ini? Atau siapa yang lebih memahami dan mengetahui dimana harta kekayaan terpendam itu ?

Jawabannya hanya masyarakat setempat dan Pemerintah Daerah yang punya otoritas dan kepemilikan terhadap makanan dan minuman (boga) tersebut.

Bukan Negara (Pemerintah Pusat) tetapi masyarakat setempat dan Pemerintah Daerah yang lebih paham dan mengetahui harta kekayaan terpendam itu. Baik mengenai nama, resep, sejarah, budaya, cerita dan kisahnya.

Segala aset kekayaan boga, pelaku boga (konsumen & produsen) maupun penyelenggaraannya ada di daerah; yang dikelola langsung oleh masyarakat lokal, badan dan dinas di daerah terkait. Apalagi di era desentralisasi, kuasa itu semakin kuat.

Tetapi mengapa wewenang itu kurang dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat setempat dan Pemerintah Daerah, terutama di pentas dunia, meskipun mereka paham betul soal itu.

Jawabannya (mudah-mudahan tidak salah) karena tidak sinkronnya atau kurang memadainya rencana strategis daerah mengangkat, mempromosikan dan melestarikan boga daerah ke dalam Platform Inward Looking dan Platform Outward Looking.

Platform Inward Looking adalah suatu strategi orientasi ke dalam dengan lebih menekankan pentingnya memperkuat kemampuan dan kemandirian boga daerah dengan memperkenalkan nama, resep, sejarah, budaya, cerita dan kisahnya secara Nasional.

Karena kita bicara paradiplomasi dalam kaitan dengan gastrodiplomasi maka yang akan dibahas adalah mengenai Platform Outward Looking.

Platform Outward Looking adalah suatu strategi orientasi memberdayakan sumber daya boga daerah ke manca Negara atau panggung dunia; dengan dengan memperkenalkan nama, resep, sejarah, budaya, cerita dan kisahnya.

Dirasakan Platform Inward Looking dan Platform Outward Looking daerah belum dipetakan dengan baik, malah belum banyak masyarakat atau publik mengetahuinya. Padahal untuk Platform Outward Looking masyarakat setempat dan Pemerintah Daerah punya payung atau landasan hukum yakni Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang secara gamblang disebut sebagai paradiplomasi.

Oleh karena itu, seyogyanya, Pemerintah Daerah (Propinsi, Kabupaten dan Kotamadya) mulai menyusun dan memiliki Platform Outward Looking untuk paradiplomasi GastroDiplomacy (Gastronomy Diplomacy) yang bisa mempunyai rekatan terhadap Gastro Tourism (Gastronomy Wisata).

Upaya memiliki Platform Outward Looking dapat meningkatan kapasitas dan kapabilitas paradiplomasi masyarakat setempat dan Pemerintah Daerah dalam melakukan GastroDiplomacy. Ikhtiar itu dapat dilakukan dengan :
1. Pembentukan regulasi yang kontributif
2. Pemberdayaan dan advokasi terhadap aktor subnasional
3. Komunikasi dan dialog intensif antara aktor negara dan non negara
4. Kebijakan pusat dan daerah yang mampu menumbuhkan self enforcing
5. Mengurangi jarak antara kebijakan politik luar negeri Pusat dengan kebijakan paradiplomasi Daerah.

Bagaimanapun, paradiplomasi pada dasarnya adalah bentuk sinkronisasi kepentingan semua aktor hubungan internasional dalam suatu negara (Pusat dan Daerah).

Tujuannya beragam, antara lain :
1. Peningkatan pemahaman dan kesadaran aktor non negara dalam diplomasi
2. Penguatan kapasitas dan kapabilitas aktor non negara
3. Meningkatkan rasa tanggung jawab dan kepentingan bersama negara dalam keselarasan
4. Memaksimalkan proses pencapaian kepentingan daerah, hak daerah, dan potensi daerah, dalam berbagai bentuknya

Perlu diingat melalui instrumen paradiplomasi, kepentingan dan sasaran adanya Platform Outward Looking dapat memberikan kontribusi terhadap GastroDiplomacy, yakni antara lain :
1. Mengangkat budaya boga daerah sebagai wawasan kebangsaan dan cetak biru kearifan lokal masyarakat daerah.
2. Menghadirkan kepedulian dan dukungan Negara terhadap UKM boga daerah.
3. Memberdayakan keekonomian boga daerah, khususnya dalam menghadapi globalisasi persaingan pasar bebas.
4. Meluaskan segmentasi dan penetrasi pasar boga daerah secara Nasional dan internasional
5. Gerakan terpadu melibatkan orang banyak melalui boga dengan menampilkan masakan daerah menjadi bagian dari boga Indonesia dan dunia.
6. Menjadikan boga daerah sebagai benchmark makanan Indonesia secara nasional dan di mata dunia.
7. Menjadikan boga daerah sebagai patokan, lanskap & teater makanan Indonesia dan keahlian seni memasak bangsa ini.
8. Menaikkan angka brand power Indonesia yang tolak ukurnya salah satu diangkat melalui skala brand equity boga daerah
9. Membangun dan mengembangkan sistem dan jaringan entrepreneurship masyarakat boga Indonesia.
10. Memberdayakan secara maksimal wisata minat khusus Indonesia melalui boga daerah Nusantara.

Demikian disampaikan dan semoga bermanfaat. 
Mohon maaf jika ada kekurangan dalam penyampaiannya. 

Jakarta, 1 Desember 2020
Indra Ketaren (Betha)
Adi Gastronom Indonesia (AGASI)

Referensi:
1. Duchacek Ivo : “The International Dimension of Subnational Self-Government”, Publius, vol. 14, no. 4 (1984): 5–31.
2. Miguel Santos Neves : "Paradiplomacy, knowledge regions and the consolidation of Soft Power", e-journal of International Relations, vol. 1, núm. 1, -, 2010, pp. 10-28 Observatório de Relações Exteriores Lisboa, Portugal
3. Soldatos Panayotis : “An Explanatory Framework for the Study of Federated States as Foreign Policy Actors”, [in:] Federalism and International Relations. The Role of Subnational Units, (ed.) Michelmann H., Soldatos P., 34–53. Oxford: Clarendon Press, 1990.