".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Saturday 30 May 2015

Tumpeng : Media Komunikasi Spiritual Masyarakat Jawa


Tumpeng sebagai ekspresi budaya mengandung banyak makna. Ritual tumpengan merupakan tindakan yang dilakukan oleh sekelompok orang atau organisasi sosial tertentu berdasarkan pranata yang berlaku. Ritual tersebut kecuali merupakan realisasi dari sebuah sistem sosial juga merupakan sarana untuk mencapai tujuan dari sistem sosial itu sendiri.

Masyarakat Jawa percaya pada suatu kekuatan yang melebihi segala kekuatan yang dikenal dengan kasekten, arwah atau ruh leluhur, makhluk-makhluk halus seperti memedi, lelembut, thuyul, dhemit serta jin lain yang menempati alam sekitar tempat tinggal mereka.

Menurut kepercayaan, masing-masing makhluk halus tersebut dapat mendatangkan kesuksesan, kebahagiaan, ketentraman, keselamatan, tetapi sebaliknya, dapat pula menimbulkan gangguan pikiran, gangguan kesehatan, bahkan kematian.

Apabila seseorang ingin hidup tanpa menderita gangguan itu, ia harus berbuat sesuatu untuk mempengaruhi alam semesta dengan berprihatin, berpuasa, berpantang melakukan perbuatan serta makan makanan tertentu, berselamatan, dan bersesaji. Salah satu jenis selamatan yang masih dilaksanakan sampai saat ini adalah melalui media pengantar komunikasi antara sang pemohon dengan unsur yang dituju, yakni melalui tumpeng.

Tumpeng merupakan makanan tradisional Jawa yang berbentuk kerucut. Merunut dari asal sejarahnya, tumpeng merupakan bentuk simbolisasi ke-Tuhanan dalam kepercayaan masyarakat Jawa. Bentuk tumpeng yang berupa kerucut merupakan simbol asal manusia dan dunia, yang mengerucut pada hubungan manusia dengan penciptanya, dan berakhir pada keputusan sang pencipta.

Dalam hubungan tersebut, diharapkan dapat terjalin keharmonisan sehingga tercipta kehidupan yang harmonis antara pencipta, manusia, dan alam. Hubungan yang harmonis tersebut berujung pada menyerahkan segala sesuatu kepada Sang Pencipta yang merupakan falsafah penting hidup bagi orang Jawa; yakni ‘menyatunya manusia dengan Tuhan’.

MAKNA TUMPENG
Makna ritual tumpengan berbeda bagi tiap orang meskipun keduanya berada dalam komunitas yang sama. Hal tersebut terjadi karena tiap orang mempunyai latar belakang sejarah dan kepribadian yang berbeda.

Makna ritual tumpengan tidak bisa ditafsirkan secara seragam hanya dengan mengacu pada satu sistem simbol atau pranata yang berlaku. Bagi orang Jawa membuat tumpeng adalah kebiasaan atau tindakan berdasarkan tradisi. Meskipun demikian tujuan orang membuat tumpeng dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi.

Kehidupan orang Jawa sangat lekat dengan alam. Mereka sadar bahwa hidup mereka bergantung dari alam. Banyak pelajaran yang menjadi pedoman hidup sehari-hari yang mereka ambil dari alam. Penempatan dan pemilihan lauk pauk dalam tumpeng juga didasari akan pengetahuan dan hubungan mereka dengan alam.

Bagi sebagian besar orang Jawa berpendapat bahwa makna tumpeng adalah tanda berserah diri dari manusia kepada Tuhan-nya. Bentuk kerucut dari sebuah nasi tumpeng merupakan sombolisasi perjalan suci manusia dari dasar menuju puncak tempat sang Khalik bertahta. Bentuk tumpeng secara spiritual merupakan simbolisasi hubungan antara manusia dan sang Khalik, beserta para dewa-dewi serta para hyang, atau arwah leluhur nenek moyang.

Nasi tumpeng yang berbentuk kerucut ditempatkan di tengah-tengah dan bermacam-macam lauk pauk disusun di sekeliling kerucut tersebut. Penempatan nasi dan lauk pauk seperti ini disimbolkan sebagai gunung dan tanah yang subur di sekelilingnya. Tanah di sekeliling gunung dipenuhi dengan berbagai macam lauk pauk yang menandakan lauk pauk itu semuanya berasal dari alam, hasil tanah. Tanah menjadi simbol kesejahteraan yang hakiki.

Selain penempatannya, pemilihan lauk juga didasari oleh kebijaksanaan yang didapat dari belajar dari alam. Tumpeng merupakan simbol ekosistem kehidupan. Kerucut nasi yang menjulang tinggi melambangkan keagungan Tuhan Yang Maha Pencipta alam beserta isinya, sedangkan aneka lauk pauk dan sayuran merupakan simbol dari isi alam ini. Oleh karena itu pemilihan lauk pauk di dalam tumpeng biasanya mewakili semua yang ada di alam ini.

SIMBOL GUNUNG
Melihat bentuk khas nasi tumpeng yang kerucut meruncing ke atas, yang akan terlintas di pikiran orang adalah kemiripan bentuknya dengan gunung. Hal ini tidak sama sekali melenceng. Kata tumpeng memang berasal dari Bahasa Jawa yang padanan katanya sama dengan gunung. Asal muasal bentuk tumpeng ini ada dalam mitologi Hindu, di epos Mahabarata. Perlu diingat bahwa walaupun mayoritas masyarakat Jawa sekarang beragama Islam, masih banyak tradisi masyarakat yang berpijak dari akar-akar agama Hindu.

Secara “jarwo dosok” tumpeng diartikan sebagai “Tumapaking panguripan (tumindak lempeng) tumuju Pangeran” adalah kepanjangan dari kata tumpeng yang mengartikan bahwa "Manusia itu harus hidup menuju dan dijalan Tuhan".

Nilai filosofinya sebagai wujud rasa syukur dan terima kasih kepada YME atas kebersamaan, keharmonisan dan kerukunan yang ada. Maknanya menyimpan harapan dan pesan agar kesejahteraan & kesuksesan hidup semakin "naik" dan "tinggi". Kerucut ditutupi segitiga daun pisang, sebagai simbol bentuk rumah suci tempat bersemayam Gusti Allah berserta para dewa-dewi serta para hyang, atau arwah leluhur (nenek moyang).

Gunung, dalam kepercayaan Hindu adalah awal kehidupan, karenanya amat dihormati. Dalam Mahabarata dikisahkan tentang Gunung Mandara, yang dibawahnya mengalir amerta atau air kehidupan. Yang meminum air itu akan mendapat keselamatan. Inilah yang menjadi dasar penggunaan tumpeng dalam acara-acara selamatan.

Selain itu gunung bagi penganut Hindu diberi istilah méru, representasi dari sistem kosmos (alam raya). Jika dikaitkan dengan bagian puncak tumpeng, maka ini melambangkan Tuhan sebagai penguasa kosmos. Ini menjelaskan bahwa acara-acara selamatan dimana tumpeng digunakan selalu dikaitkan dengan wujud syukur, persembahan, penyembahan dan doa kepada Tuhan.

Selain pengaruh dari agama Hindu, bentuk tumpeng ini juga dipengaruhi oleh agama atau kepercayaan masyakarat Jawa yang dikenal dengan nama kejawen. Masyarakat Jawa sendiri sebenarnya lebih menganggap kejawen sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (perilaku). Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat seperti aturan-aturan agama pada umumnya, tetapi menekankan pada konsep "keseimbangan". Praktek ajaran ini biasanya melibatkan benda-benda tertentu yang memiliki arti simbolik.

Gunung berarti tempat yang sangat sakral oleh masyarakat Jawa, karena memiliki kaitan yang erat dengan langit dan surga. Bentuk tumpeng bermakna menempatkan Tuhan pada posisi puncak yang menguasai alam. Bentuk kerucut gunungan (méru) ini juga melambangkan sifat awal dan akhir, simbolisasi dari sifat alam dan manusia yang berawal dari Tuhan dan akan kembali lagi (berakhir) pada Tuhan.

Sebagian besar upacara yang diselenggarakan dalam kebudayaan Jawa adalah bagian dari ritual kejawen sehingga tentu saja pengadaan tumpeng dan posisinya yang penting dalam sebuah upacara sangat berkaitan erat dengan makna simbolis yang terkandung dalam tumpeng itu.

SIMBOL KELUARGA
Bagi orang Jawa pembuatan nasi tumpeng dengan bentuk kerucut atau gunungan dapat dipahami sebagai simbolisasi dari kelamin laki-laki (phallus). Dengan kata lain, tumpeng adalah simbol kejantanan. Perlu diketahui bahwa kemaskulinan bagi orang Jawa merupakan hal penting, karena laki-laki dipandang sebagai kepala rumah tangga dan perempuan sebagai "kanca wingking" (teman di belakang).

Sikap tersebut tentu saja tidak berarti mendudukkan kaum perempuan dalam posisi marginal. Justru perempuan atau ibu rumah tangga dalam hal ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari struktur keanggotaan keluarga seutuhnya. Makna "teman di belakang" berperan sebagai kekuatan penyeimbang dari apa yang ada di depan atau pula sebagai sebuah potensi yang memiliki visi ke depan, sebuah visi itu sendiri.

Jika yang di belakang adalah istri maka yang di depan adalah suami dan yang di tengah tentu saja anak. Bagi orang Jawa, suatu keluarga menjadi lengkap jika ketiga unsur tersebut ada. Anak menjadi bagian penting dari struktur keluarga sehingga dalam pembicaraan sehari-hari atau jika kita bertemu dengan teman lama, yang ditanyakan biasanya adalah jumlah anak kita, jadi bukan penghasilan kita.

Kerucut atau gunungan sering diabstraksikan menjadi bentuk segi tiga dengan satu ujung di atas sebagai puncak. Ketiga titik dalam segitiga dapat diartikan dua titik pada garis horizontal sebagai posisi ibu dan ayah sedangkan yang di puncak diduduki oleh anak. Jadi gunungan yang berbentuk segi tiga tersebut merupakan simbolisasi dari struktur keluarga Jawa yang terdiri atas: ayah, ibu, dan anak.

Tumpeng tentu saja tidak selalu menjadi simbolisasi dari kemaskulinan orang Jawa karena bentuk tumpeng di Jawa ternyata cukup bervariasi. Nasi tumpeng ternyata juga tidak selalu berbentuk kerucut tetapi ada yang berbentuk setengah bola atau seperti bentuk kubah masjid. Tumpeng yang bentuknya setengah bola tentu saja tidak tepat jika dianggap sebagai simbol kejantanan.

Bentuk tumpeng yang setengah bola tersebut akan lebih tepat jika dianggap sebagai simbol kefemininan. Gunung memang tidak selalu harus dilukiskan dengan bentuk kerucut tetapi bisa dengan bentuk parabola. Gunung juga bisa berarti bumi atau ibu pertiwi yaitu tempat kita dilahirkan, dibesarkan dan bahkan setelah mati dikuburkan.

Dalam kesenian wayang kulit, dikenal istilah gunungan lanang dan gunungan wadon. Bentuk gunungan tersebut sebenarnya hampir sama, bedanya pada gunungan lanang terdapat gambar atau pahatan rumah joglo, sedangkan pada gunungan wadon gambar rumah joglo tersebut diganti dengan gambar kolam atau blumbang.

Gunung dapat disamakan dengan perut ibu atau kandungan tempat kita disemaikan dan dari sana pulalah kita dilahirkan. Dengan demikian bentuk nasi tumpeng yang parabolik itu merupakan simbolisasi dari perut atau rahim seorang perempuan.

Bagi anak kecil kadang muncul dorongan untuk kembali ke rahim ibunya dan itu tentu saja tidak disadari. Dorongan tersebut hampir sama ketika ada orang yang ingin kembali ke kampung halamannya setelah tinggal lama di perantauan bahkan jika meninggal dunia ada yang ingin dikubur di tempat kelahirannya.

Dorongan untuk kembali ke pelukan seorang ibu adalah dorongan bawah sadar yang diperoleh anak sejak masa kecil. Kehangatan pelukan ibu, detak jantung, nikmatnya air susu ibu dan lain sebagainya tentu saja akan melekat dan tersimpan dalam alam bawah sadar dan hal itu sering kali mendorong untuk mencari jalan keluarnya.

Penyaluran terhadap hasrat bawah sadar tersebut bermacam-macam, bisa lewat mimpi, lewat karya seni, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan norma. Dengan membuat tumpeng dan menyantapnya maka dorongan bawah sadar tersebut dapat tersalurkan.  

Dengan kata lain perilaku orang dewasa terhadap tumpeng tidak jauh berbeda dengan perilaku anak-anak. Membuat tumpeng, mengeruk dan kemudian memakannya merupakan ekspresi bawah sadar dan juga katarsis bagi orang Jawa.

Sebagian orang berpendapat bahwa makna tumpeng adalah tanda berserah diri dari manusia kepada Tuhan-nya. Bentuk kerucut dari sebuah nasi tumpeng merupakan sombolisasi perjalan suci manusia dari dasar menuju puncak tempat Tuhan bertahta. Bentuk tumpeng secara spiritual merupakan simbolisasi hubungan antara manusia dan Tuhan.

MAKNA CABAI MERAH
Pada umumnya di puncak tumpeng ditancapkan cabai merah yang menyimbolkan damar atau obor sebagai penerang jalan menuju Tuhan. Maksudnya adalah agar manusia yang menyelenggarakan upacara selamatan mendapatkan kemudahan dalam menjalani kehidupannya dengan mendapatkan sinar yang menerangi jalan yang awalnya gelap dan sulit dilalui menjadi terang dan mudah dilalui dengan bantuan sinar tersebut.

Digunakannya cabe merah sebagai sesaji diasosiasikan sebagai nyala obor. Obor dalam masyarakat Jawa digunakan sebagai penerang di saat gelap. Obor disimbolkan sebagai damar sewu, maksudnya adalah sebagai penerang kehidupan. Dengan nyala seribu obor, jalan gelap yang dilalui terasa mudah.

Dengan upacara selamatan segala halangan dan rintangan yang disebabkan oleh ketidaktahuan akan dapat diselesaikan dengan mudah oleh manusia. Dengan demikian, secara tidak langsung kesuksesan akan dengan mudah diraih.

WARNA NASI TUMPENG
Selain dari bentuk, kita juga bisa menginterpretasikan makna dibalik warna nasi tumpeng. Ada dua warna dominan nasi tumpeng yaitu putih dan kuning. Bila kita kembali pada pengaruh ajaran Hindu yang masih sangat kental di Jawa, warna putih diasosiasikan dengan Indra, Dewa Matahari. Matahari adalah sumber kehidupan yang cahayanya berwarna putih. Selain itu warna putih di banyak agama melambangkan kesucian.

Demikian penggunaan warna kuning pada tumpeng mempunyai tujuan tertentu. Kita tahu bahwa kuning dalam kategori warna menurut budaya Jawa adalah sama dengan warna emas, yaitu sesuatu benda yang berharga yang melambangkan rezeki, kelimpahan, kemakmuran. Benda yang terbuat dari emas merupakan benda berharga yang biasanya dimiliki oleh para raja, bangsawan, orang kaya, dan para dewa. Dengan demikian tumpeng dengan warna kuning merupakan simbol sesaji atau penghormatan kepada Yang Maha Kuasa.

Melihat hubungan antara makna dibalik bentuk tumpeng dan warna nasi tumpeng, keseluruhan makna dari tumpeng ini adalah pengakuan akan adanya kuasa yang lebih besar dari manusia (Tuhan), yang menguasai alam dan aspek kehidupan manusia, yang menentukan awal dan akhir.

Wujud nyata dari pengakuan ini adalah sikap penyembahan terhadap Sang Kuasa dimana rasa syukur, pengharapan dan doa dilayangkan kepadaNya supaya hidup semakin baik, menanjak naik dan tinggi seperti halnya bentuk kemuncak tumpeng itu sendiri.

Jadi tumpeng mengandung makna religius yang dalam sehingga kehadirannya menjadi sakral dalam upacara-upacara syukuran atau selamatan.

SIFAT KEGOTONG ROYONGAN
Dalam tradisi awalnya, upacara dalam adat Jawa merupakan upacara yang melibatkan seluruh desa atau kampung. Begitu mengetahui tetangganya mengadakan upacara syukuran atau selamatan, sanak saudara, kenalan dan orang yang tinggal sekitar tempat acara syukuran diadakan akan datang menawarkan bantuan tanpa diminta. Mereka terlibat langsung mulai dari persiapan sampai dengan berakhirnya acara tersebut. Dengan demikian, seluruh komponen upacara tersebut adalah atas hasil usaha bersama.

Hal ini merupakan hal yang lazim terjadi dalam hubungan kemasyarakatan orang Jawa yang menjunjung tinggi asas gotong royong. Ada ungkapan Jawa yang berbunyi urip tulung tinulung yang berarti bahwa dalam hidup, orang harus saling tolong menolong. Ajaran ini berangkat dari pandangan bahwa seseorang tidak mungkin hidup seorang diri. Sudah merupakan kodrat seorang manusia yang membutuhkan orang lain. Oleh karena itu kita harus hidup saling tolong menolong.

Hal ini berhubungan dengan ungkapan lain, yaitu nandur kebecikan, males budi (menanam kebaikan membalas budi). Konsep nandur kebecikan merupakan peringatan agar seseorang tidak bersikap individualis atau sombong. Pengertian ungkapan ini juga mengandung ajaran filosofis bahwa orang yang menanam pasti akan memetik hasilnya. Bila menanam kebaikan, pasti akan memetik kebaikan pula (baik di dunia ataupun di akhirat).

Keyakinan ini membuahkan sikap murah hati untuk berbuat baik terhadap orang lain. Bila kita menerima kebaikan dari orang lain, hendaknyalah kita males budi atau membalas budi sehingga jangan sampai kita hidup dengan berhutang jasa atau kebaikan terhadap orang lain. Nilai nandur kebecikan, males budi yang tertanam dalam masyarakat akan menciptakan hubungan sosial kemasyaratkan yang sangat harmonis yang salah satunya diwujudkan dalam sikap gotong royong dalam mempersiapkan dan menjalankan sebuah upacara syukuran atau selamatan.

MEDIA KOMUNIKASI SPIRITUAL
Bagi orang Jawa, pembuatan tumpeng adalah kebiasaan atau tindakan berdasarkan tradisi. Meskipun demikian tujuan orang membuat tumpeng bisa berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Karena tujuannya berbeda, maka secara visual bentuk tumpeng tersebut juga bervariasi.

Tujuan orang membuat nasi tumpeng antara lain: sebagai sajen (sesaji), sadaqah (sedekah) dan punjung (bulubekti). Sajen(sesaji) merupakan pemberian manusia kepada yang maha kuasa. Sadaqah (sedekah) merupakan pemberian (gift) dari orang yang kaya kepada orang miskin atau orang dari strata atas ke strata bawah, dari atasan kepada bawahan. Pemberian tersebut bisa diartikan sebagai tanda kasih sayang atasan kepada bawahannya. Punjung (bulubekti) merupakan pemberian orang dari strata rendah ke strata yang lebih tinggi misalnya pemberian anak kepada orang tuanya sebagai tanda kesetiaan dan pengabdian. Makna pemberian tersebut tentu saja lebih bersifat spiritual dari pada material.  

Tumpeng, kecuali mempunyai makna spiritual juga mempunyai makna material yakni berdasarkan pertimbangan untung rugi, seperti kegiatan saling memberi, misalnya kegiatan tukar menukar cindera mata, atau benda lainnya yang mengandung aspek ekonomi atau kegiatan yang dapat memberi keuntungan material.

Secara fisik, tumpeng adalah sebuah artifak karya ciptaan manusia. Sebuah artifak biasanya mempunyai fungsi tertentu sesuai dengan tujuan pembuatnya. Artifak karya cipta manusia ini mengandung pesan sesuai dengan bentuk dan konteksnya. Sebagai media komunikasi spiritual, tumpeng mengandung berbagai pesan atau informasi baik mengenai subjek penyampai pesan maupun subjek sasaran.

Dari tumpeng yang mereka buat dapat diketahui siapa mereka dan siapa pula sasarannya. Tumpeng yang dibuat oleh orang dari strata bawah akan berbeda dengan tumpeng yang dibuat oleh orang dari strata atas. Tumpeng sebagai sajen, berbeda dengan tumpeng sebagai sadaqah maupun punjung.

Secara konvensional, bentuk tumpeng tampak seragam  - yakni secara umum berbentuk segi tiga menjulang ke atas - dengan sedikit variasi sesuai dengan selera dan tujuan pembuatnya. Keseragaman bentuk tersebut kecuali terikat oleh norma tradisi juga mengandung aspek komunikasi yang sama - yakni sebagai media komunikasi spiritual.

Sebuah komunikasi akan berhasil jika menggunakan prinsip pengulangan (redundansi) - yakni dalam segi bentuk dan aspek penggunaan komunikasinya. Redundansi atau pengulangan adalah hal yang dapat diramalkan (predictable) atau konvensional dalam suatu pesan. Penggunaan bentuk yang konvensional itu memudahkan dalam komunikasi.

Dengan demikian sebagai media komunikasi, bentuk tumpeng yang konvensional (segi tiga) sebenarnya merupakan media komunikasi spiritual antara masyarakat (sebagai penyampai pesan) kepada subjek sasaran (yakni Gusti Allah berserta para dewa-dewi serta para hyang, atau arwah leluhur nenek moyang),  meskipun komunikasi yang demikian sesungguhnya tidak mempunyai nilai berita.

Meskipun nilai beritanya rendah, tumpeng sebagai sarana media komunikasi spiritual sangat efektif dan penting sebagai budaya kebathinan tradisional masyarakat Jawa dalam menyebarkan informasi dan mengatur langkah kehidupan dalam segala tujuan akhir pemikiran, perasaan, dan tingkah laku manusia.

CARA MENYANTAP TUMPENG
Mengapa tumpeng harus dikeruk bukan dipotong melintang dan daun pisangnya tidak dilepas sama sekali ?

Dalam kebiasaan masyarakat Jawa kuno (yang jarang diketahui banyak orang saat ini), nasi tumpeng di keruk sisi sampingnya dimulai di bagian yang paling bawah sampai naik ke atas.

Kalau puncak pucuk kerucut dipotong dan daun pisang dilepas, artinya simbol rumah suci terlepas dari ikatan bathin yang mau dijalin dengan Khalik tidak tersambung dengan baik. Artinya terputus sama sekali sarana kebathinan dan media komunikasi spiritual kepada Gusti Allah beserta para dewa-dewi serta para hyang, atau arwah leluhur nenek moyang.

Upacara keruk tumpeng ini melambangkan rasa syukur kepada Tuhan dan sekaligus ungkapan atau ajaran hidup mengenai kebersamaan dan kerukunan.

Filosofinya sederhananya saja: bentuk kerucut melambangkan gunungan (méru) sebagai sifat awal dan akhir, simbolisasi dari sifat alam dan manusia yang berawal dari Tuhan dan akan kembali lagi (berakhir) pada Tuhan.

Pada jaman dahulu, sesepuh yang memimpin doa selamatan biasanya akan menguraikan terlebih dahulu makna yang terkandung dalam sajian tumpeng. Dengan demikian para hadirin yang datang tahu akan makna tumpeng dan memperoleh wedaran yang berupa ajaran hidup serta nasehat. Sebagaimana adat selamatan masyarakat Jawa kuno.

Sebelum di keruk oleh orang pertama, yang bersangkutan dalam hati berdoa dan minta "sesuatu untuk dikabulkan". Kemudian setelah selesai permintaan itu, mulai mengeruk tumpeng dari sisi sampingnya.

Kerukan pertama biasanya diberikan kepada orang yang dianggap "penting atau dituakan" sebagai penghormatan. Dia mungkin menjadi pemimpin kelompok, orang tertua, atau orang yang dicintai.

Hal ini tercermin dalam ungkapan Jawa mikul dhuwur mendhem jero yang mengandung nasihat kepada anak untuk memperlakukan orang tuanya secara baik. Anak di sini bisa diartikan sebagai anak keturunan, generasi muda atau bawahan, sedangkan orang tua bisa diartikan orang tua dalam hubungan darah, orang yang usianya lebih tua, para pendahulu yang pernah berjasa, para pemimpin atau atasan.

Mikul dhuwur (memikul tinggi) memiliki arti menghormati setinggi-tingginya dan mendhem jero (menanam dalam-dalam) artinya menghargai sebaik-baiknya atau penghargaan yang mendalam terhadap seseorang

Usai itu, tumpeng boleh disantap bersama-sama sebagai perlambang membagi rezeki dengan tetap cara mengeruk dari samping tanpa menyentuh bagian segitiga puncak atau daun pisangnya.

Menurut adat kepercayaan, pada saat kerukan semakin banyak dilakukan, di saat tertentu akan jatuh segitiga puncak kerucut yang ada daun pisang itu. Ini pertanda jawaban, bahwa doa selamatan dan permintaan dikabulkan atau diberkahi oleh YME.

Ambil wadah anyaman yang dilapis daun pisang dan letakan segitiga puncak kerucut yang ada daun pisang yang masih ada nasi tumpeng tersebut. Kemudian wadah anyaman itu diletakan di tempat yang dianggap keramat sebagai sesajian kepada Gusti Allah beserta para dewa-dewi serta para hyang, atau arwah leluhur nenek moyang.

Referensi :
- Meilawati, Avi. 2009. Analisis Nama Tumpeng Sesaji dalam Upacara Ruwatan Murwakala (Analisis Semantis-Semiotis). Tesis. Yogyakarta: UGM.
- Amangkunegara III. 1986. Serat Centhini (Suluk Tambangraras) jilid II. Terjemahan Kamajaya. Yogyakarta: Yayasan Centhini.
-  Soeparto, Siti Rochani. 2008. “Aneka Tumpeng Tradisional”. Dalam seminar pengenalan budaya Jawa melalui tumpeng tradisional disertai maknanya di Universitas Gadjah Mada.
- Koentjaraningrat. 1999. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
- Danandjaja, J. 1988. Antropologi Psikologi: Teori, Metode dan Sejarah Perkembangannya. Jakarta: Rajawali Pers
- Suratno, Pardi dan Heniy Astiyanto. Gusti Ora Sare. 90 Mutiara Nilai Kearifan Budaya Jawa. Yogyakarta: Adiwacana, 2009.