".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Sunday, 17 April 2016

Seni Masakan Tionghoa Semasa Orba

Mungkin kita pernah mendengar Instruksi Presiden nomor 14 tahun 1967 mengenai program asimilasi masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia yang mengatur larangan pagelaran perayaan hari besar tradisional di muka umum, pagelaran tradisi agama, budaya dan adat istiadat di depan umum, penggunaan bahasa di hadapan umum, keterlibatan ekonomi, sekolah, hak-hak kewarganegaraan, dan banyak lagi. Walaupun akhirnya Inpres itu kemudian dicabut melalui Kepres Nomor 6 tahun 2000.


Satu hal yang perlu disadari bahwa program asimilasi itu selama 33 tahun tidak secara eksplisit memasukan seni masakan (cookery) dan peralatan dapur etnis Tionghoa dalam bingkai larangan di hadapan publik.

Bisa dikatakan seni masakan (cookery) dan peralatan dapur budaya etnis Tionghoa tidak terhapus sama sekali dari ingatan kolektif masyarakat Indonesia oleh proses ini; dan tetap subur tumbuh digunakan masyarakat dan banyak disajikan di berbagai restoran, kedai dan rumah makan publik.

Antara lain kita sangat familiar dengan makanan seperti dimsum, bakmie, pangsit, nasi goreng, cap cai, tahu goreng, kwetiau goreng, mie goreng, bihun masak, lomie, bakpao, nasi tim, ifu mie, fuyung hai, swike, ayam cah, lumpia, daging bun, tofu, kucai, bakut teh, hunkwe, kuaci, chop suey, bakcang, siomay, cahkwe dan lain sebagainya.

Beberapa peralatan dapur dari Tiongkok adalah cobek (mortar), mangkok cekung, hawu (tungku), wajan (wok), ulekan (alu), kuali (pot tanah liat), dan anglo (clay anglo) maupun lain sebagainya.

Saya tidak ingin membahas perihal politisasi dari kebijaksanaan Presiden itu, karena kajian mengenainya cukup banyak apalagi tidak dalam panca koridor gastronomi kita.

Pastinya bukan karena masyarakat etnis Tionghoa tidak mau tunduk pada peraturan asimilasi atau larangan selama Orde Baru itu. Banyak praktek makanan tradisional etnis Tionghoa di Indonesia secara diam-diam telah lama diintegrasikan ke dalam budaya seni masakan lokal melalui penghapusan asal usulnya.

Ini dikenal dengan proses akulturasi dan asimilasi secara alamiah yang mana resepi dan alat dapur itu itu sendiri sebenarnya tidak ada di negara asalnya sendiri karena mengalami perubahan bentuk, racikan, corak dan penggunaan. Disini kita paham arti sebenarnya dari makanan dan peralatannya sebagai sistem komunikasi, perilaku adaptasi dan protokol dari kekuatan sosial budaya tertentu.

Untuk diketahui, gastronomi makanan Indonesia adalah warisan dari para leluhur nenek moyang kita yang terbentuk dari sebelum Republik ini berdiri, yakni semasa era bhumi kepulauan Nusantara, yang pada saat itu sampai sekarang dihuni ribuan suku & sub-suku serta etnik pendatang baik karena migrasi dan kolonialisme. Selain itu ada beberapa etnik pendatang lainnya (Portugis & Jepang) tetapi tidak besar memberi sumbangan terhadap kekayaan resepi makanan yang ada.

Corak gastronomi makanan Indonesia pada umumnya merupakan warisan tradisional leluhur dari 1,340 suku & sub-suku yang ada di kepulauan Nusantara Indonesia serta percampuran resepi dari 4 (empat) etnik pendatang (Tionghoa, India, Arab & Belanda), yang diserap dan diolah oleh masyarakat lokal setempat melalui proses akulturasi & mimikri.

Oleh karena itu lebih tepat jika gastronomi Indonesia dikatakan sebagai “Gastronomi Kepulauan Nusantara di Indonesia” karena segenap kekayaan resepi masakan yang ada itu terbentuk sebelum Republik ini berdiri.


Dapat dikatakan Inpres nomor 14 tahun 1967 tidak menyentuh sama sekali seni masakan masyarakat etnis Tionghoa karena asimilasi terhadap makanan itu sendiri sudah terjadi jauh sebelum Orde Baru yang telah melembaga dalam keseharian sajian budaya makanan rakyat Indonesia.

Kontek ini dapat dipahami lebih jauh jika kita menginterpretasikan tulisan Bandung Mawardi mengenai sejarah buku "Mustika Rasa yang menjadi buku masakan Indonesia pertama yang resmi tercatat dalam lembaran Negara. Disini dijelaskan dimulai sejarah Negara terlibat dalam urusan masakan.  

Buku ini adalah warisan sejarah masa Orde Lama dan Orde Baru yang disusun dari tahun 1961 - 1966 dan diterbitkan pada tahun 1967. Ide pembuatannya atas perintah Presiden Soekarno dan disetujui Presiden Soeharto sebagai buku masakan resmi Nasional di masa Orde Baru.

Disini ditoreh sejarah kedua Presiden menempatkan ideologi makanan dalam agenda Pemerintahan masing-masing dan menganggap kemajuan kebudayaan suatu bangsa tidak mungkin tidak harus juga membicarakan kekayaan (dan mungkin kebanggaan dari) masakannya.

Bisa jadi itu alasannya mengapa Inpres nomor 14 tahun 1967 tidak secara implisit memasukan seni masakan (cookery) dan peralatan dapur etnis Tionghoa ke dalam program asimilasi. Kedua penguasa boleh “berseteru” tapi dalam urusan makanan membuat Soekarno dan Soeharto bisa “akur”

Tabek