".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Saturday, 9 August 2014

Merdang Merdem - Gastronomi & Refleksi Prinsip Kedaulatan Pangan Suku Karo

Masyarakat Indonesia yang pada umumnya berbasis agraris memiliki corak kebudayaan dengan karakteristik agraris pula. Legenda Dewi Sri yang menjadi bagian dari sistem kepercayaan dikalangan suku Jawa maupun Sunda merupakan salah satu contoh corak budaya agraris dalam masyarakat nusantara. Moda produksi pertanian tidak hanya berpengaruh dalam aspek kepercayaan sebagai salah satu bagian dari keseluruhan sistem kebudayaan, namun juga memberikan ciri bagi unsur-unsur kebudayaan lainnya seperti sistem pengetahuan, teknologi serta kesenian.

Suku Karo di Sumatera Utara sebagai bagian dari masyarakat agraris nusantara juga memiliki corak kultural yang merefleksikan karakter agraris dari masyarakat Karo. Salah satu tradisi masyarakat Karo yang tidak lepas dari pola produksi pertanian ialah "Kerja Tahun" yang merupakan suatu bentuk ritual atau upacara penyembahan kepada Sang Pencipta atau Beraspati Taneh (dewa yang berkuasa atas tanah menurut agama Pemena atau agama asli suku Karo) yang bertujuan menyukseskan setiap tahapan aktivitas pertanian dan manifestasi dari harapan akan hasil panen yang berlimpah.

Kerja Tahun atau dalam bahasa Karo disebut "Merdang Merdem" adalah sebuah perayaan adalah kegiatan yang dilakukan secara rutin setiap tahun dan biasanya dilaksanakan setelah acara menanam padi di sawah selesai. Perayaan tersebut merupakan bagian dari ucapan syukur kepada sang Pencipta karena kegiatan menanam padi telah selesai. Teriring doa agar tanaman padi tersebut diberkati sehingga bebas dari hama dan menghasilkan panen yang berlimpah. Bila upacara tersebut dilakukan pada masa panen (ngerires), maka hal itu menjadi perwujudan rasa syukur kepada sang Pencipta karena kegiatan bertani telah selesai dengan aman dan sukses. Biasanya kerja tahun diadakan oleh masyarakat yang berasal dari satu kuta atau kampung tertentu.

Momen yang melibatkan seluruh warga kampung tersebut biasanya juga dimanfaatkan muda-mudi sebagai ajang mencari jodoh. Setiap acara merdang merdem biasanya dimeriahkan dengan gendang guro-guro aron yaitu acara tari tradisional Karo yang melibatkan pasangan muda-mudi. Setiap kecamatan di Tanah Karo merayakan merdang merdem pada bulan yang berbeda. Kecamatan Munte merayakan merdang merdem pada hari ke-26 beraspati medem kalender Karo yang biasanya jatuh di bulan juli.

Konon, pesta sekampung tersebut sebegitu meriahnya sehingga lama perayaannya sampai enam hari dimana setiap hari mempunyai makna yang berbeda. Para tetua di rumah adat Namo Ukur, merumuskan nama kerja tahun di Karo sebagai berikut:

1. Hari Pertama (sada): Merdang Merdem - Cikor-kor
Kerja tahun yang dilaksanakan saat dimulainya proses penanaman padi. Diawali dari penyemaian benih sampai ditanamkan di ladang (merdang). Kerja tahun ini biasanya dilakukan di daerah Tiga Binanga dan Munthe. Di hari tersebut yang merupakan bagian awal dari persiapan menyambut merdang merdem yang ditandai dengan kegiatan mencari kor-kor, sejenis serangga yang biasanya ada di dalam tanah. Umumnya lokasinya di bawah pepohonan. Pada hari itu semua penduduk pergi ke ladang untuk mencari kor-kor untuk dijadikan lauk makanan pada hari itu.

2. Hari Kedua (dua): Nimpa Bunga Benih - Cikurung
Sering juga disebut “ngamburngamburi”. Dilakukan ketika tanaman padi sudah berdaun (erlayuk, ersusun kulpah), yaitu berusia sekitar dua bulan. Hal ini biasa dilakukan di sekitar wilayah Kabanjahe, Berastagi, dan Simpang Empat. Seperti halnya pada hari pertama hari kedua ditandai dengan kegiatan mencari kurung di ladang atau sawah. Kurung adalah binatang yang hidup di tanah basah atau sawah, biasa dijadikan lauk oleh masyarakat Karo.

3. Hari Ketiga (telu): Mahpah - Ndurung
Tradisi ini dilakukan ketika tanaman padi mulai menguning. Pelaksanaan kerja tahun ini dilakukan di sekitar wilayah Barus Jahe dan Tiga Panah. Di hari ketiga ini ditandai dengan kegiatan mencari nurung, sebutan untuk ikan, di sawah atau sungai. Pada hari itu penduduk satu kampung makan dengan lauk ikan. Ikan yang ditangkap biasanya nurung mas, lele yang biasa disebut sebakut, kaperas, belut.

4. Hari Ke-empat (empat): Ngerires - Mantem atau Motong
Kerja tahun dilaksanakan ketika padi telah dipanen, sebagai ucapan syukur atas hasil yang diterima. Pelaksanaan tradisi ini biasa dilakukan di daerah Batu Karang. Di hari tersebut adalah sehari menjelang hari perayaan puncak, penduduk kampung memotong lembu, kerbau, dan babi untuk dijadikan lauk.

5. Hari Kelima (lima): Matana
Matana artinya hari puncak perayaan. Pada hari itu semua penduduk saling mengunjungi kerabatnya. Setiap kali berkunjung semua menu yang sudah dikumpulkan semenjak hari cikor-kor, cikurung, ndurung, dan mantem dihidangkan. Pada saat tersebut semua penduduk bergembira. Panen sudah berjalan dengan baik dan kegiatan menanam padi juga telah selesai dilaksanakan. Pusat perayaan biasanya di alun-alun atau biasa disebut los, semacam balai tempat perayaan pesta. Acara disitu dimeriahkan dengan gendang guro-guro aron dimana muda-mudi yang sudah dihias dengan pakaian adat melakukan tari tradisional. Perayaan tidak hanya dirayakan oleh penduduk kampung tetapi juga kerabat dari luar kampung ikut diundang menambah suasana semakin semarak. Pada hari itu pekerjaan paling berat adalah makan. Karena setiap kali berkunjung ke rumah kerabat aturannya wajib makan.

6. Hari Keenam (enem), nimpa
Hari itu ditandai dengan kegiatan membuat cimpa, makanan khas Karo, biasa disebut lepat. Cimpa bahan dasarnya adalah tepung terigu, gula merah, dan kelapa parut. Cimpa tesebut biasanya selain untuk hidangan tambahan setelah makan. Tidak lengkap rasanya merdang merdem tanpa kehadiran cimpa. Untuk kecamatan lain di Tanah Karo kegiatan nimpa diganti dengan ngerires yaitu acara membuat rires yang dalam bahasa indonesia disebut lemang. Cimpa atau lemang daya tahannya cukup lama, masih baik untuk dimakan meski sudah dua hari lamanya. Oleh karena itu cimpa atau rires cocok untuk dijadikan oleh-oleh bagi tamu ketika pulang.

7. Hari Ketujuh (pitu): Rebu
Hari tersebut merupakan hari terakhir dari serangkaian pesta enam hari sebelumnya. Pada hari tersebut tidak ada kegiatan yang dilakukan. Tamu-tamu sudah kembali ke tempat asalnya. Semua penduduk berdiam di rumah. Acara kunjung-mengunjungi telah selesai. Pergi ke sawah atau ladang juga dilarang pada hari itu. Seperti halnya arti rebu itu sendiri yang artinya tidak saling menegur, hari itu adalah hari penenangan diri setelah selama enam hari berpesta. Beragam kesan tinggal melekat dalam hati masing-masing penduduk kampung. Hari besok telah menanti untuk kembali melakukan aktivitas sebagaimana hari-hari biasanya.

Semua acara di atas dilakukan sesuai kepercayaan “pemena” dengan tata cara dan perlengkapan tertentu yang berbeda di setiap fase dan daerah. Selain hal di atas, kerja tahun juga memiliki fungsi lain yaitu mempererat ikatan kekerabatan. Saat kerja tahun, seluruh anggota keluarga berkumpul, termasuk yang dari luar daerah. Hal ini dimanfaatkan untuk sarana pulang kampung, mengunjungi para kerabat, melepas rindu, membicarakan hal-hal yang penting di tengah keluarga, sarana perjodohan putera dan puteri mereka juga untuk hiburan.

Kerja Tahun (Merdang Merdem) menjadi semacam perwujudan prinsip gotong royong dalam masyarakat Karo. Setelah satu tahun disibukkan oleh kegiatan bertani atau berladang yang juga dilaksanakan secara gotong royong, maka hasil dari aktivitas pertanian itu juga harus disyukuri dan dinikmati secara gotong royong pula. Pada masa kerja tahun, seluruh masyarakat kuta saling berbagi kegembiraan tanpa adanya sekat-sekat tertentu.

Refleksi Kedaulatan Pangan
Upacara kerja tahun merefleksikan kemandirian dan kedaulatan pangan masyarakat kuta dalam suku Karo yang masih bersifat subsisten. Alokasi pangan bagi perayaan kerja tahun serta sistem logistik yang kuat mencerminkan kearifan lokal yang tangguh dalam hal kedaulatan pangan. Pola pertanian atau perladangan masyarakat Karo sangat memperhatikan pemenuhan kebutuhan penduduk akan pangan. Maka jangan heran bila kita tidak akan menemukan peristiwa kekurangan pangan dalam sejarah kuta di Tanah Karo, kecuali yang disebabkan oleh faktor eksternal seperti serangan dan penjarahan berbagai kuta yang dilakukan kolonialis Belanda di masa penjajahan.

Dalam konteks masa kini, pelaksanakan kerja tahun telah bergeser dari upacara yang mencerminkan harapan dan rasa syukur atas hasil panen yang melimpah menjadi hanya ritual-ritual yang bersifat seremonial untuk kepentingan pariwisata. Seiring dengan perubahan sistem produksi dari pertanian komunal menjadi kapitalisme industrial pada masyarakat Tanah Karo, upacara kerja tahun pun mengalamai komodifikasi. Hal tersebut menjadi suatu keniscayaan dalam sistem kapitalisme yang berdasarkan paradigma ekonomi formalis karena menilai segala sesuatu dari nilai ekonomis semata.

Pergeseran nilai dalam ritual kerja tahun juga dipengaruhi oleh dianutnya agama-agama semit semacam Kristen dan Islam oleh sebagian besar masyarakat Karo. Sementara kerja tahun merupakan ritual yang erat dengan agama Pemena sebagai perwujudan rasa hormat dan syukur pada sang Beraspati Taneh.

Walaupun ada pergeseran jaman, antusias masyarakat Karo untuk menyelenggarakan kerja tahun tetap saja besar, walaupun membutuhkan persiapan waktu, biaya dan tenaga kerja. Antusias tersebut tidak hanya pada masyarakat di desa namun juga yang sudah bermukim di luar. Hal ini terlihat pada kenyataan bahwa acara ini tidak pernah terlewatkan di setiap tahun serta tetap saja terjadi arus mudik masyarakat untuk menghadirinya.

Masyarakat Karo seperti masyarakat lainnya tentu mengalami dinamika yang mangakibatkan terjadinya perubahan-perubahan. Kerja tahun sebagai tradisi yang merupakan kekayaan budaya masyarakat tetap dapat bertahan dalam artian bahwa pelaksanaan yang tetap rutin dilaksanakan pada setiap tahun. Namun sejalan dengan perubahan dalam masyarakat, harus diyakini bahwa telah terjadi proses adaptasi terhadap kondisi-kondisi di atas. Sangat memungkinkan bahwa faktor ekonomi dan religi yang menjadi konteks dan fungsi primer pelaksanaannya sudah bergeser bahkan tidak ditemukan lagi dalam pelaksanaan kerja tahun tersebut. Bahkan konteks dan fungsi lain yang sudah lebih dominan, seperti hiburan, prestise, dan sebagainya yang mewarnai pelaksanaannya.

Apapun yang terjadi dengan upacara kerja tahun kini, ritual tersebut tetap layak dijadikan referensi bagi segenap elit borjuasi yang memegang kendali atas negeri ini. Lebih tepatnya referensi mengenai prinsip kedaulatan pangan yang kini tergerus oleh arus liberalisasi. Budaya agraris masyarakat Karo serta masyarakat agraris lainnya di nusantara hendaknya menjadi contoh betapa kebudayaan masyarakat Indonesia sejatinya telah memiliki prinsip kemandirian yang sejalan dengan kemakmuran bersama. Perbedaan bentuk masyarakat bukanlah alasan bagi pengabaian nilai-nilai kearifan lokal yang masih relevan dengan situasi terkini Republik ini.

Artikel referensi:
- Wikipedia
- Diskusi dengan Katarsada Ketaren & Tima Ketaren di Rumah Adat Namo Ukur