".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Saturday, 3 October 2015

Permasalahan Kuliner Di Indonesia


PENDAHULUAN
Bisnis makanan di Indonesia sangat besar dan fantastis nilainya. Perputaran usaha kuliner sangat luar biasa dan jumlah pemainnya tidak setara dengan permintaan sehingga ratio antara supply dan demand tidak sinkron (lebih besar demand-nya).

Demand itu jangankan di kalangan menengah keatas. Di kalangan bawah saja sangat besar dengan bisa dilihat begitu banyak di hampir setiap pelosok jalan-jalan di kota-kota ada warung-warung tenda bertebaran jual makanan.

Saat ini bisa dibilang dunia kuliner berjalan diatas koridor yang tidak terarah karena semua pihak sekarang belum mau dengan sungguh-sungguh merumuskan kerangka inisiatif tersebut.

Pemerintah hanya sibuk menerima proses perijinan dibukanya restauran dan menggenjot pajak retribusi dari dunia usaha makanan. Upaya Pemerintah belum sampai kepada memotivasi advantage dari dunia usaha ini. Keterlibatan otoritas kebijakan belum berdampak luas dan baru sebatas promosi terhadap dirinya dan bukan mengangkat pelakunya sendiri apalagi koordinasi diantara mereka masih terasa tumpah tindih.

Organisasi masyarakat yang menangani kuliner baik yang beranggotakan profesional maupun non profesional masih jalan sendiri-sendiri, lebih melihat inward looking dan bersaing satu sama lain tanpa melihat bagi kepentingan kemaslahatan bagi masyarakat dan negeri Indonesia di masa depan.

Bagi kebanyakan organisasi-organisasi dan Kementerian-Kementerian yang ada, mereka berprestasi di luar negeri sebatas branding promosi di panggung-panggung dunia (ITB, WWT dan lain sebagainya) termasuk promosi melalui kedutaan-kedutaan yang ada tanpa memberi pemasukan devisa yang berarti kepada negara. Tidak pernah berfikir secara strategik dan global bagaimana masuk ke sarang think-thanknya organisasi kuliner di luar negeri. Cuma teriak-teriak promosi kuliner di panggung dunia yang dalam pandangan "man on the street" seperti habiskan anggaran APBN, setelah itu pulang seperti layaknya turis dan dilupakan orang. Apalagi menu makanannya hanya itu-itu saja alias tidak ada yang berubah atau yang menarik (sekitar tumpeng, nasi goreng, gado-gado, soto, sate dan entah apalagi namanya).

Wajar pihak luar masuk dan merambah dengan mudah dunia usaha kuliner di negeri ini karena mereka melihat daya beli masyarakat Indonesia sangat tinggi dan keterlibatan otoritas kebijakan maupun organisasi masyarakat belum terarah dengan baik untuk meningkatkan derajat kemampuan kompetisi mereka.

Apa yang menjadi permasalahannya ? Di bawah ini dicoba untuk memberi sedikit masukan secara umum antara lain terkait hal :

1. Undang - Undang Makanan
Semenjak 20 tahun terakhir, makanan merupakan satu dimensi komersial dan sosial yang sangat cepat bergerak dan bisa dibilang menjadi tulang punggung segenap rakyat mulai dari kalangan bawah sampai atas. Diasumsikan sekitar 60%-70% sektor UKM berkisar soal kuliner yang kebanyakan diolah oleh rakyat tanpa rambu-rambu yang jelas. Disayangkan Pemerintah sampai saat ini belum mempunyai dasar hukum sebagai fondasi untuk menata dunia makanan sehingga terlihat kuliner berjalan bebas tanpa ada yang menjadi polisi lalu lintas.

Isyu-isyu mengenai gizi, mutu kualitas maupun lainnya seperti tidak terkontrol lagi walaupun saat ini kita punya UU Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan. UU ini tidak secara lengkap bisa mengatur dan menata lalu lintas makanan tersebut. Sudah waktunya Indonesia punya UU Makanan, mengingat sekarang ini di dalam negeri banyak sekali makanan yang menggunakan bahan baku berbahaya seperti formalin, pewarna textil, pemutih, minyak oplosan, dan lain sebagainya yang banyak beredar di berbagai daerah dan perkotaan.

Apa kita mulai dari inisiatif perguruan tinggi dan sekolah tinggi kepariwisataan untuk memulainya atau dari organisasi masyarakat terkait atau keduanya atau lainnya lagi. Terpenting siapa yang mau mengorganisir ini ke semua pihak itu duduk bersama bicara dan merangkumkan permasalahan yang ada.

Saya sangat concern soal UU Makanan, karena pada akhirnya akan terkait ke masalah kemandirian & kedaulatan pangan dan bukan kepada ketahanan pangan. Bangsa kita sebenarnya bisa mandiri diatas kaki sendiri jika kita pandai menatanya.

Di salah satu pemikiran saya adalah bahwa melalui UU Makanan kita bisa membedah kebangsaan Indonesia dengan merefleksikan secara hukum dan kesadaran politis bahwa soal kuliner di negeri ini, selain dimiliki oleh pribumi, ada aspek etno-kuliner peranakan (Arab, Belanda, India & Tionghoa) yang para pendatang itu merupakan satu kesatuan dari kumpulan Bangsa Indonesia.

Dilain pihak, tahun 2016, Indonesia akan memasuki pasar bebas (Masyarakat Ekonomi ASEAN). Artinya pasar tunggal ASEAN bebas aktif untuk 4 bidang bagi 615 juta penduduk di 10 negara ASEAN dibawah ini :
1. Arus bebas Barang.
2. Arus bebas Jasa.
3. Arus bebas TK Trampil.
4. Arus bebas Modal.
5. Arus bebas Investasi.

Di 10 negara ASEAN, penduduk Indonesia Indonesia paling besar dan paling lemah infrastruktur hukumnya yang salah satunya di pasar kuliner. Mulai tahun 2016 flow of barang, jasa, tenaga kerja trampil, modal & investasi luar akan masuk ke Indonesia untuk salah satunya merambah pasar kuliner lokal yang selama ini tidak ada payung hukumnya (UU Makanan). Ingat masyarakat bangsa ASEAN seperti di Malaysia, Philipina, Thailand dan Singapura ramai-ramai sejak 3 tahun terakhir belajar bahasa Indonesia. Sehingga bukan hanya "flow of product" yang sangat tinggi akan masuk Indonesia namun juga "flow of services & human" nya akan hadir di depan kita.

Tidak kebayang bagaimana situasi dan kondisi pasar kuliner negeri saat itu nantinya, termasuk dalam melindungi posisi profesionalitas para Chef dan pemasak otodidak bersaing dengan bangsa lain yang mau mencari kemaslahatan ekonomi mereka di negeri ini. Banyak pekerjaan rumah dan jangan terpesona dengan keadaan sekarang sebatas begitu hebat nilai komersialnya dan melupakan pagar diri sendiri.

2. Promosi & Penanganan Global
Kita sudah sering mendengar lontaran publik tentang upaya apa yang dapat dilakukan untuk promosi kuliner Indonesia secara global. Bagaimana dengan restauran Indonesia di luar negeri ? Apa upaya Pemerintah dalam memotivasi agar restauran Indonesia dapat banyak didirikan di luar negeri ? Contoh dibukanya restauran-restauran luar negeri di Indonesia sudah memberikan keinginan kepada masyarakat Indonesia untuk berlibur ke negara-negara tersebut. Ini adalah langkah promosi yang berdampak lebih dahsyat daripada iklan TV, koran, atau billboard.

Tetapi apapun situasi yang terjadi, saya melihat kunci suksesnya kuliner Indonesia (di dalam negeri maupun di luar negeri) adalah pemasaran seperti yang dilakukan perusahaan swasta McD, Subway atau Domino Pizza. Saat ini, untuk kuliner Indonesia, sepertinya belum ada perusahaan swasta yang berani melakukan terobosan seperti McD atau Subway.

Dengan demikian masalahnya kembali ke Pemerintah lagi yang artinya Pemerintah harus punya dasar hukum yakni UU Makanan sebagai fondasi memasarkan kuliner Indonesia secara global seperti yang dilakukan Pemerintah Thailand yang setiap tahun untuk promosinya saja (di dalam dan luar negeri) punya budget USD 180 juta, yang bisa terlihat cerita suksesnya dari jumlah restoran Thai di luar negeri yang jumlahnya hanya puluhan di tahun 2002 telah berkembang biak hampir mendekati 18ribuan di tahun 2014. Belum lagi kalau bicara mengenai Pemerintah Malaysia dan Korea Selatan yang mempunyai strategi yang jelas dalam kebijakan kuliner mereka.

Malaysia, Thailand dan Korea Selatan mempunyai cerita promosi kuliner yang sukses karena Pemerintahnya punya dasar hukum yang jelas yakni UU Makanan sehingga kebijaksanaan dan program apapun yang dibuat pastinya dibiaya dari anggaran APBN yang disetujui DPR mereka.

Indonesia masih jauh dari posisi itu karena Pemerintah kita tidak punya dasar hukum berupa UU Makanan sehingga apapun program kuliner yang dilakukan Pemerintah masih numpang dengan dasar hukum UU lain di Kementerian terkait sehingga kuliner dipakai hanya sebagai pelengkap dari kegiatan Kementerian lain. 

Ini yang saya maksud bahwa Pemerintah harus punya dasar hukum dan pembiayaan tersendiri untuk kebijaksanaan kuliner sehingga programnya bisa 100% fokus di bidang itu bukan numpang pada kegiatan lain.

Jadi kalau di Indonesia tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri merupakan income pemasukan devisa bagi negara, maka negara seperti Thailand jaringan restoran mereka di luar negeri merupakan income pemasukan devisa bagi negara bersangkutan.

3. Hak Cipta Masakan
Masakan warisan tradisional tidak pernah didaftarkan atau dibuatkan trademark sebagai sebuah produk industri. Berbicara mengenai hak cipta pusaka kuliner, saya memang tidak tahu aturan atau regulasi (produk hukum undang-undang dan peraturan Pemerintah) dalam mendaftarkan sebuah masakan khas tradisional suatu daerah atau suku di Nusantara sebagai sebuah produk industri.

Selain itu bukan hanya mendaftarkan hak cipta masakan tradisional, tetapi ada yang lebih penting yaitu mendata serta menginventaris semua kuliner pusaka para leluhur, mulai dari bumbu, bahan dan rempahnya sampai cara membuatnya. Lalu tradisinya sendiri - jika masakan itu disangkut pautkan dengan adat dan budaya - apalagi bahan-bahan atau bumbu-bumbu dalam bentuk tumbuhan yang langka keberadaannya, perlu didata, dijaga dan dilestarikan keberadaannya, dicatat nama daerah setempat lalu diklasifikasi menurut kaidah-kaidah ilmu botani (botanical name, taksonomi  dan morfologi tumbuhan tersebut dan lain sebagainya) untuk didaftarkan hak ciptanya.

4. Pangan Lokal
Berbicara tentang gastronomi berarti berbicara tentang pangan yang selalu dihadapi setiap orang di Indonesia karena pangan memiliki pengaruh besar terhadap kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara.

Saat ini masyarakat Indonesia mengalami perubahan budaya makan yang condong mimilih kuliner luar daripada lokal. Bukan waralaba asing yang sesungguhnya menjajah Indonesia, tetapi kenyataan elite penguasa gagal menangkap perubahan selera bangsanya sendiri. Suara- suara kritis mengatakan bahwa makanan asing telah menggeser makanan lokal dan ini semakin menebar luas. Teriakan-teriakan belum adanya infrastruktur, kelembagaan dan kebijakan dari berbagai komponen pembuat otoritas kebijakan yang solid dan terarah kerap didengar saat ini.

Untuk dipahami permasalahan ini bukan hanya ada di wilayah kekuasaan Pemerintah. Sudah saatnya kini merangkul inisiatif kerja sama semua pihak untuk turut bahu-membahu membangkitkan pelestarian gerakan pengembalian kepada budaya kearifan pangan lokal.

Harus ada langkah bersama secara intensif dan efektif menghimpun, menyatukan dan memperkuat gerak langkah menghadapai tantangan pelestarian kuliner. Kontribusi anak bangsa dalam bidang kuliner sangat potensial, khususnya bila daya kemampuan mereka ditransformasikan menjadi sesuatu yang lebih berarti. Jika negara ini lebih fokus pada gerakan pangan berbasis kearifan lokal, diyakini negeri ini mampu memberi kemakmuran bagi rakyatnya.

5. Pahlawan Pangan
Untuk bicara kearifan pangan lokal ada unsur yang harus mutlak dibina dan dididik dengan baik yakni para aktor yang menjamin ketersediaan pangan dan mengolah pangan lokal itu sehingga panca-indra kita seperti mata, hidung, dan lidah, ikut ”makan”. Mereka adalah yang mempersiapkan, menjamin ketersediaan dan mengolah bahan pangan maupun siapa yang menggerakan sampai tersedianya keperluan bahan sehingga makanan lokal disajikan secara sempurna.

Tegasnya, para aktor ini adalah pahlawan pangan yakni para pembudi-daya, petani dan nelayan; serta para pelaku usaha yang bergerak di proses (industri) pangan. Tanpa mereka, entah bagaimana peri-kehidupan bangsa ini. Mungkin budaya kita, jika boleh disebut peradaban, tidak akan pernah tegak dan sarat konflik.

Memang dalam tataran citra, para pembudi-daya, petani dan nelayan boleh disebut sebagai pahlawan pangan yang kerap diperhatikan, tetapi, ironisnya mereka tertinggal. Akibatnya, peri-kehidupan pembudi-daya, petani dan nelayan tidak pernah menjadi lebih baik, karena salah satunya oleh ketidak-pahaman para pembuat keputusan melihat secara mendalam sejarah kampung (budaya) yang hidup di kalangan pembudi-daya, petani dan nelayan sendiri.

Kebijakan dan aturan yang dikeluarkan pemerintah dan cara kerja bank, sejauh ini tidak pernah bersandar pada budaya pembudi-daya, petani dan nelayan yang lekat dengan sesuatu yang konkret dan bersifat komunal serta berkonteks kepercayaan. Tidak mengherankan jika di antara posisi pemerintah dan para pembudi-daya, petani dan nelayan ada ruang kosong. Ruang kosong ini umumnya diisi oleh para tengkulak, yang secara kultural mampu mengeksploitasi para pembudi-daya, petani dan nelayan dengan menawarkan sesuatu yang lebih konkret langsung di depan mata mereka, yaitu uang. Sementara petugas bank biasanya hanya membawa formulir transfer uang atau persyaratan kredit yang harus diisi.

Pahlawan kedua, yakni pelaku usaha dari usaha rumah tangga, katering, kedai nasi, warung tegal, restoran padang usaha kecil, menengah, sampai industri makanan - boleh disebut ”pahlawan pangan ini tidak diperhatikan”. Para pengambil keputusan hampir tidak pernah menyentuh mereka. Padahal, pelaku usaha adalah jejaring penentu agar makanan sampai di mulut konsumen. Mereka juga harus menafsirkan terus-menerus pergerakan selera dan budaya baru konsumen.

Sejauh ini, belum pernah terdengar ada program aksi pemerintah untuk, misalnya, mendidik para pedagang warung kaki lima dan yang di bahu jalanan, agar makanan yang mereka masak dan jual bersih, penampilannya mengundang selera, dan rasanya enak. Jika melihatnya, seakan-akan seluruh panca-indra kita juga ikut makan. Juga belum pernah terdengar kabar, usaha rumah tangga, seperti lemper dan arem-arem, mendapatkan bimbingan dan penyuluhan kulinerologi sehingga penampilan lemper dan arem-arem akan indah seperti sushi dan rasanya pun enak menjemput selera konsumen.

Aktor-aktor di atas di sisi proses ini memang tidak mendapatkan perhatian penuh dari para pengambil keputusan. Akibatnya, para ”pahlawan pangan”- terutama dari usaha rumah tangga, katering, kedai nasi, warung tegal, restoran padang beserta industri kecil dan menengah - bisa mati karena tertinggal oleh selera konsumen yang melompat sesuai dengan adagium bahwa konsumen adalah driver suatu perubahan.

Miskinnya perhatian elite politik dan perguruan tinggi serta teknolog pangan, otomatis berimplikasi pada ketidakmampuan para pelaku usaha makanan untuk bersaing dengan waralaba internasional, yang mampu menafsirkan perubahan selera konsumen berusia muda. Kelompok usia ini inginnya mengkonsumsi produk kualitas premium, dengan rasa, bau, warna, kecepatan penyajian, dan kemasan prima. Pendeknya, bukan waralaba asing itu yang sesungguhnya menjajah Indonesia, tetapi bangsa ini gagal menangkap perubahan selera bangsanya sendiri.

Jakarta 3 Oktober 2015