Political Will sudah terucapkan
Bapak Presiden pada Rapat Terbatas (Ratas) tanggal 27 September 2016 &
tanggal 3 Februari 2017 bicara mengenai Kekuatan
Citra Indonesia (branding power) dengan memberikan arahan & keputusan
politik mengenai 4 (empat) pilar diplomasi, yakni Diplomasi Kebudayaan, Diplomasi Olah Raga, Diplomasi Film & Diplomasi Makanan.
Bisa dikatakan political will ini yang kedua diucapkan langsung dua Presiden
Indonesia mengenai makanan sejak negeri
ini merdeka.
Yang pertama, tahun 1960 oleh Presiden Soekarno
yang kemudian terwujud dengan terbitnya buku Mustika Rasa pada tahun 1967.
Buku itu menjadi bukti
prestasi tertinggi dalam pengumpulan resep-resep legendaris masakan Nusantara.
Ide pembuatan buku Mustika
Rasa digulirkan tahun 1960 di masa Orde Lama dan disajikan resmi sebagai buku
tebal di masa Orde Baru.
Disini bisa dikatakan dimulai sejarah Negara dimana
dua Presiden terlibat langsung dalam urusan diplomasi makanan Nusantara.
Dua penguasa boleh
"berseteru" tetapi urusan makanan membuat Soekarno dan Soeharto bisa
"akur".
Yang kedua, tahun 2016, mengenai Diplomasi Makanan. Namun dalam aplikasinya, banyak pengambil kebijakan & otoritas yang berwenang, termasuk masyarakat sendiri, belum memahami pesan Bapak Presiden itu.
Mereka mengartikan arahan
sebatas resep masak-memasak atau sebatas icip-icip, atau prototype nama
makanan, termasuk mengangkat nama-nama chef selebriti, meskipun kita ketahui
hilirnya adalah untuk kepentingan pariwisata.
Mereka menyamakan political will Presiden tahun
2016 sama dengan political will Presiden tahun 1960.
Padahal sejati berbeda ..
Andaikata Bapak Presiden mengartikan sama dengan
apa yang diperkirakan mereka, maka tidak perlu repot-repot political will itu diucapkan, karena selama ini begitu banyak diselenggarakan
acara festival & penetapan ikon makanan (kuliner) Indonesia oleh Kementerian Negara & Lembaga
Pemerintah, termasuk Pemerintah Daerah.
Jika kita perhatikan pesan dibalik arahan Bapak
Presiden, sebenarnya beliau bukan mengharapkan bicara sebatas resep masakan,
icip-icip, prototype nama makanan maupun nama chef selebriti.
Dari “bahasa
tubuh” Bapak Presiden terbaca Diplomasi
Makanan lebih luas diartikan dari yang disampaikan di atas, karena ada
penekanan Kekuatan Citra atau
branding power.
Dalam arti sebagai identitas nasional, prestise atau image bangsa Indonesia dengan
cara menunjukkan personality, visi &
misi yang ingin dikomunikasikan kepada publik.
Indonesia
Gastronomy Association (IGA) mengartikan arahan Diplomasi Makanan Bapak
Presiden sebagai Gastronomi, yang bicara mengenai Sejarah (history), Budaya (culture) & Cita Rasa (flavor), dengan
menempatkan secara eksklusif & spesifik idiosinkratis Branding, Entrepreneurship & Gastro-Diplomasi.
Sudah pasti perspektif Sejarah, Budaya dan Cita Rasa itu punya cerita atau kisah, baik mengenai falsafah & filosofi yang lahir dari kearifan lokal masyarakat
setempat.
Vista sejarah dan budaya inilah yang membentuk karakter, jati diri dan identitas suatu masyarakat bernegara, yang
kalau dikemas ke dalam bahasa politik merupakan wawasan kebangsaan (nasionalisme).
IGA menterjemahkan arahan
Bapak Presiden dengan mengajak Sekretariat
Kabinet Republik Indonesia menyelenggarakan Seminar Nasional Gastronomi Indonesia pada tanggal 23 Oktober 2018
yang menekankan kepada 3 (tiga)
komponen idiosinkratis tersebut.
Semoga para pengambil kebijakan & otoritas yang berwenang bisa memahami sejatinya pesan dibalik arahan Bapak Presiden, karena Political Will sudah diucapkan, tinggal kita semua menjabarkannya lebih baik untuk visi kekuatan citra bangsa Indonesia ke depan.
Tabek