".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Wednesday, 6 August 2014

Inilah Fakta Gastronomi Indonesia

Sebagai bangsa yang besar, kita tidak boleh melupakan sejarah.  Demikian pula dengan perjalanan sejarah gastronomi Indonesia, sebagai hasil keberagaman budaya bangsa yang telah melalui proses yang panjang.  Hal tersebut pula yang menjadi perhatian PT. Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko bersama Jogja and Central Java Hotels Association dan Samana Foundation untuk menggagas “Festival Penulis dan Budaya ke-2”, yang dilaksanakan pada 17 hingga 20 Oktober 2013.

Festival ini merupakan forum pertemuan bagi penulis dan pekerja kreatif serta aktifis budaya pada umumnya dalam kerangka dialog lintas batas dan pemahaman intercultural yang berbasis pada pengembangan dan perluasan pengetahuan atas berbagai khasanah sehingga para kreator budaya maupun masyarakat yang hidup dalam budaya-budaya tersebut dapat memanfaatkan segala khazanah yang ada sesuai dengan kebutuhan aktualnya.  Acara ini dihadiri oleh Dewi Turgarini dan Yati Haryati dosen Program Studi Manajemen Industri Katering FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia.

Salah satu tema yang diangkat pada festival ini adalah “Arus Balik Memori Rempah dan Bahari Nusantara Kolonial dan Postkolonial.” Pembicara pada seminar ini adalah Prof. Dr. Timbul Haryono (Guru Besar Arkeologi Universitas Gadjah Mada) yang menyampaikan presentasi “Berbagai Makanan dan Minuman Masyarakat Jawa Kuna“,  Mohammad Kuswendi , P.hd (Aakademi Gastronomi Indonesia) menyampaikan tema presentasi “Mengembangkan Hidangan Warisan Leluhur Berbasis Tumbuhan Rempah dan Herbal“, Prof. Dr. Murdijati Gardjito (Pusat Kajian Makanan Tradisional Indonesia) menyampaikan paparan tentang berbagai kekayaan gastronomi Indonesia dalam publikasi 26 bukunya, dan Agus Santosa Exchecutive Chef Hotel Inna Garuda Yogyakarta menyampaikan aplikasi penggunaan rempah-rempah Indonesia dan keunggulannya dibandingkan negara lain.

Yoke Darmawan Direktur Samana Foundation selaku Direktur Festival menyampaikan dalam festival ini ia ingin mengajak semua orang untuk mengembalikan orientasi bangsa nusantara kembali ke laut, ke kekuasaan tanpa batas sebagai bangsa penjelajah yang berani menempuh risiko untuk membangun peradaban sendiri di era globalisasi sekarang ini.

Temuan Arkeologi Tentang Gastronomi Jawa
Dalam seminar tersebut menarik untuk menyimak paparan Prof. Dr. Timbul Haryono pakar arkeologi Universitas Gadjah Mada yang memaparkan kajiannya “Berbagai Makanan dan Minuman Masyarakat Jawa Kuna.”  Menurutnya makanan dan minuman adalah karya  budaya masyarakat untuk mempertahankan hidup.  Menurutnya kebudayaan  merupakan sistem yang terdiri dari sub sistem teknologi, subsistem sosiologi, sub sistem ideologi, sedangkan wujud kebudayaan terdiri dari sistem kultur, sosial dan material.  Ia pun menyitir definisi budaya yang dikemukakan oleh definisi David L. Clarke (1968), bahwa ‘culture consists of learned modes of behaviour and its material manifestations, socially transmitted from one generation to the next and from one societyor individual to another’.

Oleh karenanya sebuah kebudayaan menurutnya adalah pertama merupakan perilaku dan manifestasi  bendanya (dimensi bentuk),  kedua diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya ( dimensi waktu), ketiga ditransformasikan dari satu masyarakat/anggota masyarakat ke masyarakat/anggota masyarakat yang lain ( dimensi ruang).

Sumber informasi gastronomi Jawa pada masa lalu terdapat pada beberapa sumber yaitu pada Prasasti penetapan sima, yaitu terdapat pada :

1. Prasasti Taji 901 M
“parnnah ning tinadah weas kadut 57 hadangan 7 hayam 100  muang saprakaraning asin-asin deng asin kadiwas kawan bilunglung hantiga rumahan, tuak len sangka ing jnu muang skar campaga ….

“jumlah yg dihidangkan ada beras 57 karung, 6 ekor kerbau, 100 ekor ayam, dan aneka makan asin, dendeng asin, ikan kadiwas, gurameh, ikan bilunglung, telur, rumahan, tuak dari jenu, bunga cempaga ….

2.  Prasasti Panggumulan 902 M
“…. Ning tinadah skul matiman matumpuk asin-asin  daing kakap daing kadiwas rumahan layar-layar hurang hala-hala hantiga samangkana pinaka gangan hadangan prana 2 wdus 1 dinadyakan kla-kla samenaka amwilamwil … Tuak siddhu jatirasa  duh ni nyung ….”

3. Prasasti Mantyasih I 907 M
“ . . . Lwirning tinhadah hadangann wok wdus ginaway samenaka muang muang saprakara ning harangharang deng asin deng hanyang deng tarung muang hurang halahala hantrini . . . .”

“Macam-macam masakan yg dihidangkan  adalah daging celeng, kijang, kambing, dibuat serba lezat dan berbagai macam harangharang, dendeng asin, dendeng hanyang, dendeng tarung, dan udang, halahala, telur “.

4. Prasasti Rukam 907 M
“. . . Lwir ning tiandah skul paripurna timan matumpuk tumpuk harangharang deng kakap kadiwas ikan duri  deng hanyang kawan kawan rumahan layarlayar halahala hurang dlag inaring muang hantrini gtam mangkana gangan hadangan sapi  wok sukan dinadyakan klakla samenaka hana amwilamwil atahatah kasyakasyan sangasangan ..  “ ".. Mangkanang ininum twak siddhu cinnca ..”

“ . . . Hidangan yg dimakan  berupa nasi paripurna, nasin tim, bertumpuk laukpauk: harangharang, dendeng kakap kadiwas, ikan duri,daging hanyang kawankawan rumahan layarlayar halahala udang gabus makanan yg dikeriungkan telur kepiting , sayur daging kerbau  sapi babi … yang diminum tuak siddhu cinca

5. Prasasti Watukura I  902
… Kapwa manadah tan hana kantuna ring irusan klakla ambilambil kasyan letlet . . .  deng kakap kadiwas tenggiri hnus hurang bilunglung  . . . Hana siddhu mastawa kinca kilang twak . . . .”

6. Prasasti  Linggasuntan 929 M
“. . . Inangsean skul dangdangan hinirusan klakla ambilambil . . . [sa]ngasangan haryas rumbarumbah kulupan tetis tumpuk tumpuk deng hanyang deng hasin kakap hurang wilunglung . . . Manginum sidhu cinca kilang twak . . . .”

Sumber lain yang mengungkapkan kekayaan gastronomi tradisional  Jawa Kuno terdapat dala kitab-kitab Sastra, yaitu dimana dalam Kitab Smaradahana, Bomakawya terdapat kata agerager (agar-agar).  Kemudian dalam Kidung Nawa Ruci, Harsa Wijaya terdapat kata “jawadah lumindih adulur, warnaning amikaikan dodol wajik mwang parasi muwah tikang saramad” yang menjelaskan terdapatnya makanan dodol.  Adapula kitab Adiparwa yang mengungkapkan kata “twak waragang badyag twak ing tal budur”,  dan kitab Sutasoma yang mencantumkan kata “twak badeg siwalan budur waragan”, dalam kedua kitab itu menggambarkan tentang adanya tuak atau minuman beralkohol di masa tersebut.  Terakhir terdapat pula kata dalam kitab Bomakawya yaitu “ikang rarawwan amaregmaregi” yang menggambarkan keberadaan menu ikan.

Adanya penelusuran, penggalian terhadap keberadaan makanan dan minuman masa Jawa Kuna sangat diperlukan karena menurut Prof. Dr. Timbul hal tersebut merupakan hasil lokal genius masa lalu.  Kekayaan gastronomi tradisional Indonesia merupakan salah satu  unsur budaya yang dapat dimanfaatkan dalam perkembangan kepariwisataan yang bersumber dari kekayaan alam nusantara. Bagi penulis sendiri menjadi suatu hal menarik saat mengetahui beragam menu makanan yang hingga hari ini diolah oleh masyarakat Jawa, seperti dendeng asin, gurameh, telur, rumahan, daging celeng, kijang, kambing udang, halahala, telur. nasi paripurna (nasi tumpeng?), nasi tim, dendeng kakap, gabus telur kepiting , sayur daging kerbau,  sapi,  babi.  Namun juga prihatin karena bahan baku yang sudah tidak terdapat lagi karena gangguan ekosistem di masa sekarang.  Seperti menu ikan kadiwas, ikan bilunglung, rumahan, tuak dari jenu, bunga cempaga. dendeng hanyang, dendeng tarung, ikan duri, daging hanyang kawankawan rumahan layarlayar halahala tuak siddhu cinca.

Penulis pun pernah pula melakukan pengamatan ke Candi Borobudur dan Candi Prambanan yang menunjukkan lekatnya gastronomi dalam kehidupan budaya dan religi dalam reliefnya.  Bahkan dalam relief tersebut menemukan kue Banjar yang saat ini masih dapat ditemukan dijual di kawasan Kotagede di Yogyakarta. Bukankah ini saatnya pula kita melestarikan menu-menu tradisional beserta bahan baku lokalnya agar tidak punah ditelan masa? Semua tergantung kepada anda pembaca bahwa tanpa kesadaran untuk melestarikan makanan dan minuman tradisional kita maka seiring itu pula kita kehilangan jati diri bangsa sebagai bangsa yang sarat dengan nilai-nilai lokal genius.  Karena pada dasarnya makanan dan minuman pun memiliki makna filosofis yang melekat dalam kultur itu sendiri.

Sumber Referensi Artikel:
Dewi Turgarini, UPI Bandung & AGI