".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Saturday, 27 February 2016

Globalisasi Masakan Lokal


Globalisasi Masakan Lokal (Local Globalized Cuisine) adalah praktek memasak yang dimodifikasi dengan selera tradisi budaya negara tertentu. Secara sederhana dikatakan sebagai seni mengolah makanan global memakai bahan baku tempatan yang disesuaikan dengan cita rasa ala lokal.

Contohnya masakan Jepang dimodifikasi di Amerika Serikat agar sesuai dengan kesukaan penduduk setempat. Contoh lain, California roll adalah hidangan populer di Amerika Serikat yang merupakan variasi dari makizushi Jepang, jenis sushi. Di Indonesia, fast food dihidangkan dengan nasi dan saus sambal atau topping rendang daging sapi, dan lain sebagainya.

Globalisasi masakan lokal adalah salah satu tren terkini dalam inovasi memodifikasi seni kuliner dunia. Sayangnya di sebagian teknis dan proses pembuatannya tidak lagi otentik alias standard, kualitas dan komposisi ingredients-nya tidak sesuai, malah keliru sehingga merusak originalitas dan kadangkala sampai di luar pakem tradisi yang seharusnya.

Beberapa waktu lalu, saya melihat acara video teknis dan proses memasak gado-gado oleh seorang master chef ternama di salah satu negara di Eropa. Cara mengolah, menyiapkan, menyusun, meracik, dan penyajian masakannya cukup menarik namun penampakannya tidak memesona karena padanan ingredients dan seasoning yang dipakai diluar parameter yang kita ketahui. Antara lain menggunakan minyak zaitun dan kecap asin Jepang. Tambahan pula sayurnya bukan direbus tapi bulat-bulat sayur mentah yang disajikan.

Kesudahannya apa yang dipresentasikan oleh chef ternama itu bukan gado-gado tapi kreasi salad seperti lazimnya makanan masyarakat Barat. Hanya saja saus yang digunakan adalah bumbu kacang. Sesungguhnya orisinal gado-gado sejatinya bukan berasal dari Indonesia. Gado-gado adalah proses budaya mimikri masakan Belanda yang bernama huzarensla. Mungkin itu yang menjadi alasan sayur mentah yang ditampilkan.

Tidak salah memang melakukan inovasi modifikasi terhadap masakan global menjadi lokal, namun hendaknya esensi menyusun, meracik dan penyajiannya jangan keluar dari aturan yang berlaku walaupun ingredients dan seasoning bisa disesuaikan. Contohnya hasil telusuran modifikasi gado-gado di salah satu situs traveler ternama memperlihatkan presentasi makanan kegemaran masyarakat Indonesia itu tidak stylist sama sekali sehingga terlihat seperti sesuatu yang kerap kita lihat di jamban.

Tabek

Monday, 22 February 2016

Lontong Cap Go Meh


Setiap tanggal 15 bulan 1 imlek kita selalu merayakan / makan lontong Cap Go Meh. Lontong Cap Go Meh asal muasal nya bukan dari Tiongkok tapi dari sejarah Sam Po Kong di Semarang yang menjadi lambang pembauran Cina (Tionghoa) dan Jawa.

Lontong Cap Go Meh adalah masakan adaptasi peranakan Tionghoa Indonesia terhadap masakan Indonesia, tepatnya masakan Jawa yang dipercaya melambangkan asimilasi atau semangat pembauran antara kaum pendatang Tionghoa dengan penduduk pribumi di Jawa.

Selain tradisi menyajikan lontong ini merupakan fenomena khusus Peranakan - Jawa, lontong Cap Go Meh juga dianggap sebagai salah satu masakan Betawi karena pengaruh Suku Betawi yang sangat kuat pada kebudayaan peranakan Tionghoa.

Lontong Cap Go Meh juga dipercaya mengandung perlambang keberuntungan. Lontong yang padat dianggap berlawan dengan bubur yang encer dimana ada anggapan tradisional Tionghoa yang mengkaitkan bahwa bubur adalah makanan orang miskin atau orang sakit. Bentuk Lontong yang panjang juga melambangkan panjang umur. Disajikan dengan telur yang melambangkan keberuntungan, sementara kuah santan yang dibubuhi kunyit berwarna kuning keemasan melambangkan emas dan keberuntungan.

Hidangan ini terdiri dari lontong yang disajikan dengan opor ayam, sayur lodeh, sambal goreng hati, acar, telur pindang, abon sapi, bubuk koya, sambal, dan kerupuk.

Lontong Cap Go Meh biasanya disantap keluarga Tionghoa Indonesia pada saat perayaan Cap Go Meh yaitu 14 hari setelah Imlek atau tepatnya hari kelima belas bulan 1 penanggalan imlek.
Akan tetapi, kini hidangan ini juga kerap disajikan kapan saja, tidak hanya ketika Cap Go Meh.

Selama ini, pernahkah kita tahu bagaimana asal usul cerita lontong Cap Go Meh ?
Berikut ini asal usul ceritanya ya..

Konon pada waktu Sam Po Kong mendarat di Semarang, beliau mengadakan lomba masakan makanan berkuah.
Lomba diadakan pada tanggal 15 bulan 1 imlek.
Semua orang yang mendengar, ingin mengikuti lomba dengan sukacita dan sudah menyiapkan bahan-bahan masakan dari jauh-jauh hari.
 
Pada saat sehari sebelum perlombaan dimulai, ada seorang Datuk yang baru mendengar ada lomba memasak masakan makanan berkuah yang diadakan oleh Sam Po Kong.
Datuk ini juga ingin mengikuti lomba tersebut.
Karena keterbasan waktu yang hanya sehari, akhirnya beliau memasak dengan memasukkan semua bahan yang ada ke dalam kuah yang dimasaknya.
 
Besoknya dimulailah lomba masakan makanan berkuah, semua masakan yang dilombakan ditata rapi di atas meja panjang.
Masakan berkuah pun beraneka ragam dari bahan yang murah sampai mahal.
Sam Po Kong dengan pelan-pelan mencicipi satu per satu masakan makanan berkuah
Pada saat pengumuman pemenang, Sang Datuk bertanya bagaimana masakan beliau dan masuk peringkat ke berapa ? Karena masakan Sang Datuk yang isinya campuran bahan-bahan masakan seperti lontong, telur, daging, ayam, rebung, dll Sam Po Kong menyebutnya Luan Tang (baca : Luan Dang, arti : kuah yang isinya berbagai macam bahan masakan).
Kemudian Sam Po Kong memberitahu salah satu prajuritnya untuk mengumumkan peringkat keberapa masakan Sang Datuk.
"Luan Tang Shiwu Ming" (baca : Luan Dang Se U Ming arti : masakan berkuah yang isinya berbagai macam bahan masakan ini adalah peringkat ke-15).
 
Kebetulan prajurit yang mengumumkan ini adalah orang Hokian, dengan lantang dia mengumumkan hasil peringkat masakan Sang Datuk dengan menggunakan bahasa Hokian "Luan Dang Cap Go Mia".

Datuk dan orang-orang yang mendengar pun berpikir Sam Po Kong memberi nama masakan kuah tersebut dengan nama "Lontong Cap Go Meh".

Sejak saat itulah, masakan Sang Datuk pun terkenal dengan nama Lontong Cap Go Meh, bahkan sampai sekarang.

Sunday, 21 February 2016

Kebiasaan Keliru Dalam Memperlakukan Tumpeng


Anda pasti pernah mendengar tumpeng yang merupakan makanan khas yang senantiasa hadir dalam kesempatan-kesempatan istimewa (selamatan). Makanan ini lebih banyak dikenal dan disajikan masyarakat di kepulauan Jawa. Bagi masyarakat di luar kepulauan Jawa atau non-Jawa, pada umumnya mereka pernah mendengar tetapi tidak mengetahui cara penggunaannya karena bukan budaya lokal setempat..

Bagi orang Jawa, tumpeng sarat dengan simbolisasi spiritual yang memiliki kekuatan supranatural mengenai ajaran makna hidup berdasarkan pranata yang berlaku. Tumpeng adalah hidangan paripurna (penuh & lengkap) yang merupakan warisan tradisi nenek moyang yang sangat tinggi nilai historisnya dan mempunyai takrif yang sakral sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan YME.

Masyarakat Jawa percaya bahwa tumpeng merupakan peribadatan untuk mensyukuri nikmat Tuhan YME dan para Dewa - Dewi atau atau arwah leluhur nenek moyang, dengan cara memohon perlindungan dan keselamatan dalam memperingati peristiwa-peristiwa penting serta untuk menyampaikan keinginan tertentu agar terkabul. Tempat dimana Gusti Allah dan para Hyang (Dewa - Dewi) atau atau arwah leluhur nenek moyang bersemayam diwujudkan dalam rumah daun pisang yang menutupi puncak segi tiga tumpeng.

Masyarakat Jawa berkeyakinan pada suatu kekuatan yang melebihi segala kekuatan yang dikenal dengan kasekten, arwah atau ruh leluhur, makhluk-makhluk halus seperti memedi, lelembut, thuyul, dhemit serta jin lain yang menempati alam sekitar tempat tinggal mereka. Menurut kepercayaan, masing-masing makhluk halus tersebut dapat mendatangkan kesuksesan, kebahagiaan, ketentraman, keselamatan, tetapi sebaliknya, dapat pula menimbulkan gangguan pikiran, gangguan kesehatan, bahkan kematian.

Apabila seseorang ingin hidup tanpa menderita gangguan itu, ia harus berbuat sesuatu untuk mempengaruhi alam semesta dengan berprihatin, berpuasa, berpantang melakukan perbuatan serta makan makanan tertentu, berselamatan, dan bersesaji. Salah satu jenis selamatan yang masih dilaksanakan sampai saat ini adalah melalui media pengantar komunikasi antara sang pemohon dengan unsur yang dituju, yakni melalui tumpeng.

Dengan demikian tumpeng merupakan sarana ekspresi sosial dan ritual budaya masyarakat Jawa yang mengandung banyak makna.  Oleh karena itu lazim tumpeng di-aksioma-kan sebagai sarana "media komunikasi spiritual masyarakat Jawa kepada Gusti Allah dan para Hyang atau atau arwah leluhur nenek moyang yang menguasai Alam Semesta"

Namun banyak orang awam sampai hari ini, terutama yang ada di kepulauan Jawa, tidak memahami makna ritus sebenarnya dari tumpeng. Umumnya mereka hanya melihat dari segi bentuk yang disajikan untuk kebiasaan seremoni selamatan tanpa mengetahui asal muasal tradisi sejarahnya.

Sebagai orang non Jawa, izinkan saya mencoba untuk memberi pelurusan terhadap amanah para leluhur terhadap sajian tumpeng. Saya sampaikan hal ini sebagai seorang gastronom yang menekuni dunia gastronomi makanan kepulauan Nusantara Indonesia yang selalu melihat sisi originalitas sejarah, budaya, lanskap lingkungan dan metoda memasaknya.

Ada dua hal yang selama puluhan tahun ini berkembang sedemikian rupa dalam masyarakat kita yang kurang layak dalam memperlakukan tumpeng, yakni :

1. Potong Tumpeng
Seperti sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat kita saat ini - setelah menyampaikan niat hajatan dan berdoa - orang selalunya memotong melintang tumpeng dan melepas rumah daun pisang yang menutupi puncak segi tiga kerucut.

Perlu diingat bahwa tumpeng "TIDAK DIPOTONG" melintang dan rumah daun pisang "TIDAK DILEPAS" dari puncak kerucut-nya.

Dalam kebiasaan masyarakat Jawa kuno, nasi tumpeng di "KERUK" sisi sampingnya, dimulai di bagian yang paling bawah sampai naik ke atas. Kalau tumpeng kerucut dipotong & rumah daun pisang dilepas, artinya simbol suci yang mau dijalin sirna dari ikatan bathin dan komunikasi spiritual terlepas dari Gusti Allah dan para Hyang (Dewa - Dewi), atau arwah leluhur nenek moyang.

Pada saat disantap bersamapun, tumpeng tetap dikeruk dari samping tanpa menyentuh bagian segitiga puncak dan melepas daun pisangnya. Menurut adat kepercayaan, pada saat kerukan semakin banyak dilakukan, di saat tertentu  rumah daun pisang akan jatuh. Ini pertanda jawaban dari Penguasa Alam Semesta, bahwa niat hajatan dan doa selamatan dikabulkan dan diberkahi. Kemudian ambil wadah anyaman yang dilapis daun pisang dan letakan segitiga puncak kerucut tumpeng yang ada daun pisangnya. Letakkan wadah anyaman itu di suatu posisi (tempat) bangunan yang dianggap layak sebagai lambang presentasi kepada Penguasa Alam Semesta. 

2. Penghormatan Budaya
Melihat perkembangan kuliner sedemikian rupa pesatnya sejak tahun 1998, disadari bicara kuliner adalah rasio soal gaya kehidupan masyarakat kosmopolitan yang banyak ditekankan kepada wisata kuliner. Masyarakat dan organisasi kuliner dan non kuliner begitu banyaknya namun "kosong" dalam memahami pesan-pesan dari masakan makanan bangsa ini.

Akhir-akhir ini, banyak masyarakat dan organisasi kuliner dan non kuliner berkreasi terhadap resepi-resepi masakan makanan bangsa Indonesia dengan segala gaya dan stylist-nya sehingga ada dari masakan makanan yang ritual disamakan perlakuannya seperti masakan makanan non ritual. Kepentingannya untuk daya tarik, komersialisasi dan panggung ketenaran.

Contoh sederhana dalam sajian makanan tumpeng. Foto-foto bertebaran di segala dunia maya dan malah ada yang dipamerkan sebagai produk kegiatan pelatihan memasak suatu organisasi non kuliner yang cukup terkenal yang didampingi seorang chef senior.  Mereka memperlihatkan tumpeng disajikan cara pembuatan tidak mengikuti pakem yang sudah ada. Warnanya dibuat "pink" yang di sisi atas kerucut rumah daun pisang ditambahkan hiasan mata dan bibir dan hiasan-hiasan lainnya yang kurang layak dilihat.

Dalam kesempatan ini saya perlu mengingatkan tumpeng merupakan budaya ritual sakral masyarakat Jawa yang mempunyai nilai intangible baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat Jawa serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas mereka.


Sudah saatnya kita kembali kepada habitat untuk menghormati nilai-nilai budaya makanan ritual masyarakat dari bangsa Indonesia. Kapan lagi kalau bukan kita sendiri yang melakukannya.

Tabek

Friday, 19 February 2016

Profil Indonesian Gastronomy Association


Gastronomi bagi Indonesia merupakan topik yang menarik karena negara ini sangat kaya akan makanan yang tersebar di kepulauan Nusantara dari Sabang sampai Merauke.

Gastronomi adalah seni keahlian yang mengkaji hidangan makanan dari sisi budaya, sejarah dan lanskap lingkungan; yang setelah dicicipi diberi penilaian terhadap metoda memasaknya.

Sekian ratus tahun, gastronomi telah berjalan menjadi bagian dari kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang diimplementasikan ke dalam tata-krama hidangan berbagai budaya bangsa, budaya kepulauan Nusantara sampai kepada budaya suatu Negara.

“Masyarakat Indonesia” - siapapun itu, warga negara apapun itu - yang menikmati dan mencintai makanan, tidak menyadari bahwa hidangan yang disajikan dihadapan mereka ada makna gastronominya.

Keaneka ragaman makanan di bhumi pertiwi Indonesia masih seperti harta karun terpendam. Masih banyak yang langka dan relatif belum dikenal atau jarang dipresentasikan secara Nasional maupun Internasional.

Secara essensial, gastronomi adalah “Diplomasi Budaya” yang memperjuangkan kepentingan nasional suatu bangsa di kalangan masyarakatnya sendiri maupun disebar luaskan secara Internasional.

Secara strategik, gastronomi merupakan sarana “Internalisasi Nilai Budaya”, yaitu proses yang ditanam, dibudidayakan dan ditumbuh-kembangkan sebagai nilai, karakter dan budaya kebangsaan di Indonesia.

Tanpa disadari, gastronomi merupakan khitah garis haluan dari salah satu unsur ke-Indonesia-an dalam memperkuat budaya kebangsaan.

Bagi gastronomi “.. makanan punya kisah ..” (.. cibus habet fabula ..), baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa.

INDONESIAN GASTRONOMY ASSOCIATION
Indonesian Gastronomy Association (IGA) adalah sebuah Perkumpulan yang memperjuangkan kepentingan gastronomi kepulauan Nusantara Indonesia.

IGA adalah terminal pembinaan, aspirasi dan pengembangan pemangku gastronom serta sarana komunikasi antar organisasi profesi dan non-profesi, yang memiliki perhatian khusus terhadap sejarah, budaya dan lanskap lingkungan makanan tradisional, modifikasi dan modern.

IGA didirikan untuk membangun sebuah gambaran keseluruhan terhadap pendekatan, pemahaman dan perilaku gastronomi masyarakat kepulauan Nusantara Indonesia, yang merupakan manifestasi baik yang berbentuk tangible (tata cara dalam kuliner dan masakan sebagai artifact / budaya material) maupun bersifat intangible (konsep di belakangnya).

Singkat kata, konsekuensi berdirinya IGA disadari oleh para pendirinya sebagai sebuah tantangan dan cobaan dalam perjalanannya, apalagi mengingat warisan para leluhur ini dinilai merupakan salah satu unsur pembentuk kemandirian dari kedaulatan pangan rakyat Indonesia.

MOTO
Harmonisasi gastronomi kepulauan Nusantara Indonesia

VISI
Berperan selaku pranata dalam melestarikan gastronomi kepulauan Nusantara sebagai warisan budaya bangsa Indonesia.

MISI
1.     Mengangkat, melestarikan, mengembangkan dan merestorasi gastronomi warisan tradisi suku dan sub-suku pribumi kepulauan Nusantara.
2.     Mengadopsi, melestarikan, mengembangkan dan merestorasi gastronomi warisan tradisi percampuran para etnik pendatang yang sejak dahulu kala sudah bermukim di bhumi pertiwi kepulauan Nusantara.
3.     Mengelaborasi gastronomi dari bangsa-bangsa luar lainnya yang saat ini berkembang di kepulauan Nusantara Indonesia termasuk lokalisasi masakan global.
4.     Memfasilitasi krida karya asesora terhadap gastronomi khazanah hidangan makanan yang ada di kepulauan Nusantara Indonesia.

ASAS
Rahasia sukses masa depan ada di catatan masa lalu. Jika dapat menggali dan menemukan resepi tradisional para leluhur, maka gastronomi kepulauan Nusantara Indonesia akan bisa jaya sekaligus bisa mengiringi modernisasi global, karena sebenarnya lestarinya keberadaan makanan masa kini berasal dari kekayaan resep asli dan tradisi warisan masa lalu.

MAKSUD & TUJUAN
1.     Mengangkat dan melestarikan warisan resepi tradisional gastronomi suku dan sub-suku pribumi serta etnik pendatang.
2.     Merekonstruksi warisan resepi tradisional gastronomi suku dan sub-suku pribumi serta etnik pendatang.
3.     Mengembangkan dan menyebarluaskan resepi gastronomi modern dari bangsa-bangsa luar lainnya yang ada di Indonesia.

TUGAS POKOK
Mendorong kerja-sama dengan otoritas pemangku kebijakan, pemangku kepentingan dan masyarakat di daerah untuk saling bersinergi satu sama lain melakukan sebagai berikut :
1.     Mempersembahkan dan memperkenalkan beragam kekayaan khazanah gastronomi tradisional yang terinspirasi oleh budaya dan warisan nenek moyang Indonesia.
2.     Menggali dan mengangkat gastronomi tradisional khususnya yang langka dan atau belum dikenal, baik di tingkat Nasional maupun Internasional.
3.     Mengembangkan dan menampilkan gastronomi dari percampuran etnik pendatang yang sejak dahulu kala sudah bermukim di bumi nusantara sebelum Republik Indonesia didirikan.
4.     Merekonstruksi gastronomi tradisional suku dan sub-suku pribumi serta dari percampuran etnik pendatang yang telah mengalami transformasi dan atau hilang.
5.     Melakukan pengkajian, penelitian ilmiah dan mendata secara resmi - yang dapat ditelusuri melalui penelitian dari catatan naskah-naskah kuna para leluhur maupun dongeng-dongeng rakyat setempat - mengenai hal sebagai berikut :

a.     Latar belakang sejarah dan asal usul budi-daya gastronomi tradisional masyarakat lokal daerah setempat.
b.     Faktor - faktor budaya dan adat istiadat yang mempengaruhi kebiasaan masyarakat lokal mengkonsumsi / menghidangkan gastronomi warisan tradisional tersebut.
c.     Makna falsafah, filosofi, kearifan lokal, etika, ajaran hidup, dan nilai ritual yang terkandung di dalam gastronomi tradisional dari warisan nenek moyang masyarakat lokal daerah setempat.
d.     Kearifan lokal, karakter, jati-diri, dan ciri identitas budaya dari lauk pauk gastronomi tradisional yang ditampilkan masyarakat lokal daerah setempat.

LES DAMES DE GASTRONOME
Les Dames de Gastronome adalah badan ad hoc IGA yang membina keterwakilan masyarakat filantropis kaum wanita yang berbakat dalam gastronomi, keahlian memasak dan penilaian.

Les Dames de Gastronome terdiri dari para penikmat, pecinta dan pemerhati gastronomi Indonesia pada bidangnya, juga para gastronom (ahli dalam menilai makanan dan minuman) dalam arti yang seluas-luasnya.

Konstituennya terdiri dari wanita, baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing,  baik yang berada di dalam maupun di luar wilayah Republik Indonesia.

Para partisan wanita ini mempunyai minat dan atau kegiatan di bidang seni dan budaya serta warisan gastronomi dari berbagai wilayah batas negara Indonesia.

LES JEUNESSE DE GASTRONOME
Les Jeunesse de Gastronome adalah badan ad hoc IGA yang membina keterwakilan masyarakat filantropis kaum generasi muda yang berbakat dalam gastronomi, keahlian memasak dan penilaian.

Les Jeunesse de Gastronome terdiri dari para penikmat, pecinta dan pemerhati gastronomi Indonesia pada bidangnya, juga para gastronom (ahli dalam menilai makanan dan minuman) dalam arti yang seluas-luasnya.

Konstituennya terdiri dari generasi muda, baik warga negara Indonesia ataupun warga negara asing,  baik yang berada di dalam maupun di luar wilayah Republik Indonesia.

Para partisan generasi muda ini mempunyai minat dan atau kegiatan di bidang seni dan budaya serta warisan gastronomi dari berbagai wilayah batas negara Indonesia.

Alamat Registrasi
Jalan Gandaria III # 5 A
Jakarta 12130, Indonesia
Telp : (62 21) 720 1154
Fax : (62 21) 724 5837

SUSUNAN PENGURUS

PENDIRI
1.     Cynthia Nursanti
2.     Hindah Muaris
3.     Indra Ketaren
4.     Itet Sumarijanto, MBA
5.     Nirmala C. Motik Yusuf, Dr

DEWAN PEMBINA
Ketua : Nirmala C. Motik Yusuf, Dr
Anggota :
1.     Aditya Indradjaja, Dr-Ing
2.     Adhi Lukman Siswaja
3.     Asrul Sutan Basari
4.     Erros Djarot
5.     Hamid Bagdadi
6.     Halida Hatta
7.     Hariyadi Sukamdani, MM
8.     Itet Sumarijanto, MBA
9.     Kurtubi, Dr
10.  Maya Suharnoko
11.  Ratih Ibrahim, MM
12.  Sigit Pramono, MBA
13.  Sarwo Handayani, MA
14.  Sylviana Murni, Prof, Dr

DEWAN PENGAWAS
Ketua : Thomas Darmawan T.

DEWAN PENGURUS
Presiden : Indra Ketaren
Wakil Presiden :
1.     Etty Febe
2.     Putri Anggraini Hadinoto
3.     Sri R. Kusumastuti, MSsc, Dr
Sekretaris Jenderal : Ronald D. Palandie
Bendahara Umum : Lenny Agustin

DEWAN PAKAR
Ketua : Hindah Muaris
Anggota :
1.     Agus Arismunandar, Prof Dr
2.     Diena M. Lemy, Dr
3.     Edvi Gracia H.
4.     Henny Saptatia DN, Dr
5.     Ratna Somantri
6.     Setiadarma
7.     Sisca Soewitomo
8.     Tommy Christomy, Dr
9.     Vitria Ariani, Dr
10.  Yuni Tri Hewindati, Dr

Les Dames d’Gastronome
Ketua : Sri R. Kusumastuti, MSsc, Dr

Les Jeunesse d’Gastronome
Ketua : Putri Anggraini Hadinoto

Friday, 12 February 2016

Fenomena Makanan Indonesia


Salam Gastronomi

Seperti diketahui ajakan untuk meneliti asal-muasal makanan sebenarnya selalu menjadi keinginan kita bersama. Namun minat secara khusus melakukannya belum tampak serius, apalagi pakar-pakar yang bicara selama ini kebanyakan adalah para ahli masak atau penulis makanan yang kebanyaan membahas sisi resep, teknis proses memasak dan lokasi dimana keberadaan makanan itu. Padahal pakar antropologi punya keahlian khusus yang bisa menceritakan kepada kita sisi arkeologi dari asal-muasal makanan bangsa ini. 

Umpamanya mencari alur sejarah dan budaya "mengapa babi menjadi daging pilihan masyarakat Bali? - Mengingat masyarakat Bali penganut kepercayaan Hindu dan seharusnya vegetarian bukan? Pasti ada sejarah dan tradisinya. Sampai sekarang kita belum paham dan perlu ditelusuri riwayat alias foodways-nya.

Mengingat penelitian tentang itu belum banyak, maka pertanyaannya apakah meneliti tentang sejarah antropologi makanan daerah Indonesia itu agak susah ?

Selain masalah penelitian antropologi makanan, ada masalah mengenai isyu image standard masakan Indonesia. 

Saya mengamati di pelosok dunia yang ada restoran India, China atau Thailand, tampak menu-menu mereka sudah "stabil". Kemanapun kita singgah di salah satu restauran itu, pasti rasa dan citarasanya sama dan beda-beda tipis, sehingga si penikmat yang bukan orang Thai, China atau India sudah bisa memperkirakan kalau masuk ke salah satu restoran itu akan mendapatkan taste yang sudah dia bisa bayangkan. Ini memang masalah pemasaran dan brand image yang sudah terbentuk mendunia terhadap masakan India, China atau Thailand. 

Kenapa masakan Indonesia kalah stabil dengan masakan India, China atau Thailand. Apa belum menemukan brand image yang unik dan standard ? 

Kita bisa lihat beberapa restoran Indonesia di benua Barat & Timur, tapi umumnya rasa dan citarasanya bervariasi karena tidak punya kesamaan standard satu sama lain, baik dalam penggunaan feedstock, ingredients & condiments. Sehingga  restoran-restoran Indonesia ini lebih untuk kangen-kangenan buat orang Indonesia di rantau dan bukan untuk di "jual" ke masyarakat lokal non-Indonesia setempat.

Koleksi masakan Indonesia sangat beraneka jenis dan beragam asalnya, tetapi memperlihatkan seperti masih relatif muda dan belum "stabil", cenderung berubah terus. Apalagi saat ini masakan Indonesia telah terpengaruh "local globalize cuisine" akibat daya beli, selera, interaksi dengan budaya luar. Lihat saja menu-menu restoran di Jakarta saat ini - baik yang di tenda maupun di restoran - hampir semua menampilkan menu "fusion" yang sangat kreatif tapi condong mengaburkan ciri masakan tradisionalnya. Tidak ada yang salah, karena masyarakatnya menuntut begitu. Akibatnya loyalitas bisnis makanan kerap "berubah arah" akibat life-cycle-nya pendek dan konsumennya mudah sekali lompat kesana kesini seperti bajing luncat dari satu restoran ke restoran lain. Namun hal ini tidak berlaku terhadap menu-menu yang sudah stabil seperti masakan padang, gudeg, soto, pecel dan sebagainya.

Kalau difikir-fikir menu Indonesia mungkin baru nasi goreng dan sate yang bisa dikatakan sudah mendunia. Itupun kadang-kadang terselip sebagai "brand" makanan Chinese , karena asal muasalnya memang berasal dari China.

Sudah saatnya kita membangun semangat untuk menggali kekayaan budaya bangsa dalam urusan makanan ini. Khususnya dalam mencari jawaban mengapa makanan indonesia tidak sepopuler makanan Thailand, Malaysia, China atau lainnya, padahal bangsa Indonesia punya makanan dan masakan yang tidak asal bikin dan kaya akan riwayat masa lalu.

Apresiasi kita bagi para pemangku kebijakan yang seyogyanya mulai merumuskan brand image yang unik dan standard bagi masakan Indonesia agar bisa diterima oleh masyarakat non-Indonesia di seluruh dunia.

Tabek




Sunday, 7 February 2016

Perayaan Imlek

Kata “Imlek” berasal dari dialek bahasa Hokkian yang berarti "penanggalan bulan" atau “yinli” dalam bahasa Mandarin. Tahun Baru Imlek di Tiongkok lebih dikenal dengan sebutan “Chunjie” (perayaan musim semi). Kegiatan perayaan itu disebut “Guo nian” (memasuki tahun baru), sedang di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan “Konyan”.


Apabila orang ingat Imlek otomatis ingat Angpauw (Hokian) atau Hong Bao (Mandarin) yang artinya amplop merah berisi uang yang merupakan simbol dari keberuntungan dan melindungi anak-anak dari roh jahat. Selain Angpauw, tradisi budaya Imlek mewajibkan masyarakatnya melakukan silahturahmi untuk prosesi "Tee-pai", yang mirip prosesi adat sungkem di kalangan orang Jawa.

Prosesi Tee-pai ini dilakukan dengan cara soja yakni tunduk (membungkuk) sambil memberi hormat dengan berdasarkan pedoman “YANG” memeluk “YIN”, yakni tangan kanan dikepal kemudian tangan kiri menutupi tangan kanan. Jari jempol berdiri lurus, dan menempel keduanya.

Soja kepada yang lebih tua sejajar mulut; soja kepada yang seumuran sejajar dada; soja kepada yang lebih muda sejajar perut; soja kepada para dewa sejajar mata; soja kepada Tuhan di atas kepala.

Di waktu silaturahmi inilah dilakukan pemberian Angpauw dan Tee-pai tersebut. Menurut adat kuno, yang boleh pergi keluar bersilaturahmi di hari pertama tahun baru Imlek, hanya kaum pria saja, tetapi sekarang adat ini sudah tidak berlaku lagi. Dan yang wajib dikunjungi secara berturut-turut adalah orang tua suami, setelah itu baru orang tua isteri. Lalu ke sanak keluarga lainnya.

Terkait dengan tradisi pesta ini, apa yang menjadi gastronomi makanan di hari raya tahun baru Imlek itu ?

Pastinya kueh keranjang (nian gao). Kata "kue" atau gao memberikan makna yang sama dengan kata dan arti "tinggi", sedangkan kata nian berarti "tahun" jadi secara simbolis diharapkan jabatan maupun kemakmuran semakin tahun dapat naik semakin tinggi. Oleh sebab itu tidak heran bila kita lihat di Kelenteng banyak kueh keranjang yang dijadikan sesajen disusun secara bertingkat.

Kue keranjang mulai dipergunakan sebagai sesaji pada upacara sembahyang leluhur, enam hari menjelang Tahun Baru Imlek (Jie Sie Siang Ang), dan puncaknya pada malam menjelang Tahun Baru Imlek. Kue keranjang yang dijadikan sesaji sembahyang ini, biasanya dipertahankan tidak dimakan sampai Cap Go Meh (malam ke-15).

Di malam tahun baru orang-orang biasanya bersantap di rumah atau di restoran. Setelah selesai makan malam mereka bergadang semalam suntuk dengan pintu rumah dibuka lebar-lebar agar rezeki bisa masuk ke rumah dengan leluasa.

Disamping itu berdasarkan mitos atau dongeng Dewa yang paling bisa mengetahui, keadaan di rumah kita adalah Dewa Dapur "Zao Wang Ye“ (Ciao Ong Ya dalam bahasa Hokkian) sebab segala macam gosip biasanya banyak disebar luaskan pada saat orang sedang kongkouw-kongkouw di dapur.

Setahun sekali sang Dewa Dapur ini pulang mudik cuti ke langit untuk sekalian laporan ke penguasa Sorga. Menurut legendanya, sang Dewa Dapur ini terkesan reseh dan bawel, maka dari itu untuk menghindar agar sang Dewa tidak memberikan laporan yang ngawur, maka disumpal terlebih dahulu dengan kue keranjang agar mulutnya jadi lengket dan akhirnya tidak bisa banyak bicara dan kalau bisa bicara sekalipun pasti hanya hal yang manis-manis saja.

Oleh sebab selalunya diatas altar sang Dewa Dapur sering diletakan kertas yang bertulisan: "Dewa yang mulia, ceritakan hanya kebaikan kami saja di langit dan bawalah berkat kembali apabila Anda turun dari langit".


Makanan lainnya yang sering disajikan menjelang Imlek adalah ikan bandeng, sebab ikan ini melambangkan rezeki. Dalam logat Mandarin, kata "ikan" sama bunyinya dengan kata "Yu" yang berarti “sisa”. Seperti juga kata "Yu" yang sering tercantum di lukisan gambar sembilan ikan, disitu tercantum "Nian Nian You Yu" yang berarti “setiap tahun selalu ada (rezeki) sisa”. 

Selain ikan bandeng, makanan wajib lainnya yang disuguhkan adalah jeruk kuning, yang lazim disebut sebagai "jeruk emas" (Jin Ju). Kalau bisa dicarikan jeruk yang ada daunnya sebab itu melambangkan kekayaannya akan bertumbuh terus. Kata “jeruk” dalam bahasa Tionghoa bunyinya hampir sama dengan “Da Ji”, sedangkan arti kata dari “Da Ji” itu sendiri berarti besar rejeki.

Sedangkan untuk buah “Apel” (pin guo) mempunyai arti "Ping Ping An An" sama artinya dengan "Da Li" yang berarti besar kesehatannya dan keselamatannya dan untuk buah pear melambangkan kebahagian yang atinya "Sun Sun Li Li".

Oleh sebab itu ketiga macam buah ini selalu menghiasi meja sembahyangan yang mengartikan "Da Ji Da Li Sun Sun Li Li" (besar rejeki, besar kesehatan & keselamatannya dan besar pula kehabagiaannya)

Begitu juga dalam memberikan entah itu uang ataupun barang maupun buah-buah sebaiknya dalam kelipatan dua jadi angka genap begitu, sebab terdapat sebuah pepatah Tionghoa terkenal yang berbunyi "Hao Shi Cheng Shuang", yang secara harafiah dapat diartikan "Semua yang baik harus datang secara berpasangan".

Dan agar rezekinya tidak tersapu habis keluar, maka diwajibkan menyembunyikan sapu, karena ada pantangan dimana tidak boleh menyapu dalam rumah pada hari Imlek dan dua hari sesudahnya.

Sudah tentu pada hari raya Imlek sebaiknya pasang petasan, karena ini bisa mendatangkan keberuntungan dan perdamaian sepanjang tahun. Petasan sudah ada sejak Dinasti Tang (618-907). Konon menjelang tahun baru Imlek sering berkeliaran monster jahat yang bernama Guo Nien, hanya sayangnya monster ini masih kurang sakti, sehingga selalu ngacir ketakutan apabila
mendengar bunyi mercon, apalagi kalau melihat cahaya kilat yang keluar dari ledakan mercon tersebut.

Pada jaman baheula dahulu kala di hari raya tahun baru Imlek selalunya para leluhur  saling mengucapkan “Sin Cun Kiong Hie” (Xin Chun Gong Xi) yang berarti selamat menyambut musim semi atau selamat tahun baru.

Tetapi ucapan demikian sekarang udah kuno dan tidak trendi lagi, karena telah diganti dengan “Gong Xi Fa Cai” atau (Kiong Hie Hoat Cay) yang berarti semoga sukses selalu atau selamat jadi kaya.

Nah pada kesempatan emas ini, ijinkan saya mewakili teman-teman Indonesian Gastronomy Association (IGA) mengucapkan selamat tahun baru Imlek kepada para anggota IGA dan sahabat masyarakat Tionghoa di Indonesia :

“Gong Xi Fa Cai – Wan Shi Ru Yi - Shen Ti Jian Kang”
Yang berarti semoga sukses selama-lamanya & selalu dalam keadaan sehat

Aaamieeen ...

Monday, 1 February 2016

Capah


Anda pernah dengar kata "capah" ? ..Saya sendiri baru pertama kali ini mendengar kata itu. Adalah paman saya memberitahu sepintas artinya. Memang agak jenggah sambil tersipu kalau saya mengatakannya, namun sebagai seorang gastronom wajib kita saling berbagi pengetahuan.

Kenapa "jenggah sambil tersipu", karena "capah" adalah bahasa Karo yang saya sendiri berasal dari suku ini. Capah adalah salah satu piranti saji masyarakat Karo. Dahulu kala, masyarakat Karo punya kebiasaan makan bersama di atas capah. Mirip dengan orang Arab tapi pastinya suku Karo bukan turunan dari Timur Tengah sehingga kebiasaan menggunakan alat itu bukan dari sono asal usulnya.

Sebenarnya suku Karo adalah sejatinya turunan dari wilayah India selatan. Ini yang membedakan suku Karo dengan suku Batak, dimana suku Batak berasal usul dari suku yang berbatasan antara daratan Tiongkok dan Rusia tepatnya dari Mongolia yakni turunan Genghis Khan yang hijrah dan melarikan diri ke selatan sampai menetap di bumi Nusantara ini.

So kembali ke capah, tepatnya piranti saji ini adalah piring tradisional yang berdiameter sekitar 30 - 35 cm yang terbuat dari kayu dan menjadi tempat makan dalam kebanyakan rumah tangga masyarakat Karo di masa lalu. Satu keluarga yang terdiri dari beberapa orang makan bersama dalam satu capah

Dalam perjalanan jaman, capah sudah jarang ditemukan. Syukur-syukur kita masih bisa menemukannya di museum. Kalaupun masih ada, kebanyakan capah lebih digunakan sebagai wadah tempat buah yang dijunjung pada saat diadakan pesta adat bunga dan buah masyarakat Karo.

Gambar ini menunjukan bentuk piranti saji piring tradisional capar suku Karo itu.

Salam gastronomi