Berbicara tentang gastronomi berarti berbicara tentang masalah pangan
keseharian yang selalu dihadapi setiap orang di Indonesia yang memiliki
pengaruh besar terhadap kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara.
Pangan menurut Undang-undang No.7 tahun 1996 merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional. Pangan merupakan kebutuhan dasar dari manusia yang harus dipenuhi disamping kebutuhan akan sandang (pakaian) dan papan (tempat tinggal).
Di Indonesia keberadaan dan akses terhadap pangan yang murah dan mencukupi selalu menjadi masalah isyu nasional yang selalu coba dipecahkan Pemerintah untuk mendapatkan kepercayaan rakyat.
Swasembada pangan merupakan salah satu syarat bagi keberhasilan pembangunan nasional. Oleh karena itu persoalan pangan yang bermula dari kebutuhan individu rumah tangga turut serta menjadi persoalan nasional. Hal inilah yang kemudian membawa dan menyeret Indonesia pada praktik politik swasembada pangan.
Kearifan lokal dapat dijadikan sebagai salah satu "instrument" memasyarakatkan gastronomi melalui pangan lokal berbasis budaya yang pemahamannya menyangkut kepada pengetahuan keanekaragaman hayati, dan membangun diversifikasi serta kemandirian pangan.
Kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi dalam suatu daerah dan merupakan perpaduan antara berbagai nilai yang ada yang terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas.
Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang secara terus-menerus dijadikan pegangan nilai hidup dan universal yang terintegrasi dengan pemahaman terhadap alam dan budaya sekitarnya.
Dalam kearifan lokal, terkandung pula kearifan budaya lokal yang pengetahuan lokal yang sudah sedemikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan budaya serta diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama.
Potensi kuliner tiap-tiap daerah di Indonesia dapat dioptimalkan dengan cara memperhatikan kearifan gastronomi lokal, dan bukan tidak mungkin dengan mengangkat kearifan gastronomi lokal dari daerah, Indonesia akan menjadi negara kuat karena kulinernya.
Melalui kearifan produk kuliner lokal, ketahanan pangan nasional akan tumbuh dengan bagus manakala rakyat Indonesia mengkonsumsi makanan yang berkembang dari akar budaya setempat.
Pelestarian, pengelolaan dan pemberdayaan produk kuliner lokal merupakan terobosan budaya untuk membuat pemberdayaan berasal dari praktek dan akar budaya warga setempat.
Kearifan lokal dapat juga menelusuran problematika pangan yang dihadapi bangsa serta solusi-solusi yang ditawarkan dalam menyelesaikan permasalahan terkait dengan keterbatasan pangan serta kesediaan bahan baku yang diperlukan.
Impian menjadi negara independen dan mandiri dalam hal menyediakan makanan bagi bangsanya akan terpupus, karena perilaku dan sikap bangsa kita sendiri, yang menempatkan makanan lokal di sela-sela (sidelines) dan bukannya mengutamakan pencarian pasokan makanan kemerdekaan berbasis kearifan lokal.
Bangsa Indonesia seyogyanya harus meniru gaya hidup para leluhur bangsa yang selaras dengan alam, bukan berarti kemunduran dalam perilaku dan pola pikir. Harmoni dengan alam harus ditiru sehingga makanan tidak akan menimbulkan masalah.
Orang-orang Indonesia di abad ke-19 masih menggunakan kearifan gastronomi lokal, sehingga membuat mereka bebas dari batasan makanan.
Kearifan gastronomi lokal ini seharusnya menjadi pegangan kita semua dalam merealisasikan kemandirian pangan Indonesia melalui kedaulatan pangan, bukan ketahanan pangan.
Perbedaan antara ketiganya adalah:
a. Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri, terutama diambil dari kearifan lokal para leluhur.
b. Kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan dengan menjamin kondisi terpenuhinya hak atas pangan bagi rakyatnya. Dengan demikian ketahanan pangan adalah hak tiap masyarakat menetapkan pangan dan sistem pertanian bagi dirinya sendiri tanpa menjadikannya sebagai subjek berbagai kekuatan pasar internasional.
c. Ketahanan pangan adalah akses semua orang terhadap pangan pada setiap waktu, tidak memandang di mana (lokasi negara) pangan itu diproduksi dan dengan cara bagaimana.
Kemandirian pangan tidak harus diartikan secara absolut, yaitu seluruh kebutuhan dipenuhi dari produksi dalam negeri. Dalam batas-batas rasional dan terukur, impor pangan masih bisa diterima, apalagi ketika keadaan diprediksi kritis. Kemandirian pangan juga berarti mengembalikan diversifikasi pangan lokal, baik berasal dari biji-bijian, kacang-kacangan, terutama umbi-umbian; serta mencipta budaya pangan baru berbasis tepung.
Tonggak kedaulatan pangan adalah ketersediaan atau kecukupan pangan dan aksesibilitas bahan pangan oleh anggota masyarakat. Penyediaan pangan dapat ditempuh melalui produksi sendiri dengan memanfaatkan pengalokasian sumber daya alam.
Basis dari konsep kedaulatan pangan nasional adalah kemandirian pangan di tingkat rumah tangga, terutama di pedesaan. Demikian pula sebaliknya, kemandirian pangan di tingkat rumah tangga merupakan pra-kondisi sangat penting untuk memupuk kedaulatan pangan regional dan di tingkat nasional.
Selain itu lebih penting lagi, kemandirian dan kedaulatan pangan menghargai hak budaya, sosial, lingkungan dan ekonomi yang cocok dengan daerahnya masing-masing. Keunggulan komparatif sumber daya alam diperhatikan, pemilihan komoditas disesuaikan, soladaritas sosial diutamakan dan budaya dari setiap sub sistem diunggulkan.
Namun perjuangan ini semua bukan hanya ada di wilayah kekuasaan Pemerintah, walaupun Pemerintah harus berperan secara pro-aktif sebagai suporter dan katalisator. Sudah saatnya merangkul inisiatif kerjasama dengan gerakan Filantropi di Indonesia untuk turut bahu-membahu membangkitkan pelestarian kearifan gastronomi lokal bangsa ini.
Pangan menurut Undang-undang No.7 tahun 1996 merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional. Pangan merupakan kebutuhan dasar dari manusia yang harus dipenuhi disamping kebutuhan akan sandang (pakaian) dan papan (tempat tinggal).
Di Indonesia keberadaan dan akses terhadap pangan yang murah dan mencukupi selalu menjadi masalah isyu nasional yang selalu coba dipecahkan Pemerintah untuk mendapatkan kepercayaan rakyat.
Swasembada pangan merupakan salah satu syarat bagi keberhasilan pembangunan nasional. Oleh karena itu persoalan pangan yang bermula dari kebutuhan individu rumah tangga turut serta menjadi persoalan nasional. Hal inilah yang kemudian membawa dan menyeret Indonesia pada praktik politik swasembada pangan.
Kearifan lokal dapat dijadikan sebagai salah satu "instrument" memasyarakatkan gastronomi melalui pangan lokal berbasis budaya yang pemahamannya menyangkut kepada pengetahuan keanekaragaman hayati, dan membangun diversifikasi serta kemandirian pangan.
Kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi dalam suatu daerah dan merupakan perpaduan antara berbagai nilai yang ada yang terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas.
Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang secara terus-menerus dijadikan pegangan nilai hidup dan universal yang terintegrasi dengan pemahaman terhadap alam dan budaya sekitarnya.
Dalam kearifan lokal, terkandung pula kearifan budaya lokal yang pengetahuan lokal yang sudah sedemikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan budaya serta diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama.
Potensi kuliner tiap-tiap daerah di Indonesia dapat dioptimalkan dengan cara memperhatikan kearifan gastronomi lokal, dan bukan tidak mungkin dengan mengangkat kearifan gastronomi lokal dari daerah, Indonesia akan menjadi negara kuat karena kulinernya.
Melalui kearifan produk kuliner lokal, ketahanan pangan nasional akan tumbuh dengan bagus manakala rakyat Indonesia mengkonsumsi makanan yang berkembang dari akar budaya setempat.
Pelestarian, pengelolaan dan pemberdayaan produk kuliner lokal merupakan terobosan budaya untuk membuat pemberdayaan berasal dari praktek dan akar budaya warga setempat.
Kearifan lokal dapat juga menelusuran problematika pangan yang dihadapi bangsa serta solusi-solusi yang ditawarkan dalam menyelesaikan permasalahan terkait dengan keterbatasan pangan serta kesediaan bahan baku yang diperlukan.
Impian menjadi negara independen dan mandiri dalam hal menyediakan makanan bagi bangsanya akan terpupus, karena perilaku dan sikap bangsa kita sendiri, yang menempatkan makanan lokal di sela-sela (sidelines) dan bukannya mengutamakan pencarian pasokan makanan kemerdekaan berbasis kearifan lokal.
Bangsa Indonesia seyogyanya harus meniru gaya hidup para leluhur bangsa yang selaras dengan alam, bukan berarti kemunduran dalam perilaku dan pola pikir. Harmoni dengan alam harus ditiru sehingga makanan tidak akan menimbulkan masalah.
Orang-orang Indonesia di abad ke-19 masih menggunakan kearifan gastronomi lokal, sehingga membuat mereka bebas dari batasan makanan.
Kearifan gastronomi lokal ini seharusnya menjadi pegangan kita semua dalam merealisasikan kemandirian pangan Indonesia melalui kedaulatan pangan, bukan ketahanan pangan.
Perbedaan antara ketiganya adalah:
a. Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri, terutama diambil dari kearifan lokal para leluhur.
b. Kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan dengan menjamin kondisi terpenuhinya hak atas pangan bagi rakyatnya. Dengan demikian ketahanan pangan adalah hak tiap masyarakat menetapkan pangan dan sistem pertanian bagi dirinya sendiri tanpa menjadikannya sebagai subjek berbagai kekuatan pasar internasional.
c. Ketahanan pangan adalah akses semua orang terhadap pangan pada setiap waktu, tidak memandang di mana (lokasi negara) pangan itu diproduksi dan dengan cara bagaimana.
Kemandirian pangan tidak harus diartikan secara absolut, yaitu seluruh kebutuhan dipenuhi dari produksi dalam negeri. Dalam batas-batas rasional dan terukur, impor pangan masih bisa diterima, apalagi ketika keadaan diprediksi kritis. Kemandirian pangan juga berarti mengembalikan diversifikasi pangan lokal, baik berasal dari biji-bijian, kacang-kacangan, terutama umbi-umbian; serta mencipta budaya pangan baru berbasis tepung.
Tonggak kedaulatan pangan adalah ketersediaan atau kecukupan pangan dan aksesibilitas bahan pangan oleh anggota masyarakat. Penyediaan pangan dapat ditempuh melalui produksi sendiri dengan memanfaatkan pengalokasian sumber daya alam.
Basis dari konsep kedaulatan pangan nasional adalah kemandirian pangan di tingkat rumah tangga, terutama di pedesaan. Demikian pula sebaliknya, kemandirian pangan di tingkat rumah tangga merupakan pra-kondisi sangat penting untuk memupuk kedaulatan pangan regional dan di tingkat nasional.
Selain itu lebih penting lagi, kemandirian dan kedaulatan pangan menghargai hak budaya, sosial, lingkungan dan ekonomi yang cocok dengan daerahnya masing-masing. Keunggulan komparatif sumber daya alam diperhatikan, pemilihan komoditas disesuaikan, soladaritas sosial diutamakan dan budaya dari setiap sub sistem diunggulkan.
Namun perjuangan ini semua bukan hanya ada di wilayah kekuasaan Pemerintah, walaupun Pemerintah harus berperan secara pro-aktif sebagai suporter dan katalisator. Sudah saatnya merangkul inisiatif kerjasama dengan gerakan Filantropi di Indonesia untuk turut bahu-membahu membangkitkan pelestarian kearifan gastronomi lokal bangsa ini.
Upaya
mengembangkan potensi Filantropi bagi pemberdayaan gastro-kuliner di
Indonesia, mengingat upaya ini tidak mungkin hanya dilakukan oleh
orang-perseorangan, maupun oleh satu dua kelompok atau organisasi atau
oleh Pemerintah saja.
Tantangan gastro-kuliner Indonesia terlalu besar. Belum adanya
infrastruktur kelembagaan dan kebijakan yang mendukung dan mendorong
secara intensif perlu adanya usaha-usaha yang efektif dan terarah dari
berbagai komponen pelaku dan pendukung Filantropi di Indonesia untuk
menghimpun, menyatukan dan memperkuat gerak langkah bersama dalam
menghadapai tantangan pelestarian gastro-kuliner di negeri ini.
Kontribusi gerakan Filantropi dalam bidang gastro-kuliner Indonesia
sangat potensial bagi bangsa ini, khususnya bila daya kemampuan mereka
ditransformasikan menjadi sesuatu yang lebih berarti.
Akademi Gastronomi Indonesia ada di halaman kearifan gastronomi lokal itu, karena yang diperjuangkan adalah pelestarian warisan tradisional hidangan masakan-makanan para leluhur yang merupakan satu mata rantai dari kekayaan pangan lokal Indonesia.
Oleh karena itu perlu untuk memperhitungkan pentingnya kearifan gastronomi lokal masyarakat daerah, khususnya pedesaan, melalui metode tradisional mereka, untuk membantu swasembada pangan direalisasikan.
Akademi Gastronomi Indonesia ada di halaman kearifan gastronomi lokal itu, karena yang diperjuangkan adalah pelestarian warisan tradisional hidangan masakan-makanan para leluhur yang merupakan satu mata rantai dari kekayaan pangan lokal Indonesia.
Oleh karena itu perlu untuk memperhitungkan pentingnya kearifan gastronomi lokal masyarakat daerah, khususnya pedesaan, melalui metode tradisional mereka, untuk membantu swasembada pangan direalisasikan.