".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Saturday 17 December 2016

Asal Muasal Lumpia


Camilan pengaruh Tionghoa ini sudah boleh dikatakan makanan nasional kita, hanya saja tidak banyak yang pernah mengetahui sejarahnya.

Tionghoa mempunyai satu hari raya musim setiap 15 hari dalam setahun Imlik, dan setiap hari raya Imlik itu juga diadakan satu hidangan yang chas untuk merayakannya. Disitu lumpia juga termasuk salah satunya, yang berkaitan dengan satu hari raya musim Tionghoa sejak zaman dahulu kala. Disini lumpia adalah hidangan pada hari Ceng Beng, yaitu hari ini tanggal 5 April, hari bagi kalangan Tionghoa menghormati leluhurnya dan setahun sekali keharusan untuk melawat kekuburan orang tuanya.

Bagaimana sangkut pautnya Lumpia dengan Ceng Beng? Ini bisa diceritakan sebagai berikut yang merupakan asal muasalnya lumpia:

Sebelum Ceng Beng merupakan hari perayaan pembersihan makam leluhur Tionghoa setiap 5 April seperti sekarang, hari itu hanya merupakan salah satu hari perayaan musim yang bermaksud penjemputan musim Semi disekitar 104-106 hari setelah Winter Solstice, adalah yang merupakan sehari libur untuk sekeluarga ber-piknik sejak lebih dari dua ribu tahun yang lalu, hingga terjadinya satu peristiwa di Tiongkok Semula dipermulaan abad 7 BC. Pada waktu itu Tiongkok Semula sedang terbagi-bagi dalam puluhan negeri adipati diachir zaman Dinasti Zhou yang disebut masa Chun-jiu / Spring-Autumn (770 – 476 BC).

Konon ada seorang pangeran dari negeri adipati Jin yang melarikan diri karena perebutan tahta dinegerinya yang terletak dipertengahan Shanxi sekarang, dia jatuh sakit dan terawat baik oleh seorang penduduk disuatu dusun sampai pulih kesehatannya. Setelah dia kembali kenegerinya dan berhasil merebut kedudukan adipatinya sebagai Jin Wen Gong (晋文公) pada tahun 638 BC, dia baru mengetahui bahwa penyembuhan penyakitnya sewaktu dipengungsian itu adalah berkat diberi minum obat kaldu yang memakai daging dari pahanya orang dusun yang bernama Jie Zi-tui sendiri kapan hari itu.

Namun Jie selalu menolak hadiah dan kedudukan yang ditawarkan Jin Wen Gong, malah achirnya juga bersama ibunya bersembunyi supaya tidak diganggu lagi diatas bukit pegunungan Mian-shan. Karena dalam segala upaya Wen Gong mencarinya tetap sia-sia menemukannya, maka memakai siasat api membakar semak-semak bukit disekitarnya yang mengharapkan Jie dan ibunya bisa dipaksa keluar oleh asap, tetapi api tidak terkendali dan beberapa hari kemudian diketemukan dua mayat hangus yang berangkulan disebelah sebatang pohon yang sudah menjadi arang.

Wen Kong menyesal atas tindakan yang tidak bijaksana sehingga menewaskan orang yang pernah menyelamatkan jiwanya itu, maka untuk menunjukkan penyesalannya itu diperintahkanlah kepada sekalian rakyatnya bahwa pada hari itu juga dan seterusnya supaya diperingati sebagai Hari Nyepi, yang tidak memperboleh menyulutkan api, memasak makanan, keluar dari rumah maupun berisik, dan dari sini timbulah tradisi makanan dingin yang disebut Han-shi (寒食) sewaktu memperingati leluhur. Hari Nyepi ini kebetulan jatuh pada sehari sebelum hari tradisional kia-kia dimusim Semi yang disebut Ceng Beng (清明).

Istilah Ceng Beng yang berarti “cerah dan gemilang” ini berasal dari sabda kaisar Dinasti Han, Guang-wu-di Liu Xiu (5 BC – 57 AD) yang merasa lega setelah menumpas para pemberontak Wang Mang dan membangun kembali kemakmuran negaranya dan memindahkan ibukotanya di Luoyang sebagai Dinasti Han Timur, yang pada suatu hari dimusim Semi yang cerah berkatalah sendirian si-kaisar: “Tian achirnya Ceng Beng” yang maknanya “kerajaan telah damai dan tentram kembali”.

Hari itu kemudian dijadikan hari raya dimana bangsa Tionghoa Han mempergunakannya untuk sehari berlibur, bersama keluarga pergi kiakia atau piknik keluar kota menikmati suasana cerah dan gemilang, yang sampai sekarang masih disebut chun-you / 春游, Spring Outing.

Di-Tiongkok sekarang, dimana pada umumnya orang mati dikremasi kemudian abunya ditaburkan tanpa adanya kuburan lagi, maka hari Ceng Beng tetap dipakai orang untuk berlibur piknik chun-you seperti dulu kala.

Karena hari chun-you tersebut jatuhnya pada sehari setelah hari adat Nyepi yang disebut Han-shi 寒食 yang dalam tradisi bermakan segala yang dingin itu, maka untuk sangu makanan diperjalanan chun-you juga disediakan chun-pan/春盘 (spring platter) yang merupakan makanan dingin yang terdiri dari bawang daun, bawang putih, kucai, daikon, moster dan lain-lain sayur-sayuran segar yang berasa pedas digulung dalam lembaran kulit pancake yang terbuat dari tepung, dan makanan gulungan itu ditata rapih diatas piring yang lebar, sehingga juga disebut piringan lima sayur pedas, wu-xin-pan/五辛盘.

Kebiasaan kia-kia makan gulungan sayur pedas ini sudah sangat populer dijaman Dinasti Han Timur, yang kemudian disebut chun-juan (春 卷) alias spring roll yang menyebar di daerah selatannya Yangtze River sewaktu Dinasti Jin Timur (317 - 420 AD) yang ibukotanya di-Nanjing sekarang, setelahnya, chun-juan adalah sinonim dengan lunpia / lumpia dizaman Dinasti Tang (618 - 906 AD).

Lama kelamaan, hari Han-shi dan Ceng Beng yang memang hanya berbedaan sehari itu digabungkan, menjadi hari peringatan kepada leluhur dengan ritual mengunjungi dan membersihkan semak-semak kuburan yang biasanya memang terletak dibukit-bukit, maka sambil kia-kia merayakannya dengan makanan dingin Han-shi tersebut. Tradisi ini terus berkembang menjadi kebiasaan makan lumpia pada Ceng Beng sampai ini hari.

Terjadi revolusi bahan isi chun-juan / spring roll diwaktu jaman Dinasti Tang dari yang semula merupakan hidangan dingin veggie, sekarang ditambah isi bahan daging yang dimasak, yang kemudian dibawa orang Tanglang ke Hokkian dan disana disebut lun-pia (潤餅) atau lafal Jawa: lumpia, yang artinya pia lunak musim Semi, karena semulanya tidak digoreng. Lumpia asli bukan gorengan, sedangkan yang digoreng pun bukan kreasi atau ciptaan orang Semarang, itu ada ceritanya tersendiri dalam evolusi-nya.

Catatan :
Artikel ini diambil dari tulisan Anthony Hocktong Tjio, Monterey Park, 04 April 2016