".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Friday, 12 January 2018

Makanan Dalam Perspektif Kebangsaan

Banyak masyarakat belum paham makanan mempunyai perspektif dalam kebangsaan. Selama ini kebanyakan orang masih menganggap makanan sekedar resep dan sebatas kenyang diperut. Padahal dalam makanan ada yang lebih bermakna dan berarti dari sekedar mencukupi batas ambang perut.

Makanan bisa dikaitkan dengan budaya, ekonomi, sosial, politik, pariwisata, pertanian, pangan, kepercayaan, adat istiadat dan lain sebagainya.

Tulisan ini berusaha untuk mengkupas makanan dari aspek sosio politik kebangsaan dalam batas budaya serta pelakunya. Sisi teknis arti dari makanan itu sendiri tidak akan dibahas karena penjelasan mengenai itu cukup banyak.

BOGA
Boga adalah kosa kata padanan makanan yang dipakai di Nusantara pada masa kuna diambil dari bahasa Sansekerta, "bhoga" atau "bhogi", yang artinya kenikmatan, hal makan; segala obyek kenikmatan, makanan, dan kesenangan.

Istilah "boga" di Nusantara mulai muncul saat hubungan makanan dengan budaya aksara sebagai penanda zaman sejarah umat manusia. Penggunaannya banyak muncul dalam prasasti- prasasti kuno di Jawa sejak abad ke-8 M, yang artinya seni memasak dan kenikmatan makan lezat telah terasa jejaknya dalam tradisi leluhur saat itu.

Menilik makna boga, maka dapat dipahami bahwa pada masa kuna, makanan merupakan obyek kenikmatan dan kesenangan manusia di Jawa. Untuk mencapai kenikmatan dan kesenangan dalam aktivitas makan, perlu ada bakat dan seni mengolahnya.

BUDAYA MAKAN
Pada hakekatnya, makan adalah hikayat budaya yang mengalami proses adaptasi akulturasi dan asimilasi dari waktu ke waktu. Makan adalah peristiwa yang jauh dari pengamatan kebanyakan orang sehingga kurang disadari bahwa makanan adalah bagian dari budaya.

Budaya secara luas diartikan sebagai nilai, kepercayaan, sikap dan praktek suatu kelompok masyarakat atau individu yang melintas dari generasi ke generasi melewati suatu kurun proses yang disebut enkulturasi.

KEBANGSAAN
Dalam berbagai tafsir, pengertian kebangsaan punya banyak arti yang pada intinya terkait hubungan hukum antara orang dan negara.

Namun untuk kepentingan kupasan ini, pengertian kebangsaan merujuk kepada sekelompok orang yang berbagi identitas, simbol, jati diri, bahasa, budaya, keturunan, sejarah, dan sebagainya. 

BUDAYA DALAM PERANTI POLITIK
Politik sebenarnya berhubungan dengan budaya selain dimensi kekuasaan (seperti ekonomi, hukum, keamanan, atau pertahanan). Walaupun budaya merupakan unsur diluar fokus kajian utama dunia politik, tidak jarang faktor budaya menjadi komponen menentukan untuk sebuah keputusan politik.

Ada korelasi tertentu yang menampilkan fenomena sikap dan perilaku politik ternyata bersumber dari latar belakang akar budaya tertentu. Terkadang ada juga kondisi yang memperlihatkan sikap ataupun perilaku budaya sebagai hasil dari perkembangan politik atau bahkan akibat dari manipulasi politik tertentu. 

Politik dan kebudayaan merupakan dua sisi dari satu keping koin yang tidak dapat dipisahkan, karena keduanya selalu berkaitan dan saling menguntungkan satu sama lain bila terjadi proses interaksi. 

Tidak jarang pula aspek-aspek dalam kebudayaan menjadi kontradiksi dengan perkembangan perilaku politik sehingga menimbulkan efek negatif antara keduanya terhadap perkembangan sosial-kemasyarakatan. Hubungan antara politik dan kebudayaan tidak akan berarti jika tidak memberikan pengaruh terhadap kondisi sosial yang terjadi dalam masyarakat.

Dua sisi dari satu keping mata uang terkadang sulit untuk dimengerti korelasinya. Dari segi akademis, budaya dan politik termasuk kedalam satu rumpun pengetahuan, yaitu ilmu sosial yang mengkaji masyarakat dan kehidupan sosial.

Namun ada perbedaan penting antara keduanya dalam dimensi memandang masyarakat. Kebudayaan adalah bentuk perilaku yang bukan dibuat oleh manusia dan sudah hadir begitu saja sebagai rujukan yang harus diikuti oleh pendukung suatu kebudayaan. Dengan perkataan lain manusia dibentuk oleh kebudayaannya sendiri.

Sedangkan ilmu politik adalah sekelompok pengetahuan teratur yang membahas gejala-gejala dalam kehidupan masyarakat dengan pemusatan perhatian pada perjuangan manusia mencari atau mempertahankan kekuasaan guna mencapai apa yang diinginkan.

Jika secara konseptualisasi dilakukan penggabungan antara keduanya, maka pada hakekatnya kebudayaan politik merupakan suatu konsep sikap, keyakinan, nilai, ketrampilan, kecenderungan dan kebiasaan yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu (Almond dan Powell).

Dengan demikian hubungan antara keduanya tidak hanya menjadi alat bagi kompetisi politik, tetapi bisa juga menjadi sarana mengungkapkan aspirasi dan pemikiran kepada masyarakat, malah budaya itu sendiri dapat dimanfaatkan sebagai ajang berpolitik.

MAKANAN DALAM DIMENSI KEBANGSAAN
Makanan di dunia barat merupakan kemajuan kebudayaan suatu negara mengenai kekayaan  dan kebanggaan bangsanya.

Bagi masyarakat barat, makanan tidak semata diartikan sebagai seremoni kenegaraan. Ada wejangan didalamnya mengenai petuah semangat mengabdi, berbakti, tidak melupakan sejarah, dan bangga atas nasionalisme makanan mereka.
Masyarakat barat menyadari makanan merupakan warisan budaya yang menjadi gaya hidup, cipta karya dan cipta karsa. Warisan budaya leluhur itu merupakan kearifan lokal yang membangun kemandirian dan karakter jati diri kebangsaan masyarakat mereka.

Dalam arti geo-politik, makanan adalah simbol nasionalisme yang menjadi ciri identitas dan jati diri suatu bangsa,  karena di dalamnya ada sejarah, budaya dan lanskap geografi yang melahirkan kearifan lokal.

Di dalam makanan terpendam amanah mengenai jiwa yang hidup, berkarakter, disiplin, penuh percaya diri, dan unggul dalam kualitas kehidupan.
Ada petuah rasa percaya pada diri sendiri dan kemampuan mandiri sebagai esensi jalan bangsa yang berdaulat dan berdikari.
Seni makanan bagi masyarakat barat adalah wawasan kebangsaan dan ideologi. Makanan diibaratkan sebuah DNA (deoxyribose-nucleic acid) atau cetak biru yang melahirkan, membentuk, menyusun, menginformasikan dan menyimpan karakter masyarakat mengenai struktur genetika kearifan lokal bangsanya.

Seni memasak adalah kemajuan kebudayaan mengenai kekayaan dan kebanggaan yang telah menjadi simbol nasionalisme dalam membentuk ciri identitas maupun jati diri suatu bangsa.

Sebagai suatu bangsa, Indonesia seharusnya meletakkan makanan dalam dimensi kebangsaan serupa dan mengembangkannya sebagai rujukan ideologi, nasionalisme, kesatuan, persatuan, kerukunan dan canang identitas.

Sudut pandang ini belum banyak disadari elit politik Indonesia. Selama ini kaca mata mereka sekedar melihat makanan dari prospek pariwisata dan kreatifitas dalam mendorong kemaslahatan ekonomi. Malah makanan dianggap sekedar promosi perjamuan makan, pesta makan, pameran makanan atau eksibisi makanan.

Padahal di dalamnya ada harta karun terpendam mengenai kebangsaan sebagai geo-strategik nasionalisme kenegaraan.

Di dalam makanan ada inspirasi pemahaman lintas budaya dan kreatifitas interaksi peradaban manusia dalam membentuk dan menutur alur sejarah maupun daya cipta budaya masyarakat setempat.

Inspirasi dan kreatifitas itu merupakan aksi “diplomasi budaya” ke luar dan proses “internalisasi nilai budaya” ke dalam untuk memperkuat penanaman dan menumbuh-kembangkan nilai sosial kemasyarakatan.

Nilai itu mengenai falsafah, filosofis maupun perilaku sosial yang menjadi simbol, ritual dan adat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas masyarakat tempatan.

Keaneka ragaman dan kekayaan seni dapur masakan Indonesia mengandung tentang ajaran, asas dan gaya hidup yang membentuk wawasan kebangsaan, ideologi, kerukunan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam seni memasak.

Tidak lupa dari sajian makanan itu mempunyai unsur "makanan punya kisah" (.. cibus habet fabula ..), yakni mengenai sejarah dan budaya (baik dari sisi tangible dan intangible), serta lanskap geografis dan metoda memasaknya.

POTRET MAKANAN KEBANGSAAN INDONESIA
Makanan merupakan kekuatan ketahanan dan kedaulatan pangan bangsa Indonesia dan tulang punggung dari pertumbuhan ekonomi. Salah satu penyumbang terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional adalah makanan.

Pelakunya terwakili di jajanan jalanan, kaki lima dan warung rumahan (kedai) yang dijual pedagang, penjaja atau pedagang asongan di tempat umum serta dan dari kalangan industri rumah tangga (UKM).

Ini adalah potret makanan Indonesia yang biasanya dijajakan di tepi pinggiran jalan umum, pasar malam, atau pekan raya di kios makanan atau gerobak makanan.

Makanan jajanan jalanan, kaki lima dan warung rumahan (kedai) ada dalam keseharian masyarakat Indonesia. Semua kalangan membutuhkan bahkan memburunya karena rata-rata lebih murah daripada harga makanan di rumah makan atau restoran di ruang mewah.

Karakter seni dapur masakannya memiliki keunikan yang luar biasa, karena mayoritas masakan Indonesia lahirnya dari jalanan dan warung yang sudah membumi ratusan tahun.

Seperti diketahui, kebanyakan masyarakat Indonesia masih belum modis dan trendi terhadap makanan. Mereka masih melihat "apa adanya" dan bangga terhadap seni masakan tradisional yang tidak perlu di "up to date" penampilannya secara mutakhir.

Makanan jajanan jalanan, kaki lima dan warung rumahan (kedai) memang menjadi alasan utama penikmat & pecinta memilih, yang sampai sekarang masih tetap menjadi kekhasan dan keunggulannya di negeri ini.

Pelaku yang disebut di atas adalah simpul warna makanan bangsa Indonesia yang selalu didekati setiap masyarakat dalam memilih, membeli dan menikmati kelezatan. Termasuk wisatawan asing.

Perlu dicatat, makanan jajanan jalanan, kaki lima dan warung rumahan (kedai) bukan murahan. Kebanyakan seni dapur mereka dimasak dengan bahan-bahan yang segar dan baru dari pasar, sehingga rasanya enak dan nikmat dengan kualitas yang memadai meskipun harga murah.

Namun sangat disayangkan, harkat dan martabat mereka terabaikan selama ini, yang tanpa disadari cita rasa produk yang dibuat dari jernih keringat mereka, kita nikmati sebagai sebutan gastronomi seni makanan Indonesia.

Berbagai peristiwa fenomenal di dalam negeri membuat mereka tidak terganggu apalagi jarang tergoyahkan dalam menghidupkan keekonomian rumah tangganya, walaupun tidak pernah menjadi lebih baik.

Semakin ramai atraksi karnaval politik di jalanan, semakin laris omset penjualan makanan mereka.

Aktor-aktor yang disebutkan di atas adalah wajah seni makanan Indonesia yang menciptakan sistem “self-enterpreneurship” tersendiri tanpa ada fasilitas dan kemudahan apapun yang disediakan bangsa ini, terkecuali pasar.

Masyarakat merupakan pasar konsumen bagi para aktor ini yang selalu setia membeli produk yang dihasilkannya, tetapi jarang menyentuh dan bertanya siapa mereka sebenarnya.

Bisa dikatakan ketahanan dan kedaulatan pangan maupun perputaran pelestarian seni makanan ada di tatanan kelompok aktor ini. Mereka tersebar disegenap pelosok negeri mulai dari propinsi, kabupaten, kota dan pedesaan yang produknya masuk ke dalam masyarakat metropolitan.

Mereka selalu dikatakan tidak mempunyai kekuatan ekonomi, tapi terbukti setiap tahun dalam kurun waktu 7 - 14 hari seni dapur masakan mereka tidak hadir.

Saat bulan ramadhan dan di hari raya, pelaku ini pulang kampung dan tampak jelas di waktu itu kekuatan mereka bicara. Terasa masyarakat kota sulit mencari makanan kaki lima, jajanan jalanan dan warung rumahan (kedai).

MAKANAN SEBAGAI PERANTI KEBANGSAAN
Setelah memaparkan sepintas mengenai makanan dalam arti budaya dan kaitannya dengan kebangsaan, maka dapat dikatakan makanan seyogyanya diperlakukan sebagai salah satu komponen strategik pembinaan geo-politik.

Sudah saatnya elit politik menempatkan makanan sebagai dua sisi dari satu keping mata uang dalam program kebudayaan politik mereka dalam mengungkapkan aspirasi dan pemikirannya  kepada masyarakat.

Pendidikan, pembinaan dan prakteknya harus dilakukan sedini mungkin dalam menempatkan makanan dalam kerangka kerja program politik kepartaian dan kebangsaan, mengingat selama ini kurang disadari bahwa makanan adalah bagian dari budaya.

Bentuk dan tekniknya bisa bermacam-rupa dalam membudayakan dan menanamkan kepercayaan itu kepada masyarakat, antara lain dengan menekankan :
1.   Makanan adalah simbol nasionalisme yang membentuk identitas, kesatuan, persatuan, kerukunan maupun jati diri bangsa.
2.     Di dalam makanan terpendam amanah mengenai jiwa yang hidup, berkarakter, disiplin, penuh percaya diri, dan unggul dalam kualitas kehidupan.
3.     Ada petuah rasa percaya pada diri sendiri dan kemampuan mandiri sebagai esensi jalan bangsa yang berdaulat dan berdikari.
4.  Makanan adalah wawasan kebangsaan dan ideologi yang melahirkan, membentuk, menyusun, menginformasikan dan menyimpan cetak biru karakter masyarakat mengenai struktur genetika kearifan lokal bangsanya.


Jakarta, 12 Januari 2018