Meja makan di Jawa menjadi saksi persilangan budaya. Makanan yang ada di
meja merupakan hasil persilangan budaya yang berlangsung mulus hingga
mereka yang berada di samping meja makan akan puas seusai mengonsumsi
sajian yang tersedia meski mungkin mereka memiliki latar belakang
berbeda. Kuliner Jawa menyimpan riwayat pelangi budaya dari berbagai
peradaban di dunia.
Kecenderungan intoleransi terhadap kemajemukan yang kini menjadi persoalan bangsa tidak ditemukan di meja makan di Jawa. Ratusan tahun persinggungan berbagai budaya dunia telah menghasilkan makanan-makanan khas di Pulau Jawa yang tanpa disadari telah menjadi simbol kerukunan dalam kemajemukan.
Bila kita pernah ikut kenduri di keluarga-keluarga di Jawa Tengah, kita akan menemukan pertemuan makanan-makanan yang unik. Di dalam wadah terbuat dari bambu yang disebut besek terkumpul berbagai makanan yang tidak semuanya berupa makanan lokal. Penyelenggara kenduri akan mengisi besek dengan nasi, sayur, lauk, buah, dan kadang roti untuk dibawa pulang para tamu.
Sayur yang disajikan ada mi dan capcai. Lauk yang disajikan berupa rendang daging, kari daging, atau sate. Roti yang disajikan bervariasi dari roti manis sampai kadang kue isi daging. Dari yang disajikan ini kita sudah bisa menerka pengaruh berbagai budaya dalam besek itu, mulai dari mi dan capcai, merupakan pengaruh budaya China. Rendang, kari, sate merupakan pengaruh India dan juga Arab, sedangkan roti merupakan pengaruh dari Eropa.
Di samping itu, bila kita berkunjung dalam perayaan pernikahan di Jawa Tengah, kita akan menemukan istilah yang unik, yaitu usdek. Ini tak terkait dengan konsep demokrasi terpimpinnya Presiden Soekarno tahun 1959, tetapi terkait dengan urutan penyajian makanan ketika perayaan itu berlangsung.
Usdek merupakan singkatan dari unjukan (minuman), snack (makanan pembuka, bisa juga sup/sop), daharan (nasi), es krim (penutup), dan kondur (alias saatnya para tetamu pulang). Dari urutan makanan itu terlihat jelas berbagai makanan yang merupakan pengaruh dari berbagai kebudayaan.
Urutan-urutan ini juga menunjukkan adanya pengaruh Eropa. Di Eropa dikenal table manner. Urutan seperti ini banyak ditemukan dalam pesta-pesta orang Eropa meski variasinya sangat berbeda. Orang Jawa tidak memiliki tradisi makan dengan urutan-urutan tertentu. Keberadaan makanan ringan dan es krim jelas menjadi bukti pengaruh Barat.
Persilangan budaya di Tanah Jawa telah menjadi kajian para ahli sejak awal abad ke-19 lalu. Temuan-temuan yang diduga "tidak bersifat lokal" telah membawa para ahli kepada konsep pertemuan budaya. Kedatangan Stamford Raffles ke Pulau Jawa pada 1811 menjadi awal temuan adanya Indianisasi atau "mutasi pertama" kebudayaan di tanah Jawa.
Kajian berikutnya memuat dugaan tentang adanya penduduk awal hingga pengaruh berbagai bangsa masuk ke Jawa. Pengaruh pertama berasal dari India yang diperkirakan mulai terjadi pada abad ke-4. Saat itu ada migrasi besar-besaran dari India menuju tanah Jawa.
Letak Pulau Jawa yang tersentuh oleh lalu lintas perdagangan China dan India menjadikan wilayah ini tersentuh oleh pengaruh China. Pengaruh Arab juga muncul ketika jalur rempah-rempah menuju Eropa masih berpusat di Semenanjung Arab, tepatnya di pintu masuk rempah-rempah, yaitu di Hadramaut (Yaman). Kedatangan bangsa Eropa pada abad ke-16 menjadikan pengaruh budaya Eropa masuk ke Pulau Jawa.
Dari berbagai pulau, Jawa merupakan tempat yang secara intens mendapat pengaruh dari berbagai kedatangan bangsa-bangsa di dunia itu. Beberapa ahli yang berupaya membuat irisan pengaruh-pengaruh budaya itu menunjukkan Pulau Jawa paling banyak mendapat paparan pengaruh kebudayaan itu. Hal ini juga bisa dilihat dari perkembangan agama, baik Hindu, Buddha, Islam, hingga Katolik yang sangat subur di Pulau Jawa.
Adalah Prof Denys Lombard, peneliti asal Perancis yang pada tahun 1990 memunculkan istilah silang budaya dalam buku Le Carrefour Javanais atau yang dikenal Nusa Jawa: Silang Budaya. Ia memperlihatkan berbagai asal-usul pengaruh dari wujud "geologi kebudayaan" di Pulau Jawa yang dipengaruhi berbagai kebudayaan, seperti India, China, Arab, dan Eropa.
Ia mengkaji berbagai aspek seperti kesenian, tradisi, pertanian, arsitektur, agama, dan lain-lain. Lombard secara jelas memperlihatkan kebudayaan di Pulau Jawa tidak lepas dari pengaruh-pengaruh dari luar itu, namun ternyata ia juga menemukan kenyataan "yang lokal" tetap masih ada.
Meski demikian, Denys sendiri kurang banyak mengkaji silang budaya di makanan. Catatan untuk persilangan budaya ataupun kisah asal-usul makanan ini memang agak sulit didapat. Di Indonesia catatan tentang kisah-kisah mengenai munculnya makanan sulit didapat. Kajian tentang hal ini juga masih langka dilakukan oleh kalangan akademisi.
Kisah-kisah makanan itu menjadi bukti pertemuan budaya yang tidak saling menghilangkan. Pertemuan budaya saling memperkaya. Keberadaan "yang lokal" masih tetap ada meski berbagai pengaruh budaya dari luar masuk. Mereka yang datang silih berganti menambah berbagai variasi yang makin memperlihatkan betapa indah sebenarnya negeri ini, meski dari secuil makanan sekalipun.
Artikel ini diambil dari tulisan:
Andreas Maryoto di Kompas, September 2008
Kecenderungan intoleransi terhadap kemajemukan yang kini menjadi persoalan bangsa tidak ditemukan di meja makan di Jawa. Ratusan tahun persinggungan berbagai budaya dunia telah menghasilkan makanan-makanan khas di Pulau Jawa yang tanpa disadari telah menjadi simbol kerukunan dalam kemajemukan.
Bila kita pernah ikut kenduri di keluarga-keluarga di Jawa Tengah, kita akan menemukan pertemuan makanan-makanan yang unik. Di dalam wadah terbuat dari bambu yang disebut besek terkumpul berbagai makanan yang tidak semuanya berupa makanan lokal. Penyelenggara kenduri akan mengisi besek dengan nasi, sayur, lauk, buah, dan kadang roti untuk dibawa pulang para tamu.
Sayur yang disajikan ada mi dan capcai. Lauk yang disajikan berupa rendang daging, kari daging, atau sate. Roti yang disajikan bervariasi dari roti manis sampai kadang kue isi daging. Dari yang disajikan ini kita sudah bisa menerka pengaruh berbagai budaya dalam besek itu, mulai dari mi dan capcai, merupakan pengaruh budaya China. Rendang, kari, sate merupakan pengaruh India dan juga Arab, sedangkan roti merupakan pengaruh dari Eropa.
Di samping itu, bila kita berkunjung dalam perayaan pernikahan di Jawa Tengah, kita akan menemukan istilah yang unik, yaitu usdek. Ini tak terkait dengan konsep demokrasi terpimpinnya Presiden Soekarno tahun 1959, tetapi terkait dengan urutan penyajian makanan ketika perayaan itu berlangsung.
Usdek merupakan singkatan dari unjukan (minuman), snack (makanan pembuka, bisa juga sup/sop), daharan (nasi), es krim (penutup), dan kondur (alias saatnya para tetamu pulang). Dari urutan makanan itu terlihat jelas berbagai makanan yang merupakan pengaruh dari berbagai kebudayaan.
Urutan-urutan ini juga menunjukkan adanya pengaruh Eropa. Di Eropa dikenal table manner. Urutan seperti ini banyak ditemukan dalam pesta-pesta orang Eropa meski variasinya sangat berbeda. Orang Jawa tidak memiliki tradisi makan dengan urutan-urutan tertentu. Keberadaan makanan ringan dan es krim jelas menjadi bukti pengaruh Barat.
Persilangan budaya di Tanah Jawa telah menjadi kajian para ahli sejak awal abad ke-19 lalu. Temuan-temuan yang diduga "tidak bersifat lokal" telah membawa para ahli kepada konsep pertemuan budaya. Kedatangan Stamford Raffles ke Pulau Jawa pada 1811 menjadi awal temuan adanya Indianisasi atau "mutasi pertama" kebudayaan di tanah Jawa.
Kajian berikutnya memuat dugaan tentang adanya penduduk awal hingga pengaruh berbagai bangsa masuk ke Jawa. Pengaruh pertama berasal dari India yang diperkirakan mulai terjadi pada abad ke-4. Saat itu ada migrasi besar-besaran dari India menuju tanah Jawa.
Letak Pulau Jawa yang tersentuh oleh lalu lintas perdagangan China dan India menjadikan wilayah ini tersentuh oleh pengaruh China. Pengaruh Arab juga muncul ketika jalur rempah-rempah menuju Eropa masih berpusat di Semenanjung Arab, tepatnya di pintu masuk rempah-rempah, yaitu di Hadramaut (Yaman). Kedatangan bangsa Eropa pada abad ke-16 menjadikan pengaruh budaya Eropa masuk ke Pulau Jawa.
Dari berbagai pulau, Jawa merupakan tempat yang secara intens mendapat pengaruh dari berbagai kedatangan bangsa-bangsa di dunia itu. Beberapa ahli yang berupaya membuat irisan pengaruh-pengaruh budaya itu menunjukkan Pulau Jawa paling banyak mendapat paparan pengaruh kebudayaan itu. Hal ini juga bisa dilihat dari perkembangan agama, baik Hindu, Buddha, Islam, hingga Katolik yang sangat subur di Pulau Jawa.
Adalah Prof Denys Lombard, peneliti asal Perancis yang pada tahun 1990 memunculkan istilah silang budaya dalam buku Le Carrefour Javanais atau yang dikenal Nusa Jawa: Silang Budaya. Ia memperlihatkan berbagai asal-usul pengaruh dari wujud "geologi kebudayaan" di Pulau Jawa yang dipengaruhi berbagai kebudayaan, seperti India, China, Arab, dan Eropa.
Ia mengkaji berbagai aspek seperti kesenian, tradisi, pertanian, arsitektur, agama, dan lain-lain. Lombard secara jelas memperlihatkan kebudayaan di Pulau Jawa tidak lepas dari pengaruh-pengaruh dari luar itu, namun ternyata ia juga menemukan kenyataan "yang lokal" tetap masih ada.
Meski demikian, Denys sendiri kurang banyak mengkaji silang budaya di makanan. Catatan untuk persilangan budaya ataupun kisah asal-usul makanan ini memang agak sulit didapat. Di Indonesia catatan tentang kisah-kisah mengenai munculnya makanan sulit didapat. Kajian tentang hal ini juga masih langka dilakukan oleh kalangan akademisi.
Kisah-kisah makanan itu menjadi bukti pertemuan budaya yang tidak saling menghilangkan. Pertemuan budaya saling memperkaya. Keberadaan "yang lokal" masih tetap ada meski berbagai pengaruh budaya dari luar masuk. Mereka yang datang silih berganti menambah berbagai variasi yang makin memperlihatkan betapa indah sebenarnya negeri ini, meski dari secuil makanan sekalipun.
Artikel ini diambil dari tulisan:
Andreas Maryoto di Kompas, September 2008