".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Wednesday, 6 August 2014

Kuatkan Makanan dan Minuman Tradisional Sebagai Atraksi Wisata

Program Studi Manajemen Industri Katering (MIK) melaksanakan Seminar Internasional Gastronomi bertema “Penguatan Makanan dan Minuman Tradisional Sebagai Atraksi Wisata.” Di Auditorium Lantai 6 Gedung Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia. “Tujuan pelaksanaan kegiatan seminar internasional ini adalah untuk mempelajari strategi pengembangan makanan dan minuman tradisional di dalam negeri dan mancanegara dan mengemasnya sebagai atraksi wisata yang dapat berlangsung secara berkelanjutan”, ujar Agus Sudono, MM ketua Program Studi MIK.

Seminar internasional gastronomi ini menampilkan keynote speaker Prof. Tadamichi Itho Rektor Universitas Nara Perfectur Jepang, dan Achyaruddin Direktur Direktorat Pengembangan Wisata Minat Khusus dan Mice Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Selanjutnya tampil pula para pembicara yaitu Dr. Eriko Kameyama (Universitas Nara Perfecture Jepang), Antoine Audran (Institut Perancis-Indonesia), Weddy Yanuar (Indonesia Chef Association Badan Pengurus Jawa Barat), Dr. Amiluhur Soeroso (Akademi Gastronomi Indonesia), Drs. Jacob Ganef, Pah. MT (Himpunan Perguruan Tinggi Pariwisata Indonesia), dan Dewi Turgarini, S.S., MM.Par (Program Studi Manajemen Industri Katering UPI).

Kegiatan yang  dilaksanakan beberapa waktu lalu tersebut diselenggarakan atas kerjasama dengan berbagai stakeholder seperti Direktorat Pengembangan Wisata Minat Khusus dan Mice Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Indonesia Chef Association, Indonesia-Perancis Institut, Akademi Gastronomi Indonesia, Universitas Nara Perfecture Jepang, Asosiasi Kafe dan Restoran, Restoran Rumah Kayu, Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia, D’One Production.

Wisata Gastronomi Atasi Masalah Depopulasi di Jepang
Eriko Kameyama memaparkan tentang hal yang menarik yang dapat dipelajari dari pengalaman yang telah dilakukan di desa Asuka wilayah Oku-Asuka Negara Jepang dalam upayanya menghadapi masalah di wilayahnya.  Di Negara Jepang ungkapnya terjadi depopulasi akibat terjadinya urbanisasi pada tahun 1970-1980, sehingga terdapat perpindahan penduduk ke kota dan desa-desa menjadi kosong.   Menghadapi kenyataan tersebut para ibu membentuk kelompok dan membuat restoran bernama Sarara yang memanfaatkan rumah kosong yang ada.  Restoran ini membuat menu makanan Konyaku yang terbuat dari ubi, selain itu juga mereka menampilkan produk bawang putih dan makanan bento.  Secara perlahan restoran tersebut berubah fungsi bukan saja sebagai sarana jual beli makanan, akan tetapi menjadi tempat sosialisasi, dan menjadi sarana untuk memperkenalkan kekayaan alam dan makanan masyarakat setempat. Menurutnya atraksi wisata tidak perlu melibatkan sarana dan prasarana yang megah, sebagai contoh program homestay yang dilakukan di Kota Bogor pada tahun 2007 yang dilakukan mahasiswa Nara di rumah penduduk adalah sarana atraksi wisata yang implementatif. Dalam kegiatan tersebut terdapat cultural exchange dalam bidang gastronomi, saat penduduk memperlihatkan proses pembuatan makanan tradisionalnya kepada para mahasiswa yang secara tidak langsung memberikan informasi, pengalaman dan juga impresi yang kuat tentang makanan tradisional Indonesia.

Generasi Gastronomi Ala Antoine
Antoine Audran adalah seorang Chef yang berpengalaman selama 40 tahun dan ia sudah banyak berkiprah di industri gastronomi dan bahkan memiliki pengalaman berada di restoran-restoran yang sudah m,endapat penghargaan Michelin yang sangat bergengsi di dunia.  Dalam kesempatan tersebut ia menyampaikan adanya perubahan kebiasaan menikmati kuliner antar generasi yang berbeda. Ia mendefinisikan gaya makanan Prancis yang berbeda yang tersedia di Indonesia, yaitu:
1) Regional Cuisine / Home cooking, yang merupakan makanan asli Prancis yang mengandalkan produk musiman dan regional, semua siap dengan beberapa keterampilan teknis tertentu yang  lulus secara lisan dari generasi ke generasi . Gaya masakan ini belum banyak berkembang selama berabad-abad lalu, akan tetapi mewakili jiwa sejati dan dasar makanan Prancis saat ini.

2) Makanan Bistro, adalah jenis restoran baru  yang melayani keluarga dan makanan gaya regional, di lingkungan yang ramah.  Dimana pemesanan makanan dihidangkan dengan cepat dan harga sesuai.

3) Fine Dining merupakan masakan Perancis yang memiliki gaya Gastronomi yang hanya menggunakan bahan terbaik, dan disiapkan oleh koki master, dalam penyajian high end dan memiliki harga yang mahal.

4) Nouvelle, merupakan elombang baru makanan Prancis, yang dibuat oleh petualang tetapi belum tentu koki profesional. Ini adalah gaya makanan Prancis benar-benar global , di mana produk dari seluruh dunia akan dikombinasikan secara harmonis untuk menciptakan rasa baru dengan warna dan presentasi yang menarik.

Ia menjelaskan sejarah gastronomi Perancis di Jakarta awalnya merupakan Fine Dining restoran. Mereka restoran dianggap sebagai tempat andalan, dengan koki profesional  dimana makanan dan minuman anggur ditawarkan dalam lingkungan mewah. Pada tahun 1980 hingga 2000, sangat sedikit restoran Perancis yang tersedia di Indonesia.  Hal tersebut dikarenakan selain kurangnya promosi kuliner, kelangkaan produk impor menghambat pengembangan keahlian memasak Perancis asli di Jakarta. Baru pada akhir tahun 2000, mulai berdiri restoran Perancis di Jakarta seperti Praline, Jawa Bleu, Chef Table, Escargot.

Menurut Antoine saat ini terdapat beberapa generasi terkait dengan gastronomi, yaitu:
Generasi X Effect, yaitu generasi orang yang lahir 1966-1976, yang mengalami perubahan dimana ibu tidak tinggal di rumah lagi, dan menjadi pekerja. Hal ini berpengaruh terhadap pendidikan anak dimana terdapat kurangnya budaya dasar makanan tradisional, biasanya diperoleh selama usia muda dalam kontak langsung keluarga batih. Hilang ini pengetahuan dan pengalaman dasar kuliner.  Hasilnya generasi X mencari makanan instan yang berdampak tidak baik pada kesehatan, secara tidak langsung juga ada dampak positif terdapat orang-orang yang mulai menerapkan gaya hidup dan kebiasaan makan yang sehat. Keberadaan restoran di hotel menawarkan masakan tradisional Prancis ke masyarakat  Indonesia pada tingkat sosial tertentu.
Generasi Y, adalah generasi orang yang lahir 1977-1994 mencapai usia dewasa dengan akhir abad ke-20. Generasi ini dikenal sebagai “The Foodies“. Dalam era ini muncul gaya baru gastronomi Perancis dikombinasikan dengan bahan-bahan dari Timur. Karakteristik penting dari generasi ini, adalah tidak memiliki loyalitas merek dan hanya mengikuti tren, berdasarkan rumor dan gosip dimana keputusan membeli makanan menjadi gerakan kolektif sosial. Restoran berfungsi sebagai titik pertemuan untuk bersosialisasi dan  bertemu teman-teman yang menikmati kenikmatan kuliner yang disajikan. Pada generasi ini terdapat masalah yang menghambat perkembangan gastronomi Prancis di Jakarta yaitu tahun 2007, dimana terdapat beberapa pembatasan impor pangan yang ketat diberlakukan oleh pemerintah Indonesia

Generasi Z, adalah generasi orang yang lahir 1995-2012 merupakan generasi yang sangat terhubung internet.  Generasi ini akan sangat terpengaruh dengan hasil temuannya menggunakan  teknologi.  Bahkan temuan itu akan menentukan gaya hidup mereka dan kebiasaan makannya. Generasi ini beresiko menjadi Follower gen karena dalam pemilihan makanan mereka mengikuti pola interaksi social.  Pola ini adalah menggunakan semua jaringan sosial yang tersedia untuk membantu mereka selama proses seleksi ini. Generasi Z akan sangat dipengaruhi oleh tren dunia promosi dan rentan terhadap salah tafsir dan  kesalahpahaman akan warisan kuliner mereka sendiri  Mereka akan cenderung menerima segala sesuatu tanpa lebih mempertanyakannya. Pada saat ini juga, makanan akan menjadi lebih universal, dimana terlihat dengan adanya efek kebijakan pangan dalam kehidupan sehari-hari, dimana bangsa Indonesia lebih cenderung menerima pangan global disesuaikan dengan selera budaya spesifik mereka . Terdapat perubahan drastis dalam gambar makanan Prancis di seluruh dunia, dimana makanan Prancis akan mulai kehilangan bagian dari identitas regional menjadi gaya yang lebih internasional dengan bercirikan masakan mendapat pengaruh dari Timur ( Asia ). Menurutnya bisa menemukan sudah beberapa makanan Perancis disajikan seperti hidangan Jepang, atau Perancis hidangan yang dimasak dengan kecap dan bumbu Asia lainnya. Hal itu merupakan semacam proses fusi sudah bergerak untuk mengubah persepsi klasik warisan gastronomis Prancis ke identitas pangan global yang lebih dapat diterima  yaitu makanan Prancis tidak akan dilabeli sebagai makanan Prancis lagi, kan tetapi sebagai makanan kebarat-baratan. Makanan yang disajikan di restoran di sekitar Jakarta, yang trendi tidak akan mencerminkan lagi ini gambar lama dan usang dari masakan Perancis melainkan versi yang lebih ringan dan diadaptasi dari itu.  Semua disajikan dalam porsi yang lebih kecil

Dalam industri makanan menurut Antoine, harus berhenti berfikir melihat kebelakang namun sebaliknya harus mampu mengantisipasi masa depan dengan sikap dan pikiran positif. Ia yakin bahwa masakan Prancis di Jakarta akan menjadi bagian dari perubahan global yang akan memicu beberapa ciptaan baru kuliner, dan beberapa kebiasaan makanan baru, beberapa rasa baru  serta beberapa sikap baru terhadap masakan khusus ini. Menurutnya makan di luar rumah akan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari orang, dan makan di luar akan dirasakan lebih lebih nikmat.  Perlu diingat pula bahwa pada dasarnya orang tidak hanya akan mengikuti tren, akan  tetapi juga akan mencari pengalaman baru, suasana baru, sikap baru tanpa terlalu fokus pada kualitas makanan saja.

Wisata Gastronomi Sebagai Pelestarian Warisan Budaya Indonesia
Lain lagi yang dipaparkan oleh  Amiluhur Soeroso dari Akademi Gastronomi Indonesia bahwa gastronomi Indonesia, saat ini menjadi topik relevan karena negara ini memiliki banyak budaya dari berbagai etnis yang tinggal dan tersebar di ribuan pulau. Pemasok dari China, India, dan kemudian, Spanyol, Timur Tengah dan Portugal mempengaruhi masakan Indonesia. Variasi jenis dan jenis makanan lokal Indonesia sangat beragam, tergantung pada budaya dan adat istiadat masyarakat setempat. Beras Jagung, Sagu dan Singkong,  Gaplek  tidak mencerminkan keadaan masyarakat rendah sosio – ekonomi, akan tetapi mencerminkan adat istiadat setempat dan kearifan lokal dalam menggunakan keadaan alam secara  harmonis.

Gastronomi mencerminkan identitas dan budaya integritas Indonesia sebagai bangsa yang besar, bahkan juga sering dapat digunakan sebagai alat politik untuk bernegosiasi dengan negara-negara lain. Ketika Gastronomi terkait dengan pariwisata, tentu menjadi komponen dari pengalaman wisata kuliner sebagai bagian penting dari anggaran wisatawan. Dalam kasus ini, wisatawan tidak hanya makan untuk bertahan hidup, dan untuk menghindari jatuh sakit, tetapi juga mereka ingin memahami suatu daerah atau negara . Dari makanan, mereka dapat menerima informasi tentang populasi dan organisasi dari peradaban wilayah yang mereka kunjungi.  Ia menyampaikan pelestarian keahlian memasak tradisional sangat penting bagi perkembangan kebudayaan nasional.

Hal yang penting dipahami menurutnya adalah sebagai berikut :

1. Makanan sebagai warisan budaya
Menurutnya perlu dipahami bahwa sebenarnya makanan pada dasarnya dapat digunakan sebagai sarana untuk mencapai ketahanan pangan. Mengembalikan pola diversifikasi makan makanan yang telah mengakar di masyarakat sebagai kearifan lokal dapat memperluas konsumsi pangan. Keanekaragaman pangan merupakan kekayaan budaya Indonesia akan baik untuk menjadi sarana penunjang ketahanan pangan, dan memberikan penghasilan tambahan jika dipasarkan sebagai produk yang dapat dikonsumsi oleh wisatawan. Keragaman sumber pangan di Indonesia, menyebabkan makanan tradisional Indonesia juga bervariasi rasa. Terminologi makanan tradisional adalah makanan yang dikonsumsi oleh kelompok etnis dan daerah spesifik tertentu. Karakteristik makanan tradisional adalah resep) diperoleh makanan turun-temurun, b) penggunaan alat-alat tradisional dan c) Proses rekayasa memasak khas.

Kuliner Indonesia lebih kekayaan daripada masakan negara-negara lain. Beberapa makanan tradisional Indonesia, tanpa disadari sebenarnya telah dimasukkan sebagai produk global. Makanan tradisional, gado – gado, nasi goreng, nasi kuning, sate, soto, gudeg dan lainnya Bahkan, beberapa makanan tradisional Indonesia juga menjadi warisan budaya tak benda yang memerlukan perlindungan. Hal ini karena, selama abad 20, industrialisasi mulai mengancam produsen tukang dan banyak meninggalkan teknik tradisional mereka. Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami hal itu. Misalnya, Kipo adalah salah satu makanan tradisional yang endemik atau makanan ringan, terbuat dari beras ketan, hanya tersedia di DIY (Yogyakakarta Propinsi Daerah Istimewa), tepatnya di kawasan cagar budaya Kota Gede. Saat ini pengrajin Kipo, hanya 4 orang tersisa, dan mereka yang berusia lebih dari 60 tahun. Jika tidak ada ahli waris dalam 10 tahun ke depan, Kipo mungkin punah, sehingga perlu dilestarikan, seperti halnya bagi banyak objek budaya sama artefak, monumen, bangunan dan arsip yang melibatkan negara dan inisiatif swasta. Makanan ringan seperti Kipo menggambarkan nilai sosial yang menunjukkan hubungan antara masyarakat dan memiliki akal sehat identitas. Nilai yang melekat pada fungsi sosial. Konsumen dari berbagai etnis, agama, pandangan politik, dan status sosial juga beragam, yang mencerminkan toleransi terhadap keberagaman. Oleh karena itu, makanan sebagai warisan budaya mencakup semua aspek kehidupan budaya.

2. Makanan dan Lingkungan
Ketersediaan pangan sangat terkait erat dengan lingkungan di mana mereka tinggal. Bersih lingkungan, tidak terkontaminasi oleh bahan beracun, juga akan menghasilkan makanan berkualitas baik. Saat ini dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak memperhatikan pengembangan makanan secara holistik. Semakin besar eksploitasi sumber daya adalah tinggi risiko kerusakan lingkungan. Untuk itu, kita membutuhkan paradigma baru pemahaman tentang keberlanjutan ekologi lingkungan dengan memperhatikan adalah keseimbangan tanah faktor biofisik, ekonomi (daya beli) dan masyarakat sosial budaya termasuk keamanan pangan (kesehatan). Peningkatan kualitas makanan sebagai upaya mendukung ketahanan pangan yang tercermin dalam undang-undang sangat penting, tidak hanya tentang aspek gizi, rasa, aroma, bau dan memasak kualitas, tetapi juga kesehatan dan keselamatan untuk menghindari residu kimia mulai proses pra (pengelolaan lahan) untuk pasca panen (penggilingan, pengepakan, kemasan,dll). Makanan yang memiliki kualitas yang baik akan mendukung ketahanan pangan, baik dari segi keamanan, hidup sehat dan aktif dan keterjangkauan. Implementasi sistem adalah makanan berkualitas baik dari input, proses dan output akan memerlukan sedikit biaya pencegahan, pemeriksaan dan kerusakan , bahkan biaya yang tidak perlu terkait dengan publik sehingga biaya produksi akan lebih rendah. Penggunaan pupuk organik untuk membuat makanan menjadi lebih awet (tahan lama) dan segar, sehingga menarik konsumen, dikonsumsi lebih sehat, murah, merdeka dan berdaulat (tidak tergantung pada produsen pupuk).

3. Wisata Gastronomi
Sebuah pengalaman saat menikmati makanan dan minuman yang unik memiliki kekuatan untuk memikat wisatawan seperti halnya museum  rekreasi dan belanja. Gastronomy, sebagai sumber daya wisata, dihargai tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri, tetapi juga karena kemampuannya untuk menghasilkan pembangunan pedesaan. Pariwisata gastronomi dapat membantu untuk meningkatkan sumber pendapatan pedesaan dan meningkatkan tingkat pendapatan dan pekerjaan tenaga kerja lokal, terutama perempuan. Penting bahwa restoran yang mengambil keuntungan penuh dari peluang pariwisata gastronomi daerah dapat membangun dirinya sendiri sebagai tujuan untuk makan makanan yang unik.  Lalu mudah diingat bahwa daerah itu akan membuat para pengunjung dan wisatawan akan ingin kedatangan untuk lagi dan lagi.

4. Perkembangan Tradisional Gastronomi Sebagai Objek Wisata
Wisata kuliner diakui sebagai cara untuk melakukan budaya kuliner lokal, merangsang permintaan pariwisata, dan meningkatkan daya saing destinasi, sehingga pariwisata Gastronomi juga telah muncul sebagai komponen yang semakin penting dari pemasaran tujuan (Hashimoto dan Telfer 2006; Panjang 2004). Dengan mengeksplorasi makanan tradisional (makanan baru dirasakan oleh mereka), wisatawan akan merasa mendapatkan pengalaman lebih ke arah budaya lokal. Kemudian, masyarakat berbagi budaya lokal mereka dengan wisatawan melalui media ini, penduduk setempat membuat representasi identitas tujuan. Pembentukan identitas dan penciptaan citra tepat berkaitan dengan makanan lokal, sehingga dapat menarik pasar yang dituju, dan bermanfaat pengembangan pariwisata Gastronomi waktu yang sama. Selain itu, makanan juga memegang tempat penting dalam “berpikir secara global, bertindak lokal”.

Patut diingat bahwa pengembangan keahlian memasak sebagai obyek wisata, pada dasarnya mengirimkan kualitas kepada konsumen tidak hanya pada bahan makanan, akan tetapi juga termasuk kualitas keseluruhan layanan.  Berdasarkan serangkaian deskripsi yang telah disampaikan, dalam pengembangan keahlian memasak tradisional Indonesia sebagai daya tarik wisata budaya, kita perlu memahami beberapa hal berikut. Pertama, wisatawan tidak ingin hanya monumen, landmark, dan alam atau buatan manusia, mereka ingin pengalaman lain. Wisatawan akan membuat makanan sebagai bagian dari pengalaman ketika melakukan perjalanan ke Indonesia. Mereka akan menikmati rasa dan rasa makanan di sana, dan kemudian membawa kisah kelezatan ketika kembali ke negara itu. Selain itu, pada kenyataannya sebagian besar pengeluaran mereka dianggarkan untuk makanan, jadi masakan, rasa, kebersihan dan keramahan lingkungan menjadi sesuatu yang besar dalam wisata kuliner.

Kedua, kita harus melestarikan keanekaragaman makanan lokal, dan meningkatkan citra makanan non beras setara dengan makanan beras. Masyarakat harus diberi pengetahuan tentang kualitas makanan di daerah sekitarnya dan pelaksanaan agribisnis ” go green“. Untuk keamanan, pengelolaan lahan dan makanan harus dilindungi dari pengenalan sistem kimia, mengacu Hazard Analysis Critical Control Point ( HACCP ) adalah pendekatan sistematis untuk mengidentifikasi bahaya ( resiko ) dan pelaksanaan tindakan pengendalian makanan. Upaya ini memastikan bahwa semua tahapan produksi mulai budidaya penyimpanan, pengepakan dan pengiriman atau penampilan, dilakukan sesuai dengan standar yang berlaku.

Ketiga, warisan budaya tak benda, seperti makanan lokal dirancang dapat untuk mendorong pembangunan ekonomi, khususnya melalui pariwisata, sehingga menurutnya perlu dilakukan penelitian dan pengembangan.

Keempat, keahlian memasak dan kuliner lokal harus dikaitkan dengan produk wisata lainnya seperti hotel dan restoran, spa, festival, tradisi, museum, dan aktivitas lainnya, jadi kita perlu kemitraan manajemen strategi.

Dengan demikian, salah satu pilihan adalah untuk melakukan penelitian, pengembangan, pelestarian dan sosialisasi kepada masyarakat tentang pariwisata gastronomi dan kuliner dengan berkolaborasi dan kemitraan strategis dengan mendirikan organisasi-organisasi, salah satunya adalah organisasi Akademi Gastronomi Indonesia.

Sumber Referensi Artikel:
Dewi Turgarini, UPI Bandung & AGI