Banyak masyarakat belum paham makanan
mempunyai perspektif dalam kebangsaan. Selama ini kebanyakan orang masih
menganggap makanan sekedar resep dan sebatas kenyang diperut. Padahal dalam
makanan ada yang lebih bermakna dan berarti dari sekedar mencukupi batas ambang
perut.
Makanan bisa dikaitkan dengan budaya,
ekonomi, sosial, politik, pariwisata, pertanian, pangan, kepercayaan, adat
istiadat dan lain sebagainya.
Tulisan ini berusaha untuk mengkupas makanan
dari aspek sosio politik kebangsaan dalam batas budaya serta pelakunya. Sisi
teknis arti dari makanan itu sendiri tidak akan dibahas karena penjelasan
mengenai itu cukup banyak.
BOGA
Boga adalah kosa kata padanan makanan yang dipakai di Nusantara pada
masa kuna diambil dari bahasa Sansekerta, "bhoga"
atau "bhogi", yang artinya kenikmatan, hal makan; segala obyek
kenikmatan, makanan, dan kesenangan.
Istilah "boga"
di Nusantara mulai muncul saat hubungan makanan dengan budaya aksara sebagai
penanda zaman sejarah umat manusia. Penggunaannya banyak muncul dalam prasasti-
prasasti kuno di Jawa sejak abad ke-8 M, yang artinya seni memasak dan
kenikmatan makan lezat telah terasa jejaknya dalam tradisi leluhur saat itu.
Menilik makna boga, maka dapat dipahami bahwa pada masa kuna,
makanan merupakan obyek kenikmatan dan kesenangan manusia di Jawa. Untuk
mencapai kenikmatan dan kesenangan dalam aktivitas makan, perlu ada bakat dan
seni mengolahnya.
BUDAYA
MAKAN
Pada hakekatnya, makan adalah hikayat budaya
yang mengalami proses adaptasi akulturasi dan asimilasi dari waktu ke waktu.
Makan adalah peristiwa yang jauh dari pengamatan kebanyakan orang sehingga
kurang disadari bahwa makanan adalah bagian dari budaya.
Budaya secara luas diartikan sebagai nilai,
kepercayaan, sikap dan praktek suatu kelompok masyarakat atau individu yang
melintas dari generasi ke generasi melewati suatu kurun proses yang disebut enkulturasi.
KEBANGSAAN
Dalam berbagai tafsir, pengertian kebangsaan
punya banyak arti yang pada intinya terkait hubungan hukum antara orang dan
negara.
Namun untuk kepentingan kupasan
ini, pengertian kebangsaan merujuk kepada sekelompok orang yang berbagi
identitas, simbol, jati diri, bahasa, budaya, keturunan, sejarah, dan
sebagainya.
BUDAYA DALAM PERANTI POLITIK
Politik sebenarnya berhubungan dengan
budaya selain dimensi kekuasaan (seperti ekonomi, hukum, keamanan, atau
pertahanan). Walaupun budaya merupakan unsur diluar fokus kajian utama dunia
politik, tidak jarang faktor budaya menjadi komponen menentukan untuk sebuah
keputusan politik.
Ada korelasi tertentu yang
menampilkan fenomena sikap dan perilaku politik ternyata bersumber dari latar
belakang akar budaya tertentu. Terkadang ada juga kondisi yang memperlihatkan
sikap ataupun perilaku budaya sebagai hasil dari perkembangan politik atau
bahkan akibat dari manipulasi politik tertentu.
Politik dan kebudayaan merupakan
dua sisi dari satu keping koin yang tidak dapat dipisahkan, karena keduanya
selalu berkaitan dan saling menguntungkan satu sama lain bila terjadi proses
interaksi.
Tidak jarang pula aspek-aspek
dalam kebudayaan menjadi kontradiksi dengan perkembangan perilaku politik
sehingga menimbulkan efek negatif antara keduanya terhadap perkembangan
sosial-kemasyarakatan. Hubungan antara politik dan kebudayaan tidak akan berarti
jika tidak memberikan pengaruh terhadap kondisi sosial yang terjadi dalam
masyarakat.
Dua sisi dari satu keping mata uang terkadang sulit
untuk dimengerti korelasinya. Dari segi akademis, budaya dan politik termasuk
kedalam satu rumpun pengetahuan, yaitu ilmu sosial yang mengkaji masyarakat dan
kehidupan sosial.
Namun ada perbedaan penting antara keduanya dalam dimensi
memandang masyarakat. Kebudayaan adalah bentuk perilaku yang bukan dibuat oleh
manusia dan sudah hadir begitu saja sebagai rujukan yang harus diikuti oleh
pendukung suatu kebudayaan. Dengan perkataan lain manusia dibentuk oleh
kebudayaannya sendiri.
Sedangkan ilmu politik adalah sekelompok
pengetahuan teratur yang membahas gejala-gejala dalam kehidupan masyarakat
dengan pemusatan perhatian pada perjuangan manusia mencari atau mempertahankan
kekuasaan guna mencapai apa yang diinginkan.
Jika secara konseptualisasi dilakukan penggabungan antara keduanya, maka pada hakekatnya kebudayaan politik merupakan suatu konsep sikap, keyakinan, nilai, ketrampilan, kecenderungan dan kebiasaan yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu (Almond dan Powell).
Dengan demikian hubungan antara keduanya tidak
hanya menjadi alat bagi kompetisi politik, tetapi bisa juga menjadi sarana mengungkapkan
aspirasi dan pemikiran kepada masyarakat, malah budaya itu sendiri dapat
dimanfaatkan sebagai ajang berpolitik.
MAKANAN DALAM DIMENSI KEBANGSAAN
Makanan di dunia barat merupakan kemajuan
kebudayaan suatu negara mengenai kekayaan
dan kebanggaan bangsanya.
Bagi
masyarakat barat, makanan tidak semata diartikan sebagai seremoni kenegaraan.
Ada wejangan didalamnya mengenai petuah semangat mengabdi, berbakti, tidak
melupakan sejarah, dan bangga atas nasionalisme makanan mereka.
Masyarakat barat menyadari makanan
merupakan warisan budaya yang menjadi gaya hidup, cipta
karya dan cipta karsa. Warisan budaya leluhur itu merupakan kearifan lokal yang
membangun kemandirian dan karakter jati diri kebangsaan masyarakat mereka.
Dalam arti geo-politik,
makanan adalah simbol nasionalisme yang menjadi ciri identitas dan jati diri
suatu bangsa, karena di dalamnya ada
sejarah, budaya dan lanskap geografi yang melahirkan kearifan lokal.
Di dalam
makanan terpendam amanah mengenai jiwa yang hidup, berkarakter, disiplin, penuh
percaya diri, dan unggul dalam kualitas kehidupan.
Ada petuah
rasa percaya pada diri sendiri dan kemampuan mandiri sebagai esensi jalan bangsa
yang berdaulat dan berdikari.
Seni makanan
bagi masyarakat barat adalah wawasan kebangsaan dan ideologi. Makanan
diibaratkan sebuah DNA
(deoxyribose-nucleic acid) atau cetak
biru yang melahirkan, membentuk, menyusun, menginformasikan dan menyimpan
karakter masyarakat mengenai struktur genetika kearifan lokal bangsanya.
Seni memasak
adalah kemajuan kebudayaan mengenai kekayaan dan kebanggaan yang telah menjadi
simbol nasionalisme dalam membentuk ciri identitas maupun jati diri suatu
bangsa.
Sebagai suatu bangsa, Indonesia seharusnya
meletakkan makanan dalam dimensi kebangsaan serupa dan mengembangkannya sebagai rujukan
ideologi, nasionalisme, kesatuan, persatuan, kerukunan dan canang identitas.
Sudut pandang ini belum banyak
disadari elit politik Indonesia. Selama ini kaca mata mereka sekedar melihat makanan
dari prospek pariwisata dan kreatifitas dalam mendorong kemaslahatan ekonomi. Malah makanan dianggap sekedar promosi perjamuan
makan, pesta makan, pameran makanan atau eksibisi makanan.
Padahal di dalamnya ada harta karun
terpendam mengenai kebangsaan sebagai geo-strategik nasionalisme
kenegaraan.
Di dalam makanan ada inspirasi pemahaman lintas budaya dan kreatifitas interaksi
peradaban manusia dalam membentuk dan menutur
alur sejarah maupun daya cipta budaya masyarakat setempat.
Inspirasi
dan kreatifitas itu merupakan aksi “diplomasi budaya” ke luar dan proses “internalisasi nilai budaya” ke dalam untuk memperkuat penanaman
dan menumbuh-kembangkan nilai sosial kemasyarakatan.
Nilai itu mengenai
falsafah, filosofis maupun perilaku sosial yang menjadi simbol, ritual dan adat
serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas masyarakat tempatan.
Keaneka
ragaman dan kekayaan seni dapur masakan Indonesia mengandung tentang ajaran,
asas dan gaya hidup yang membentuk wawasan kebangsaan, ideologi, kerukunan dan
kesatuan bangsa Indonesia dalam seni memasak.
Tidak lupa dari sajian makanan itu mempunyai unsur "makanan punya kisah" (.. cibus
habet fabula ..), yakni mengenai sejarah dan budaya (baik dari sisi tangible dan
intangible), serta lanskap geografis dan metoda memasaknya.
POTRET MAKANAN KEBANGSAAN
INDONESIA
Makanan merupakan kekuatan ketahanan
dan kedaulatan pangan bangsa Indonesia dan tulang punggung dari pertumbuhan
ekonomi. Salah satu penyumbang terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)
Nasional adalah makanan.
Pelakunya terwakili di
jajanan jalanan, kaki lima dan warung rumahan (kedai) yang dijual pedagang,
penjaja atau pedagang asongan di tempat umum serta dan dari kalangan industri rumah
tangga (UKM).
Ini adalah potret
makanan Indonesia yang biasanya dijajakan di tepi pinggiran jalan umum, pasar
malam, atau pekan raya di kios makanan atau gerobak makanan.
Makanan
jajanan jalanan, kaki lima dan warung rumahan (kedai) ada dalam keseharian
masyarakat Indonesia. Semua kalangan membutuhkan bahkan memburunya karena
rata-rata lebih murah daripada harga makanan di rumah makan atau restoran di
ruang mewah.
Karakter seni
dapur masakannya memiliki keunikan yang luar biasa, karena mayoritas masakan
Indonesia lahirnya dari jalanan dan warung yang sudah membumi ratusan tahun.
Seperti
diketahui, kebanyakan masyarakat Indonesia masih belum modis dan trendi
terhadap makanan. Mereka masih melihat "apa
adanya" dan bangga terhadap seni masakan tradisional yang tidak perlu
di "up to date"
penampilannya secara mutakhir.
Makanan
jajanan jalanan, kaki lima dan warung rumahan (kedai) memang menjadi alasan
utama penikmat & pecinta memilih, yang sampai sekarang masih tetap menjadi
kekhasan dan keunggulannya di negeri ini.
Pelaku yang
disebut di atas adalah simpul warna makanan bangsa Indonesia yang selalu
didekati setiap masyarakat dalam memilih, membeli dan menikmati kelezatan.
Termasuk wisatawan asing.
Perlu
dicatat, makanan jajanan jalanan, kaki lima dan warung rumahan (kedai) bukan
murahan. Kebanyakan seni dapur mereka dimasak dengan bahan-bahan yang segar dan
baru dari pasar, sehingga rasanya enak dan nikmat dengan kualitas yang memadai
meskipun harga murah.
Namun sangat
disayangkan, harkat dan martabat mereka terabaikan selama ini, yang tanpa
disadari cita rasa produk yang dibuat dari jernih keringat mereka, kita nikmati
sebagai sebutan gastronomi seni makanan Indonesia.
Berbagai
peristiwa fenomenal di dalam negeri membuat mereka tidak terganggu apalagi
jarang tergoyahkan dalam menghidupkan keekonomian rumah tangganya, walaupun
tidak pernah menjadi lebih baik.
Semakin ramai
atraksi karnaval politik di jalanan, semakin laris omset penjualan makanan
mereka.
Aktor-aktor yang
disebutkan di atas adalah wajah seni makanan Indonesia yang menciptakan sistem “self-enterpreneurship” tersendiri
tanpa ada fasilitas dan kemudahan apapun yang disediakan bangsa ini, terkecuali
pasar.
Masyarakat
merupakan pasar konsumen bagi para aktor ini yang selalu setia membeli produk
yang dihasilkannya, tetapi jarang menyentuh dan bertanya siapa mereka
sebenarnya.
Bisa
dikatakan ketahanan dan kedaulatan pangan maupun perputaran pelestarian seni
makanan ada di tatanan kelompok aktor ini. Mereka tersebar disegenap pelosok
negeri mulai dari propinsi, kabupaten, kota dan pedesaan yang produknya masuk
ke dalam masyarakat metropolitan.
Mereka selalu
dikatakan tidak mempunyai kekuatan ekonomi, tapi terbukti setiap tahun dalam
kurun waktu 7 - 14 hari seni dapur masakan mereka tidak hadir.
Saat bulan
ramadhan dan di hari raya, pelaku ini pulang kampung dan tampak jelas di waktu
itu kekuatan mereka bicara. Terasa masyarakat kota sulit mencari makanan kaki
lima, jajanan jalanan dan warung rumahan (kedai).
MAKANAN SEBAGAI PERANTI KEBANGSAAN
Setelah memaparkan sepintas
mengenai makanan dalam arti budaya dan kaitannya dengan kebangsaan, maka dapat
dikatakan makanan seyogyanya diperlakukan sebagai salah satu komponen strategik
pembinaan geo-politik.
Sudah saatnya elit politik menempatkan
makanan sebagai dua sisi dari satu keping mata uang dalam program kebudayaan politik mereka
dalam mengungkapkan aspirasi dan pemikirannya kepada masyarakat.
Pendidikan, pembinaan
dan prakteknya harus dilakukan sedini mungkin dalam menempatkan makanan dalam
kerangka kerja program politik kepartaian dan kebangsaan, mengingat selama ini kurang
disadari bahwa makanan adalah bagian dari budaya.
Bentuk
dan tekniknya bisa bermacam-rupa dalam membudayakan dan
menanamkan kepercayaan itu kepada masyarakat, antara lain dengan menekankan :
1. Makanan adalah
simbol nasionalisme yang membentuk identitas, kesatuan, persatuan,
kerukunan maupun jati diri bangsa.
2. Di dalam
makanan terpendam amanah mengenai jiwa yang hidup, berkarakter, disiplin, penuh
percaya diri, dan unggul dalam kualitas kehidupan.
3. Ada petuah
rasa percaya pada diri sendiri dan kemampuan mandiri sebagai esensi jalan bangsa
yang berdaulat dan berdikari.
4. Makanan
adalah wawasan kebangsaan dan ideologi yang melahirkan, membentuk, menyusun,
menginformasikan dan menyimpan cetak biru
karakter masyarakat mengenai struktur genetika kearifan lokal bangsanya.
Jakarta, 12
Januari 2018