".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Saturday, 9 August 2014

Beru Dayang : Dewi Padi dalam Kepercayaan Orang Karo

Sejarah darimana datangnya padi di Karo sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti. Namun banyak pendapat-pendapat para ahli menerangkan asal mula padi di Karo. Menurut Brandes bahwa penanaman padi di sawah di mulai sejak sebelum pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha datang ke Karo. (Brandes, 1889 dalam Ferdinandus,1990:426). Ini diperkuat lagi dengan peninggalan-peninggalan yang masih di lihat dalam masyarakat Karo yaitu marga-marga yang ada di Karo. Sembiring Brahmana, Colia, Pandia, Manik, Dan Lingga. Dan sampai sekarang marga-marga ini masih di gunakan oleh orang Karo.

Pendapat lain mengatakan bahwa penanaman padi dengan sistem perladangan diperkirakan  di kenal oleh orang Karo jauh sebelum sekitar 2500-1500 SM, yaitu bersamaan masuknya kebudayaan megalituk tua ke Indonesia (Golden, 1945:138-141). Namun dalam teorinya ini masih ada keraguan karena tidak disertakan dengan bukti-bukti yang kuat.

Namun ada satu cerita dalam kebudayaan Karo bahwa padi itu berasal dari Beru Dayang. Awalnya nenek moyang orang Karo hidup di hutan-hutan belantara dan berpindah-pindah. Dan yang menjadi  makanan mereka adalah buah-buah pohon masak yang ada di hutan, dimana mereka menemukan buah disitulah mereka tinggal sampai buah tersebut habis.  Dan karena buah itu, sering terjadi pertengkaran sesama mereka dan saling membunuh. Artinya makananlah yang membuat mereka sering bertengkar.

Hal ini dilihat oleh dibata maka ia berkata kepada Beru Dayang Jile-jile (nama dewi padi) yang menjadi perantara untuk manusia.

"Bawalah benih padi dan ajarilah manusia untuk menanam padi supaya padilah yang menjadi makanan mereka nantinya, agar mereka tidak bertengkar dan memperebutkan buah pohon dan tidak lagi hidup berpindah-pindah ketika buah pohon itu habis dan kesulitan mencari buah pohon yang masak”.

Lalu sujudlah  Beru Dayang dengan tangan kiri dan kanan menyatu serta menundukan kepalanya dan berkata "apa yang Dibata perintahkan padaku akan kulakukan untuk manusia"

Maka turunlah Beru Dayang  ke bumi dengan membawa benih yang akan diberikan kepada manusia.

Maka sampailah ia di bumi ini karena kuasa dan kekuatan yang diberikan kepada Beru Dayang yang menjadi perantara Dibata dengan manusia. Maka berkumpulah semua manusia baik dari Timur dan Barat. Setelah semuanya berkumpul, maka berkatalah Beru Dayang  kepada mereka "bagi kamu semua manusia sekarang akan kuberikan benih padi kepadamu supaya kamu tanam agar padi inilah yang akan menjadi makananmu. Dan aku akan mengajari cara menanam benih padi ini".

Mereka juga diajari bagaimana cara mengurus padi yang baik, begitu juga setelah padi dipanen dan bagaimana cara menumbuknya begitu juga dengan memasaknya.

Semua padi yang ditanam manusia itu sangat subur sekali berkat ajaran Beru Dayang dengan hasil melimpah ruah. Maka setelah itu pulanglah Beru Dayang ke asalnya. Nama-nama jenis padi yang ada di Tanah Karo sampai saat ini disebut dengan Dayang sebagai ungkapan terima kasih mereka. Jenis-jenis padi itu adalah :

- Beru Dayang Rungun-rungun (nama padi yang telah ditanam)
- Beru Dayang Buninken (nama padi yang telah ditanam dan di tutup)
- Beru Dayang Malembing (nama padi setelah daunnya mirip lembing)
- Beru Dayang Meduk-meduk (nama padi setelah daunnya rimbun dan daunnya melengkung ke bawah)
- Beru Dayang Kumerket (nama padi stelah bunting)
- Beru Dayang Perinte-rinte (nama padi setelah daunnya menguning)
- Beru Dayang Pegungun (nama padi setelah di panen dan di jemur)

Padi Sebagai Makanan Pokok di Karo
Sama seperti Jepang, bagi orang Karo padi juga merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan bermasyarakat. Apalagi rata-rata mata pencaharian orang Karo adalah bertani. Padi juga menjadi makanan utama orang Karo.

Kebiasaan utama orang Karo adalah menyimpan sebagian padi untuk perayaan-perayaan tertentu. Biasanya ada tempat khusus untuk menyimpan padi yaitu dalam lumbung yang disebut dengan  “keben”. Kebiasaan ini di turunkan oleh nenek moyang dan sampai sekarang masih dilakukan. Padi digunakan dalam merayakan pesta tahunan “kerja tahun”,  memasuki rumah baru dan acara-acara khusus dalam pernukahan dan adat anak  lahir. Jadi padi merupakan lambang ritual masyarakat Karo.

Cara memasak nasi pada zaman dahulu dengan sekarang.
Pada zaman dahulu nasi dimasak dalam periuk khas karo yaitu Kudin Taneh. Cara memasaknya yakni beras dimasukkan beserta air dan di naikkan ke atas api. Sekarang nasi sudah di masak dalam periuk-periuk biasa dan setelah mendidih dimasukkan lagi ke kukusan nasi. Bagi orang Karo nasi yang sudah masak disebut dengan“nakan” dan apabila menjadi bubur disebut dengan nakan dak-dak. Nasi bubur ini juga menjadi makanan untuk anak-anak yang baru lahir.

Dalam perayaan tahunan biasanya ada makanan khas yaitu rires, cimpa gabur, tape. Rires adalah makanan khas orang Karo (makanan yang dimasak dalam bambu), bahan dasarnya adalah beras yang dicampur dengan garam, lada, kunyit, jahe, dan santan kelapa yang sudah diperas. Di setiap keluarga wajib membuatnya karena rires menjadi lambang ada atau tidaknya malapetaka yang menimpa seseorang. Rires biasanya dimasak dalam bambu muda dan dibakar, apabila sesudah masak warnanya kuning dan bagus serta rasanya pas dilidah maka tidak akan ada malapetaka. Apabila mentah dan warnanya pucat serta rasanya juga tidak pas maka akan ada malapetaka.

Cimpa juga merupakan makanan khas masyarakat Karo yang dibuat di setiap perayaan ”kerja tahun”. Cimpa bahan dasarnya adalah beras, dan cara membuatnya sama seperti membuat shitogi (kue Jepang) dimana tepung beras diuleni dengan air sampai lembut setelah itu di balut dengan daun singkut atau daun pisang. Setelah itu dimasak. Biasanya cimpa di sajikan dengan dicampur gula merah agar rasanya manis. Cimpa ini dinamakan dengan “cimpa pulut”.

Cimpa yang biasanya dijadikan persembahan kepada dewa atau roh dari orang yang sudah meninggal adalah “cimpa gabur”. Bahan dasar dari cimpa ini adalah tepung beras. Namun pada jaman dahulu biasanya beras diambil dari panen pertama dan di tumbuk kemudian dikepal sebesar kepalan tangan tanpa diberi campuran apapun. Mengingat proses membuat cimpa terlalu rumit dan lama maka dipermudah pembuatannya dari tepung beras yang dicampur dengan gula. Tujuannya agar dewi yang memakan kue ini akan merasakan manisnya hidangan yang disajikan maka dewi akan memberikan rejeki yang manis pula.

Makanan lain yaitu “tape” yang juga bahan dasarnya adalah beras. Tapi khusus untuk membuat makanan ini berasnya harus yang terbaik. Kepercayaannya,  selama membuat makanan ini tidak boleh mengeluarkan bau yang busuk karena bisa tidak jadi. Apabila rasanya manis maka dipercayai panen berikutnya pasti berhasil. Namun sekarang ini sudah  jarang dibuat karena caranya terlalu rumit, dimana harus dibungkus dengan lapisan yang tebal agar panas. Dan butuh waktu satu malam penuh untuk masak yang selama itu tidak boleh disentuh apalagi dibuka.

Saat ini yang masih dilestarikan pembuatannya adalah rires (kue dalam bambu) dan cimpa pulut saja yang di setiap perayaan kerja tahun pasti akan dijumpai.

Padi Dalam Kepercayaan Orang Karo
Di Jepang yang dipercayai sebagai utusan dari dewa Inari adalah Rase. Di Karo yang di percayai utusan dari dewi padi Beru dayang adalah Kalimbubu, Anak beru, dan Senina.

Kalimbubu adalah kelompok pemberi dara bagi keluarga (marga) tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari sering juga disebut sebagai Dibata ni Idah (Tuhan yang bisa dilihat), karena kedudukannya sangat di hormati. Sejarah penghormatan kepada kalimbubu ini berasal dari perintah dewi Beru dayang sewaktu di datang ke bumi. Titah dewi Beru Dayang  apabila ingin mendapat hasil padi yang melimpah maka benihnya harus diminta dari kalimbubu.

Biasanya untuk meminta benih padi, orang yang bersangkutan membawa sesajen atau persembahan berupa cimpa gabur, beras, ayam kampung yang berwarna putih yang kesemuanya diletakkan di atas piring yang berwarna putih juga yang disebut dengan pigan pasu.

Kalimbubu diibaratkan sebagai padi yang ditanam yang dapat menghasilkan panen yang melimpah, Jadi kalimbubu harus benar-benar dihormati dan disembah.

Anak beru dipercayai dapat menjaga padi dari serangan hama, kerbau, kambing. Anak beru diibaratkan sebagi pagar yang melindung padi. Anak beru berarti anak perempuan, dan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Karo dikenal sebagai kelompok yang mengambil istri dari keluarga  (marga) tertentu.

Bahkan anak beru juga dipercayai dapat menjaga kerukunan dalam rumah tangga. Maka anak beru juga sangat dihormati dan disembah juga, karena kalau tidak maka dia bisa marah dan pasti hasil padi akan gagal karena dimakan oleh serangga atau kerbau.

Senina juga diyakini sebagai wakil dari beru dayang.  Senina adalah orang-orang yang satu kata dalam permusyawaratan adat Karo.  Se berarti satu,  nina berarti kata atau pendapat, orang yang bersaudara.  Senina dipercayai diibaratkan sebagai pelindung dan penopang padi agar  tidak sampai ke tanah apabila angin berhembus. Jadi dia juga harus dihormati.

Sebagai wujud penghormatan kepada kalimbubu, anak beru dan senina maka dibuat suatu perayaan yang disebut dengan kerja tahun atau dalam bahasa Karo disebut sebagai Merdang Merdem.

Artikel kiriman dari Alexander Ketaren di Rumah Adat Namo Trasi, Langkat