Pangan merupakan kebutuhan pokok yang bersifat alamiah bagi manusia,
sehingga manusia bisa hidup oleh karena makan. Hasil bumi yang melimpah
dan beraneka ragam, sudah menjadi perhatian para leluhur yang hidup
ratusan tahun lalu, mulai dari menghadapi tantangan alam untuk mengolah
tanah agar bisa menghasilkan hasil bumi yang berlebih sesuai dengan
keadaan alamnya sampai bagaimana mengolah hasil bumi itu menjadi makanan
yang bermanfaat dan bervariasi. Ada ungkapan lama di masyarakat Jawa
yang selalu percaya bahwa "Ana dina ana upa" yang artinya masyarakat
selalu optimis selama masih ada hari, maka disitu masih ada nasi
(makan).
Berangkat dari rasa percaya diri bahwa manusia hidup ada yang menghidupi dan sudah disiapkan makanan, namun manusia harus tetap berikhtiyar dan berusaha untuk memanfaatkan sebaik-baiknya. Tidak boleh sekedar menunggu, karena tanpa usaha tidaklah mungkin makanan akan datang dengan sendirinya. Masyarakat Indonesia hidup di bumi nusantara ini dengan keadaan alam yang sangat subur, yang mampu memberikan hasil bumi beraneka macam mulai dari hasil pertanian, peternakan serta perikanan. Walaupun demikian, bagi manusia yang merupakan mahluk berakal budi pantang berpegang pada ungkapan "urip kanggo mangan" artinya hidup untuk makan, tetapi akan berpegang pada ungkapan "mangan kanggo urip" artinya makan hanya sekedar untuk bisa hidup.
Catatan kuna mengenai makanan di bumi nusantara tidak banyak terkoleksi secara tertulis. Dari lebih 300 kelompok etnik atau suku bangsa di Indonesia atau tepatnya 1.340 suku bangsa (menurut sensus BPS tahun 2010) terdapat 748 bahasa yang digunakan namun tidak lebih dari 1,2% catatan tertulis kuna yang dimiliki bangsa ini. Beberapanya adalah naskah catatan kuna Jawa yang merupakan salah satu bentuk koleksi yang memiliki nilai budaya tinggi, khususnya informasi mengenai makanan dan pangan seperti misalnya Serat Centhini, Serat Bauwarno, Babad Pasir maupun Babad Banyumas. Selain itu di Bali tradisi tulis nusantara yang membahas tentang resep makanan adalah Dharma Caruban dan Wirata Parwa yang merupakan naskah dalam tradisi Bali yang membahas keanekaragaman resep makanan tradisional dengan menggunakan racikan bumbu tradisional.
Serat Centhini (atau juga disebut Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga) merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru. Serat Centhini menghimpun segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, agar tak punah dan tetap lestari sepanjang waktu. Secara etimologis kata Dharma Caruban berasal dari dua kata yakni kata Dharma (tata cara) dan Carub (mencampur) sehingga dapat diartikan sebagai tata cara yang dilakukan dalam mencampur racikan bumbu-bumbu masakan sesuai dengan uraian resep. Untuk ringkasan Serat Bauwarno sengaja tidak dibuat oleh karena hampir semua informasi tentang pangan yang ada di dalamnya dikutip dari Serat Centhini dan bentuknya prosa sehingga cukup mudah dipahami.
Pengungkapan catatan masakan dan pangan dalam tembang Serat Centhini, gancaran atau prosa Serat Bauwarno, Babad Pasir, Babad Banyumas, Dharma Caruban dan Wirata Parwa secara tidak langsung merupakan upaya pendokumentasian dan pelestarian resep-resep masakan nusantara sekaligus menjadi penguat identitas bangsa Indonesia. Disamping ke-enam naskah itu, terdapat manuskrip Jawa lainnya yang berbicara tentang minuman herbal yakni jamu (jampi jawi), seperti Serat Bobok Boreh Saha Parem, Kawruh Jampi Jawi, Kawruh Bab Jampi-jampi Jawi dan sebagainya. Catatan-catatan sejarah leluhur ini sangat berpotensi untuk diidentifikasi dan dikaji kembali yang pada gilirannya untuk dikembangkan sebagai asset budaya bangsa yang mampu menjadi penciri secara khusus maupun identitas kebudayaan Indonesia.
Perlu ditekankan bahwa pada kehidupan modern saat ini, ada hal-hal yang secara tradisi belum tentu usang atau kuno. Bahkan hal yang tradisi mengalami perubahan makna menjadi makna eksotis, yaitu ciri khas yang bernilai ekonomi, sosial dan budaya. Banyak kalangan merindukan masa lalu untuk hadir kembali ke masa kini dalam balutan modern. Hal ini pada akhirnya bermuara pada konsep penguatan identitas budaya sebagai bagian dari sistem ketahanan sosial budaya masyarakat yang dalam aplikasinya memberi signifikansi positif terhadap ekonomi, seperti tumbuhnya rumah makan yang menyajikan menu tradisional.
Makanan tradisional merupakan salah satu kekayaan budaya yang harus digali kembali sebagai salah satu aset kultural melalui revitalisasi dan proses-proses transformasi. Hal ini perlu dilakukan untuk mengimbangi serbuan jenis makanan asing, sebagai dampak pasar bebas dan globalisasi. Makanan tradisional semakin tidak popular dan kalah bersaing dengan makanan asing, sudah semestinya harus ada usaha untuk mempopulerkannya kembali. Apabila ada anggapan bahwa kurang populernya makanan tradisional Indonesia disebabkan terlalu banyak varian dan cara masak yang terlalu lama, sudah tentu bukan suatu penilaian yang benar dan perlu diragukan kesahihannya.
Makanan merupakan bagian dari manusia, kebudayaan dan lingkungannya. Dalam perspektif budaya, merupakan sebuah identitas, representasi dan produksi dari kebudayaan yang berkembang di masyarakat. Pola makan dan jenis makanan masyarakat dapat menggambarkan perilaku hidup, gaya hidup lingkungan dan sistem-sistem sosial masyarakat pendukungnya. Makanan secara budaya, menggambarkan identitas lokal suatu pendukung budaya yang mencirikan lingkungan dan kebiasaan, serta menggambarkan representasi, regulasi, konsumsi dan produksi.
Sumber Referensi Artikel:
- Wikipedia
- Diskusi Supardjo
- Diskusi Gusti Ayu Novaeni
- Diskusi Asep Yudha Wirajaya
- Diskusi Prof. Dr. Iskandarwassid
Berangkat dari rasa percaya diri bahwa manusia hidup ada yang menghidupi dan sudah disiapkan makanan, namun manusia harus tetap berikhtiyar dan berusaha untuk memanfaatkan sebaik-baiknya. Tidak boleh sekedar menunggu, karena tanpa usaha tidaklah mungkin makanan akan datang dengan sendirinya. Masyarakat Indonesia hidup di bumi nusantara ini dengan keadaan alam yang sangat subur, yang mampu memberikan hasil bumi beraneka macam mulai dari hasil pertanian, peternakan serta perikanan. Walaupun demikian, bagi manusia yang merupakan mahluk berakal budi pantang berpegang pada ungkapan "urip kanggo mangan" artinya hidup untuk makan, tetapi akan berpegang pada ungkapan "mangan kanggo urip" artinya makan hanya sekedar untuk bisa hidup.
Catatan kuna mengenai makanan di bumi nusantara tidak banyak terkoleksi secara tertulis. Dari lebih 300 kelompok etnik atau suku bangsa di Indonesia atau tepatnya 1.340 suku bangsa (menurut sensus BPS tahun 2010) terdapat 748 bahasa yang digunakan namun tidak lebih dari 1,2% catatan tertulis kuna yang dimiliki bangsa ini. Beberapanya adalah naskah catatan kuna Jawa yang merupakan salah satu bentuk koleksi yang memiliki nilai budaya tinggi, khususnya informasi mengenai makanan dan pangan seperti misalnya Serat Centhini, Serat Bauwarno, Babad Pasir maupun Babad Banyumas. Selain itu di Bali tradisi tulis nusantara yang membahas tentang resep makanan adalah Dharma Caruban dan Wirata Parwa yang merupakan naskah dalam tradisi Bali yang membahas keanekaragaman resep makanan tradisional dengan menggunakan racikan bumbu tradisional.
Serat Centhini (atau juga disebut Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga) merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru. Serat Centhini menghimpun segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, agar tak punah dan tetap lestari sepanjang waktu. Secara etimologis kata Dharma Caruban berasal dari dua kata yakni kata Dharma (tata cara) dan Carub (mencampur) sehingga dapat diartikan sebagai tata cara yang dilakukan dalam mencampur racikan bumbu-bumbu masakan sesuai dengan uraian resep. Untuk ringkasan Serat Bauwarno sengaja tidak dibuat oleh karena hampir semua informasi tentang pangan yang ada di dalamnya dikutip dari Serat Centhini dan bentuknya prosa sehingga cukup mudah dipahami.
Pengungkapan catatan masakan dan pangan dalam tembang Serat Centhini, gancaran atau prosa Serat Bauwarno, Babad Pasir, Babad Banyumas, Dharma Caruban dan Wirata Parwa secara tidak langsung merupakan upaya pendokumentasian dan pelestarian resep-resep masakan nusantara sekaligus menjadi penguat identitas bangsa Indonesia. Disamping ke-enam naskah itu, terdapat manuskrip Jawa lainnya yang berbicara tentang minuman herbal yakni jamu (jampi jawi), seperti Serat Bobok Boreh Saha Parem, Kawruh Jampi Jawi, Kawruh Bab Jampi-jampi Jawi dan sebagainya. Catatan-catatan sejarah leluhur ini sangat berpotensi untuk diidentifikasi dan dikaji kembali yang pada gilirannya untuk dikembangkan sebagai asset budaya bangsa yang mampu menjadi penciri secara khusus maupun identitas kebudayaan Indonesia.
Perlu ditekankan bahwa pada kehidupan modern saat ini, ada hal-hal yang secara tradisi belum tentu usang atau kuno. Bahkan hal yang tradisi mengalami perubahan makna menjadi makna eksotis, yaitu ciri khas yang bernilai ekonomi, sosial dan budaya. Banyak kalangan merindukan masa lalu untuk hadir kembali ke masa kini dalam balutan modern. Hal ini pada akhirnya bermuara pada konsep penguatan identitas budaya sebagai bagian dari sistem ketahanan sosial budaya masyarakat yang dalam aplikasinya memberi signifikansi positif terhadap ekonomi, seperti tumbuhnya rumah makan yang menyajikan menu tradisional.
Makanan tradisional merupakan salah satu kekayaan budaya yang harus digali kembali sebagai salah satu aset kultural melalui revitalisasi dan proses-proses transformasi. Hal ini perlu dilakukan untuk mengimbangi serbuan jenis makanan asing, sebagai dampak pasar bebas dan globalisasi. Makanan tradisional semakin tidak popular dan kalah bersaing dengan makanan asing, sudah semestinya harus ada usaha untuk mempopulerkannya kembali. Apabila ada anggapan bahwa kurang populernya makanan tradisional Indonesia disebabkan terlalu banyak varian dan cara masak yang terlalu lama, sudah tentu bukan suatu penilaian yang benar dan perlu diragukan kesahihannya.
Makanan merupakan bagian dari manusia, kebudayaan dan lingkungannya. Dalam perspektif budaya, merupakan sebuah identitas, representasi dan produksi dari kebudayaan yang berkembang di masyarakat. Pola makan dan jenis makanan masyarakat dapat menggambarkan perilaku hidup, gaya hidup lingkungan dan sistem-sistem sosial masyarakat pendukungnya. Makanan secara budaya, menggambarkan identitas lokal suatu pendukung budaya yang mencirikan lingkungan dan kebiasaan, serta menggambarkan representasi, regulasi, konsumsi dan produksi.
Sumber Referensi Artikel:
- Wikipedia
- Diskusi Supardjo
- Diskusi Gusti Ayu Novaeni
- Diskusi Asep Yudha Wirajaya
- Diskusi Prof. Dr. Iskandarwassid