Boga adalah suatu seni tertua. Ketika Adam tercipta ke dunia, ia dalam keadaan lapar. Begitu pula bayi yang lahir ke dunia, ia menangis, hingga akhirnya mereda ketika sang bunda memberikan air susu untuknya. Semua itu adalah seni yang memberikan sumbangan mahapenting bagi kehidupan manusia. Karena manusia telah belajar menggunakan api dalam mengolah makanannya, dengan api itulah manusia menaklukkan alam. Demikianlah Fadly Rahman mencomot ujaran Brillat-Savarin - yang divisualkan begitu bagus sebagai pembuka film Yunani bertajuk Politiki Kouzina.
Sejarawan yang menggeluti jagat kuliner ini resah memergoki fenomena "wisata kuliner" dan industri makanan di Tanah Air demikian marak, tapi tak dibarengi riset mendalam masalah sejarah makanan dalam perspektif global. Padahal jelas, perkembangan makanan Nusantara dengan citra beragam dan uniknya sukar diceraikan dari berbagai pengaruh global yang berlangsung selama berabad-abad. Wajar jika selama ini masih banyak yang tidak menyadari permasalahan kompleks di balik hal ihwal makanan di Indonesia.
Fadly yakin keragaman kuliner di meja makan Indonesia tak datang secara ujuk-ujuk. Makanan Indonesia sulit dipisahkan dari sejarah yang membentuknya jauh sebelum Indonesia lahir. Sumber tertulis yang dapat ditelusuri bertemali aspek ini yaitu catatan sejak abad X perihal keadaan makanan di Jawa kuno. Semua data itu memamerkan perkembangan proses menemukan dan memanfaatkan aneka bahan makanan yang tersedia di alam hingga teknik pengolahannya dalam menciptakan berbagai jenis makanan. Proses inventing boga telah berlangsung pada masa paling awal. Beberapa prasasti dan naskah kuno menyebutkan rupa-rupa makanan seperti rawon, brongkos, pecel, dendeng, dan pindang. Apiknya, sederet contoh makanan itu hingga kini masih bertahan.
Selepas masa kuno itu lewat, lapisan waktu selanjutnya ditandai masuknya secara bergelombang berbagai pengaruh makanan global yang berasal dari Tiongkok, India, Arab, dan Portugis. Keempat unsur pengaruh asing itu sebenarnya tidak dianggap asing, lantaran dalam puncak perkembangannya pada abad XIX sanggup menyatu sebagai bagian dari boga Hindia Belanda (Indische keuken). Gulai dan kari merupakan campuran pengaruh Arab dan India. Soto (caudo) dan produk fermentasi kedelai seperti tahu dan kecap (menyusul tempe) warisan pengaruh lampau Tionghoa. Ketela, panala, bika, bolu, dan teknik mengawetkan daging dari pengaruh Portugal. Contoh tersebut melukiskan suksesnya percampuran (amalgamation) cita rasa keempat unsur asing itu dengan cita rasa lokal yang bergulir selama puluhan abad.
Dengan segepok data, Fadly menjahit cerita berbagai resep lokal dan asing bisa terus bertahan sepanjang waktu disebabkan oleh kecenderungan pewarisan resep secara lisan dari generasi ke generasi. Sedari pertengahan abad XIX, para penulis buku masak melakoni pembaruan dengan membentuk dan mengembangkan Indische keuken. Boga periode kolonial memuat komposisi jenis makanan (lokal dan asing) yang merupakan warisan dari berbagai lapisan waktu dan pengaruh global. Kokki Bitja ialah buku masak pelopor yang menemukan tersebarnya berbagai jenis makanan lokal, baik yang berasal dari Jawa maupun luar Jawa, sekaligus memulai usaha menyuratkan ratusan resepnya. Buku masak ini pun pertama kalinya menyandingkan resep lokal dengan aneka resep asing yang ditemploki unsur cita rasa Tionghoa, India, Arab, dan Portugal.
Konstruksi Indische keuken dalam Kokki Bitja ditempuh pula melalui proses menemukan (inventing) dan menciptakan (invention) makanan. Namun lebih dari itu, penulis buku masak tersebut menjalankan pembaruan (innovation) lewat mendokumentasikan aneka rupa resepnya. Ketika seluruh resep mulai ditekstualisasi, tanpa disadari hal itu memunculkan bayangan tentang suatu "rasa bersama" di kalangan komunitas pembacanya (mass reader).
"Memasak" buku masak sepintas menunjukkan urusan seleksi resep belaka. Namun buku ini jika dimengerti betul merupakan suatu sumber penting guna melihat hasil dari berbagai pergeseran (displacement) dan perubahan (change) kebiasaan makan di Indonesia dari zaman ke zaman. Pengaruh global yang puncaknya ditandai masa pertukaran aneka bahan makanan dari Benua Amerika dan Eropa ke Indonesia (serta sebaliknya) sepanjang abad XVI-XVIII jelas menjadi penting dalam memahami pergeseran dan perubahan itu bagi perkembangan makanan pada abad XIX.
Dengan bahasa rancak dan interpretasi yang kuat, Fadly menuntun pembaca memahami secara fisiologis pembentukan rasa seperti yang terlihat dari pemilihan ragam bahan makanan yang disukai dalam konteks budaya makan di Nusantara. Beberapa hal penting yang patut dipahami dari pergeseran dan perubahan akibat pengaruh global itu antara lain: 1) cabai menggantikan posisi cabai Jawa dan lada sebagai bahan pemedas; 2) gula tebu menyaingi gula aren/jawa sebagai bahan pemanis; 3) kerbau sebagai sumber protein hewani lokal tergusur kedudukannya oleh sapi yang semakin banyak dibudidayakan sejak abad XIX; dan 4) terigu menyaingi pemanfaatan ragam tepung lokal (beras, sagu, umbi-umbian, tapioka, maizena). Terigu kudu diimpor karena gandum sulit dibudidayakan di wilayah tropis seperti Indonesia.
Karya ini terbit tepat waktu, di mana televisi dan rubrik di majalah serta surat kabar gencar mengangkat dan mempopulerkan makanan di Indonesia ke tingkat nasional dan internasional, tapi di satu pihak tidak berupaya menelisik lebih jauh riwayat dan makna historis. Tak banyak dari kita yang menyadari permasalahan yang berkelindan di balik sejarah makanan Indonesia dan menganggapnya perlu untuk dipahami, apalagi dipecahkan. Perjalanan sejarah makanan yang tertuang di buku ini menjadi sesuatu yang penting, yaitu memahami bagaimana persoalan makanan di Indonesia didudukkan dalam sejarah dan juga sebaliknya, bagaimana sejarah Indonesia dilihat dari persoalan makanan. Kalaupun belum terpikir demikian, setidaknya buku ini membuat kita mulai memandang sejarah makanan Indonesia sebagai hal yang patut diperbincangkan dengan serius.
Buku Jejak Rasa Nusantara : Sejarah Makanan Indonesia karamgan Fadly Rahman setebal 396 halaman ini setidaknya berhasil mendudukkan masalah makanan dalam ranah budaya. Yang tak kalah pokok, tubuh Indonesia kini sedang terluka akibat segerombolan orang tega menggoreng isu disharmoni, intoleransi, dan konflik ideologi sehingga mengerucut pada pertikaian. Mestinya, lewat kearifan sejarah makanan yang terpantul, kita bisa belajar toleransi dan akulturasi sehingga menciptakan pelangi di meja makan maupun dalam kehidupan sosial.
Artikel Heri Priyatmoko, Dosen Sejarah, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Koran Tempo 3 Desember 2016