".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Wednesday, 3 June 2015

Perempuan Tionghoa, Mediator "Diam" Pembentukan Budaya


Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, budaya orang Indonesia Tionghoa dikenal memiliki kekhasan yang berbeda dari budaya etnik lain. Dapat dikatakan budaya masyarakat Indonesia Tionghoa sebetulnya hibrida dari budaya China yang dibawa orang-orang China yang datang  ke Indonesia dan budaya lokal di mana orang-orang China tersebut  menetap.

Berbicara tentang budaya hibrida orang Tionghoa, yang sering  terlupakan adalah peran penting perempuan Tionghoa sebagai pelangsung  dan pembentuk budaya hibrida ini karena kehidupan mereka yang "diam"  atau "terdiamkan".

Seperti sudah banyak ditulis dalam buku-buku Leo Suryadinata, Charles  Coppel, dan Myra Sidharta, kedatangan orang China ke Indonesia pada  mulanya tidak disertai istri mereka yang ditinggal di negaranya.  Kehidupan yang cukup lama di Indonesia memaksa mereka mengambil  perempuan lokal sebagai istri.

Keturunan dari perkawinan antara orang China dan penduduk setempat  itu menurun kelompok yang dikenal sebagai Tionghoa peranakan.  Biasanya lelaki China yang kembali ke China hanya membawa anak laki-laki, sedangkan anak perempuan ditinggal dan dipelihara ibu mereka  yang orang setempat.

Dari ibu-ibu anak-anak peranakan inilah mereka belajar budaya lokal  dan mencampurnya dengan kebiasaan orangtua mereka yang China sehingga  muncul budaya hibrida di kalangan mereka dan keturunannya. Hal paling menonjol yang bisa kita saksikan dalam budaya hibrida  apalagi kalau bukan urusan domestik yang sering kali diidentikkan  dengan urusan perempuan.  Di sekitar pekerjaan domestik inilah biasanya keseharian hidup  perempuan. Yang tampak jelas adalah dalam hal busana, makanan, dan  bahasa sehari-hari.

Busana
Anak-anak perempuan peranakan Tionghoa belajar mengenakan kebaya dan  sarung yang biasa dikenakan perempuan setempat di Jawa. Untuk membedakan mereka dari perempuan setempat biasanya motif sarung  dan kebaya dibuat berbeda. Batik pekalongan dan lasem dikenal sebagai  batik yang bercorak khusus yang dipakai perempuan Tionghoa. 

Kebayanya juga dikenal sebagai "kebaya encim" yang biasanya ada bordiran di tepi baju. Kalaupun busana seperti itu sudah jarang kita  temui dikenakan oleh masyarakat Tionghoa perempuan sebagai busana  sehari-hari, busana ini sudah dimodifikasi sehingga menjadi busana  anggun yang banyak dikenakan perempuan Indonesia modern untuk acara  hajatan dan acara resmi.

Pada umumnya perempuan Tionghoa sejak kecil sudah diajarkan memasak  oleh ibunya karena mereka diharapkan kelak dapat mengurus rumah  tangga bila sudah menikah.  Para istri orang setempat yang menikah dengan orang China pasti akan 
berusaha belajar memasak masakan yang biasa dimakan suami Chinanya  dengan cara masak dan bumbu-bumbu yang didapat di tempatnya. Dari sinilah muncul masakan yang dinamai dengan nama China, tetapi  berselera lokal. Seperti kalau kita makan cap cai atau mie. 

Masakan China yang dimasak di Indonesia tidak lagi memiliki rasa yang  sama dengan masakan yang dimasak di China. Masakan hibrid ini  ternyata juga digemari orang-orang Tionghoa hingga sekarang maupun  oleh orang Indonesia umumnya.

Bahasa
Bahasa yang digunakan orang Tionghoa bisa juga kita sebut sebagai  bahasa hibrida. Jarang sekali kita jumpai di kelompok lain di mana  kata sapaan mencampurkan dua kata dari budaya berbeda. Contohnya, pada beberapa kelompok masyarakat Tionghoa tertentu,  sapaan kohdé, cikngah, dan kulik merupakan gabungan dari dua kata  engkoh gedé, tacik tengah, dan engku cilik.  Kata pertama berasal dari dialek China, sedangkan kata kedua dari  bahasa Jawa. Cara ini mirip dengan cara orang Jawa menyapa, misalnya,  paklik, pakdé, atau bulik dan budé.

Dari lebih 1.000 kata yang dipakai dalam bahasa Indonesia berasal  dari bahasa China atau dialek China (ditulis dalam buku Kong Yuanzhi  Silang Budaya Tiongkok-Indonesia).  Yang menarik, dari sekian banyak kata tersebut, yang paling banyak  adalah kata-kata yang berhubungan dengan kekeluargaan, makanan dan minuman, serta alat-alat dapur dan rumah tangga.

Tentu peranan perempuan Tionghoa di sini amat penting karena pada  dasarnya perempuanlah yang sering kali menjadi penerus budaya.  Perempuan mengajarkan kepada anak-anaknya tentang kebiasaan sehari-hari dan bagaimana mereka harus hidup, sedangkan suami pada umumnya  merasa lebih bertanggung jawab mencari uang untuk keluarga.

Meski demikian, dari sekian banyak buku tentang kehidupan orang  Tionghoa, sedikit sekali kita jumpai tentang kehidupan perempuan  Tionghoa dan kiprahnya dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Myra Sidharta dan Mely G Tan sudah sering mengangkat nama perempuan  Tionghoa yang sudah banyak berjasa bagi bangsa Indonesia.  Mereka sudah berkiprah di hampir semua bidang kehidupan, seperti  politik, ekonomi, susastra, dan pendidikan. 

Meski demikian, secara umum peranan perempuan Tionghoa masih  terasa "terdiamkan", mungkin karena pada umumnya mereka lebih  biasa "diam".

Artikel tulisan : Esther Kuntjara Dosen Fakultas Sastra, UK Petra, Surabaya