".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Saturday, 30 September 2017

SI BOGA

Makanan sering dianggap *remeh temeh* oleh kebanyakan orang .. sekedar resep dan masak memasak ..apalagi kalau hadir selebriti chef .. semakin remeh temeh .. 

Padalah makanan punya kedalaman sejarah dan di baliknya ada cerita ... artinya budaya yang kalau mau lebih jauh lagi ada kearifan lokal  ..

Jangankan soal remeh temeh itu, judul katanya saja masih belum *pas* dengan menyebut makanan sebagai *kuliner* padahal seharusnya *boga* (makanan) .. 

Kan ada ungkapan *Pakailah bahasa Indonesia yang baik dan benar* .. kenapa dipakai kata kuliner untuk merujuk makanan ? 

Artinya akademisnya saja sudah menunjukkan kuliner itu adalah aktifitas seni memasak di dapur (cookery) .. artinya skill memasak .. bukan makanan ..

Makanan itu dalam kamus bahasa Indonesai disebut *boga* .. sekali lagi *Pakailah bahasa Indonesia yang baik dan benar*

Era modern budaya boga Indonesia dimulai ketika etika di meja makan mulai lahir dan peralatan memasak jaman primordial mulai ditinggalkan. Lebih kurang dilakukan masyarakat di tahun 1900-an. Saat itu dimulai pengenalan terhadap etika dan penyajian makanan di meja makan dengan peranti saji yang unik .. 

Sebenarnya gaya itu sudah lama ada tapi naik ke permukaan saat warga baru kota metropolitan memerlukan pengakuan dirinya menjadi masyarakat modern yang global ... Contohnya pengaruh feodalisme Belanda sudah sejak lama merambah boga di Indonesia ..

Akibat dari modernisasi tu banyak peralatan memasak kuno menghilang dari dapur, termasuk peranti saji lokal di atas meja, karena artefak ini menjadi korban modernitas dari boga modern yang bernafas produk kebarat-baratan ..

Selain itu boga apapun yang dinikmati warga metropolitan baru ini mereka hanya memperlakukan si makanan itu *sebatas perut* alias kenyang .. PLUS ada kebahagian jika mengetahui resep-resep dan proses masak memasaknya  .. apalagi kalau hadir selebriti chef dan bisa berfoto-foto ria bersama untuk di upload ke media sosial dan grup-grup di gadget .. semakin remeh temeh si boga ...

Padalah boga (makanan) adalah budaya dari suatu kearifan lokal .. jejak budaya makanan itu mewarnai DNA suatu bangsa .. identitas dan jati diri malah kadangkala kerap disamakan dengan sebuah ideologi ..

Untuk itu jika bangsa ini mau menorehkan kemenangannya, maka boga bisa dijadikan instrumen yang ampuh untuk bicara budaya, baik itu untuk diplomasi budaya (ke luar negeri) maupun internalisasi budaya (di dalam negeri)  ..

Makanan adalah branding kearifan lokal dari budaya bangsa .. itu yg mesti ditanamkan ke pemikiran masyarakat .. Sudah saatnya bangsa ini mengukir makanan dengan lebih bicara kepada budaya dan sejarah kearifan lokal-nya .. 

Makanan jangan ditafsirkan sekedar resep dan aksi masak memasak .. apalagi kalau ada selebriti chef-nya .. kemudian aksinya foto-foto bersama yang di upload ke media sosial dan grup-grup di gadget .. semakin remeh temeh kita memperlakukan si boga ...

Tabek

Friday, 29 September 2017

Menyantap Sejarah Boga Nusantara


Boga adalah suatu seni tertua. Ketika Adam tercipta ke dunia, ia dalam keadaan lapar. Begitu pula bayi yang lahir ke dunia, ia menangis, hingga akhirnya mereda ketika sang bunda memberikan air susu untuknya. Semua itu adalah seni yang memberikan sumbangan mahapenting bagi kehidupan manusia. Karena manusia telah belajar menggunakan api dalam mengolah makanannya, dengan api itulah manusia menaklukkan alam. Demikianlah Fadly Rahman mencomot ujaran Brillat-Savarin - yang divisualkan begitu bagus sebagai pembuka film Yunani bertajuk Politiki Kouzina.

Sejarawan yang menggeluti jagat kuliner ini resah memergoki fenomena "wisata kuliner" dan industri makanan di Tanah Air demikian marak, tapi tak dibarengi riset mendalam masalah sejarah makanan dalam perspektif global. Padahal jelas, perkembangan makanan Nusantara dengan citra beragam dan uniknya sukar diceraikan dari berbagai pengaruh global yang berlangsung selama berabad-abad. Wajar jika selama ini masih banyak yang tidak menyadari permasalahan kompleks di balik hal ihwal makanan di Indonesia.

Fadly yakin keragaman kuliner di meja makan Indonesia tak datang secara ujuk-ujuk. Makanan Indonesia sulit dipisahkan dari sejarah yang membentuknya jauh sebelum Indonesia lahir. Sumber tertulis yang dapat ditelusuri bertemali aspek ini yaitu catatan sejak abad X perihal keadaan makanan di Jawa kuno. Semua data itu memamerkan perkembangan proses menemukan dan memanfaatkan aneka bahan makanan yang tersedia di alam hingga teknik pengolahannya dalam menciptakan berbagai jenis makanan. Proses inventing boga telah berlangsung pada masa paling awal. Beberapa prasasti dan naskah kuno menyebutkan rupa-rupa makanan seperti rawon, brongkos, pecel, dendeng, dan pindang. Apiknya, sederet contoh makanan itu hingga kini masih bertahan.

Selepas masa kuno itu lewat, lapisan waktu selanjutnya ditandai masuknya secara bergelombang berbagai pengaruh makanan global yang berasal dari Tiongkok, India, Arab, dan Portugis. Keempat unsur pengaruh asing itu sebenarnya tidak dianggap asing, lantaran dalam puncak perkembangannya pada abad XIX sanggup menyatu sebagai bagian dari boga Hindia Belanda (Indische keuken). Gulai dan kari merupakan campuran pengaruh Arab dan India. Soto (caudo) dan produk fermentasi kedelai seperti tahu dan kecap (menyusul tempe) warisan pengaruh lampau Tionghoa. Ketela, panala, bika, bolu, dan teknik mengawetkan daging dari pengaruh Portugal. Contoh tersebut melukiskan suksesnya percampuran (amalgamation) cita rasa keempat unsur asing itu dengan cita rasa lokal yang bergulir selama puluhan abad.

Dengan segepok data, Fadly menjahit cerita berbagai resep lokal dan asing bisa terus bertahan sepanjang waktu disebabkan oleh kecenderungan pewarisan resep secara lisan dari generasi ke generasi. Sedari pertengahan abad XIX, para penulis buku masak melakoni pembaruan dengan membentuk dan mengembangkan Indische keuken. Boga periode kolonial memuat komposisi jenis makanan (lokal dan asing) yang merupakan warisan dari berbagai lapisan waktu dan pengaruh global. Kokki Bitja ialah buku masak pelopor yang menemukan tersebarnya berbagai jenis makanan lokal, baik yang berasal dari Jawa maupun luar Jawa, sekaligus memulai usaha menyuratkan ratusan resepnya. Buku masak ini pun pertama kalinya menyandingkan resep lokal dengan aneka resep asing yang ditemploki unsur cita rasa Tionghoa, India, Arab, dan Portugal.

Konstruksi Indische keuken dalam Kokki Bitja ditempuh pula melalui proses menemukan (inventing) dan menciptakan (invention) makanan. Namun lebih dari itu, penulis buku masak tersebut menjalankan pembaruan (innovation) lewat mendokumentasikan aneka rupa resepnya. Ketika seluruh resep mulai ditekstualisasi, tanpa disadari hal itu memunculkan bayangan tentang suatu "rasa bersama" di kalangan komunitas pembacanya (mass reader).

"Memasak" buku masak sepintas menunjukkan urusan seleksi resep belaka. Namun buku ini jika dimengerti betul merupakan suatu sumber penting guna melihat hasil dari berbagai pergeseran (displacement) dan perubahan (change) kebiasaan makan di Indonesia dari zaman ke zaman. Pengaruh global yang puncaknya ditandai masa pertukaran aneka bahan makanan dari Benua Amerika dan Eropa ke Indonesia (serta sebaliknya) sepanjang abad XVI-XVIII jelas menjadi penting dalam memahami pergeseran dan perubahan itu bagi perkembangan makanan pada abad XIX.

Dengan bahasa rancak dan interpretasi yang kuat, Fadly menuntun pembaca memahami secara fisiologis pembentukan rasa seperti yang terlihat dari pemilihan ragam bahan makanan yang disukai dalam konteks budaya makan di Nusantara. Beberapa hal penting yang patut dipahami dari pergeseran dan perubahan akibat pengaruh global itu antara lain: 1) cabai menggantikan posisi cabai Jawa dan lada sebagai bahan pemedas; 2) gula tebu menyaingi gula aren/jawa sebagai bahan pemanis; 3) kerbau sebagai sumber protein hewani lokal tergusur kedudukannya oleh sapi yang semakin banyak dibudidayakan sejak abad XIX; dan 4) terigu menyaingi pemanfaatan ragam tepung lokal (beras, sagu, umbi-umbian, tapioka, maizena). Terigu kudu diimpor karena gandum sulit dibudidayakan di wilayah tropis seperti Indonesia.

Karya ini terbit tepat waktu, di mana televisi dan rubrik di majalah serta surat kabar gencar mengangkat dan mempopulerkan makanan di Indonesia ke tingkat nasional dan internasional, tapi di satu pihak tidak berupaya menelisik lebih jauh riwayat dan makna historis. Tak banyak dari kita yang menyadari permasalahan yang berkelindan di balik sejarah makanan Indonesia dan menganggapnya perlu untuk dipahami, apalagi dipecahkan. Perjalanan sejarah makanan yang tertuang di buku ini menjadi sesuatu yang penting, yaitu memahami bagaimana persoalan makanan di Indonesia didudukkan dalam sejarah dan juga sebaliknya, bagaimana sejarah Indonesia dilihat dari persoalan makanan. Kalaupun belum terpikir demikian, setidaknya buku ini membuat kita mulai memandang sejarah makanan Indonesia sebagai hal yang patut diperbincangkan dengan serius.

Buku Jejak Rasa Nusantara : Sejarah Makanan Indonesia karamgan Fadly Rahman setebal 396 halaman ini setidaknya berhasil mendudukkan masalah makanan dalam ranah budaya. Yang tak kalah pokok, tubuh Indonesia kini sedang terluka akibat segerombolan orang tega menggoreng isu disharmoni, intoleransi, dan konflik ideologi sehingga mengerucut pada pertikaian. Mestinya, lewat kearifan sejarah makanan yang terpantul, kita bisa belajar toleransi dan akulturasi sehingga menciptakan pelangi di meja makan maupun dalam kehidupan sosial.

Artikel Heri Priyatmoko, Dosen Sejarah, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Koran Tempo 3 Desember 2016

Pelajaran Dari Semangkuk Soto

Dalam atlas besar makanan Indonesia, soto merupakan makanan yg gampang dijumpai di saban tempat. Ia tak hanya ada di Solo, kota yg dijuluki “surganya makanan”. Jenis makanan ini mudah diburu dr ujung timur sampai barat wilayah Nusantara, dan menyimpan cerita unik menurut lokalitasnya

Menurut sejarawan termasyhur Prancis, Denys Lombard, soto berasal dr kata *cao du* (baca: chau tu) dan dlm bahasa Hokkian berbunyi *chau to*. Sementara Russel Jones dalam buku Loanwords in Indonesian-Malay (2008) memilih kata *shao du* (baca: sao tu) dalam dialek Hokkian berbunyi *sia to*.

Pustaka Peranakan Tionghoa dlm Kuliner Nusantara (2013) memberi terang makanan penghangat tubuh ini mendarat bersama komunitas imigran dr Tiongkok. Mereka juga mengusung budaya baru dalam makan setempat, yaitu mengenalkan peranti mangkok, piring, dan sendok kepada pribumi utk menyantap makanan berkuah dan panas seperti soto. Lambat laun, soto menjamur. Budaya makan yg cair menyebabkan soto sulit diklaim milik suatu etnis atau kota tertentu.

Ciri khas keseragamannya ialah semuanya berkuah, baik yg bersantan kental, encer, bening maupun kekuningan. Bahan dagingnya varian, sebut saja ayam, udang, sapi, kerbau, dan bebek. Diperkaya dgn jeroan ayam ataupun sapi (babat, paru, dan jantung) yg diramu dgn bermacam bumbu. Ini bukti kreativitas manusia dan pemanfaatan bahan secara menyeluruh, mengacu ungkapan *memakan semua yg berkaki empat kecuali meja, dan semua berkaki dua kecuali manusia*. Pelengkap dan penyedapnya juga lebih variatif. Antara lain suun, taoge, daun bawang, potongan tomat, emping, seledri, bawang merah, dan bawang putih goreng, bubuk koya, dan lainnya.

Penyair kawakan Goenawan Mohamad (2011) dgn lincah menempatkan soto dalam konteks *Sumpah Pemuda*. Dewasa ini, kita bisa bebas melahap soto semarang (bangkong, selan, bokoran), soto kudus, soto (tauto) Pekalongan, soto (saoto) solo, soto bandung, soto banjar, soto betawi, soto madura, soto lamongan, rujak soto banyuwangi, dan soto makassar. Harga sekian jenis soto ini umumnya terjangkau oleh isi kantong.

Soto berkelindan dengan kelaziman perut dan lidah yg dibangun oleh pengalaman sedari kanak-kanak. Orang yg sejak berumur enam tahun dihibur ibunya dgn makan soto bersantan Madura tak gampang jatuh cinta kpd soto yg dimakan Jokowi dan para tamunya. Ringkasnya, soto bertalian dgn selera, hasrat, kenikmatan, ingatan, dan alam bawah sadar yg kadang muncul.

Menurut Goenawan, soto bertautan pula dgn sesuatu yg mengandung hal ikhwal yg tak selamanya mampu dibuat terang dan rapi. Soto seluruh Indonesia gagal diseret menjadi bagian dari Sumpah Pemuda. Ini bukti dlm hidup terdapat banyak hal yg sulit dijangkau oleh bahasa, hukum, konvensi bersama, dan agama. Kendati demikian, ada pesan damai bagi manusia Indonesia modern dalam makan soto yg beragam cita rasa itu.

Note:
Diambil dr cuplikan artikel Hery Priyatmoko, Dosen Sejarah, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta




Nenek Moyang Kita Petani Padi


ANDREAS MARYOTO

Ketika petani padi Korea Selatan dan Jepang berunjuk rasa menentang liberalisasi pasar beras, mereka berteriak keras, usaha tani padi harus dilindungi. Mereka menyatakan, perlindungan itu terkait keyakinan dan penghormatan terhadap nenek moyang mereka, yaitu petani padi. 

Mereka menyatakan, meski negara mereka sudah maju, mereka tetap menghormati nenek moyang mereka. "Nenek moyang kami adalah petani padi," kata mereka di majalah Time beberapa waktu lalu. 

Apakah nenek moyang bangsa Indonesia juga petani padi? 

Penelitian kosakata budaya yang diduga digunakan pada masa prasejarah memberi petunjuk bahwa cocok tanam padi sudah dilakukan pada masa itu. Kosakata yang diteliti adalah kosakata yang diduga termasuk dalam bahasa Melayu Purba, yang merupakan leluhur bahasa Melayu modern dan bahasa Indonesia. 

Ahli bahasa Robert Blust dalam sebuah tulisannya di dalam buku Masa Lampau Bahasa Indonesia, Sebuah Bunga Rampai (1991) menyatakan, dari penelitian kosakata budaya itu diketahui bahwa penutur bahasa Melayu Purba memiliki orientasi kelautan yang kuat. Pada saat yang bersamaan, rakyat mempraktikkan hortikultura ladang, padi gogo, dan umbi-umbian. 

Peneliti JC Anceaux dalam buku yang sama mengutip penelitian Hendrik Kern asal Belanda, menyebutkan bahwa kosakata yang terkait dengan padi ditemukan penutur di bagian barat Austronesia - asal nenek moyang bangsa Melayu - namun tidak ditemukan di wilayah timur. 

Keyakinan Kern makin kuat ketika menemukan kata beras di Indonesia dan kata bras di Tibet yang memiliki arti yang sama. Ia mengatakan, orang Tibet meminjam kata bras dari bahasa Austronesia, yaitu ketika penutur kedua bahasa berhubungan di satu tempat. Tempat pertemuan itu kemungkinan berada di Asia Tenggara. 

Prof Koentjaraningrat dalam buku Kebudayaan Jawa (1984) menyatakan, cocok tanam padi dengan sistem peladangan diduga berasal dari Birma Utara. Sistem itu kemudian menyebar ke Semenanjung Melayu hingga di Kepulauan Nusantara (Indonesia dan Filipina) pada saat migrasi. 

Teknologi 
Sampai awal abad Masehi, pertanian padi di Nusantara diperkirakan masih sederhana. Pertanian padi masih tetap berbentuk perladangan, seperti padi huma yang masih ditemukan di sejumlah daerah di Jawa Barat. Relatif tidak ada sentuhan teknologi. 

Sentuhan teknologi cocok tanam padi mulai muncul ketika pengaruh India masuk. Di dalam beberapa tulisan di jurnal Orissa Review, sebuah jurnal yang diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi Orissa di India, disebutkan bahwa bangsa Kalinga (nama sebelum Orissa) yang berada di India selatan itu masuk ke wilayah Jawa sekitar abad keempat. Kedatangan mereka yang terdiri dari berbagai kasta membawa pengaruh dalam teknologi penanaman padi. 

Kasta brahmana yang berkuasa atas ilmu pengetahuan antara lain membawa metode penanaman padi dengan pengairan. Kaum brahmana memperkenalkan sejumlah teknologi yang memungkinkan produksi padi meningkat. 

Setelah itu, nenek moyang kita mulai menanam padi dengan cara pengairan atau yang sekarang dikenal dengan sawah. Sejumlah kakawin dan kidung berbahasa Jawa Kuno (abad ke-8-14) yang diteliti oleh Prof PJ Zoetmulder di dalam buku Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (1983) telah menyebut keberadaan sawah. Di dalam kakawin itu dikisahkan, raja mendatangi kawasan pedesaan dan melihat sejumlah orang menanam padi. 

Dalam salah satu kakawin juga disebutkan, beberapa biarawan terlihat menanam padi. Ada juga penyebutan keberadaan lumbung padi. Sayang sekali jumlah informasi mengenai budidaya padi memang sangat minim di dalam kakawin ataupun kidung karena karya sastra ini lebih banyak berbicara dalam tataran keraton. 

Catatan yang agak lebih komplet terdapat di dalam kitab Desawarnana atau Negarakertagama. Di dalam kitab ini diceritakan tentang raja yang memanggil rakyatnya untuk membuka hutan, kemudian menjadikannya lahan untuk sawah. Rakyat yang mendapat hak untuk mengelola lahan itu harus membayar pajak ke raja. Sawah beririgasi juga sudah disebut dalam kitab itu. 

Selama masa Majapahit, ekspor beras juga sudah dilakukan. Meski demikian, Koentjaraningrat telah menyebut adanya petani miskin di desa yang serba miskin, di samping mereka yang bergaya hidup keraton dengan segala kemewahannya. 

Setelah Majapahit, catatan mengenai budidaya padi terdapat di Mataram. Di dalam buku Nusa Jawa Silang Budaya (1996) karya Dennys Lombard terdapat catatan mengenai kepemilikan sawah. Di Mataram, sawah tidak hanya dimiliki oleh raja, tetapi juga oleh bangsawan. Bangsawan berhak mengelola lahan yang kemudian dikerjakan oleh rakyat biasa. 

Di dalam buku yang sama disebutkan, tahun 1804 Residen Yogyakarta Matthias Waterloo mencatat mengenai kondisi produksi padi. "Cukuplah kita bandingkan daerah penghasil padi sekarang dan dua puluh tahun sebelumnya," katanya. 


 Ketika Inggris berkuasa di Jawa, Gubernur Jenderal TS Raflles (1811-1816) juga menulis, sedikit negeri yang rakyatnya bisa makan sebaik di Jawa. Jarang orang pribumi yang tidak dapat memperoleh satu kati beras yang dibutuhkan per hari. Di dalam bukunya berjudul History of Java (1817), Raflles merinci berbagai alat yang digunakan untuk budidaya padi. 

Catatan oleh penulis lainnya menyebutkan, di Kesultanan Yogyakarta beras masih merupakan komoditas ekspor utama, selain produk lainnya seperti tembakau, batik, dan kain. 

Di samping berbagai catatan di atas, keberadaan mitos mengenai dewi pelindung pertanian, yaitu Dewi Sri, membuktikan bahwa budidaya padi merupakan bagian hidup yang penting dari masyarakat di Nusantara, terutama Jawa. Hingga kini pemujaan terhadap Dewi Sri masih dilakukan petani di berbagai daerah. 

Di dalam buku Serat Cariyos Dewi Sri disebutkan, cerita tentang Dewi Sri merupakan salah satu hasil karya sastra Jawa. Cerita itu mengisahkan turunnya Dewi Sri dari surga ke dunia dengan membawa benih padi yang kemudian menjadi bahan makanan pokok orang Jawa. Dewi Sri dianggap sebagai tokoh mistis yang dapat memengaruhi kehidupan manusia sebagai pelindung pertanian. 

Kemiskinan 
Kisah-kisah petani padi setelah pertengahan abad ke-19-sejak tanam paksa diberlakukan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch (1830)-makin banyak diwarnai kisah pilu. Pada masa itu mulai terdapat kelaparan di berbagai daerah seperti di Cirebon akibat konversi sawah menjadi lahan perkebunan. 

Peneliti Peter Boomgard dalam disertasinya tahun 1989, yang kemudian menjadi buku dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Anak Jajahan Belanda, menyebutkan, meski selama tahun 1815-1880 mayoritas terbesar penduduk Jawa bekerja di sektor pertanian, makin banyak penduduk di daerah pedesaan terlibat dalam kegiatan nonpertanian sebagai sumber penghasilan. 

Citra Jawa pada abad ke-19-yang juga terus terjadi hingga kini-adalah kemiskinan dan kemandekan. Pulau itu memang dihuni jutaan petani yang harus hidup dari petak-petak tanah mereka yang kecil dan jutaan kuli yang berusaha untuk hidup di daerah perkotaan yang padat penduduk. Laporan kelaparan kembali terjadi setelah krisis ekonomi 1930. 

Situasi itu sebenarnya sudah meresahkan. Peneliti Prof WF Wertheim pernah mengatakan, ketimpangan yang semakin besar di Jawa hanya tinggal menunggu "tutupnya meledak". Meski demikian, ada juga yang sependapat dengan Prof C Geertz bahwa kaum tani Jawa tidak akan menuju situasi eksplosif, tetapi akan puas dengan "berinvolusi" karena sudah terbiasa "berbagi kemiskinan". 

Koentjaraningrat pernah mengusulkan suatu studi mengenai para petani miskin yang tidak memiliki tanah ini dapat menyesuaikan diri dengan suatu kehidupan yang penuh kesengsaraan dan dapat bertahan hidup di daerah pedesaan di Jawa. 

Agraris 
Apa pun situasinya pada masa lalu dan masa sekarang, pengakuan terhadap nenek moyang kita yang adalah petani padi tidak bisa dihindari. Bila pembaca kurang percaya dengan kenyataan ini, telitilah nama orangtua kita atau kakek-nenek kita sendiri, dengan mudah ditemukan bahwa nenek moyang kita memang petani padi. 

Bila saja pendahulu kita bernama tidak jauh dari nama Ponimin, Parjiman, Mujinem, Mujirah, Parijan, dan lain-lain, sebenarnya asal-usul kita memang dari generasi petani padi masa lalu. Seorang peneliti bernama R Hatley (1977) pernah menyelidiki sejumlah nama penduduk di Jawa. Ia menemukan beberapa nama yang menunjukkan asal lingkungannya adalah dusun-dusun agraris. 

Dari kenyataan ini, masihkah kita membiarkan petani padi sengsara, padahal kita tahu persis mereka adalah nenek moyang kita? Korea Selatan dan Jepang menggunakan kisah, sejarah, dan tradisi nenek moyangnya dalam berdiplomasi di forum internasional agar para petani mendapat perlindungan yang memadai.

Wednesday, 13 September 2017

Gerobak Produktif Organisasi


Membedakan antara orang yang produktif dan destruktif

Tipe Pertama yaitu : Pekerja (Pemimpin)
Dialah yang mengambil tanggung jawab penuh atas pekerjaannya dan dengan demikian sangat membantu menjalankan roda organisasi

Tipe Kedua yaitu : Anggota Pekerja yang sangat efektif
Tipe anggota pekerja ini memiliki kemauan besar untuk berkerja , belajar dan meningkatkan kemampuan demi majunya organisasi.
Dengan bimbingan dan pelatihan yang benar , ia kelak akan menjadi performer dimasa depan organisasi.

Tipe Ketiga yaitu : Anggota Pekerja yang tidak efektif
Dia agak bersedia membantu, namun kontribusinya tidak membuat banyak perbedaan untuk hasil keseluruhan organisasi.

Tipe Keempat yaitu : Tipe Angota Pekerja "PTS" atau Potensi Sumber Masalah
Tipe anggota pekerja PTS ini akan naik dan turun dan bergantian antara membantu sekaligus menghancurkan organisasi.
Pengaruhnya membuat pekerjaan organisasi lebih keras dan kurang dapat diprediksi bagi orang lain.

Tipe Kelima yaitu : Tipe Anggota Pekerja yang Pribadinya Supresif atau "SP"
Dia secara aktif berusaha untuk menghancurkan operasional organisasi tetapi sering mencoba memyembunyikan perbuatannya dengan menggunakan "kebaikan" topeng sosial.
SP terutama jika tidak terdeteksi , akan merupakan ancaman yang sangat berbahaya bagi kelangsungan organisasi.

Pesan :
Pelajari cara tepat membedakan antara orang produktif dan destruktif ...
Itu membantu Anda mendapatkan Tim pekerja yang lebih aman, stabil & produktif ...

Saturday, 9 September 2017

*Yu Tenong*

Saat berkeliling Jogja terkadang terlihat ibu2 paruh baya menggendong keranjang bundar berwarna krem yg terbuat dr bambu dgn tulisan Trubus.

Tersusun 3 silinder dgn diameter kira2 80 cm yg saling ditumpuk shg tertutup rapat. Keranjang tsb disebut *tenong*, berisi aneka makanan dan kudapan lezat. Para ibu paruh baya menggendong tenong dgn selendang spt yg biasa digunakan utk menggendong bayi atau anak balita.

Tangannya menenteng keranjang yg berisi daun pisang, kantong plastik atau kertas utk alas atau pembungkus makanan yg dibeli. Pakaian yg dikenakan masih tradisional, yaitu dgn kebaya hijau (kadang merah atau putih), kain jarik, dan mengenakan tutup kepala yg disebut caping. Mulai jam 11 siang adalah saat tenong2 tsb disiapkan berisi penuh aneka kudapan dan menu nasi beraneka macam.

Para ibu2 ini mengambil makanannya dr Toko Trubus lalu berpencar ke seluruh kota Jogja. Trubus dikelola oleh salah satu keluarga Tionghoa yg tinggal di Yogyakarta yg tadinya membuka toko makanan kudapan yg terkenal lezat rasanya. 


Tenongan Trubus telah dikenal sejak ber-puluh2 tahun lalu dan setia hingga era globalisasi sekarang. Tenongan Trubus terasa menjadi sesuatu yg unik dan khas lestari hingga kini yg memiliki ciri sebagai penjual makanan dan kudapan akulturasi dr masakan Tionghoa dan Belanda. Jajanan yg ditawarkan semuanya nikmat dan berkelas, sehingga walaupun harganya di atas rata2 namun peminatnya tetap banyak.

Sesekali, para ibu yg terkadang dipanggil dgn nama *Yu Tenong atau Mbok Tenong* ini singgah di bbbrp tempat ramai utk menjajakannya, misalnya di pasar, kantor, ataupun fasilitas umum atau di bbrp tempat yg sudah rutin menjadi tempat mangkalnya, 

Yu Tenong selalu ditunggu dan disambut pelanggan setianya. Makanan yg dijajakan antara lain spt nasi goreng, nasi kuning, bistik, rolade, bihun goreng, bakmi goreng, dan lain-lain. 

Ada juga kudapan paling populer yaitu lumpia Trubus dengan isi rebung, telur, ayam, dan ebi dilengkapi dgn saus bawangnya. Kemudian ada lapis udang, risoles, kroket, sosis Solo, lapis Surabaya, roti pisang, onde-onde, pastel, semar mendem, telaga biru, jenang monte, dan masih banyak lagi.

Para Mbok Tenong telah menjadi pelestari makanan tradisional hingga sekarang. Masih setia berkeliling menjajakan makanan tradisional dgnn tenong meskipun zaman telah berubah. Mereka telah menjadi salah satu ciri khas makanan jajanan jalanan Yogyakarta dan jarang ditemukan di tempat lain. Kalau dahulu yg berkeliling ada sekitar 60 orang, sekarang yg masih sanggup berkeliling tinggal separuhnya.

Sumber: Murdijati Gardjito Dkk. 2017. Kuliner Yogyakarta: Pantas Dikenang Sepanjang Masa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.