PENDAHULUAN :
Kuliner etnik atau kuliner rakyat atau kuliner tradisional, merupakan salah satu hasil aktifitas kebudayaan dari suatu masyarakat. Sehingga antara kuliner dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan. Mereka menyatu dalam satu struktur kebudayaan yang secara sadar digerakkan oleh masyarakat tersebut.
Dengan menyesuaikan kondisi geografik masyarakat menyusun dan mengolah masakan dengan kebiasaan yang mereka ciptakan sendiri. Struktur kebudayaan yang telah bergerak mengandung satu manifestasi / ide / gagasan kebudayaan yang wajib untuk ditafsirkan. Dengan kata lain, mengandung satu makna filosofis bagi masyarakat setempat. Pemasukan gagasan kebudayaan tersebut ditujukan untuk memberikan nilai yang kemudian akan diturunkan ke generasi berikutnya.
Dalam kuliner etnik, biasanya makna filosofis yang terkandung didalamnya dapat ditandai dengan penggunaan bahan masakan. Artinya setiap bahan dasar masakan memiliki fungsi maknanya sendiri, bukan hanya sekadar hasil akhir yakni “dimakan” melainkan kuliner tersebut membawai satu makna filosofis yang mendalam bagi masyarakat setempat.
Hal ini dikarenakan masakan merupakan agen vital bagi pertumbuhan tubuh. Lebih dari itu, masakan berasal dari alam dan akan semuanya itu dikembalikan lagi ke alam. Dengan kata lain alam dan tubuh berada dalam satu lingkaran siklus, yang mana siklus ini akan selalu berputar ketika pewarisan ide/gagasan masih berjalan dengan baik.
Penggunaan masakan sebagai representasi filosofis masyarakat bukan tanpa sebab, sejak zaman dulu manusia telah mengenal kebiasaan untuk mempersembahkan sesaji. Seperti yang terjadi di zaman pagan (agama penyembah alam) dimana dalam masyarakat pagan mereka menggunakan daging binatang buruan sebagai sesaji. Dan daging tersebut dibakar karena pada saat itu kebiasaan memasak dengan cara digoreng belum dikenal oleh masyarakat tersebut.
Hal yang terjadi menyatakan, suatu kebudayaan akan menciptakan cara tersendiri untuk merepresentasikan makna filosofis yang dipercayai oleh tiap pelaku kebudayaan dalam bentuk kuliner. Makanan rakyat atau kuliner tradisional mengandung satu manifestasi kreatifitas kebudayaan yang berlangsung di dalam satu masyarakat setempat, dimana manifestasi ini berupa nilai yang kemudian akan diturunkan ke anak cucu.
MAKANAN:
Proses kehidupan manusia baik sejak dalam kandungan hingga akhir hayatnya, tak dapat melepaskan dirinya dari makan dan minum. Karena sangat pentingnya makanan bagi sebuah suku bangsa, maka terdapat keyakinan tertentu bahwa sumber makanan secara simbolik disamakan dengan dewa-dewi suci.
Budaya Jawa memandang tanaman pangan dan tanaman obat sebagai bagian dari kearifan lokal yang berbasis pada sistem kepercayaan. Sebagai contoh, masih adanya keyakinan Dewi Sri merupakan simbol kesuburan dan kesejahteraan boga. Sedangkan masyarakat pesisisir di Jawa Timur menjauhi ikan tertentu karena diyakini sebagai hewan jelmaan dari Dewa yang telah menyelamatkan para nelayan di laut lepas. Meskipun adat budaya Jawa mengalami perubahan sosial yang sangat luar biasa, namun tradisi atas boga dan husada sampai sekarang masih melekat pada masyarakat setempat.
Dalam adat Jawa, hal yang berkaitan dengan bahan makanan dan pengobatan tidak dapat dipisahkan dari sistem kepercayaan dan sistem sosial budaya. Seperti juga masyarakat Bali, melalui konsep budaya Tri Hita Karana, memandang tanaman merupakan suatu yang bermakna religius yang mewakili kearifan lokal adat masyarakat setempat. Banyak lontar suku Bali menuliskan berbagai khasiat dan manfaat tanaman untuk upacara keagamaan, obat dan makanan yang semuanya bernilai religi dan punya pesan moral untuk pengolahan maupun pengadaannya.
Dalam kehidupan modern, ada hal-hal yang secara tradisi belum tentu usang atau kuno, bahkan yang telah mengalami perubahan makna menjadi lebih eksotis, yaitu ciri khas yang bernilai ekonomi, sosial, dan budaya. Akibat dari transformasi budaya, banyak kalangan merindukan masa lalu untuk hadir kembali ke masa kini dalam balutan modern. Secara global terdapat pergeseran nilai untuk kembali kepada alam (back to nature); seperti dalam upaya mempopulerkan kembali minuman air putih , pemanfaatan tanam-tanaman obat secara alamiah untuk penyembuhan penyakit, kosmetika dan stamina kesehatan.
Hal ini lumrah terjadi karena dalam perspektif pos-modern, konsep-konsep “the past in the present” merupakan fenomena budaya yang berimplikasi pada peningkatan kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya. Kesemua itu pada akhirnya bermuara pada konsep penguatan identitas budaya sebagai bagian dari sistem ketahanan sosial budaya masyarakat setempat yang dalam aplikasinya memberi nilai positif terhadap kehidupan ekonomi mereka. Sebagai contoh seperti tumbuhnya rumah makan yang menyajikan menu tradisional dan kuliner maupun obat-obatan yang mampu memperkuat identitas budaya yang dapat dijadikan kekuatan ekonomi dan ketahanan nasional.
KULINER RAKYAT :
Secara sederhana, identifikasi kuliner dapat di-klasifikasi berupa makanan, minuman, dan makanan ringan atau jajanan. Sedangkan klasifikasi makanan dapat dibedakan antara makanan harian dan makanan adat tradisi yang berkaitan dengan peringatan daur hidup dan makanan untuk sesaji upacara ritual. Klasifikasi minuman terdiri dari minuman ringan dalam kegiatan sehari-hari maupun untuk upacara adat dan resepsi. Terdapat pula minuman jamu untuk terapi kesehatan yang dikonsumsi sebagai minuman segar. Klasifikasi tersebut merupakan identifikasi atas bahan, manfaat dan nilai, karena kuliner merupakan bagian dari kehidupan manusia, kebudayaan dan lingkungannya.
Dalam perspektif budaya, kuliner menggambarkan sebuah identitas lokal yang mencirikan lingkungan dan kebiasaan. Kuliner juga menggambarkan representasi, regulasi, konsumsi dan produksi dari kebudayaan yang berkembang di suatu masyarakat. Pola makan dan jenis makanan masyarakat dapat menggambarkan perilaku gaya hidup seperti kesehatan, lingkungan dan sistem-sistem sosial masyarakat pendukungnya.
Kuliner adalah proses hasil suatu sikap dan produk perilaku sosial dari suatu masyarakat dengan berbagai macam makna-nya maupun dapat menunjukkan latar belakang sosial, ekonomi dan penggolongan masyarakat bersangkutan. Oleh sebab itu dalam tata boga suatu masyarakat, kuliner ada kalanya dikelola dengan regulasi adat yang berisi anjuran, pantangan dan etika tata-cara pemanfaatannya.
Berdasarkan pemahaman di atas, secara umum dapat dikatakan bahwa kuliner tradisional merupakan spiritulitas non-verbal folklore dari identitas sosial budaya suatu masyarakat setempat. Disini yang dimaksud dengan folklore adalah suatu keyakinan tradisional, adat istiadat, dan cerita / dongeng dari masyarakat, melewati garis kehidupan generasi ke generasi dari mulut ke mulut.
Kuliner tradisional dipahami sebagai gambaran kompleksitas antara pola hidup masyarakat yang mampu menghadirkan identitas kolektivitas dan representasi sosial budaya berbasis tata boga. Baik itu dalam mengkonsepkan makanan, fungsi sosial makanan, cara memperoleh makanan, cara mengolah makanan dan cara menyajikan makanan. Dengan demikian ada keterkaitan antara identitas sosial dengan representasi budaya, pola konsumsi dan produksi makanan yang melatar belakangi aturan dalam menyepakati produk budaya berupa kuliner tradisional.
Sebagai non-verbal folklore, makanan tradisional menyimpan informasi mengenai pola hidup masyarakat berdasarkan bahan-bahan makanan dan cara pengolahan makanan. Memahami karakter makanan rakyat (kuliner tradisional) dapat berimplikasi terhadap aspek sosial, ekonomi dan kesehatan. Oleh sebab dapat dikatakan ada kaitan erat antara kebiasaan tata-kelola kuliner tradisional dengan tata-kelola taraf hidup sosial budaya masyarakat, karena pola makan punya hubungan dengan ketersediaan sumber pangan berbasis kekuatan dan produktivitas ekonomi.
Selain itu, ke-aneka-ragaman olah makanan rakyat melalui tradisi kuliner masyarakat menunjukkan pola-pola kesamaan hidup dalam interaksi sosial, sehingga secara "local indigenous" (adat penduduk asli lokal setempat) menggambarkan kearifan lokal pangan yang menginformasikan keadaan taraf atau tingkat tata kehidupan sehat, sosial, religi, dan inisiatif-inisiatif lokal.
Hal yang paling penting dalam menentukan apakah sumber-daya alam, sosial, lingkungan dan budaya memberikan sumbangan yang berkesinambungan pada masyarakat adalah dengan mengetahui informasi bagaimana masyarakat memiliki ases sumber-daya hayati, menjadikannya sebagi identitas, mengembangkannya sebagai fungsi-fungsi sosial yang positif dan mengkreasikannya dalam tata makanan rakyat (kuliner tradisional) sebagai representasi kekuatan sosial. Berdasarkan inventarisasi makanan, bahan makanan, pengolahan dan penyajiannya dapat diketahui representasi sosial dan taraf pola hidup sehat berdasarkan pemanfaatan sumber-sumber hayati.
Seperti halnya kajian terhadap bumbu-bumbu makanan dapat menginformasikan kepada kita mengenai tingkat pangan dan gizi keluarga yang berbasis herbarial medicine. Oleh karena itu budaya kuliner tradisional dapat dijadikan indikator analisa terhadap identitas, representasi dan kebiasaan konsumsi masyarakat setempat. Selain itu, produksi dan regulasi makanan tradisional dipandang sebagai informasi sumber kekayaan budaya suatu budaya masyarakat setempat.
PERGESERAN MAKNA :
Seiring dengan perkembangan zaman, spiritulitas kuliner tradisional tidak lagi mendapatkan tempat bagi masyarakat Indonesia sehingga identitasnya mengalami pergeseran makna. Faktor globalisasi dan dampak pasar bebas yang menyebar dalam kehidupan kita selama ini menyebabkan beberapa perubahan yang secara sadar diubah oleh masyarakat itu sendiri.
Dalam penyebarannya, walaupun telah dicoba untuk menyesuaikan dengan kebudayaan lokal setempat, yang kemudian mendapatkan persetujuan dari masyarakat, adalah hanya berupa pengakuan bahwa kuliner tradisional itu masih ada (exist). Yang terjadi sekarang, kuliner etnik atau kuliner rakyat atau kuliner tradisional telah mengalami pergeseran makna. Yang awal mulanya digunakan sebagai pengingat untuk menjaga keseimbangan alam, kini kehadirannya semata hanya sebagai bukti fisik sejarah tanpa makna nilai filosofis, ritual dan pesan folklore dari para leluhur.
Pembaharuan ide / gagasan yang mendiami satu kuliner etnik merupakan hal yang memang semestinya terjadi. Zaman semakin berubah dan hal-hal yang baru akan selalu ada, sehingga kuliner rakyat mampu bertahan seiring dengan zaman dan seyogyanya harus ada bagian-bagian tertentu yang diubah. Misalkan dengan pergeseran maknanya. Meskipun hal ini tidak dilakukan dengan sengaja, namun benturan antara manifestasi kebudayaan lama dengan kebudayaan baru akan selalu menghasilkan satu perpaduan, yang jika dicermati masih mengandung ide –ide lama dan ada bagian sendiri bagi ide-ide baru.
KATA PENUTUP :
Kuliner tradisional merupakan salah satu kekayaan budaya yang sepatutnya harus digali kembali popularitasnya. Sebagai salah satu aset budaya, upaya itu dapat dilakukan melalui revitalisasi dan proses transformasi melalui konsep invented tradition yang bernilai ekonomis dan daya jual promotif untuk pariwisata dan budaya. Upaya ini perlu dilakukan untuk mengimbangi serbuan kuliner asing dan model franchise kuliner akibat dampak pasar bebas dan globalisasi. Kuliner tradisional di Indonesia semakin tidak popular dan kalah dengan Thailand, Jepang dan China. Kuliner sebagai bagian dari folklore, sudah semestinya diusahakan untuk dipopulerkan kembali, baik oleh Pemerintah, pelaku usaha maupun masyarakat secara luas.
Apabila ada anggapan bahwa kurang populernya kuliner tradisional Indonesia disebabkan terlalu banyak varian dan cara masak yang terlalu lama, sudah tentu bukan suatu penilaian yang benar sama sekali. Ada keterkaitan antara sumber perolehan bahan makanan, kebudayaan, tradisi dan tata kebiasaan masyarakat. Oleh sebab itu makanan tradisional bagi masyarakat pemilik kebudayaan merupakan sumber pangan, obat-obatan dan sekaligus sebagai sarana pelaksanaan adat, tradisi dan sistem kepercayaan. Kuliner juga dapat dipandang sebagai modal ekonomi, karena dengan basis pariwisata dapat meningkatkan devisa negara sebagaimana telah berhasil diterapan di Thailand.
Untuk tujuan pemberdayaan, perlindungan dan kelestarian lingkungan, dengan melihat keanekaragaman kuliner tradisional rakyat, dapat dibuat rencana yang berkaitan dengan penguatan dan pemberdayaan ekonomi, sosial dan budaya rakyat. Informasi mengenai makanan rakyat dan tata-kelolanya perlu didukung oleh etnobotani, etnologi dan etnonomics sebagai bagian dari ilmu yang mencoba memahami masyarakat secara partisipatif dan seluruh kearifan lokal yang ada. Oleh sebab itu, kuliner tradisional bukan saja sebagai ilmu tata boga tradisional melainkan dapat juga menjadi ruang pengetahuan dan kearifan lokal.
Sumber referensi artikel:
George, Susan. (terj. Sandria Komalasari). 2007. Pangan dari Penindasan sampai ke Ketahanan Pangan. Yogyakarta: Insist.
J. Daeng , Hans. 2000. Manusia Kebudayaan dan Lingkungan Tinjauan Antropologis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Wahono, Francis, dkk. 2004. Pangan Kearifan Lokal dan Keanekaragaman Hayati. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
Kuliner etnik atau kuliner rakyat atau kuliner tradisional, merupakan salah satu hasil aktifitas kebudayaan dari suatu masyarakat. Sehingga antara kuliner dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan. Mereka menyatu dalam satu struktur kebudayaan yang secara sadar digerakkan oleh masyarakat tersebut.
Dengan menyesuaikan kondisi geografik masyarakat menyusun dan mengolah masakan dengan kebiasaan yang mereka ciptakan sendiri. Struktur kebudayaan yang telah bergerak mengandung satu manifestasi / ide / gagasan kebudayaan yang wajib untuk ditafsirkan. Dengan kata lain, mengandung satu makna filosofis bagi masyarakat setempat. Pemasukan gagasan kebudayaan tersebut ditujukan untuk memberikan nilai yang kemudian akan diturunkan ke generasi berikutnya.
Dalam kuliner etnik, biasanya makna filosofis yang terkandung didalamnya dapat ditandai dengan penggunaan bahan masakan. Artinya setiap bahan dasar masakan memiliki fungsi maknanya sendiri, bukan hanya sekadar hasil akhir yakni “dimakan” melainkan kuliner tersebut membawai satu makna filosofis yang mendalam bagi masyarakat setempat.
Hal ini dikarenakan masakan merupakan agen vital bagi pertumbuhan tubuh. Lebih dari itu, masakan berasal dari alam dan akan semuanya itu dikembalikan lagi ke alam. Dengan kata lain alam dan tubuh berada dalam satu lingkaran siklus, yang mana siklus ini akan selalu berputar ketika pewarisan ide/gagasan masih berjalan dengan baik.
Penggunaan masakan sebagai representasi filosofis masyarakat bukan tanpa sebab, sejak zaman dulu manusia telah mengenal kebiasaan untuk mempersembahkan sesaji. Seperti yang terjadi di zaman pagan (agama penyembah alam) dimana dalam masyarakat pagan mereka menggunakan daging binatang buruan sebagai sesaji. Dan daging tersebut dibakar karena pada saat itu kebiasaan memasak dengan cara digoreng belum dikenal oleh masyarakat tersebut.
Hal yang terjadi menyatakan, suatu kebudayaan akan menciptakan cara tersendiri untuk merepresentasikan makna filosofis yang dipercayai oleh tiap pelaku kebudayaan dalam bentuk kuliner. Makanan rakyat atau kuliner tradisional mengandung satu manifestasi kreatifitas kebudayaan yang berlangsung di dalam satu masyarakat setempat, dimana manifestasi ini berupa nilai yang kemudian akan diturunkan ke anak cucu.
MAKANAN:
Proses kehidupan manusia baik sejak dalam kandungan hingga akhir hayatnya, tak dapat melepaskan dirinya dari makan dan minum. Karena sangat pentingnya makanan bagi sebuah suku bangsa, maka terdapat keyakinan tertentu bahwa sumber makanan secara simbolik disamakan dengan dewa-dewi suci.
Budaya Jawa memandang tanaman pangan dan tanaman obat sebagai bagian dari kearifan lokal yang berbasis pada sistem kepercayaan. Sebagai contoh, masih adanya keyakinan Dewi Sri merupakan simbol kesuburan dan kesejahteraan boga. Sedangkan masyarakat pesisisir di Jawa Timur menjauhi ikan tertentu karena diyakini sebagai hewan jelmaan dari Dewa yang telah menyelamatkan para nelayan di laut lepas. Meskipun adat budaya Jawa mengalami perubahan sosial yang sangat luar biasa, namun tradisi atas boga dan husada sampai sekarang masih melekat pada masyarakat setempat.
Dalam adat Jawa, hal yang berkaitan dengan bahan makanan dan pengobatan tidak dapat dipisahkan dari sistem kepercayaan dan sistem sosial budaya. Seperti juga masyarakat Bali, melalui konsep budaya Tri Hita Karana, memandang tanaman merupakan suatu yang bermakna religius yang mewakili kearifan lokal adat masyarakat setempat. Banyak lontar suku Bali menuliskan berbagai khasiat dan manfaat tanaman untuk upacara keagamaan, obat dan makanan yang semuanya bernilai religi dan punya pesan moral untuk pengolahan maupun pengadaannya.
Dalam kehidupan modern, ada hal-hal yang secara tradisi belum tentu usang atau kuno, bahkan yang telah mengalami perubahan makna menjadi lebih eksotis, yaitu ciri khas yang bernilai ekonomi, sosial, dan budaya. Akibat dari transformasi budaya, banyak kalangan merindukan masa lalu untuk hadir kembali ke masa kini dalam balutan modern. Secara global terdapat pergeseran nilai untuk kembali kepada alam (back to nature); seperti dalam upaya mempopulerkan kembali minuman air putih , pemanfaatan tanam-tanaman obat secara alamiah untuk penyembuhan penyakit, kosmetika dan stamina kesehatan.
Hal ini lumrah terjadi karena dalam perspektif pos-modern, konsep-konsep “the past in the present” merupakan fenomena budaya yang berimplikasi pada peningkatan kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya. Kesemua itu pada akhirnya bermuara pada konsep penguatan identitas budaya sebagai bagian dari sistem ketahanan sosial budaya masyarakat setempat yang dalam aplikasinya memberi nilai positif terhadap kehidupan ekonomi mereka. Sebagai contoh seperti tumbuhnya rumah makan yang menyajikan menu tradisional dan kuliner maupun obat-obatan yang mampu memperkuat identitas budaya yang dapat dijadikan kekuatan ekonomi dan ketahanan nasional.
KULINER RAKYAT :
Secara sederhana, identifikasi kuliner dapat di-klasifikasi berupa makanan, minuman, dan makanan ringan atau jajanan. Sedangkan klasifikasi makanan dapat dibedakan antara makanan harian dan makanan adat tradisi yang berkaitan dengan peringatan daur hidup dan makanan untuk sesaji upacara ritual. Klasifikasi minuman terdiri dari minuman ringan dalam kegiatan sehari-hari maupun untuk upacara adat dan resepsi. Terdapat pula minuman jamu untuk terapi kesehatan yang dikonsumsi sebagai minuman segar. Klasifikasi tersebut merupakan identifikasi atas bahan, manfaat dan nilai, karena kuliner merupakan bagian dari kehidupan manusia, kebudayaan dan lingkungannya.
Dalam perspektif budaya, kuliner menggambarkan sebuah identitas lokal yang mencirikan lingkungan dan kebiasaan. Kuliner juga menggambarkan representasi, regulasi, konsumsi dan produksi dari kebudayaan yang berkembang di suatu masyarakat. Pola makan dan jenis makanan masyarakat dapat menggambarkan perilaku gaya hidup seperti kesehatan, lingkungan dan sistem-sistem sosial masyarakat pendukungnya.
Kuliner adalah proses hasil suatu sikap dan produk perilaku sosial dari suatu masyarakat dengan berbagai macam makna-nya maupun dapat menunjukkan latar belakang sosial, ekonomi dan penggolongan masyarakat bersangkutan. Oleh sebab itu dalam tata boga suatu masyarakat, kuliner ada kalanya dikelola dengan regulasi adat yang berisi anjuran, pantangan dan etika tata-cara pemanfaatannya.
Berdasarkan pemahaman di atas, secara umum dapat dikatakan bahwa kuliner tradisional merupakan spiritulitas non-verbal folklore dari identitas sosial budaya suatu masyarakat setempat. Disini yang dimaksud dengan folklore adalah suatu keyakinan tradisional, adat istiadat, dan cerita / dongeng dari masyarakat, melewati garis kehidupan generasi ke generasi dari mulut ke mulut.
Kuliner tradisional dipahami sebagai gambaran kompleksitas antara pola hidup masyarakat yang mampu menghadirkan identitas kolektivitas dan representasi sosial budaya berbasis tata boga. Baik itu dalam mengkonsepkan makanan, fungsi sosial makanan, cara memperoleh makanan, cara mengolah makanan dan cara menyajikan makanan. Dengan demikian ada keterkaitan antara identitas sosial dengan representasi budaya, pola konsumsi dan produksi makanan yang melatar belakangi aturan dalam menyepakati produk budaya berupa kuliner tradisional.
Sebagai non-verbal folklore, makanan tradisional menyimpan informasi mengenai pola hidup masyarakat berdasarkan bahan-bahan makanan dan cara pengolahan makanan. Memahami karakter makanan rakyat (kuliner tradisional) dapat berimplikasi terhadap aspek sosial, ekonomi dan kesehatan. Oleh sebab dapat dikatakan ada kaitan erat antara kebiasaan tata-kelola kuliner tradisional dengan tata-kelola taraf hidup sosial budaya masyarakat, karena pola makan punya hubungan dengan ketersediaan sumber pangan berbasis kekuatan dan produktivitas ekonomi.
Selain itu, ke-aneka-ragaman olah makanan rakyat melalui tradisi kuliner masyarakat menunjukkan pola-pola kesamaan hidup dalam interaksi sosial, sehingga secara "local indigenous" (adat penduduk asli lokal setempat) menggambarkan kearifan lokal pangan yang menginformasikan keadaan taraf atau tingkat tata kehidupan sehat, sosial, religi, dan inisiatif-inisiatif lokal.
Hal yang paling penting dalam menentukan apakah sumber-daya alam, sosial, lingkungan dan budaya memberikan sumbangan yang berkesinambungan pada masyarakat adalah dengan mengetahui informasi bagaimana masyarakat memiliki ases sumber-daya hayati, menjadikannya sebagi identitas, mengembangkannya sebagai fungsi-fungsi sosial yang positif dan mengkreasikannya dalam tata makanan rakyat (kuliner tradisional) sebagai representasi kekuatan sosial. Berdasarkan inventarisasi makanan, bahan makanan, pengolahan dan penyajiannya dapat diketahui representasi sosial dan taraf pola hidup sehat berdasarkan pemanfaatan sumber-sumber hayati.
Seperti halnya kajian terhadap bumbu-bumbu makanan dapat menginformasikan kepada kita mengenai tingkat pangan dan gizi keluarga yang berbasis herbarial medicine. Oleh karena itu budaya kuliner tradisional dapat dijadikan indikator analisa terhadap identitas, representasi dan kebiasaan konsumsi masyarakat setempat. Selain itu, produksi dan regulasi makanan tradisional dipandang sebagai informasi sumber kekayaan budaya suatu budaya masyarakat setempat.
PERGESERAN MAKNA :
Seiring dengan perkembangan zaman, spiritulitas kuliner tradisional tidak lagi mendapatkan tempat bagi masyarakat Indonesia sehingga identitasnya mengalami pergeseran makna. Faktor globalisasi dan dampak pasar bebas yang menyebar dalam kehidupan kita selama ini menyebabkan beberapa perubahan yang secara sadar diubah oleh masyarakat itu sendiri.
Dalam penyebarannya, walaupun telah dicoba untuk menyesuaikan dengan kebudayaan lokal setempat, yang kemudian mendapatkan persetujuan dari masyarakat, adalah hanya berupa pengakuan bahwa kuliner tradisional itu masih ada (exist). Yang terjadi sekarang, kuliner etnik atau kuliner rakyat atau kuliner tradisional telah mengalami pergeseran makna. Yang awal mulanya digunakan sebagai pengingat untuk menjaga keseimbangan alam, kini kehadirannya semata hanya sebagai bukti fisik sejarah tanpa makna nilai filosofis, ritual dan pesan folklore dari para leluhur.
Pembaharuan ide / gagasan yang mendiami satu kuliner etnik merupakan hal yang memang semestinya terjadi. Zaman semakin berubah dan hal-hal yang baru akan selalu ada, sehingga kuliner rakyat mampu bertahan seiring dengan zaman dan seyogyanya harus ada bagian-bagian tertentu yang diubah. Misalkan dengan pergeseran maknanya. Meskipun hal ini tidak dilakukan dengan sengaja, namun benturan antara manifestasi kebudayaan lama dengan kebudayaan baru akan selalu menghasilkan satu perpaduan, yang jika dicermati masih mengandung ide –ide lama dan ada bagian sendiri bagi ide-ide baru.
KATA PENUTUP :
Kuliner tradisional merupakan salah satu kekayaan budaya yang sepatutnya harus digali kembali popularitasnya. Sebagai salah satu aset budaya, upaya itu dapat dilakukan melalui revitalisasi dan proses transformasi melalui konsep invented tradition yang bernilai ekonomis dan daya jual promotif untuk pariwisata dan budaya. Upaya ini perlu dilakukan untuk mengimbangi serbuan kuliner asing dan model franchise kuliner akibat dampak pasar bebas dan globalisasi. Kuliner tradisional di Indonesia semakin tidak popular dan kalah dengan Thailand, Jepang dan China. Kuliner sebagai bagian dari folklore, sudah semestinya diusahakan untuk dipopulerkan kembali, baik oleh Pemerintah, pelaku usaha maupun masyarakat secara luas.
Apabila ada anggapan bahwa kurang populernya kuliner tradisional Indonesia disebabkan terlalu banyak varian dan cara masak yang terlalu lama, sudah tentu bukan suatu penilaian yang benar sama sekali. Ada keterkaitan antara sumber perolehan bahan makanan, kebudayaan, tradisi dan tata kebiasaan masyarakat. Oleh sebab itu makanan tradisional bagi masyarakat pemilik kebudayaan merupakan sumber pangan, obat-obatan dan sekaligus sebagai sarana pelaksanaan adat, tradisi dan sistem kepercayaan. Kuliner juga dapat dipandang sebagai modal ekonomi, karena dengan basis pariwisata dapat meningkatkan devisa negara sebagaimana telah berhasil diterapan di Thailand.
Untuk tujuan pemberdayaan, perlindungan dan kelestarian lingkungan, dengan melihat keanekaragaman kuliner tradisional rakyat, dapat dibuat rencana yang berkaitan dengan penguatan dan pemberdayaan ekonomi, sosial dan budaya rakyat. Informasi mengenai makanan rakyat dan tata-kelolanya perlu didukung oleh etnobotani, etnologi dan etnonomics sebagai bagian dari ilmu yang mencoba memahami masyarakat secara partisipatif dan seluruh kearifan lokal yang ada. Oleh sebab itu, kuliner tradisional bukan saja sebagai ilmu tata boga tradisional melainkan dapat juga menjadi ruang pengetahuan dan kearifan lokal.
Sumber referensi artikel:
George, Susan. (terj. Sandria Komalasari). 2007. Pangan dari Penindasan sampai ke Ketahanan Pangan. Yogyakarta: Insist.
J. Daeng , Hans. 2000. Manusia Kebudayaan dan Lingkungan Tinjauan Antropologis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Wahono, Francis, dkk. 2004. Pangan Kearifan Lokal dan Keanekaragaman Hayati. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.