".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Thursday, 7 August 2014

Antropologi Makanan - Selera, Budaya dan Psikologi Makanan

Antropologi adalah salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari tentang seluk beluk budaya manusia dari masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal di daerah yang sama. Secara sederhana, antropologi adalah ilmu yang mempelajari karakteristik hidup manusia, dengan berorientasi pada kebudayaan yang dihubungkan dengan ciri-ciri sosio-psikologis atau cirri-ciri biologis, melalui pendekatan holistik.

Antropologi tertarik pada kebudayaan dan pendekatan holistik. Pendekatan holistik berarti cara melihat atau memandang sesuatu sebagai suatu kebulatan yang utuh. Semua konsep, generalisasi dan teori yang membentuk struktur antropologi berkaitan dengan aktivitas, peralatan dan sistem kepercayaan yang dalam antropologi disebut kebudayaan, sesuatu yang unik bagi manusia. Walaupun banyak jenis binatang hidup berkelompok, tetapi hanya manusialah yang memilki kebudayaan. Antropologi mirip seperti Sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitik beratkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.

Makanan mencerminkan karakteristik lingkungan. Makanan disiapkan oleh lingkungan. Misalnya ubi sebagai makanan pokok orang Papua karena banyak tersedia di wilayah tersebut. Pada umumnya makanan pokok orang Indonesia adalah nasi, karena itu apabila nasi tidak dikonsumsi dalam satu hari (meskipun tetap makan makanan lainnya) tetapi perasaan masih lapar. Karena lambung telah terbiasa diisi dengan nasi.

Nilai yang terkandung dalam suatu makanan tergantung dari proses pematangan atau kandungan alami yang ada pada bahan makanan. Makanan yang dikonsumsi (mentah atau diolah) merupakan bagian dari kebudayaan.

Makanan yang diolah dari bahan-bahan mentah (seperti rujak, lalapan, lawa’) adalah sebuah bentuk kebudayaan. Lalapan: sayuran segar yang lazim disantap oleh orang Jawa. Lawa’: jenis makanan mentah yang diolah dari ikan, cuka/jeruk, kelapa & bumbu tertentu adalah salah satu jenis makanan orang Bugis.

Proses pematangan makanan adalah bagian dari kebudayaan. Meliputi cara, bahan, & alat yang digunakan. Makanan yang lazim dimakan oleh orang Jawa belum tentu lazim bagi orang Bugis. Misalnya ikan lele yang banyak dikonsumsi oleh orang Jawa, orang Bugis justru kurang menyukainya.

Para ahli antropologi memandang kebiasaan makan sebagai suatu kompleks kegiatan masak-memasak, masalah kesukaran dan ketidaksukaran, kearifan rakyat, kepercayaan-kepercayaan, pantangan-pantangan, dan takhayul-takhayul yang berkaitan dengan produksi, persiapan, dan konsumsi makanan. Pendeknya, sebagai suatu kategori budaya yang penting, ahli-ahli antropologi melihat makanan mempengaruhi dan berkaitan dengan banyak kategori budaya lainnya.

Makanan dalam pandangan sosial budaya, memiliki makna yang lebih luas dari sekedar sumber nutrisi. Terkait dengan kepercayaan, status, prestise, kesetiakawanan dan ketentraman. Makanan memiliki banyak peranan dalam kehidupan sehari - hari suatu komunitas manusia. Makna ini selaras dengan nilai hidup, nilai karya, nilai ruang atau waktu, nilai relasi dengan alam sekitar; dan nilai relasi dengan sesama.

Setelah mengetahui betapa kuatnya kepercayaan-kepercayaan suatu masyarakat mengenai apa yang dianggap makanan dan apa yang dianggap bukan makanan, sehingga terbukti sangat sukar untuk meyakinkan orang untuk menyesuaikan makanan tradisional mereka demi kepentingan gizi yang baik. Karena pantangan agama, takhayul, kepercayaan tentang kesehatan, dan suatu peristiwa yang kebetulan dalam sejarah ada bahan-bahan yang bergizi baik yang tidak boleh dimakan, mereka diklasifikasikan sebagai “bukan makanan”. Dengan kata lain, makanan adalah suatu konsep budaya, suatu pernyataan yang sesungguhnya mengatakan “zat ini sesuai bagi kebutuhan gizi kita.”

Dalam kebudayaan bukan hanya makanan saja yang dibatasi atau diatur, akan tetapi konsep tentang makanan, kapan dimakannya, terdiri dari apa dan etiket makan. Di antara masyarakat yang cukup makanan, kebudayaan mereka mendikte, kapan mereka merasa lapar dan apa, serta berapa banyak mereka harus makan agar memuaskan rasa lapar. Jadi dengan demikian, nafsu makan lapar adalah suatu gejala yang berhubungan namun berbeda.

Nafsu makan, dan apa yang diperlukan untuk memuaskan adalah suatu konsep budaya yang dapat sangat berbeda antara suatu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Sebaliknya, lapar menggambarkan suatu kekurangan gizi yang dasar dan merupakan suatu konsep fisiologis.

Makanan selain penting bagi kelangsungan hidup kita, juga penting bagi pergaulan sosial, yang mempunyai simbolik antara lain sebagai berikut:

a. Makanan sebagai ungkapan ikatan sosial
Barangkali di setiap masyarakat, menawarkan makanan (dan kadang-kadang minuman) adalah menawarkan kasih sayang, perhatian, dan persahabatan. Menerima makanan yang ditawarkan adalah mengakui dan menerima perasaan yang diungkapkan dan untuk membalasnya.

b. Makanan sebagai ungkapan dari kesetia-kawanan kelompok
Makanan sering dihargai sebagai lambang-lambang identitas suatu bangsa atau nasional. Namun tidak semua makanan mempunyai nilai lambang seperti ini. Makanan yang mempunyai dampak yang besar adalah makanan yang berasal atau dianggap berasal dari kelompok itu sendiri dan bkan yang biasanya dimakan di banyak negara yang berlainan atau juga dimakan oleh banyak suku bangsa.

c. Simbolisme makanan dalam bahasa
Pada tingkatan yang berbeda, bahasa mencerminkan hubungan-hubungan psikologis yang sangat dalam di antara makanan, persepsi kepribadian, dan keadaan emosional. Dalam bahasa Inggris, yang pada ukuran tertentu mungkin tidak tertandingi oleh bahasa lain, kata-kata sifat dasar yang biasa digunakan untuk menggambarkan kualitas-kualitas makanan digunakan juga untuk menggambarkan kualitas-kualitas manusia.

Kedudukan nilai - nilai budaya ini pada tiap komunitas adat tentu tidak sama, demikian pula orientasi dari nilai - nilai itu pada tiap komunitas. Makanan dalam konteks kultur nilai - nilai budaya meliputi, pilihan rasional terhadap jenis makanan, cara memasak, kesukaan dan ketidaksukaan, kearifan kolektif, kepercayaan, dan pantangan - pantangan yang berkaitan dengan produksi, persiapan dan konsumsi makanan. Ini semua adalah sebagai kompleks kebiasaan makan.

Koentjaraningrat menyatakan sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi - konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal - hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakukan manusia. Sebagai bagian dari adat - istiadat dan wujud ideal dari kebudayaan. Sistem nilai - budaya seolah - olah berada diluar dan di atas dari para individu yang menjadi warga masyarakat yang bersangkutan.

Para individu itu sejak kecil telah diresapi dengan nilai - nilai budaya yang hidup dalam masyarakatnya sehingga konsepsi - konsepsi itu sejak lama telah berakar dalam alam jiwa mereka. Itulah sebabanya nilai - nilai budaya tadi sukar diganti dengan nilai - nilai budaya lain dalam waktu singkat.

Clyde Kluckhohn mengatakan semua sistem nilai budaya dalam semua kebudayaan di dunia, mengalami lima masalah pokok dalam kehidupan manusia, yaitu:
a. Hakekat hidup;
b. Hakekat karya;
c. Hakekat kedudukan dalam ruang atau waktu;
d. Hakekat hubungan dengan alam sekitar; dan
e. Hakekat hubungan dengan sesamanya.

Peradaban dan budaya makan bagi pelbagai golongan etnik di dunia merupakan warisan tingkah laku jaman ke jaman. Bagi mereka, cara yang terbaik untuk menikmati hidangan makanan ialah dengan menggunakan cara yang dipraktekan oleh kelompok etnik masing-masing.

Budaya makan dengan menggunakan tangan biasanya diamalkan oleh masyarakat di Timur Tengah, India dan beberapa negara di Asia Tenggara. Lazimnya, tangan dibasuh sebelum dan seusai makan. Tangan lebih bersih jika dibandingkan dengan sendok ataupun garpu yang dibasuh oleh seseorang yang kemungkinan tidak dapat dipastikan kebersihannya. Masyarakat Islam dan Hindu menggunakan tangan kanan untuk menyuap makanan. Mereka biasanya makan bersila dengan hidangan makanan diletakkan di tengah-tengah tamu.

Misalnya, masyarakat yang menggunakan kayu sumpit biasanya menggunakan mangkuk sup dan mangkuk nasi masing-masing sewaktu menikmati hidangan. Mereka akan duduk di meja makan dan menggunakan kayu sumpit untuk mengambil lauk-pauk. Budaya makan seperti ini telah memungkinkan penggunaan mangkuk nasi dan kayu sumpit yang diperuntukkan bagi setiap keluarga.

Pada masyarakat Barat di awal kurun ke-17, sendok, garpu dan pisau digunakan di meja makan. Penggunaan kayu sumpit di masyarakat Cina berawal pada kurun kedua sebelum masehi. Budaya makan masyarakat Jepang, Korea dan Vietnam kuat dipengaruhi oleh budaya China yang juga menggunakan kayu sumpit untuk makan.

Makan menggunakan tangan umumnya digunakan masyarakat di Asia (terkecuali di China, Jepang, Korea dan Vietnam). Tangan adalah alat utama untuk mengambil dan menyuap makanan ke dalam mulut. Jika ada benda yang membahayakan, tanganlah yang akan memberi tanda seperti duri, tulang ikan atau tulang ayam. Soal kotoran pada tangan tidak akan timbul karena adat istiadat menyarankan sebelum makan diwajibkan terlebih dahulu mencuci tangan dan hanya tangan kanan saja yang diajarkan untuk menyentuh makanan. Hikmah tangan adalah bahwa jari-jemari manusia mengandungi sejenis kimia yang akan memudahkan mencernakan makanan didalam perut. Ini terbukti apabila orang tua di jaman dulu melarang kita menyentuh makanan yang mau disimpan dengan tangan karena akan menjadi basi. 

Demikian sepintas digambarkan mengenai pemahaman antropologi terhadap makanan.