Oleh : Andreas Maryoto
KOMPAS, Jumat, 1 Okt 2010
Setiap kali melihat masakan bersantan, kita mudah menyimpulkan ada pengaruh kuliner India di dalam makanan itu. Namun, sebenarnya tidak semudah itu untuk melihat pengaruh makanan India di dalam makanan Nusantara karena pengaruh kebudayaan India masuk setidaknya dalam dua gelombang yang setiap gelombang kemungkinan memiliki perbedaan.
Bukti tertulis menunjukkan, pengaruh India masuk ke Nusantara pada abad ke-empat. Namun, jauh sebelum itu kemungkinan orang India dan kebudayaannya sudah masuk ke Nusantara. Untuk menyelidiki jejak makanan yang dibawa pendatang India, kita terbantu oleh sumber-sumber sekunder.
Kita bisa mencari jejak melalui kamus bahasa Sanskerta, bahasa yang diperkenalkan orang India kepada penduduk Nusantara ketika mereka datang, untuk mencari kosakata-kosakata makanan. Dalam kamus Sanskerta itu kita bisa mendapat sejumlah kata makanan, seperti gula, adang (salah cara memasak makanan), caru (sesajian yang direbus dengan susu dan mentega), kundi (mangkuk), dan lain-lain. Beberapa kosakata itu masih dikenal di Nusantara sampai sekarang.
Kata adang kemungkinan terkait dengan cara memasak yang menggunakan uap air atau pengukusan. Cara ini kemungkinan diperkenalkan oleh pendatang India. Salah satu cirinya adalah penggunaan tembaga sebagai bahan baku. Bahan ini dikenal dalam sejumlah peralatan dapur di India. Di sejumlah dapur orang Jawa, alat-alat memasak dari tembaga juga masih digunakan.
Kita juga bisa menduga ada pengaruh makanan India ke dalam makanan Nusantara, semisal dengan mengkaji bahasa Jawa Kuno. Bahasa ini sudah ada sebelum orang India masuk ke Nusantara. Akan tetapi, karena terjadi pertemuan, maka ada pengaruh bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Jawa Kuno. Hal ini pun diakui oleh para penyusun kamus bahasa Jawa Kuno yang menyebutkan ada kosakata bahasa Jawa Kuno yang dipengaruhi oleh bahasa Sanskerta.
Dalam kategori ini terdapat sejumlah kata makanan yang diduga dipengaruhi oleh bahasa Sanskerta, seperti pecel, pepes, urab, carana (sejenis kue kering), dan lain-lain. Akan tetapi, kita masih perlu meneliti lagi kosakata ini karena sangat mungkin jenis-jenis makanan itu sudah ada sebelum orang India masuk ke Nusantara.
Mengenai teknik-teknik pengolahan makanan, Churmatin Nasoichah dari Balai Arkeologi Medan, dalam salah satu tulisannya, menyebutkan, di dalam sejumlah prasasti berbahasa Jawa Kuno terdapat dua pengolahan makanan yang menonjol, yaitu pengeringan dan pengasinan. Prasasti yang dikutip berangka tahun 901 sampai 929.
Untuk mencari makanan-makanan masa lampau yang diduga dipengaruhi oleh kebudayaan India, kita juga bisa menduga-duga dengan mengamati makanan yang ada di beberapa tempat. Salah satunya adalah megana, cacahan sayur atau nangka, yang masih ditemukan antara lain di Pekalongan, Wonosobo, dan Temanggung. Makanan ini berada di daerah yang berada di dalam kerajaan Hindu awal di Jawa, yaitu Kerajaan Kalingga.
Kesultanan Mughal
Periode berikutnya, pengaruh makanan India masuk ke Nusantara terjadi ketika Kesultanan Mughal di India mempengaruhi makanan Nusantara melalui Aceh sekitar abad ke-15 hingga ke-16. Pada masa itu antara Mughal dan Aceh memang ada komunikasi. Utusan Aceh pernah mengunjungi Mughal.
Bahkan, ritus-ritus Kesultanan Aceh mirip dengan Kesultanan Mughal. Adalah etnolog B Schrieke yang menyebut sejumlah contoh pengaruh tradisi istana Mughal terhadap tradisi dan kehidupan Aceh. Pengaruh itu bisa terlihat dalam arsitektur, taman kesultanan, arak-arakan kerajaan menggunakan gajah, gaya berpakaian, kebiasaan minum, dan kebiasaan sultan berbicara kepada rakyat dari balkon. Tradisi makanan Mughal pun kemungkinan ikut terbawa ke Aceh.
Beberapa makanan yang bisa diduga terkait pengaruh Mughal itu antara lain makanan yang bersantan dan pedas. Soal pedas itu, ada yang menyebutkan kalau sumber pedas itu adalah cabai yang dibawa oleh orang Portugis dan diperkenalkan ke Mughal hingga kemudian ke Nusantara. Portugis sendiri mendapat cabai dari Spanyol yang menemukan cabai saat menaklukkan Amerika Selatan.
Akan tetapi, ada yang menolak anggapan ini. Mereka menyebut bahwa cabai sudah ada di India dan juga Nusantara. Orang India menyatakan, sebelum Portugis datang, mereka telah mengenal cabai. Di dalam bahasa Sanskerta terdapat kata “cawi” dan “cawya” yang berarti cabai. Di Nusantara, setidaknya di Jawa di dalam kosakata Jawa Kuno terdapat kata “cabe” dan “cabya” yang sangat mungkin dipengaruhi oleh bahasa Sanskerta. Dalam salah satu kamus disebutkan, kedua kata itu adalah cabai Jawa atau piper caba. Meskipun demikian, kita perlu meneliti kemungkinan ada perbedaan antara jenis cabai yang dimaksud.
Turki dan Persia
Terung dalam makanan yang sangat dikenal di sejumlah menu makanan di Sumatera bagian utara sangat mungkin juga pengaruh dari Mughal. Namun, asal terung dalam konteks ini kemungkinan dari Turki. Kesultanan Mughal sendiri mempunyai darah nenek moyang yang berasal dari Turki dan Persia.
Untuk itulah kita harus berhati-hati karena makanan Mughal sendiri dipengaruhi oleh Turki dan Persia yang merupakan akar dari nenek moyang sultan-sultan Mughal itu. Sangat mungkin makanan Turki dan Persia bercampur dengan bahan- bahan dan makanan India yang sudah ada, meski tetap saja pengaruh Turki dan Persia itu sangat dominan. Karena itu, kadang kesultanan Mughal disebut Kerajaan India-Persia.
Pengaruh Mughal ini sangat mungkin juga terbawa ke sejumlah Kesultanan Melayu dan juga Minangkabau. Rasa makanan yang berempah kemungkinan berasal dari Mughal. Pengaruh ini terbawa ketika Kesultanan Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda yang melebarkan wilayahnya ke berbagai tempat, seperti di Tanah Melayu untuk mendapatkan pasokan beras dan juga berdagang dengan Minangkabau. Hal ini juga bisa menjelaskan mengapa orang Batak tidak terpengaruh oleh makanan Mughal ini, karena pengaruh Kesultanan Aceh sendiri tidak masuk ke tanah Batak (Tapanuli).
Banyak kalangan menyebutkan kalau makanan India yang ada dan dikenal di berbagai negara sekarang lebih didominasi oleh kuliner Mughal itu. Bahkan ada yang mengatakan, hampir sebagian besar makanan India yang dikenal di manca negara mempunyai akar dari Mughal.
Kompas yang mencoba makanan India di sebuah restoran di Phuket, Thailand, mendapati hal itu. Restoran ini menyebutkan bahwa hidangan yang disajikan merupakan Mughal Mahal.
Kita di Indonesia harus hati-hati melihat pengaruh makanan Mughal ini karena pengaruh Persia itu sendiri telah masuk sebelum Kesultanan Aceh. Pada masa Kesultanan Pasai, banyak sumber pada masa lalu, seperti catatan perjalanan Ibnu Batuta yang menyebutkan telah bertemu dengan pedagang Persia di Kesultanan Samudra Pasai pada tahun 1325. Kesultanan itu sendiri disebutkan berhubungan dengan pedagang-pedagang Persia. Catatan serupa ditemukan dalam catatan perjalanan Tomi Pires dari Portugis pada abad ke-16. Karena itu, pengaruh makanan Persia mungkin juga sudah masuk sebelum Kesultanan Aceh berdiri.
Makanan Nusantara
Dengan melihat fakta dan dugaan di atas, setidaknya ada dua gelombang pengaruh makanan India di Nusantara. Kedatangan awal India yang dipengaruhi kebudayaan Hindu membawa pengaruh makanan yang setidaknya bisa dilihat di Jawa. Pengaruh berikutnya atau gelombang kedua melalui Kesultanan Mughal yang dipengaruhi kebudayaan Islam masuk ke Nusantara. Pengaruh makanan ini bisa dilihat di sebagian besar Sumatera bagian utara.
Sekali lagi, kita masih harus meneliti ulang terhadap fakta-fakta di atas. Fakta-fakta itu lebih banyak dilihat dengan kacamata pendatang yang memengaruhi penduduk sebuah tempat. Hal ini sering menjebak sehingga kita sekarang melihat seolah-oleh kita hanya melihat India yang memengaruhi Nusantara. Kadang kita juga perlu melihat bahwa penduduk Nusantara juga memengaruhi pendatang. Karena itu, sangat mungkin kekhasan di Nusantara itu dibawa juga ke India.
Salah satu contoh, ahli sejarah makanan India AT Achaya dalam salah satu publikasinya menyatakan bahwa salah satu makanan yang mirip apem (dalam bahasa India disebut idli) yang semula diduga berasal dari India selatan, ternyata berasal dari Nusantara. Makanan ini dibawa oleh seorang raja yang datang ke India untuk mencari jodohnya.