Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, budaya orang Indonesia Tionghoa dikenal memiliki kekhasan yang berbeda dari budaya etnik lain. Dapat dikatakan budaya masyarakat Indonesia Tionghoa sebetulnya hibrida dari budaya China yang dibawa orang-orang China yang datang ke Indonesia dan budaya lokal di mana orang-orang China tersebut menetap.
Berbicara tentang budaya hibrida orang Tionghoa, yang sering terlupakan adalah peran penting perempuan Tionghoa sebagai pelangsung dan pembentuk budaya hibrida ini karena kehidupan mereka yang "diam" atau "terdiamkan".
Seperti sudah banyak ditulis dalam buku-buku Leo Suryadinata, Charles Coppel, dan Myra Sidharta, kedatangan orang China ke Indonesia pada mulanya tidak disertai istri mereka yang ditinggal di negaranya. Kehidupan yang cukup lama di Indonesia memaksa mereka mengambil perempuan lokal sebagai istri.
Keturunan dari perkawinan antara orang China dan penduduk setempat itu menurun kelompok yang dikenal sebagai Tionghoa peranakan. Biasanya lelaki China yang kembali ke China hanya membawa anak laki-laki, sedangkan anak perempuan ditinggal dan dipelihara ibu mereka yang orang setempat.
Dari ibu-ibu anak-anak peranakan inilah mereka belajar budaya lokal dan mencampurnya dengan kebiasaan orangtua mereka yang China sehingga muncul budaya hibrida di kalangan mereka dan keturunannya. Hal paling menonjol yang bisa kita saksikan dalam budaya hibrida apalagi kalau bukan urusan domestik yang sering kali diidentikkan dengan urusan perempuan. Di sekitar pekerjaan domestik inilah biasanya keseharian hidup perempuan. Yang tampak jelas adalah dalam hal busana, makanan, dan bahasa sehari-hari.
Busana
Anak-anak perempuan peranakan Tionghoa belajar mengenakan kebaya dan sarung yang biasa dikenakan perempuan setempat di Jawa. Untuk membedakan mereka dari perempuan setempat biasanya motif sarung dan kebaya dibuat berbeda. Batik pekalongan dan lasem dikenal sebagai batik yang bercorak khusus yang dipakai perempuan Tionghoa.
Kebayanya juga dikenal sebagai "kebaya encim" yang biasanya ada bordiran di tepi baju. Kalaupun busana seperti itu sudah jarang kita temui dikenakan oleh masyarakat Tionghoa perempuan sebagai busana sehari-hari, busana ini sudah dimodifikasi sehingga menjadi busana anggun yang banyak dikenakan perempuan Indonesia modern untuk acara hajatan dan acara resmi.
Pada umumnya perempuan Tionghoa sejak kecil sudah diajarkan memasak oleh ibunya karena mereka diharapkan kelak dapat mengurus rumah tangga bila sudah menikah. Para istri orang setempat yang menikah dengan orang China pasti akan
berusaha belajar memasak masakan yang biasa dimakan suami Chinanya dengan cara masak dan bumbu-bumbu yang didapat di tempatnya. Dari sinilah muncul masakan yang dinamai dengan nama China, tetapi berselera lokal. Seperti kalau kita makan cap cai atau mie.
Masakan China yang dimasak di Indonesia tidak lagi memiliki rasa yang sama dengan masakan yang dimasak di China. Masakan hibrid ini ternyata juga digemari orang-orang Tionghoa hingga sekarang maupun oleh orang Indonesia umumnya.
Bahasa
Bahasa yang digunakan orang Tionghoa bisa juga kita sebut sebagai bahasa hibrida. Jarang sekali kita jumpai di kelompok lain di mana kata sapaan mencampurkan dua kata dari budaya berbeda. Contohnya, pada beberapa kelompok masyarakat Tionghoa tertentu, sapaan kohdé, cikngah, dan kulik merupakan gabungan dari dua kata engkoh gedé, tacik tengah, dan engku cilik. Kata pertama berasal dari dialek China, sedangkan kata kedua dari bahasa Jawa. Cara ini mirip dengan cara orang Jawa menyapa, misalnya, paklik, pakdé, atau bulik dan budé.
Dari lebih 1.000 kata yang dipakai dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa China atau dialek China (ditulis dalam buku Kong Yuanzhi Silang Budaya Tiongkok-Indonesia). Yang menarik, dari sekian banyak kata tersebut, yang paling banyak adalah kata-kata yang berhubungan dengan kekeluargaan, makanan dan minuman, serta alat-alat dapur dan rumah tangga.
Tentu peranan perempuan Tionghoa di sini amat penting karena pada dasarnya perempuanlah yang sering kali menjadi penerus budaya. Perempuan mengajarkan kepada anak-anaknya tentang kebiasaan sehari-hari dan bagaimana mereka harus hidup, sedangkan suami pada umumnya merasa lebih bertanggung jawab mencari uang untuk keluarga.
Meski demikian, dari sekian banyak buku tentang kehidupan orang Tionghoa, sedikit sekali kita jumpai tentang kehidupan perempuan Tionghoa dan kiprahnya dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Myra Sidharta dan Mely G Tan sudah sering mengangkat nama perempuan Tionghoa yang sudah banyak berjasa bagi bangsa Indonesia. Mereka sudah berkiprah di hampir semua bidang kehidupan, seperti politik, ekonomi, susastra, dan pendidikan.
Meski demikian, secara umum peranan perempuan Tionghoa masih terasa "terdiamkan", mungkin karena pada umumnya mereka lebih biasa "diam".
Artikel tulisan : Esther Kuntjara Dosen Fakultas Sastra, UK Petra, Surabaya