".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Thursday, 7 August 2014

Mustika Rasa : Negara & Masakan - Prestasi Dua Presiden Indonesia


Banyak masakan di Nusantara, tetapi minim sekali pencatatan mengenai hal itu. Sejarah seni masakan negeri ini menjadi sulit digali. Kondisi ini berbeda dengan negara tetangga, Filipina, yang memiliki banyak catatan tentang sejarah seni masakan mereka.

Akan tetapi, buku resep masakan yang muncul sejak zaman Hindia Belanda bisa membantu kita melacak sejarah seni masakan Tanah Air meskipun tidak tampil secara significant mengingat bercampur baur dengan aneka resep makasan Eropa (Belanda).

Pada 1967 tak bisa dipungkiri sebuah buku masakan Indonesia diterbitkan dan menjadi bukti prestasi tertinggi dalam pengumpulan resep-resep legendaris masakan Nusantara. Disini dimulai sejarah Negara terlibat dalam urusan masakan nusantara.

Buku itu berjudul "Mustika Rasa" (Departemen Pertanian, 1967) yang memuat resep-resep masakan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Buku setebal 1123 halaman adalah warisan sejarah dari masa Orde Lama dan Orde Baru.

Perintah Soekarno untuk menerbitkan “kookboek” atau buku masakan bisa diwujudkan setelah 7 tahun. Pengumpulan dan penyusunan buku ini cukup lama, yaitu  sejak tahun 1961 - 1966 dan diterbitkan pada tahun 1967.

Buku Mustika Rasa diterbitkan dalam rangka diversifikasi, intensifikasi dan ekstensifikasi pangan untuk seluruh daerah indonesia dan juga pemenuhan sumber gizi.

Ide pembuatan buku digulirkan tahun 1960 di masa Orde Lama dan disajikan resmi sebagai buku tebal di masa Orde Baru. Dua penguasa boleh “berseteru” tapi urusan makanan membuat Soekarno dan Soeharto bisa “akur”.

Proyek buku itu dimulai ketika Menteri Pertanian Brigjen dr Azis Saleh bertemu Presiden Soekarno. Dalam memo Aziz Saleh (12 Desember 1960) selaku menteri pertanian memuat informasi hasil percakapannya dengan Soekarno sebagai berikut:

Sesuai suatu pembitjaraan saja dengan Presiden Soekarno, maka supajalah Lembaga Teknologi Makanan nanti diberi tugas untuk menjusun suatu ‘kookboek’ jang lengkap untuk seluruh Indonesia. Maksud pokok ialah supaja ‘kookboek’ itu merupakan penundjuk djalan bagi rakjat Indonesia didaerah manapun, bagaimana bahan-bahan makanan jang terdapat didaerahnja itu dapat diolah mendjadi makanan lezat jang berfaedah”

Soekarno dan Aziz Saleh mengurusi masakan demi kepentingan negara. Soekarno tidak cuma sibuk mengumbar slogan revolusi dan berpidato politik. Urusan makanan ada di nalar ideologis Soekarno yang diutarakannya sebagai berikut : "Makanan bisa menjelamatkan walau revolusi belum selesai.”

Soekarno & Soeharto adalah negarawan besar yang sewaktu mereka menjabat sebagai Presiden masih sempat mengurusi, memikirkan dan meletakkan dasar pemikiran mengenai masakan demi “kelezatan” dan kemaslahatan bagi “rakjat”.

Cerita Indonesia di masa tahun 1960-an tidak melulu soal partai politik, militer, nasakom, demokrasi terpimpin dan lain sebagainya. Ada tema makanan di masa itu yang menempatkan ideologi makanan dalam agenda revolusi dan pembangunan.

Impian Soekarno menjadi terang benderang di tahun 1964. Kumpulan resep masakan sudah tersusun untuk diterbitkan menjadi buku. Menteri Koordinator Pertanian dan Agraria Sadjarwo (17 Agustus 1964) menulis:

“Keluarnja ‘Buku Masakan Indonesia’ ini sesuai dengan pesatnja kemadjuan tingkat kebudajaan bangsa kita. Hampir semua penduduk dapat membatja dan karenanja mereka haus akan pengertian dan petundjuk  jang dapat memberi manfaat bagi kehidupan sehari-hari.”

Nalar politis antar rejim Orla dan rejim Orba bisa berbeda, namun terkait masakan bisa seiring sejalan. Bisa dikatakan Orde Lama dan Orde Baru bertemu dalam buku masakan  seni masakan Indonesia. Sutjipto selaku menteri pertanian menerangkan:

“Bergunanja bagi rakjat, jang merupakan sasaran pokok dengan diterbitkannja buku masakan ini, akan mempunjai pengaruh dan pendorong jang kuat kepada Departemen Pertanian dan petani pada umumnja untuk lebih giat meningkatkan produksi pertanian, chususnja produksi pangan. Dengan demikian buku masakan tersebut, dapat pula memenuhi fungsi untuk menghubungkan petani produsen dengan konsumen.”

Orde Lama dan Orde Baru bertemu dalam sebuah karya besar. Kerja besar atas nama negara yang dirintis semasa revolusi dapat melintasi malapetaka 1965. Perintah Soekarno terwujud dan Soeharto sanggup membuat ideologisasi makanan demi kemajuan Indonesia. Mereka telah berjasa. Mereka penguasa tenar tapi tak menampik makanan sebagai rujukan ideologis.

Dalam membuka isi buku ini kita bisa serta-merta berfikir  alangkah hebatnya negeri Indonesia. Bisa dikatakan, catatan buku ini punya sejarah yang lumayan menggentarkan, dan ternyata visi Bung Karno menjadi amat jelas dan nyata bahwa dia tak mau lidah dan perut bangsa Indonesia ini terjajah.

Harsono Hardjohutomo sebagai ketua panitia buku masakan Indonesia memberi penjelasan-penjelasan gamblang:

“Menulis suatu buku masakan membawa banjak risiko. sebab disamping pembatja-pembatja jang memudji, akan terdapat banjak orang-orang jang mentjela. Untuk menormalisasikan imbangan antara pemudji dan pentjela, kita menempuh djalan jang exact, jaitu dengan penelitian-penelitian di laboratorium.”

Harsono Hardjohutomo di aliena terkhir mengakui:

“Meskipun telah terkumpul kurang lebih 1600 resep masakan, buku ini belum dapat dikatakan lengkap dan tiap kritik, tambahan atau perbaikan akan diterima dengan segala senang hati.”

Pengakuan dan tantangan Harsono Hadjohutomo membuktikan bahwa buku Mustika Rasa adalah pertanggungjawaban besar demi negara dan bangsa sebagai pusaka warisan tradisional seni masakan Indonesia.

Dari resep masakan buku Mustika Rasa itu, bangsa Indonesia mesti berusaha agar warisan resep yang sudah terdata itu selain bisa disajikan ke publik, diupayakan terus menerus bertambah dengan melacak resep-resep masakan lainnya dari pelbagai pelosok kota dan desa.

Mustika Rasa menjadi rujukan identitas makanan ke-Indonesian kita yang selama ini mungkin disepelekan dari menjadi Indonesia. Buku ini mampu merestorasi gambaran resep-resep masa lalu yang luput dari amatan kita dan kemudian mengolahnya menjadi sebuah gambaran yang mengasyikkan tentang identitas ke-Nusantara'an  seni masakan bangsa Indonesia.

Para perumus berhasil meramu sebuah tulisan mengenai kebijakan negara pada jaman Soekarno, yang kemudian dilanjutkan di masa awal kekuasaan Soeharto, mengenai masakan di dalam Negara.

Catatan “kookboek” atau buku masakan itu juga membawa kita ke masa lalu, di saat negara atau sebutlah Soekarno & Soeharto - bukan terlalu ikut campur kepada hal yang kelihatannya remeh-temeh.

Kedua Presiden menempatkan makanan dalam agenda pemerintahan mereka masing-masing dan menganggap kemajuan kebudayaan suatu bangsa tidak mungkin tidak harus juga membicarakan kekayaan (dan mungkin kebanggaan dari) masakannya.

Ada sedikit perbedaan memang mengenai cara pandang semangat yang digegapkan Soekarno di dalam ide penyusunan kookboek Mustika Rasa ini dengan semangat yang diinduksikan Soeharto.

Pada jaman Soeharto, buku masakan ini diubah perspektif ideologisnya menjadi sesuatu yang diniatkan untuk memberi dorongan kepada petani di dalam meningkatkan produksi pangan.

Kita sepakat bahwa Soekarno dan Soeharto mempunyai jasa bagi negara ini, karena mereka berdua mempunyai kontribusi terhadap ideologi Indonesia, atau mungkin terhadap ke-Indonesiaan bangsa ini secara utuh bahkan pada hal yang mungkin dilupakan dari bincang - berbincang mengenai identitas nasional mengenai masakan.

Tidak bisa dipungkiri untuk tidak mendua bahwa buku Mustika Rasa adalah warisan sejarah bangsa Indonesia. Buku ini adalah sebuah sumbangsih maha karya Soekarno dan Soeharto yang bisa menjadi rujukan mengenai ke-Indonesiaan kita dalam hal masakan.

Buku ini memberi signal, karena Presiden-Presiden sesudah Soekarno dan Soeharto nampaknya kurang melihat diskursus identitas ke-Indonesiaan yang harus disadari di dalamnya juga meliputi masakan sebagai simbol nasionalisme.

Inspirasi pemahaman terhadap Mustika Ratu menggoda perubahan cara pandang kita bahwa negara dan masakan adalah satu kesatuan dari sejarah pergerakan kemerdekaan bangsa Indonesia; dan pastinya berhasil diangkat oleh kedua Presiden itu menjadi ciri identitas dan jati diri Bangsa.

Kelahiran buku Mustika Rasa  mengingatkan bahwa makanan bukanlah diartikan sebagai seremoni kenegaraan saja. Ada pesan yang dalamnya mengenai semangat mengabdi, berbakti, tidak melupakan sejarah, dan bangga atas “Nasionalisme Gastronomi” Indonesia-an.

Sekali lagi, kehadiran kookboek Mustika Rasa mengenai “Negara & Masakan” menyadari kita mengenai penguasa sekarang yang melupakan hal-hal kecil - seperti masakan - sebagai rujukan totalitas ideologi, nasionalisme dan canang identitas ke-Indonesia-an.

Mandegnya kelanjutan melacak lebih jauh resep-resep masakan lainnya, selain yang sudah  terdata dalam buku Mustika Rasa, memberi signal bahwa Presiden-Presiden sesudahnya kurang melihat masakan sebagai identitas simbol nasionalisme dan jati diri Bangsa.

Ekspresi seorang pemimpin atas nasionalisme dan sejarah tidak boleh dilupakan. Soekarno telah menunjukkan bukti tersebut, khususnya mengenai amanat beliau, seperti yang tertulis dalam memo Menteri Pertanian tanggal 12 Desember 1960, perihal Lembaga Teknologi Makanan (LTM).

 Menurut penulis LTM itu lebih kurang seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang pada intinya akan meneliti dan mengkaji “the Indonesian Archipelagic Region Cuisine Heritage”.

Amanat ini belum terealisir sampai sekarang, yang pada hakekatnya, adalah dasar pemikiran dan rencana Bung Karno terhadap nasib masa depan makanan Indonesia.

Jika amanat Bung Karno diimplementasikan pada tahun 1967, maka negeri ini saat itu akan menjadi negara pertama di dunia yang memiliki Lembaga Teknologi Makanan (LTM).

Bagi penulis, selain LTM, sebaiknya didirikan pula Universitas Makanan Indonesia (UMI), yakni lembaga perguruan tinggi mengenai “science & cooking”.

UMI diberi tugas mensilabus secara ilmiah “the Indonesian Archipelagic Region Cuisine Heritage”, untuk tugas menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran ilmu pengetahuan dan kebudayaan makanan serta dalam kepentingan untuk kedaulatan pangan bangsa Indonesia.

Pendirian Universitas Makanan Indonesia (UMI) seperti yang dimiliki Harvard University di Massachusetts, Amerika Serikat.

Untuk diketahui, pada tahun 2005, Harvard University di Massachusetts, Amerika Serikat mulai mengkaji secara mendalam resep makanan terhadap salah satu ilmu pengetahuan,  yakni ilmu fisika. Pendekatan ilmu pengetahuan ini digunakan dalam dekonstruksi metoda memasak yang dikenal dengan science & cooking.

Science & cooking mulai pertama kali dikaji secara ilmiah di Harvard University yang bermitra dengan elBulli Foundation di Girona, Spanyol. Keduanya secara intensif mengkaji dan meneliti makanan dan minuman seni dapur masyarakat Barat dan Asia dengan melakukan dekonstruksi dan restorasi fisika terhadap resep yang ada; termasuk sejarah dan budayanya, untuk menemukan resepi-resepi baru yang dapat bersifat komersial di masa depan.

Inisiatif Harvard University dan elBulli Foundation kemudian diikuti oleh lembaga-lembaga perguruan tinggi lainnya di Eropa Barat dan Amerika Serikat, termasuk Malaysia & Jepang.  Sejak saat itu chef profesional kelas papan atas mulai diperlakukan sejajar dengan para guru besar dan teknokrat akademisi kelas dunia.

Kembali ke kitab Mustika Rasa, tidak berlebihan tetapi bisa dikatakan solilokui atau senandika Mustika Rasa berhasil membentuk tutur, suara pikiran, hasrat dan perasaan karakter kedua Presiden mengenai "Negara dan Masakan".

Buku Mustika Rasa adalah warisan (sejarah) masakan di Indonesia. Mustika Rasa merupakan bukti prestasi tertinggi dalam pengumpulan resep-resep masakan Nusantara. Kookboek Mustika Rasa merupakan satu-satunya dokumen resmi negara mengenai catatan makanan Indonesia.

Buku Mustika Rasa merujuk kepada inspirasi dan kreatifitas kearifan lokal seni memasak bangsa Indonesia, yang di dalamnya secara eksplisit menutur alur sejarah dan daya cipta budaya masyarakat setempat serta peta lanskap geografis makanan suatu bangsa. Inspirasi dan kreatifitas itu menyangkut falsafah, filosofis maupun perilaku sosial yang menjadi simbol, ritual dan adat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas masyarakat tempatan.

Setiap negara, bahkan setiap kelompok masyarakat memiliki corak makanan yang serasi dengan seleranya masing-masing dan sesuai dengan kondisi alam geografisnya. Apa yang kita makan, dengan siapa kita makan, dan bagaimana proses persiapan serta penyajian makanan itu menunjukkan peranan yang penting dalam memaknai relasi transaksi sosial budaya yang ada.

Buku Mustika Rasa memberi pesan bahwa :

"Tak mungkin orang dapat mencintai seni masakan bangsanya, kalau mereka tak mengenal kisah sejarah dan budayanya. Kalau mereka tidak membaca naskah perjalanannya, jangan berharap mereka dapat berbuat kebajikan terhadapnya".

Oleh karena itu buku Mustika Rasa secara gamblang memberi ajaran tentang asas dan gaya hidup yang membentuk wawasan kebangsaan, ideologi, kerukunan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam seni memasak.

Negara perlu merawat dan menjadikan buku ini sebagai fondasi kebijakan masakan di Indonesia, khususnya dalam memperdalam nilai budaya gastronomi-nya.

Seperti diketahui Mustika Rasa baru mencatat 1600 resep, sedangkan almarhum ibu Suryatini Ganie dalam bukunya "Mahakarya Kuliner" telah mencatat 5000 resep. Kalau rata-rata dibagi menurut jumlah suku di Indonesia yang tercatat sebanyak 1,340 di berbagai daerah, maka di buku "Mustika Rasa", per setiap suku Indonesia mempunyai 1,2 resep sedangkan di buku "Mahakarya Kuliner" per setiap suku mempunyai 3,7 resep, itupun kalau semua suku di Indonesia masuk dalam catatan resep tersebut. Rasanya bisa lebih dari itu, mungkin jumlahnya bisa mencapai puluhan ribu aneka resep yang belum pernah diangkat atau tidak tercatat sama sekali.

Sangat dianjurkan buku Mustika Rasa tersedia di perpustakaan-perpustakaan besar di Indonesia. Pejabat, penikmat, pemerhati, pecinta dan para pemangku kepentingan seni makanan perlu membaca buku ini, mengingat potensi seni memasak di Indonesia sangat banyak apalagi menyadari dari 50 juta bisnis di Indonesia, 50% di antaranya merupakan bisnis kuliner.

Sebagai penutup dari tulisan ini, disarankan Pemerintah Republik Indonesia melanjutkan program acuan yang pernah dicatat dalam buku "Mustika Rasa", khususnya dalam mengangkat identitas dan citra bangsa melalui Gastronomi, yaitu melalui suatu Kebijaksanaan Nasional dalam mengembangkan Gastronomi Indonesia untuk (secara tidak berurutan) :

1. Mengembangkan jumlah catatan resep "Mustika Rasa dari 1,600 menjadi semaksimal mungkin, khususnya yang belum dikenal dan langka, karena khazanah kekayaan seni masakan Indonesia masih seperti harta karun terpendam.

2. Menterjemahkan latar belakang Gastronomi di masing-masing resep yang sudah ada dan yang akan dikembangkan nantinya yakni antara lain mengenai sejarah asal usul, simbol masyarakat, ajaran makna hidup, ritual, filosofi, kearifan lokal, unsur-unsur maupun arti lain dari lauk pauk yang akan ditampilkan.

3. Membawa masuk ke dalam catatan buku "Mustika Rasa" yang berikutnya catatan-catatan kuno seperti Serat Centini, Naskah Sunda Kuno, Naskah Kuliner Banyumas, Dharma Caruban dan lain sebagainya.

4. Mengimplementasikan amanat Bung Karno mengenai adanya Lembaga Teknologi Makanan atau Lembaga Penyelidikan Teknologi Makanan yang akan menjadi dasar pemikiran dan rencana Bung Karno terhadap masa depan makanan Indonesia; serta pemikiran penulis untuk adanya Universitas Makanan Indonesia.

5. Profesionalisasi industri UKM kuliner yakni dengan pembinaan, pengelolaan dan penyuluhan maupun lainnya terhadap industri UKM seni memasak yang merupakan tulang punggung ekonomi kreatif, mengingat potensi seni masakan di Indonesia sangat banyak apalagi menyadari dari 50 juta bisnis di Indonesia, 50% di antaranya merupakan bisnis seni memasak yang banyak diolah oleh pengusaha UKM.

6. Mengajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat rencana Undang-Undang Nasional tentang Makanan, khususnya penekanan dan pengakuan terhadap adanya etno-kuliner Tionghoa peranakan, India, Arab dan Belanda, selain dari 1340 suku dan sub-suku yang ada di negeri ini. Etnik pendatang ini bukan turis di negeri kita atau bagian terpisah dari bangsa kita tetapi mereka adalah satu bagian dari jiwa raga kebathinan seni masakan bangsa Indonesia.

7. Mulai menjajagi Gastronomi sebagai instrumen diplomasi budaya dengan counterparts di luar negeri dalam hubungan bilateral dengan melahirkan kebijakan GastroDiplomasi.

Sumber Referensi Artikel:
-        Wikipedia
-        Bandung Mawardi
-        Kompas