Gastronomi secara etimologi berarti perut, pencernaan dan makanan
(gastro) dan hukum (nomi). Menurut Brillat Savarin (abad 18) gastronomi
berarti sesuatu yang berhubungan dengan makanan. Konsep dari gastronomi
telah dikenal sejak abad ke 4 SM pada zaman Romawi kuno dan perkembangan
selanjutnya baru diteliti sebagai istilah pada abad ke 18.
Gastronomi sendiri sebagai ilmu, tidak bisa dilepaskan dari aspek lain karena saling membentuk jaringan seperti halnya rantai makanan. Satu aspek dengan aspek lainnya saling berhubungan. Oleh karena itu, melihat makanan tidak bisa dari satu aspek saja. Gastronomi bisa berhubungan dengan sosial, ekonomi, politik, kesehatan, ataupun militer. Contohnya saja, kekurangan bahan makanan bisa menjadi faktor pencetus perang.
Dari gastronomi terkadang ada suatu penciptaan identitas yang melekat untuk suatu tempat, misalnya Indonesia sebagai Negara agraris diidentikan dengan makan nasi. Padahal tidak semua orang Indonesia makanan pokoknya adalah nasi, misalnya saja pada daerah timur Indonesia yang sebagian besar makanan pokoknya sagu ataupun jagung.
Hal ini bila terus dicitrakan akan membuat orang-orang yang tidak terbiasa memakan nasi menjadi bermasalah, misalnya saja pada kelaparan yang terjadi saat Indonesia sedang surplus beras. Padahal di timur orang tidak tahu harus bagaimana memasak nasi. Maka, makanan dapat mencitrakan identitas, lingkungan, dan status si pemakan.
Masalah makanan bukan hanya menyangkut enak atau tidak enak saja, lebih jauh dari itu bahkan menyangkut struktur yang terus bertahan dari masa ke masa, pengenalan pada alam, bahan makanan, dan pembangunan cita rasa yang berkembang kemudian (Mennel).
Sebelum abad 19, di Indonesia belum dikenal cita rasa seperti sekarang ini. Misalnya masakan padang pedas, jawa manis, dan sunda berlalab. Cita rasa ini dibangun, dipolakan, dan dikukuhkan ketika orang Belanda datang ke Indonesia. Cita rasa itu sendiri juga tidak jauh dari gagasan suka tidak suka tergantung pada pengaruh sosial dan lingkungan yang terkonsep menjadi budaya makan, misalnya daging babi.
Pembangunan cita rasa ini juga berhubungan dengan status dan kelas sosial (Pierre Bomrdeau). Misalnya saja, masyarakat menengah ke bawah yang masih melihat makanan sebagai kebutuhan biologis, dan masyarakat kelas atas (industri dan akademisi) yang menyeleksi makanan yang mereka makan dengan alasan tertentu seperti kualitas dan higienitas.
Pada 1920-30an di Indonesia, masyarakat kelas atas telah memikirkan cita rasa dan higienitas dari apa yang dimakannya. Menu makanan harus diganti setiap hari dan porsi makan antara malam dan siang harus dibedakan.
Harus dipikirkan juga praktis, higienis, sehat, dan bagus terlihat. Bahkan pada tahun-tahun tersebut sudah ada lembaga yang mengawasi obat dan bahan kimia yang digunakan pada makanan, misalnya pada air belanda (sirup). Karena kesehatan akan ditentukan oleh apa-apa yang dimakan, dan kesehatan menyangkut masalah orang banyak.
Pada masa itu, penyakit adalah metafora dari sejarah kehidupan sosial masyarakatnya. Menyangkut kepada siapa penderitanya dan apa kelas sosialnya (Susan Sontag). Penyakit TBC (tubercolosis) diidentikan pada penyakit miskin karena penderitanya bahkan diasingkan. Ada juga penyakit kanker yang diidentikan dengan penyakit kelas atas, karena disebabkan terlalu banyak makan enak. Beberapa makanan juga diadopsi dari pengaruh kebudayaan asing yang masuk, bahkan ada juga sampai pada pemberian namanya. Misalnya, sup, dan perkedel (perancis-fricandeau, belanda-frikadel).
Sekarang ini, makanan bukan hanya masuk sebagai pemenuhan gizi atau kebutuhan biologis, tapi juga menjadi gaya hidup dan komoditas ekonomi. Contohnya saja kaum yang mengaku sebagai golongan atas merasa sangat berkelas bila makan di restoran atau hidup sebagai vegetarian, makanan tertentu yang menjadi trend dan berkembang pada masyarakat saat itu seperti makanan siap saji, dan dijadikan komoditas ekonomi yang menguntungkan dengan target Negara yang sedang berkembang yang kurang memikirkan aspek kesehatan pada makanan mereka. Trend - trend tersebut seperti makanan fast food yang cenderung berlemak menimbulkan penyakit-penyakit baru seperti kolesterol dan kanker.
Selain itu, makanan dijadikan komoditas ekonomi yang bisa menarik wisatawan untuk datang berkunjung, makanan ini tentunya harus berbeda dari tempat yang lain. Di Filipina misalnya, ada sejenis makanan yang menggunakan bahan baku telur yang telah menjadi embrio. Atau di China, memakan monyet yang masih muda dengan cara memukul ubun-ubunnya dan selagi masih sekarat kepalanya dicungkil untuk dimakan otaknya. Makanan-makanan unik ini selain dapat menarik minat wisatawan untuk datang tapi juga dapat menambah pendapatan Negara.
Selain itu, pandangan masyarakat mengenai makanan dan lingkungan tempat mereka hidup sehari-hari menunjukkan adanya persamaan dan perbedaan waktu serta benua. Kentang dan kacang dari dunia ketiga diperkenalkan ke Eropa dan Cina melewati berbagai rintangan. Kuliner khas Islam ternyata menjadi model bagi makanan Eropa di abad pertengahan. Hubungan antar negara diawali dengan pertukaran jenis makanan, baik bahan makanan ataupun cara penyajiannya. Selain itu, di Portugal makanan terkait dengan filosofi hidup: “Men are not measurable by their size.” So, makanan pun tak dilihat dari besarnya porsi tapi dinikmati dari kuatnya rasa dengan aroma khas demi menyimpan kenangan. Makanan favorit disana: sup sayuran dengan daging. Tak heran, mereka begitu semangat mencari bumbu-bumbu khas keluar dari negerinya. Demi “menyimpan kenangan.
Namun yang pasti, ciri dari identitas seseorang menurut para ahli, salah satunya dilihat dari makanan favorit. Sebab makanan yang kita suka berasal dari lingkungan tempat kita hidup. Dari satu tempat ke tempat lain, makanan bervariasi dalam bahan pembuatnya dan cara penyajiannya. Makanan merefleksikan lingkungan tempat sebuah masyarakat hidup, meski tak selalu ditentukan olehnya. Masyarakat yang hidup dekat laut cenderung mengkonsumsi ikan daripada mereka yang hidup dekat pegunungan. Kondisi lingkungan merupakan satu tantangan tersendiri untuk menciptakan satu jenis makanan baru, misalnya di daerah bersalju (Freedman. 2007).
Dari banyaknya permasalahan, dinamika, dan keragaman yang muncul, maka mempelajari makanan memerlukan pemahaman pada bidang lainnya. Bahwa makanan dapat menimbulkan gejolak dan permasalahan sosial dari masa ke masa bukan hanya membuat makanan menjadi hal atau pemenuhan kebutuhan biologis saja. Makanan bisa menjadi komoditas ekonomi yang pada sekarang ini juga tidak terlepas dari berkembangnya teknologi informasi, komunikasi dan sistem ekonomi (perdagangan bebas). Dapat menguntungkan bila dikelola secara benar dan juga merugikan, asal masyarakat dapat melihat makanan dari perkembangannya dari masa ke masa.
Kunci dari semua ini menyangkut "kearifan lokal" yang merupakan pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Kearifan Lokal adalah cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Kalau dikaitkan dengan makanan, maka "kearifan lokal" ini merupakan suatu cara dari seseorang atau sekelompok orang dalam mengkonsumsi makanan atau kebiasaan makan atau pola makan akibat adanya tekanan kultural, pilihan makanan dan dengan memanfaatkan jenis - jenis makanan yang terdapat di tempat atau lokasi tersebut.
Umpamanya 'Kearifan Gastronomi Lokal Indonesia" merupakan perpaduan antara budaya (makanan) lokal dengan makanan Timur Tengah, Cina, India, Eropa dan Amerika; yang di dalamnya terkait sebagai perekat unsur - unsur antara lain : sistem religi, adat istiadat, pandangan & kepercayaan, bahasa, sistem pengetahuan turun - menurun, organisasi sosial, seni budaya & teknologi. Atau bahasa "keren"nya ada unsur food value, food believe, food idea & food taboo. Ciri-cirinya bisa dilihat dari resep makanan diperoleh turun-temurun, penggunaan alat tradisional dan teknik mengolah masakan yang khas.
Referensi Artikel :
- Wikipedia
- Freedman, Paul (Editor). 2007. Food: the History of Taste. California: University of California Press
- Wilkins, John. 1996. Food In European Literature. Exeter: Intellect Books.
- Blog Shinta Agustin Suherman
Gastronomi sendiri sebagai ilmu, tidak bisa dilepaskan dari aspek lain karena saling membentuk jaringan seperti halnya rantai makanan. Satu aspek dengan aspek lainnya saling berhubungan. Oleh karena itu, melihat makanan tidak bisa dari satu aspek saja. Gastronomi bisa berhubungan dengan sosial, ekonomi, politik, kesehatan, ataupun militer. Contohnya saja, kekurangan bahan makanan bisa menjadi faktor pencetus perang.
Dari gastronomi terkadang ada suatu penciptaan identitas yang melekat untuk suatu tempat, misalnya Indonesia sebagai Negara agraris diidentikan dengan makan nasi. Padahal tidak semua orang Indonesia makanan pokoknya adalah nasi, misalnya saja pada daerah timur Indonesia yang sebagian besar makanan pokoknya sagu ataupun jagung.
Hal ini bila terus dicitrakan akan membuat orang-orang yang tidak terbiasa memakan nasi menjadi bermasalah, misalnya saja pada kelaparan yang terjadi saat Indonesia sedang surplus beras. Padahal di timur orang tidak tahu harus bagaimana memasak nasi. Maka, makanan dapat mencitrakan identitas, lingkungan, dan status si pemakan.
Masalah makanan bukan hanya menyangkut enak atau tidak enak saja, lebih jauh dari itu bahkan menyangkut struktur yang terus bertahan dari masa ke masa, pengenalan pada alam, bahan makanan, dan pembangunan cita rasa yang berkembang kemudian (Mennel).
Sebelum abad 19, di Indonesia belum dikenal cita rasa seperti sekarang ini. Misalnya masakan padang pedas, jawa manis, dan sunda berlalab. Cita rasa ini dibangun, dipolakan, dan dikukuhkan ketika orang Belanda datang ke Indonesia. Cita rasa itu sendiri juga tidak jauh dari gagasan suka tidak suka tergantung pada pengaruh sosial dan lingkungan yang terkonsep menjadi budaya makan, misalnya daging babi.
Pembangunan cita rasa ini juga berhubungan dengan status dan kelas sosial (Pierre Bomrdeau). Misalnya saja, masyarakat menengah ke bawah yang masih melihat makanan sebagai kebutuhan biologis, dan masyarakat kelas atas (industri dan akademisi) yang menyeleksi makanan yang mereka makan dengan alasan tertentu seperti kualitas dan higienitas.
Pada 1920-30an di Indonesia, masyarakat kelas atas telah memikirkan cita rasa dan higienitas dari apa yang dimakannya. Menu makanan harus diganti setiap hari dan porsi makan antara malam dan siang harus dibedakan.
Harus dipikirkan juga praktis, higienis, sehat, dan bagus terlihat. Bahkan pada tahun-tahun tersebut sudah ada lembaga yang mengawasi obat dan bahan kimia yang digunakan pada makanan, misalnya pada air belanda (sirup). Karena kesehatan akan ditentukan oleh apa-apa yang dimakan, dan kesehatan menyangkut masalah orang banyak.
Pada masa itu, penyakit adalah metafora dari sejarah kehidupan sosial masyarakatnya. Menyangkut kepada siapa penderitanya dan apa kelas sosialnya (Susan Sontag). Penyakit TBC (tubercolosis) diidentikan pada penyakit miskin karena penderitanya bahkan diasingkan. Ada juga penyakit kanker yang diidentikan dengan penyakit kelas atas, karena disebabkan terlalu banyak makan enak. Beberapa makanan juga diadopsi dari pengaruh kebudayaan asing yang masuk, bahkan ada juga sampai pada pemberian namanya. Misalnya, sup, dan perkedel (perancis-fricandeau, belanda-frikadel).
Sekarang ini, makanan bukan hanya masuk sebagai pemenuhan gizi atau kebutuhan biologis, tapi juga menjadi gaya hidup dan komoditas ekonomi. Contohnya saja kaum yang mengaku sebagai golongan atas merasa sangat berkelas bila makan di restoran atau hidup sebagai vegetarian, makanan tertentu yang menjadi trend dan berkembang pada masyarakat saat itu seperti makanan siap saji, dan dijadikan komoditas ekonomi yang menguntungkan dengan target Negara yang sedang berkembang yang kurang memikirkan aspek kesehatan pada makanan mereka. Trend - trend tersebut seperti makanan fast food yang cenderung berlemak menimbulkan penyakit-penyakit baru seperti kolesterol dan kanker.
Selain itu, makanan dijadikan komoditas ekonomi yang bisa menarik wisatawan untuk datang berkunjung, makanan ini tentunya harus berbeda dari tempat yang lain. Di Filipina misalnya, ada sejenis makanan yang menggunakan bahan baku telur yang telah menjadi embrio. Atau di China, memakan monyet yang masih muda dengan cara memukul ubun-ubunnya dan selagi masih sekarat kepalanya dicungkil untuk dimakan otaknya. Makanan-makanan unik ini selain dapat menarik minat wisatawan untuk datang tapi juga dapat menambah pendapatan Negara.
Selain itu, pandangan masyarakat mengenai makanan dan lingkungan tempat mereka hidup sehari-hari menunjukkan adanya persamaan dan perbedaan waktu serta benua. Kentang dan kacang dari dunia ketiga diperkenalkan ke Eropa dan Cina melewati berbagai rintangan. Kuliner khas Islam ternyata menjadi model bagi makanan Eropa di abad pertengahan. Hubungan antar negara diawali dengan pertukaran jenis makanan, baik bahan makanan ataupun cara penyajiannya. Selain itu, di Portugal makanan terkait dengan filosofi hidup: “Men are not measurable by their size.” So, makanan pun tak dilihat dari besarnya porsi tapi dinikmati dari kuatnya rasa dengan aroma khas demi menyimpan kenangan. Makanan favorit disana: sup sayuran dengan daging. Tak heran, mereka begitu semangat mencari bumbu-bumbu khas keluar dari negerinya. Demi “menyimpan kenangan.
Namun yang pasti, ciri dari identitas seseorang menurut para ahli, salah satunya dilihat dari makanan favorit. Sebab makanan yang kita suka berasal dari lingkungan tempat kita hidup. Dari satu tempat ke tempat lain, makanan bervariasi dalam bahan pembuatnya dan cara penyajiannya. Makanan merefleksikan lingkungan tempat sebuah masyarakat hidup, meski tak selalu ditentukan olehnya. Masyarakat yang hidup dekat laut cenderung mengkonsumsi ikan daripada mereka yang hidup dekat pegunungan. Kondisi lingkungan merupakan satu tantangan tersendiri untuk menciptakan satu jenis makanan baru, misalnya di daerah bersalju (Freedman. 2007).
Dari banyaknya permasalahan, dinamika, dan keragaman yang muncul, maka mempelajari makanan memerlukan pemahaman pada bidang lainnya. Bahwa makanan dapat menimbulkan gejolak dan permasalahan sosial dari masa ke masa bukan hanya membuat makanan menjadi hal atau pemenuhan kebutuhan biologis saja. Makanan bisa menjadi komoditas ekonomi yang pada sekarang ini juga tidak terlepas dari berkembangnya teknologi informasi, komunikasi dan sistem ekonomi (perdagangan bebas). Dapat menguntungkan bila dikelola secara benar dan juga merugikan, asal masyarakat dapat melihat makanan dari perkembangannya dari masa ke masa.
Kunci dari semua ini menyangkut "kearifan lokal" yang merupakan pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Kearifan Lokal adalah cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Kalau dikaitkan dengan makanan, maka "kearifan lokal" ini merupakan suatu cara dari seseorang atau sekelompok orang dalam mengkonsumsi makanan atau kebiasaan makan atau pola makan akibat adanya tekanan kultural, pilihan makanan dan dengan memanfaatkan jenis - jenis makanan yang terdapat di tempat atau lokasi tersebut.
Umpamanya 'Kearifan Gastronomi Lokal Indonesia" merupakan perpaduan antara budaya (makanan) lokal dengan makanan Timur Tengah, Cina, India, Eropa dan Amerika; yang di dalamnya terkait sebagai perekat unsur - unsur antara lain : sistem religi, adat istiadat, pandangan & kepercayaan, bahasa, sistem pengetahuan turun - menurun, organisasi sosial, seni budaya & teknologi. Atau bahasa "keren"nya ada unsur food value, food believe, food idea & food taboo. Ciri-cirinya bisa dilihat dari resep makanan diperoleh turun-temurun, penggunaan alat tradisional dan teknik mengolah masakan yang khas.
Referensi Artikel :
- Wikipedia
- Freedman, Paul (Editor). 2007. Food: the History of Taste. California: University of California Press
- Wilkins, John. 1996. Food In European Literature. Exeter: Intellect Books.
- Blog Shinta Agustin Suherman