".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Sunday, 27 March 2016

Peralatan Memasak Suku Karo


Peralatan memasak suku Karo sangat sederhana dan biasanya disusun atau disangkutkan di atas langit langit tungku yang disebut para-para. Ada empat tungku masak yang masing-masing satu tungku digunakan untuk dua keluarga besisian.

Capah adalah tempat makan terbuat dari kayu bentuk bundar luas permukaan hampir dua kali piring makan kini.  Capah, tepatnya adalah piranti saji yang merupakan piring makan tradisional suku Karo yang berdiameter sekitar 30 - 35 cm yang terbuat dari kayu dan menjadi tempat makan dalam kebanyakan rumah tangga masyarakat Karo di masa lalu. Satu keluarga yang terdiri dari beberapa orang makan bersama dalam satu capah.

Begitu pula kudin taneh alias periuk tanah yang biasa digunakan untuk merebus sayur dan lauk.

Periuk tanah dan peralatan dapur termasuk capah piring makan ditempatkan di para-para tungku masak keluarga. Belut atau ikan lele sering juga disangkutkan di para-para untuk diasap menjadi awet sebagai persediaan lauk.

Dari tempat memasak ini ternyata banyak sekali muncul filosofi kebudayaan peralatan memasak Karo. Di setiap tungku terdapat lima batu yang dibentuk empat batu berbentuk segi empat dan satu batu lagi diletakkan di tengah, sehingga secara bersamaan bisa diletakkan dua periuk.

Lima batu ini melambangkan lima merga (marga) di Karo, yaitu Ginting, Sembiring, Tarigan, Karo-karo dan Perangin-angin. Sekali memasak digunakan tiga batu, yang menandakan jabatan anggota keluarga yang terbagi menjadi tiga (rakutna telu), yaitu kalimbubu, anak beru dan simbuyak.

Di atas tungku perapian terdapat para, yang terdiri dari lima lapis, yaitu masing-masing lapis secara berurut untuk tempat menyimpan ranting (kayu) api, periuk dan alat-alat memasak, bumbu dan bahan masakan, serta lapisan teratas tempat menyimpan padi.

Karena tinggal dalam satu atap, maka pewarisan budaya dan tata krama kepada generasi muda pada saat itu lebih cepat dan seragam. Ada sembilan perilaku yang sangat dilarang keras dilakukan oleh generasi muda, karena melanggar kesopanan dan budaya Karo. Aturan ini masih dijalankan hingga sekarang.

Perilaku yang dilarang itu adalah sumbang perkundul (cara duduk yang tidak sopan), sumbang pengerana (cara berbicara yang tidak sopan/kasar), sumbang pengenen (cara melihat yang tidak baik), sumbang perpan (cara makan yang tidak sopan), dan sumbang perdalan (cara berjalan yang tidak baik).

Perilaku lain yang dilarang yaitu sumbang pendahin (pekerjaan yang dibenci orang), sumbang perukuren (cara berpikir yang jelek), sumbang peridi (cara mandi yang dilarang oleh adat istiadat) dan sumbang perpedem (cara tidur yang tidak baik).

Sunday, 13 March 2016

Keliru Menggunakan Kalimat "Wisata Kuliner"

Saat ini banyak orang salah gunakan kata "wisata kuliner". Coba perhatikan penjelasan di bawah ini :

Berdasarkan catatan ensiklopedia dan kamus bahasa Indonesia diketahui :
1.  Pengertian kuliner adalah seni persiapan, mengolah dan penyajian makanan.
Konklusi dari pengertian kata kuliner di atas menggambarkan kepada kita bahwa :
a.  Subyek-nya adalah artis kuliner (chef pemasak profesional dan chef pemasak otodidak)
b.  Obyek-nya adalah resep masakan
c.  Kegiatan dari subyek terhadap obyek adalah pekerjaan memasak di dapur

2.  Pengertian wisata adalah suatu perjalanan tamasya yang dilakukan untuk rekreasi atau liburan ke suatu tempat.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan “wisata kuliner” adalah rekreasi tamasya artis kuliner ke suatu tempat mencari resep masakan untuk dimasak di dapur.

Di sini kekeliruan itu terjadi, karena jika ditarik pengertian terhadap wisata kuliner seperti dikemukakan di atas maka :
1.  Subyeknya dilakukan oleh artis kuliner
2.  Obyeknya mencari resep masakan di suatu tempat
3.  Kegiatannya memasak di dapur

Sedangkan maksud sebenar-benarnya dari konsep “wisata kuliner” adalah perjalanan tamasya wisatawan untuk berekreasi ke suatu tempat untuk mencicipi makanan.

Jika disimpulkan maksud sebenar-benarnya dari konsep wisata kuliner seperti yang dikemukakan di atas maka :
1.  Subyeknya bukan artis kuliner tetapi masyarakat umum.
2.  Obyeknya bukan resep makanan tetapi makanan khas di suatu tempat.
3.  Kegiatannya bukan memasak di dapur tetapi mencicipi makanan.

Oleh karena itu hendaknya jangan gunakan kalimat “wisata kuliner” tetapi sebaiknya gunakan kalimat “wisata makanan” atau kalau mau lebih baik gunakan kalimat “wisata gastronomi” karena yang menjadi sasaran dari promosi wisata itu adalah masyarakat umum yang diajak mencicipi makanan khas di suatu tempat. Keterwakilan masyarakat yang menikmati makanan itu ada di gastronomi bukan di kuliner.

Tulisan ini disampaikan dalam memperingati wafatnya Bapak Yus Badudu yang meninggalkan kita semua tadi malam di Bandung pada usia 89 tahun. Selamat jalan senior.

Tabek

Monday, 7 March 2016

Gastronomi Peranakan Tionghoa, Arab, India & Belanda

Salam Gastronomi

Salah satu misi kita semua adalah mengangkat gastronomi makanan suku Indonesia Tionghoa, suku Indonesia Arab, suku Indonesia India & suku Indonesia Belanda yang resep-resepnya merupakan akulturasi dengan budaya makanan Indonesia. 

Hal ini dilakukan mengingat etno-kuliner keempat suku Indonesia itu merupakan salah satu produk tradisional kuliner Indonesia yang sudah ada sebelum Republik ini berdiri.

Seni masakan peranakan Tionghoa, Arab, India & Belanda jarang diketahui publik dan belum banyak dikenal masyarakat secara umum, apalagi perihal alur sejarah dan budayanya jarang diketahui kenapa bisa ber-akulturasi dengan masakan masyarakat suku & sub suku Indonesia lainnya.

Tidak banyak yang mengetahui bahwa seni etno-kuliner peranakan Tionghoa, Arab, India & Belanda mempunyai nilai falsafah, filosofis maupun perilaku sosial yang menjadi simbol, ritual dan adat pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas masyarakat Indonesia selama ini.

Bagi kita, masakan peranakan Tionghoa, Arab, India & Belanda sejatinya telah membentuk wawasan kebangsaan, ideologi, kerukunan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam seni memasak.

Tabek

Sunday, 6 March 2016

Merajut Kebhinekaan Melalui Gastronomi


Penghormatan pada kebhinekaan di dalam masyarakat Indonesia yang pluralis adalah salah satu fondasi utama tatanan negara bangsa. Namun perjalanan bangsa mencatat bahwa fondasi ini terus-menerus digoyah. Konflik yang ada mewariskan kecurigaan antar kelompok yang melukai rasa kebersamaan di dalam masyarakat.

Kita semua menyaksikan berbagai luka kebangsaan akibat sikap intoleransi yang tidak lepas dari kehadiran kebijakan diskriminatif yang mengadopsi simbol-simbol kelompok dan pemaknaan tunggal atas moralitas. Semua ini menyebabkan kelompok-kelompok dalam masyarakat Indonesia tersudut hingga tidak dapat menikmati hak-hak konstitusionalnya secara utuh.

Ini menunjukkan bahwa kita sebagai bangsa "kehilangan orientasi kebangsaan .. tersesat di tengah jalan yang tadinya diperkirakan mampu merajut kebersamaan .. tidak kesampaian cita-cita untuk membentuk semangat kebangsaan dan menjunjung martabat Indonesia.

Saat ini kebhinekaan bangsa masih belum dianggap nyata sebagai sebuah rahmat. Kehidupan multikulturalisme belum menjadi sebuah ideologi, masih dipahami sebagai hanya sebuah realita sosial.

Padahal kebhinekaan bangsa Indonesia tercatat dalam dokumen Sumpah Pemuda yang merupakan fakta sejarah dalam proses nation-building negara. Keberagaman budaya dari berbagai etnis suku & sub-suku serta bangsa pendatang yang bersatu dikukuhkan sebagai simbol kebangsaan Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Inilah sejatinya identitas Indonesia, dengan pluralisme-nya. Identitas yang seharusnya menjadi ”nation-branding” negara ini.

Tetapi, apakah kebhinekaan bangsa yang bermuatan konsep, budaya, nilai-nilai tradisi ini masih diminati, menjadi inspirasi, dan dimanfaatkan sebagai sumber keunggulan kreatifitas untuk pencitraan negeri ini ?
Apakah pemahamannya sudah "melonggar" dan tidak mendalam tertanam dalam jiwa raga generasi muda ?
Apakah proses merajut kebhinekaan dan budaya meng-Indonesiakan bangsa ini semakin tipis ruang geraknya ?

Pertanyaan-pertanyaan ini kerap dijawab secara ambigu yang tidak mempunyai keseragaman terhadap tafsirannya dan bermakna lebih dari satu alias berganda.

Pastinya saat ini elite penguasa gagal menangkap tuntutan masyarakat yang masih ingin pembinaan itu dilakukan. Semenjak tahun 1998, terlalu banyak karnaval politik dan kontestasi kekuasaan maupun praktek demokrasi yang tidak ter-arah telah memberi signal kepada masyarakat bahwa platform kebangsaan semakin tidak jelas penanganannya.

Oleh karena itu pertanyaan berikutnya : Apa strategi kebudayaan yang diterapkan selama ini di Indonesia ?
Instrumen apa yang cocok untuk membangun identitas kebhinekaan negara-bangsa Indonesia ?

Semasa saya kecil, selalunya diberi peranti bendera merah putih dengan nyanyian lagu Indonesia Raya yang membahana. Penanaman ritus idelogi Pancasila dan UUD 45 tertanam sejak mulai memasuki SD sampai Mahasiswa. Malah setelah bekerjapun ada penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila atau Eka Prasetya). Belum lagi lagu-lagu semangat kebangsaan lainnya yang kerap dikumandangkan dalam perhelatan kenegaraan.

Berjalan dengan waktu usai reformasi, terlihat masyarakat jalan sendiri-sendiri dengan gaya dan aksi mereka untuk menggugah kembali rasa "nation and character building" tanpa tuntunan elite penguasa. Revolusi mental belum bisa menyentuh bathin rakyat secara keseluruhan, malah masih banyak diperdebatkan kemaslahatan-nya, termasuk penyelenggaraan program bela negara.

Di awal mula negeri ini dibangun, referensi kearifan lokal merupakan elemen penting untuk membangun identitas kebangsaan yang menjadi simbol dan legitimasi persatuan sekaligus nation-branding” kebhinekaan tunggal ika-an.

Sayangnya tendensi kebijakan penguasa dimasa lalu terhadap kearifan lokal disimplifikasikan dan dibirokratisasikan. Kebijakan ini terpicu oleh kekuasaan dan dinamika keberagaman internal yang tidak memihak kepada kompleksitas warisan tradisi budaya dan menghilangkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa sangat bermanfaat bagi masa depan kebudayaan masyarakat bersangkutan, atau bahkan lebih radikal : membunuhnya.

Salah satu produk kebijakan masa lalu yang disederhanakan atau dibirokratisasikan adalah dekontekstualisasi kegiatan seni dari akar budaya yang membuatnya ada. Contoh dalam seni pengolahan makanan adalah penyelenggaraan festival kuliner dalam bentuk lomba yang dilakukan secara nasional dan diikuti seluruh provinsi di Indonesia. Kegiatan ini adalah manifestasi keinginan untuk mewujudkan angan-angan akan adanya entitas ”kebudayaan masakan Indonesia” yang tak nyata dan di luar eksistensi dasar dari kebinekaan budaya itu.

Perbedaan konsep dan nilai- nilai estetika dari kebudayaan-kebudayaan yang berbeda, oleh sifat-sifat alaminya, tidak mungkin diperlombakan melalui pendekatan penilaian yang seragam, apalagi untuk tujuan hierarkis dengan cara menetapkan siapa yang lebih bagus dari lainnya.

Pendekatan ini, selain menimbulkan sakit hati dan kepongahan karena ekspresi kebudayaan yang demikian dianggungkan pemangkunya dikalahkan atau dimenangkan, juga mengakibatkan tercerabutnya konteks konseptual yang melatari proses kreatifitas baik dalam ranah gagasan maupun dalam implementasi kontekstual, yaitu kehadiran seni memasak dalam kegiatan-kegiatan sosiokultural.

Padahal, setiap kegiatan seni memasak yang terdapat di tengah- tengah masyarakat adat / tradisional, misalnya, akan selalu berhubungan dengan berbagai alasan kontekstual yang justru menjadi elemen paling penting bagi ketahanan hidup tradisi itu. Ketika elemen-elemen tersebut didekontekstualisasikan, atau dihilangkan konteks kegiatannya, maka kegiatan itu tidak lagi bermakna, dan kehilangan kekuatannya.

Kasus kebijakan lain yang juga mengundang kritik adalah penghilangan nama pemilik kebudayaan bersangkutan. Atribusi dan hak-hak moral terhadap karya kolektif yang seharusnya melekat pada suatu kebudayaan digantikan dengan nama propinsi. Tradisi masakan suku Karo, misalnya, diganti dengan ”budaya masakan Sumatera Utara”. Tradisi masakan suku Dayak Iban ditukar dengan ”budaya masakan Kalimantan Barat”. Seni kuliner suku Tionghoa Indonesia, disebut sebagai ”budaya masakan Jawa tengah dan Jakarta" dan seterusnya.

Dalam buku-buku pendidikan dasar, pemuatan gambar-gambar seni masakan tradisional suku, sub-suku dan etnik pendatang sering kali jarang menyebutkan identitas masyarakat adat yang menjadi sumbernya, kecuali nama propinsi. Pendekatan penyederhanaan dan homogenisasi sosiokultural di tengah-tengah fakta kebhinekaan yang sangat kompleks ini berdampak kepada hilangnya karya-karya dan pengetahuan tradisional, dan bahkan para pemangku kebudayaan yang nyata-nyata masih eksis pun secara administratif ”terhilangkan”, atau mungkin juga ”dihilangkan”.

Saya menawarkan gastronomi sebagai salah satu instrumen strategi kebudayaan. Melalui gastronomi kita bisa merajut kebhinekaan tunggal ika-an bangsa asal tanpa mengsimplifikasikan dan membirokratisasikan kearifan lokal tersebut. Saatnya elite penguasa memakai instrumen gastronomi sebagai fondasi untuk menggugah kembali rasa identitas masyarakat Indonesia yang pluralis ini. Melalui makanan kita bisa akur walaupun perbedaan ada diantara kita.

Gastronomi dapat dijadikan tools ideologi kebhinekaan bangsa. Gastronomi adalah ajaran tentang asas dan gaya hidup yang membentuk wawasan kebangsaan, ideologi, kerukunan dan kesatuan bangsa dalam seni memasak.

Gastronomi bicara soal kearifan lokal yang menutur alur sejarah dan daya cipta budaya masyarakat. Inspirasi dan kreatifitasnya menyangkut falsafah, filosofis maupun perilaku sosial yang menjadi simbol, ritual dan adat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas masyarakat tempatan.

Kebudayaan Indonesia ada karena keberagaman tradisi masyarakat adat Nusantara, termasuk didalamnya kreasi seni masakan yang tercermin dalam gastronomi. Kalau bukan kita yang menggali kekayaan masakan, menghargai keberagamaan kearifan lokal masing-masing, lalu siapa lagi yang akan menjaganya ?

"Hiduplah tanahku, hiduplah negeri, bangsaku, rakyatku, semuanya. Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya, untuk Indonesia Raya." Inilah syair lagu sekaligus doa bangsa kita. Hiduplah tanahku dengan membangun badannya. Hiduplah negeriku dengan membangun jiwanya.

Menghidupkan Nusantara hanya bisa dilakukan dengan membangun jiwa serta membangun badannya dengan mencangkul tanah airnya. Kebangkitan kearifan lokal terjadi karena bertemunya jiwa dan raga, pikiran dan perut, esensi dan eksistensi, visi dan aksi, serta ideologi sebagai sumber energi rakyat Indonesia. Kembalikan kearifan lokal sebagai inspirasi anak negeri di Bumi Pertiwi.

Tabek

Saturday, 5 March 2016

Setangkai Bunga Gastronomi


PENDAHULUAN
Sejak kelahirannya 200 tahun lalu, gastronomi menekankan kepada keterwakilan pemerhati, pecinta dan penikmat yang mengkaji makanan dari sisi sejarah, budaya, lanskap lingkungan dan memberi penilaian terhadap metoda memasak. Intinya gastronomi adalah kegiatan "icip-icip" makanan.

Perancis adalah pionir gastronomi dunia yang kemudian diikuti hampir di seluruh benua barat. Mereka bicara mengenai makanan sebatas wujud nyatanya saja. Bagi masyarakat barat, gastronomi menutur tentang "Bagaimana, Dimana, Kapan dan Mengapa makanan itu penting dirancang dan dipersiapkan. Sejarah, budaya dan lanskap lingkungan yang dikaji setakat terhadap materi yang tampak kasat mata (tangible), yakni :
1. Sejarah : asal usul bahan baku dan kemampuan berinovasi terhadap komponen, tekstur dan rasa dalam makanan.
2. Budaya : faktor masyarakat mengkonsumsi makanan tersebut.
3. Lanskap lingkungan : faktor geografi & iklim yang mempengaruhi masakan.
4. Metoda memasak : teknik dan proses memasak secara umum.

Batasan itu yang membedakan gastronomi dengan kuliner. Objek kuliner adalah resep masakan dan subyeknya adalah pemasak (chef atau pemasak otodidak). Pada hakekatnya kuliner adalah seni ketrampilan mengolah resep menjadi hidangan yang dilakukan pemasak (chef atau pemasak otodidak). Keterwakilan yang mencicipi makanan tidak ada dalam kuliner. Keterwakilan yang mencicipi makanan ada di gastronomi.

Batasan ini juga yang membedakan gastronomi dengan wisata kuliner. Sejatinya gastronomi tidak bertendensi bicara mengenai wisata kuliner saja, walaupun kerap dikaitkan oleh sekelompok masyarakat dan organisasi ke arah itu. Perilaku ini anantia karena ciri-cirinya bertentangan dan sebelumnya tidak ada.  Bagi sekelompok masyarakat dan organisasi itu, seolah-olah wisata kuliner adalah ekspresi deduktif yang mana kebenarannya berakhir pada suatu kesimpulan bahwa gastronomi adalah wisata kuliner.  

SEBUAH IDENTITAS
Sejak awal kelahirannya, gastronomi merupakan identitas gaya hidup (life style) kaum aristokrat dan borjuis yang menyadari dibalik kenikmatan sebuah makanan ada kisah yang mempengaruhinya yakni sejarah, budaya dan lanskap lingkungan.

Bagi kaum aristokrat dan borjuis, gastronomi adalah “genesis” tampilan baru cipta karya dan cipta karsa dari substratum lama dalam menilai makanan yang ciri-cirinya tidak bisa disamakan dengan kuliner walaupun fokus keduanya sama yakni makanan.

Di era itu gastronomi tercipta sebagai kitab ajaran baru tentang seluruh aspek makanan bagi umat manusia sehingga kadangkala diplesetin dengan sebutan “Gastronomy Above Theology”.

Sesuai perkembangan jaman, saat ini gastronomi sudah merupakan kelaziman umum bagi kebanyakan masyarakat di benua barat.

GASTRONOMI INDONESIA
Ciri dan karakter gastronomi Indonesia berbeda dengan bangsa barat. Seperti dijelaskan di atas, masyarakat barat mengkaji sejarah, budaya dan lanskap lingkungan gastronomi sebatas yang tampak kasat mata (tangible). Sedangkan bagi bangsa Indonesia (termasuk bangsa Asia lainnya), dibalik bentuk tangible ada sifat intangible.

Di sebagian besar komponen masakan Indonesia ada konsep cerita rakyat (folklor) di belakangnya; yakni mengenai nilai falsafah, filosofis, maupun perilaku budaya yang diwarisi turun-menurun dan diakui sebagai identitas milik bersama sebagai simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat, yang telah melembaga maupun bersemayam secara tradisional.

Oleh karena itu dalam kajian pinggan gastronomi Indonesia “makanan punya kisah” (cibus habet fabula) yang pada umumnya sifat intangible ini tidak terdapat atau jarang didengar ada dalam makanan masyarakat barat.

PETA MASAKAN INDONESIA
Masakan bangsa Indonesia pada umumnya merupakan warisan tradisional dari leluhur kepulauan Nusantara. Jarang diketahui atau dilihat ada inovasi baru terhadap resep hidangan makanan bangsa kita, meskipun dahulu kala, masakan para leluhur ini telah diabsorb oleh penduduk setempat dengan resep-resep dari etnik pendatang.

Meskipun sejarah memperlihatkan sebagian besar bangsa Asia mengalami masa kolonialisme atau migrasi etnik pendatang, maka percampuran budaya resep masakan luar tidak begitu besar mempengaruhi “local heritage cuisine” yang ada karena kuatnya tertanam kearifan lokal bangsa-bangsa yang ada. Umumnya pengaruh itu hanya berkisar pada bahan baku dan bumbu, sedangkan subtansinya masih sama.

Makanan bangsa Indonesia adalah resepi dari 1,340 suku & sub-suku yang merupakan warisan dari leluhur kepulauan Nusantara, serta perpaduan dari budaya 4 (empat) etnik pendatang (Tionghoa, India, Arab & Belanda), yang diserap dan diolah oleh masyarakat lokal setempat melalui proses akulturasi & mimikri. Selain itu ada beberapa etnik pendatang lainnya (Portugis & Jepang) tetapi tidak memberi sumbangan yang besar terhadap kekayaan akulturasi makanan yang ada.

Oleh karena itu lebih tepat jika Gastronomi Indonesia dikatakan sebagai “Gastronomi Kepulauan Nusantara Indonesia” karena segenap kekayaan resep-resep masakan yang ada itu terbentuk sebelum Republik Indonesia berdiri.

JUMLAH RESEPI MASAKAN INDONESIA
Saat ini baru tercatat resmi di lembaran Negara - yang diterbitkan Kementerian Pertanian pada tahun 1967 - ada 1,600 aneka resep masakan Indonesia dalam buku “Mustika Rasa” (1967). Sedangkan almarhum ibu Suryatini Ganie dalam bukunya "Maha Karya Kuliner Resep Makanan & Minuman di Indonesia" (2010) telah mencatat 5,000 resep-resep masakan Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Kalau rata-rata dibagi terhadap 1,344 jumlah suku bangsa Indonesia (suku & sub-suku serta etnik pendatang yang ada), maka di buku "Mustika Rasa", per setiap suku bangsa mempunyai 1,2 resep, sedangkan di buku "Maha Karya Kuliner" per setiap suku bangsa mempunyai 3,7 resep, itupun kalau semua suku bangsa yang ada di kepulauan Nusantara Indonesia masuk dalam catatan resep tersebut. Rasanya bisa lebih dari itu, mungkin jumlahnya bisa mencapai puluhan ribu aneka resep yang belum pernah diangkat atau tidak tercatat sama sekali.

SEJARAH PERKUMPULAN GASTRONOMI DI INDONESIA
Gastronomi bagi Indonesia masih relatif baru walaupun pengenalannya sudah dilakukan 33 tahun lalu, namun bisa dikatakan sosialisasinya tidak merata. Adalah almarhum ibu Suryatini Ganie mempelopori pertama kali di Indonesia. Keponakan R.A Kartini ini pada tahun 1983 mendirikan dan memimpin Lembaga Gastronomi Indonesia (LGI). Sayangnya lembaga ini vakum setelah kepergian almarhum tahun 2011.

Gastronomi kembali muncul pada tahun 2012 yang digagas oleh ibu Wieke Adiwoso, seorang diplomat yang saat itu menjabat sebagai duta besar Indonesia untuk negara Spanyol. Pada tahun 2013, diplomat wanita Indonesia ini mendirikan sebuah badan hukum bernama Perkumpulan Akademi Gastronomi Indonesia (AGI).

Sejalan dengan itu telah berdiri organisasi lain pada tahun 2015 bernama Yayasan Masyarakat Gastronomi Indonesia (MAGASI). 


Terakhir pada tahun 2016, empat srikandi Indonesia (Cynthia Nursanti, Hindah Muaris, Itet T. Sumarijanto dan Nirmala Chandra Motik) mendirikan sebuah perkumpulan berbadan hukum bernama Association Gastronomy Indonesia (IGA).

Jakarta, 6 Maret 2016
 

Apa Itu Gastronomi

Tadi siang ada yang bertanya "Apa itu gastronomi" ? Apakah gastronomi terdiri dari orang yang pandai memasak ? Apa bedanya dengan kuliner ?

Tiga pertanyaan yang kait mengkait dengan jawaban sebagai berikut :

Gastronomi bukan menekankan kepada keahlian memasak. Gastronomi adalah pemerhati, pecinta dan penikmat makanan. Jadi tidak ada keharusan seorang gastronom (nama subyek / orang dari gastronomi) diharuskan pandai memasak. Intinya gastronomi adalah tukang "icip-icip" makanan.

Ini yang membedakan gastronomi dengan kuliner. Objek kuliner adalah resep makanan dan subyeknya adalah pemasak. Kuliner adalah seni mengolah resep menjadi makanan yang dilakukan pemasak (chef atau pemasak otodidak). Keterwakilan yang mencicipi makanan tidak ada dalam kuliner. Keterwakilan yang mencicipi makanan ada di gastronomi. 

Namun dalam gastronomi para gastronom mencicipi makanan dengan mengkaji makanan itu dari sisi sejarah, budaya, lanskap lingkungan (geografi) dan metoda memasaknya. Sedangkan kuliner sama sekali tidak mengkaji itu. Kuliner hanya melihat resep dan pemasak (chef atau pemasak otodidak).

Tabek

Thursday, 3 March 2016

We are the Cookivores

Richard W. Wrangham, seorang profesor antropologi di Harvard University, mengatakan : "Memasak merupakan kunci yang membuat kita menjadi manusia. Sejak lahir, memasak ada dalam gen manusia dan berkembang secara alami menjadikan manusia modern".

Wrangham menyampaikan hal itu dalam presentasinya yang berjudul "Significance of Paleo-Gastronomy" di acara seminar IACP (International Association of Culinary Professionals). Ia menyatakan : "Memasak adalah proses evolusi manusia. Hanya manusia satu-satunya spesies di dunia yang memasak makanan mereka di atas perapian".

Wrangham mengakui hipotesanya ini agak radikal. Beberapa antropolog menanggapinya dengan menggambarkan memasak sebagai sesuatu yang manusia lakukan untuk alasan simbolik.

Namun Wrangham tidak setuju terhadap pendapat para antropolog itu dengan merujuk axioma Charles Darwin : "Seni membuat api merupakan penemuan terbesar yang pernah dibuat manusia yang menjadi dasar seni memasak".

"Evolusi peradaban manusia datang dengan penemuan api dan memasak" kata Wrangham. "Manusia mengembangkan keterampilan membuat api dan mengendalikan api untuk memasak. Keahlian memasak mengubah desain biologis manusia. Peradabannya mendorong menuju modernisasi serta merupakan dasar paleo-keahlian seni memasak, "tambahnya.

Wrangham menekankan pentingnya mengenali universalitas seni memasak di atas perapian. Manusia dilahirkan suka makanan yang panas. Wajar manusia dikatakan sebagai omnivora yang senang mengkonsumsi makanan nabati hangat untuk berbagai citarasa dan aneka rasa manis. 

"Sejak dua juta tahun lebih manusia setiap hari berkumpul di sekitar api. Mengapa kita tidak memahami kenyataan bahwa kehidupan manusia disesuaikan untuk api. Seni memasak telah menjadikan manusia berkelompok dalam suatu kerumunan kesukuan. Seni memasak menjadikan manusia beradab dengan wujud kearifan lokal yang mereka miliki "

Oleh karena itu,  kata Wrangham, manusia pada intinya adalah mahluk "cookivores" (memasak makanan diatas perapian).

Tabek