".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Friday 29 September 2017

Pelajaran Dari Semangkuk Soto

Dalam atlas besar makanan Indonesia, soto merupakan makanan yg gampang dijumpai di saban tempat. Ia tak hanya ada di Solo, kota yg dijuluki “surganya makanan”. Jenis makanan ini mudah diburu dr ujung timur sampai barat wilayah Nusantara, dan menyimpan cerita unik menurut lokalitasnya

Menurut sejarawan termasyhur Prancis, Denys Lombard, soto berasal dr kata *cao du* (baca: chau tu) dan dlm bahasa Hokkian berbunyi *chau to*. Sementara Russel Jones dalam buku Loanwords in Indonesian-Malay (2008) memilih kata *shao du* (baca: sao tu) dalam dialek Hokkian berbunyi *sia to*.

Pustaka Peranakan Tionghoa dlm Kuliner Nusantara (2013) memberi terang makanan penghangat tubuh ini mendarat bersama komunitas imigran dr Tiongkok. Mereka juga mengusung budaya baru dalam makan setempat, yaitu mengenalkan peranti mangkok, piring, dan sendok kepada pribumi utk menyantap makanan berkuah dan panas seperti soto. Lambat laun, soto menjamur. Budaya makan yg cair menyebabkan soto sulit diklaim milik suatu etnis atau kota tertentu.

Ciri khas keseragamannya ialah semuanya berkuah, baik yg bersantan kental, encer, bening maupun kekuningan. Bahan dagingnya varian, sebut saja ayam, udang, sapi, kerbau, dan bebek. Diperkaya dgn jeroan ayam ataupun sapi (babat, paru, dan jantung) yg diramu dgn bermacam bumbu. Ini bukti kreativitas manusia dan pemanfaatan bahan secara menyeluruh, mengacu ungkapan *memakan semua yg berkaki empat kecuali meja, dan semua berkaki dua kecuali manusia*. Pelengkap dan penyedapnya juga lebih variatif. Antara lain suun, taoge, daun bawang, potongan tomat, emping, seledri, bawang merah, dan bawang putih goreng, bubuk koya, dan lainnya.

Penyair kawakan Goenawan Mohamad (2011) dgn lincah menempatkan soto dalam konteks *Sumpah Pemuda*. Dewasa ini, kita bisa bebas melahap soto semarang (bangkong, selan, bokoran), soto kudus, soto (tauto) Pekalongan, soto (saoto) solo, soto bandung, soto banjar, soto betawi, soto madura, soto lamongan, rujak soto banyuwangi, dan soto makassar. Harga sekian jenis soto ini umumnya terjangkau oleh isi kantong.

Soto berkelindan dengan kelaziman perut dan lidah yg dibangun oleh pengalaman sedari kanak-kanak. Orang yg sejak berumur enam tahun dihibur ibunya dgn makan soto bersantan Madura tak gampang jatuh cinta kpd soto yg dimakan Jokowi dan para tamunya. Ringkasnya, soto bertalian dgn selera, hasrat, kenikmatan, ingatan, dan alam bawah sadar yg kadang muncul.

Menurut Goenawan, soto bertautan pula dgn sesuatu yg mengandung hal ikhwal yg tak selamanya mampu dibuat terang dan rapi. Soto seluruh Indonesia gagal diseret menjadi bagian dari Sumpah Pemuda. Ini bukti dlm hidup terdapat banyak hal yg sulit dijangkau oleh bahasa, hukum, konvensi bersama, dan agama. Kendati demikian, ada pesan damai bagi manusia Indonesia modern dalam makan soto yg beragam cita rasa itu.

Note:
Diambil dr cuplikan artikel Hery Priyatmoko, Dosen Sejarah, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta